Sampul depan hasil scan :) |
Judul: Takdir Elir.
Jenis Buku: Novel
Fantasi
Pengarang: Hans J.
Gumula.
Penerbit: Gramedia
Pustaka Utama.
Jumlah Halaman: 238 +
xxiii
Harga: Rp
45.000,00.
“Aku datang hanya untuk mengatakan sesuatu kepadamu…. Sekaligus
memberikan sebuah perintah…” – Manah (prolog, hal xxi).
Tanah Suci Bedina,
tempat di mana kuil agung bagi Vanadis berdiri, tiba-tiba mengirimkan seorang
kesatria wanita untuk pergi menuju Benua Elir, sebuah benua yang dihuni dua
kerajaan yang sedang bersitegang. Perintah ini bukanlah perintah yang
semata-mata tanpa alasan, melainkan perintah dari salah seorang Vanadis
sendiri! Kedua kerajaan itu, Serenade dan Vandergaard harus dicegah dari saling
menghancurkan satu sama lain, maka seorang kesatria bernama Rozmerga dikirim
menuju benua itu. Di sisi lain, seorang gadis frameless bernama Liarra yang juga merasa tertekan karena tinggal
tepat di antara kedua kerajaan itu tiba-tiba terpanggil dengan sebuah tujuan
yang sama. Kehadiran seorang pemuda berdarah campuran frameless-manusia dan dua orang raja melengkapi kisah ini demi
memenuhi sebuah takdir yang menautkan mereka: Takdir Elir.
Bagi siapapun yang
belum mengenal Vandaria mungkin akan terasa asing dengan istilah-istilah yang
digunakan dalam buku ini, terutama istilah frameless.
Tetapi buku ini tidak akan membuat mereka selamanya merasa asing dan tersesat.
Pengenalan singkat karakter yang disertai ilustrasi, dan juga catatan kaki yang
diberikan oleh buku ini cukup membantu dalam memahami isinya. Dan, jika diikuti
dengan sabar dan tenang, maka secara perlahan-lahan siapapun pasti akan
mengerti dunia seperti apakah dunia vandaria itu. Saya katakan dengan sabar dan
tenang bukan tanpa alasan. Bagi pembaca yang kurang menyukai tema fantasi,
terutama hi-fantasy seperti ini,
melahap habis lebih dari tiga bab pasti akan terasa memberatkan dan
membosankan. Jika ada pembaca yang mengharapkan pertarungan sihir a la Harry Potter atau LOTR, maka dalam
buku ini pun akan menemukannya dalam jumlah yang dapat dihitung jari. Bagi yang
berharap terlalu tinggi dan kecewa mungkin saja akan langsung mengatakan buku
ini jelek dan tidak menarik. Tetapi dari pandangan saya, sebuah buku baru bisa
dikatakan jelek dan tidak menarik bila saya sudah membaca lebih dari 80 persen
buku itu. Dengan demikian saya menjadi kenal bagaimana kekuatan dan
kelemahannya sebelum menilainya. Dan untuk saya buku ini tidak masuk dalam hitungan
jelek. Meski saya juga tidak bisa memasukkannya dalam hitungan sangat bagus.
Takdir Elir sebagai
salah satu bagian dari seri Vandaria Saga sebenarnya cukup berhasil menunjukkan
‘taring’ dari dunia Vandaria (setidaknya tidak kalah dari dua pendahulunya, Harta Vaeran dan Ratu Seribu Tahun). Penggambaran dunia yang apik dan ras-rasnya yang
unik membuat siapapun yang belum mengenal dunia Vandaria akan segera mengerti
dunia macam apa yang mereka masuki itu. Tetapi sangat disayangkan, dalam
usahanya menggambarkan suasana Vandaria itu, Takdir Elir terasa terlalu
membosankan. Dengan mudah dapat ditemukan banyaknya info dump atau penumpukan informasi dalam beberapa baris paragraph,
yang mana hal ini bisa saja membuat pembaca menguap di tengah membaca.
Sesungguhnya terdapat banyak celah untuk menyusupkan berbagai informasi ini di
dalam cerita dan meleburkannya dengan baik. Dalam sepanjang kisah di dalam
Takdir Elir, peleburan ini hanya terasa di beberapa tempat. Sebut saja saat
Rozmerga diserang perampok di hutan dan serangan tiba-tiba di perbatasan
Serenade.
Selain adanya info dump yang melimpah, buku ini juga
terkesan terlalu lambat di beberapa tempat. Sebut saja hari-hari sebelum
keberangkatan Rozmerga menuju ke benua Elir. Beberapa karakter pendukung di
dalam buku ini terasa sangat membekas, sedangkan beberapa lainnya malah lebih
terasa seperti tempelan yang bisa dihilangkan jika perlu.
Ada beberapa kata di
dalam buku ini yang juga terasa sedikit aneh dalam penggunaannya. Sebut saja
kata “sarkas” yang saya tahu ingin mencoba menasionalisasikan kata asing “sarcastic” – yang mana lebih baik jika diganti
saja dengan kata “sarkastik” – dan juga kata “memento” yang lebih baik jika
diganti dengan kata “benda kenangan”. Masalah bahasa semacam ini mungkin tidak
mengganggu untuk orang lain, tetapi saya pribadi merupakan pembaca yang
membutuhkan konsistensi bahasa dalam bacaan yang saya baca. Demikian pula tempo
cerita yang seharusnya juga diperhatikan di sini (info dump dan beberapa adegan filler
cukup sukses membuat cerita ini berjalan lambat untuk saya).
Constructed language (disingkat dengan conlang) di dalam buku ini cukup melimpah, terutama untuk segala
yang berhubungan dengan ras frameless atau
monster-monster khas di benua itu. Tetapi beberapa conlang yang digunakan sedikit menyusahkan untuk diucapkan,
terutama penamaan karakternya. Untung saja para karakter itu tertolong dengan
nama depan atau nama panggilan yang cukup mudah untuk diucapkan (nama asli
Liarra dan adiknya cukup mampu membuat orang yang tidak biasa membaca conlang akan mengulang beberapa kali
nama mereka sebelum berhasil mengucapkan dengan baik). Bagi saya hal ini adalah
penting, karena penulis manapun ingin karakter-karakter atau tempat-tempat
buatannya bisa diingat orang. Dan untuk itu seseorang harus bisa mengucapkannya
terlebih dulu.
Plot device yang terpenting dalam kisah ini adalah peralatan sihir ciptaan seorang frameless sakti yang diberikan pada lima
orang tokoh utama dalam kisah ini – terkecuali Rozmerga. Keberadaan
senjata-senjata yang menentukan para karakter di dalam buku ini sebagai
pahlawan menjadikannya sebagai plot
device yang bagus. Namun mengapa mereka yang dipilih maupun apa guna
benda-benda ini masih belum ditunjukkan dengan baik. Mungkin saja karena buku
ini dirancang untuk membuat sebuah trilogi.
Saya tidak akan
membicarakan lebih lanjut tentang bagaimana ceritanya secara lebih detail lagi.
Saya tidak mau membagi Spoiler di sini. Selain beberapa kelemahan di atas,
semua hal intrinsik dalam novel ini (suasananya yang menyerupai game RPG, ide cerita sederhana yang
masih bisa dieksekusi dengan baik, ilustrasi yang apik, karakterisasi yang
masih terasa berat sebelah untuk beberapa tokoh) cukup menyenangkan untuk
dibaca.
Sebagai buku pembuka
dari trilogi Elir, buku pertama ini cukup untuk meletakkan dasar. Dengan jumlah
halaman yang tergolong sedikit untuk novel fantasi, buku ini cukup nyaman untuk
dibaca oleh penggemar fantasi maupun orang yang baru mencicipi genre ini. Semoga saja seri berikutnya
dari trilogi ini lebih menekankan penggalian karakter-karakternya daripada
menekankan hanya pada aspek plot, setting,
dan petualangan saja.
Jika harus diberikan
sebuah penilaian, maka nilai dari novel ini adalah 3.5 untuk total 5.
Setidaknya buku ini masih cukup menarik dengan banyaknya misteri yang masih
belum terungkap. Dan entah apa ini benar atau tidak, seorang anak bernama
Hyomon yang membawa sebuah tongkat sihir di dalam kisah ini akan diplot untuk
menjadi seorang tokoh penting di kisah berikutnya. Dan bila saya salah, maka ini
akan menjadi sejenis red herring
(pengalih perhatian) saja. Apapun itu, Takdir Elir tidak menjadi sebuah buku
yang membuat saya membantingnya dan memaki-makinya setelah selesai membacanya,
meski juga tidak menjadi buku yang saya bangga-banggakan setelah menghabiskan
halaman terakhirnya.
Maju terus, Vandaria! Jadikan novel fantasi
buatan anak negeri merajai pasaran fantasi di Indonesia!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar