Senin, 14 Mei 2012

Petualangan di Negeri Terasing, Kisah Pembuka dari Legenda Benua Elir


Sampul depan hasil scan :)

Judul: Takdir Elir.
Jenis Buku: Novel Fantasi
Pengarang: Hans J. Gumula.
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama.
Jumlah Halaman: 238 + xxiii
Harga: Rp 45.000,00.


Aku datang hanya untuk mengatakan sesuatu kepadamu…. Sekaligus memberikan sebuah perintah…” – Manah (prolog, hal xxi).
 Selamat datang di dunia Vandaria, di mana manusia dan frameless hidup dalam satu dunia yang sama dan saling berinteraksi dengan caranya masing-masing. Bagi para petualang yang lelah dengan dunia nyata, mari masukilah dunia penuh fantasi ini dan tenangkanlah jiwamu. Rasakanlah keindahan dan ketegangan di tiap babnya. Dan untuk kali ini, sebuah benua yang terletak di sebelah timur laut Tanah Utama akan bergelora dalam sebuah kisah yang menentukan takdir.


Tanah Suci Bedina, tempat di mana kuil agung bagi Vanadis berdiri, tiba-tiba mengirimkan seorang kesatria wanita untuk pergi menuju Benua Elir, sebuah benua yang dihuni dua kerajaan yang sedang bersitegang. Perintah ini bukanlah perintah yang semata-mata tanpa alasan, melainkan perintah dari salah seorang Vanadis sendiri! Kedua kerajaan itu, Serenade dan Vandergaard harus dicegah dari saling menghancurkan satu sama lain, maka seorang kesatria bernama Rozmerga dikirim menuju benua itu. Di sisi lain, seorang gadis frameless bernama Liarra yang juga merasa tertekan karena tinggal tepat di antara kedua kerajaan itu tiba-tiba terpanggil dengan sebuah tujuan yang sama. Kehadiran seorang pemuda berdarah campuran frameless-manusia dan dua orang raja melengkapi kisah ini demi memenuhi sebuah takdir yang menautkan mereka: Takdir Elir.


Bagi siapapun yang belum mengenal Vandaria mungkin akan terasa asing dengan istilah-istilah yang digunakan dalam buku ini, terutama istilah frameless. Tetapi buku ini tidak akan membuat mereka selamanya merasa asing dan tersesat. Pengenalan singkat karakter yang disertai ilustrasi, dan juga catatan kaki yang diberikan oleh buku ini cukup membantu dalam memahami isinya. Dan, jika diikuti dengan sabar dan tenang, maka secara perlahan-lahan siapapun pasti akan mengerti dunia seperti apakah dunia vandaria itu. Saya katakan dengan sabar dan tenang bukan tanpa alasan. Bagi pembaca yang kurang menyukai tema fantasi, terutama ­hi-fantasy seperti ini, melahap habis lebih dari tiga bab pasti akan terasa memberatkan dan membosankan. Jika ada pembaca yang mengharapkan pertarungan sihir a la Harry Potter atau LOTR, maka dalam buku ini pun akan menemukannya dalam jumlah yang dapat dihitung jari. Bagi yang berharap terlalu tinggi dan kecewa mungkin saja akan langsung mengatakan buku ini jelek dan tidak menarik. Tetapi dari pandangan saya, sebuah buku baru bisa dikatakan jelek dan tidak menarik bila saya sudah membaca lebih dari 80 persen buku itu. Dengan demikian saya menjadi kenal bagaimana kekuatan dan kelemahannya sebelum menilainya. Dan untuk saya buku ini tidak masuk dalam hitungan jelek. Meski saya juga tidak bisa memasukkannya dalam hitungan sangat bagus.

Takdir Elir sebagai salah satu bagian dari seri Vandaria Saga sebenarnya cukup berhasil menunjukkan ‘taring’ dari dunia Vandaria (setidaknya tidak kalah dari dua pendahulunya, Harta Vaeran dan Ratu Seribu Tahun). Penggambaran dunia yang apik dan ras-rasnya yang unik membuat siapapun yang belum mengenal dunia Vandaria akan segera mengerti dunia macam apa yang mereka masuki itu. Tetapi sangat disayangkan, dalam usahanya menggambarkan suasana Vandaria itu, Takdir Elir terasa terlalu membosankan. Dengan mudah dapat ditemukan banyaknya info dump atau penumpukan informasi dalam beberapa baris paragraph, yang mana hal ini bisa saja membuat pembaca menguap di tengah membaca. Sesungguhnya terdapat banyak celah untuk menyusupkan berbagai informasi ini di dalam cerita dan meleburkannya dengan baik. Dalam sepanjang kisah di dalam Takdir Elir, peleburan ini hanya terasa di beberapa tempat. Sebut saja saat Rozmerga diserang perampok di hutan dan serangan tiba-tiba di perbatasan Serenade.

Selain adanya info dump yang melimpah, buku ini juga terkesan terlalu lambat di beberapa tempat. Sebut saja hari-hari sebelum keberangkatan Rozmerga menuju ke benua Elir. Beberapa karakter pendukung di dalam buku ini terasa sangat membekas, sedangkan beberapa lainnya malah lebih terasa seperti tempelan yang bisa dihilangkan jika perlu.

Ada beberapa kata di dalam buku ini yang juga terasa sedikit aneh dalam penggunaannya. Sebut saja kata “sarkas” yang saya tahu ingin mencoba menasionalisasikan kata asing “sarcastic” – yang mana lebih baik jika diganti saja dengan kata “sarkastik” – dan juga kata “memento” yang lebih baik jika diganti dengan kata “benda kenangan”. Masalah bahasa semacam ini mungkin tidak mengganggu untuk orang lain, tetapi saya pribadi merupakan pembaca yang membutuhkan konsistensi bahasa dalam bacaan yang saya baca. Demikian pula tempo cerita yang seharusnya juga diperhatikan di sini (info dump dan beberapa adegan filler cukup sukses membuat cerita ini berjalan lambat untuk saya).

Constructed language (disingkat dengan conlang) di dalam buku ini cukup melimpah, terutama untuk segala yang berhubungan dengan ras frameless atau monster-monster khas di benua itu. Tetapi beberapa conlang yang digunakan sedikit menyusahkan untuk diucapkan, terutama penamaan karakternya. Untung saja para karakter itu tertolong dengan nama depan atau nama panggilan yang cukup mudah untuk diucapkan (nama asli Liarra dan adiknya cukup mampu membuat orang yang tidak biasa membaca conlang akan mengulang beberapa kali nama mereka sebelum berhasil mengucapkan dengan baik). Bagi saya hal ini adalah penting, karena penulis manapun ingin karakter-karakter atau tempat-tempat buatannya bisa diingat orang. Dan untuk itu seseorang harus bisa mengucapkannya terlebih dulu.

Plot device yang terpenting dalam kisah ini adalah peralatan sihir ciptaan seorang frameless sakti yang diberikan pada lima orang tokoh utama dalam kisah ini – terkecuali Rozmerga. Keberadaan senjata-senjata yang menentukan para karakter di dalam buku ini sebagai pahlawan menjadikannya sebagai plot device yang bagus. Namun mengapa mereka yang dipilih maupun apa guna benda-benda ini masih belum ditunjukkan dengan baik. Mungkin saja karena buku ini dirancang untuk membuat sebuah trilogi.

Saya tidak akan membicarakan lebih lanjut tentang bagaimana ceritanya secara lebih detail lagi. Saya tidak mau membagi Spoiler di sini. Selain beberapa kelemahan di atas, semua hal intrinsik dalam novel ini (suasananya yang menyerupai game RPG, ide cerita sederhana yang masih bisa dieksekusi dengan baik, ilustrasi yang apik, karakterisasi yang masih terasa berat sebelah untuk beberapa tokoh) cukup menyenangkan untuk dibaca.

Sebagai buku pembuka dari trilogi Elir, buku pertama ini cukup untuk meletakkan dasar. Dengan jumlah halaman yang tergolong sedikit untuk novel fantasi, buku ini cukup nyaman untuk dibaca oleh penggemar fantasi maupun orang yang baru mencicipi genre ini. Semoga saja seri berikutnya dari trilogi ini lebih menekankan penggalian karakter-karakternya daripada menekankan hanya pada aspek plot, setting, dan petualangan saja.

Jika harus diberikan sebuah penilaian, maka nilai dari novel ini adalah 3.5 untuk total 5. Setidaknya buku ini masih cukup menarik dengan banyaknya misteri yang masih belum terungkap. Dan entah apa ini benar atau tidak, seorang anak bernama Hyomon yang membawa sebuah tongkat sihir di dalam kisah ini akan diplot untuk menjadi seorang tokoh penting di kisah berikutnya. Dan bila saya salah, maka ini akan menjadi sejenis red herring (pengalih perhatian) saja. Apapun itu, Takdir Elir tidak menjadi sebuah buku yang membuat saya membantingnya dan memaki-makinya setelah selesai membacanya, meski juga tidak menjadi buku yang saya bangga-banggakan setelah menghabiskan halaman terakhirnya.

Maju terus, Vandaria! Jadikan novel fantasi buatan anak negeri merajai pasaran fantasi di Indonesia!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar