Edward sedang
kebingungan. Raja itu telah diperintahkan untuk menyiapkan angkatan perangnya.
Namun setelah pertemuan dengan sang Advano yang terjadi seminggu yang lalu,
tidak ada perintah baru lagi yang diberikan padanya. Selama seminggu itu
seluruh pasukannya telah ditempatkan dalam keadaan siaga perang tanpa
mengetahui alasannya. Edward memang tidak memberitahukan alasannya, tetapi itu
dilakukannya atas perintah sang Advano.
Matahari sore yang
dilihatnya di koridor itu selalu bisa membuatnya damai. Setidaknya memandangi
sang penguasa siang tenggelam dan kehilangan semaraknya membuatnya gembira. Ia
senang melihat sesuatu yang lebih agung dan lebih semarak darinya jatuh dan
musnah. Itu memberikannya sensasi kegembiraan tersendiri, melebihi sensasi yang
dirasakannya bersama para selir muda yang dimilikinya.
“Raja Edward, para
prajurit mulai resah. Mereka mulai kelelahan tanpa tahu mereka harus berperang
dengan siapa.”
Sebuah suara mengusik
kenikmatan yang sedang dinikmati sang raja. Ia berusaha keras menahan amrahnya karena tahu siapa pemilik suara itu. Edward menoleh dan melihat seorang
pria tegap berusia tiga puluhan awal berdiri beberapa langkah di sebelah
kanannya. Pria itu memakai pakaian seragam militer berwarna abu-abu lengkap
dengan berbagai lambang kemiliteran di dada dan pundakknya. Sebuah luka tampak
membekas di dagu pria itu. Mata pria itu menatap tajam ke depan, dengan alis
tebal yang nyaris saling bertautan. Rambutnya yang hitam dipotongnya pendek
dengan gaya khas militer. Pria itu adalah orang yang sangat menakutkan di medan
perang dengan kegilaannya dalam membantai semua lawannya. Edward tersenyum jika
mengingat bahwa pria sehebat itu merupakan salah satu bawahannya.
“Jenderal,” kata
Edward. Pria itu memberikan hormat padanya. Edward membalas hanya dengan
mengangkat tangan kanannya dengan santai.
“Para prajurit mulai
menyebarkan desas-desus aneh bahwa sebenarnya kita tidak berperang dengan
siapa-siapa dan semua ini hanya main-main saja,” kata Jenderal itu.
“Bukan dengan siapa, Klaus, tetapi dengan apa,” kata Raja Edward. “Dan jika mereka
berpikir ini main-main, sebaiknya mereka berhenti dari kemiliteran! Kita sedang
berperang!”
Jenderal bernama Klaus itu mengernyit. “Saya
tidak mengerti, Raja,” kata sang jenderal.
“Ada hal yang tidak
perlu kau mengerti, Jenderal. Alasan dan tujuan dari semua ini adalah bagianku
yang harus kutanggung, sedangkan bagianmu adalah membuat para prajurit itu
diam!” kata sang raja tegas.
Ia membungkuk
dalam-dalam saat sadar sang raja merasa tersinggung. “Maafkan saya, Yang Mulia
Raja. Saya tidak bermaksud melanggar wewenang Yang Mulia,” kata Klaus.
“Aku tahu. Kau hanya
memperhatikan prajuritmu saja. Kembalilah berjaga di tempatmu dan tunggu
perintahku berikutnya,” kata Edward.
“Siap!” seru Klaus. Ia
memberi hormat sebelum berbalik dan meninggalkan sang raja.
***
Pagi menyingsing di
istana sang raja. Edward terbangun lebih pagi dari semua orang di istananya.
Sesuatu membuatnya tidak bisa tidur dengan tenang semalaman. Baru saja ia
memejamkan matanya sejenak, tiba-tiba saja ia mendengarkan sebuah suara keras
menyerupai desingan lebah. Suara itu terdengar bergema di seluruh ruangan. Ia
menoleh kepada para selir yang tertidur di samping kiri dan kanannya, tetapi
tidak ada satupun dari mereka yang terbangun. Suara itu kembali terdengar, dan
kali ini Edward menutup telinganya. Tetapi suara itu seakan berada sangat
dengan gendang telinganya. Saat itulah ia tahu suara itu adalah suatu tanda.
Edward tahu hanya Advano yang mampu melakukan keajaiban-keajaiban seperti itu.
Ia segera mengenakan pakaiannya dan berlari ke lapangan istana. Di situlah ia
menemukan benda berbentuk menyerupai kristal bunga es yang melayang di udara di
atas lapangan itu.
“Maafkan hamba yang
terlambat menyadari kedatangan Anda, Yang mulia Makhaina Jerez,” kata sang
raja. Ia jatuh tersungkur dengan wajah menyentuh tanah di bawah benda yang
melayang itu.
“Angkat kepalamu,
Manusia!” seru sebuah suara dari dalam benda itu. Benda itu perlahan-lahan
turun hingga beberapa inchi dari atas tanah.
Edward segera
mengangkat kepalanya dan berdiri dengan kepala tertunduk. Ia mundur beberapa
langkah dengan takut. Ia tidak ingin melakukan sesuatu yang bisa menyinggung
sosok wakil para Advano yang kini berada di depannya itu.
Benda berbentuk
kristal bunga es itu memancarkan cahaya yang menyilaukan. Edward harus menutupi
matanya dengan punggung telapak tangannya karena sinar yang menyakitkan matanya
itu. Perlahan-lahan cahaya itu membentuk sosok seorang pria dengan rambut emas
dan mata merah. Edward mencoba mengintip dari sela-sela jarinya. Sosok itu baru
dilihatnya sekali, tetapi Makhaina Jerez adalah Advano yang terlalu susah untuk
bisa dilupakan.
“Kulihat semua
pasukanmu sudah siap untuk berperang. Aku sebagai utusan Dewan Agung memberimu
pujian,” kata Makhaina Jerez. Tatapan matanya masih melihat sang raja dengan
tatapan angkuh meski mulutnya memuji sang raja.
“Hamba berterima kasih
pada Yang Mulia. Jika hamba berkenan, apakah alasan Yang Mulia Tuanku turun ke
istana hamba yang hina ini?” tanya Edward masih dengan kepala yang menunduk. Ia
tidak berani memandang langsung wajah sang Advano.
“Gerakkan pasukanmu ke
selatan. Hancurkan Pulau Arron malam ini juga!” perintah sang Advano.
“Hamba mengerti. Hamba
akan segera menjalankan titah Yang Mulia,” jawab Edward.
“Aku sendiri akan ikut
dalam penghancuran itu. Pastikan kalian tidak mengacaukan segalanya,” kata sang
Advano. Ia menjejakkan kakinya ke tanah dan dengan perlahan-lahan tubuhnya
kembali melayang di udara. Cahaya kembali memancar dari tubuh Advano bernama
Makhaina Jerez itu, dan dalam sekejap tubuhnya berubah kembali membentuk benda
berwujud seperti kristal bunga es setinggi manusia. Benda itu kemudian melayang
semakin tinggi ke langit hingga akhirnya menjadi seperti sebuah bintang berwarna
keemasan. Edward memandangi bintang itu dengan kagum, tetapi benda itu segera
menghilang saat ia mengedipkan matanya.
Edward adalah raja
yang sangat membenci siapapun yang lebih tinggi dan lebih hebat darinya. Tetapi
pengecualian untuk Advano. Ia telah melihat bagaimana mereka memperlakukan
manusia seperti kayu bakar. Ia bahkan tidak berpikir untuk melawan mereka.
Bagaimanapun ia adalah manusia yang sangat cinta pada nyawanya sendiri.
Setelah sang Advano
pergi ia segera berbalik menuju kamarnya. Ia segera mengenakan pakaian
kebesarannya dan bergegas menuju singgasananya. Para penjaga pintu ruangan
singasana itu tergopoh-gopoh membukakan pintu ruangan itu. Sesaat setelah ia
duduk di singgasananya Edward segera mengeluarkan titahnya. “Panggil semua
jenderal dan menteri! Umumkan pada seluruh kerajaan, malam ini Adventa akan
membumihanguskan Pulai Arron!” seru sang raja.
***
Kota Ravena di pulau
Arron sedang diliputi suasana gembira. Semua orang sibuk menghiasi rumah mereka
masing-masing dengan obor dan lentera. Anak-anak berkeliaran bebas dengan
memakai kain yang mereka tudungkan ke kepala mereka. Makanan dan minuman mulai dihidangkan
di lapangan kota yang berada di depan rumah sang walikota. Para penduduk mulai
bernanyi-nyanyi gembira dan menari-nari di lapangan itu. Malam itu akan ada
pesta besar untuk merayakan kedatangan sang penyelamat yang menolong kota itu
dari wabah. Dan tamu kehormatan dalam pesta itu adalah Lambert.
“Tuan Lambert, apa
Anda akan datang ke pesta malam ini?” tanya Sierra. Ia meletakkan sepiring pasta
lezat di depan pria itu.
“Kakek tua itu
memaksaku untuk datang. Aku yakin kalau aku tidak muncul malam ini ia akan
segera menyerbu masuk ke tempat ini dan menyeretku keluar. Sebelum itu terjadi
sebaiknya aku muncul secepatnya di depan matanya,” jawab Lambert. Kakek Tua adalah sebutannya untuk sang walikota. Ia menggulung
pasta di piring di depan matanya itu dengan garpu dan memasukkannya ke dalam
mulut. Ia mengangguk-angguk puas merasakan bagaimana lezatnya pasta itu saat
menyentuh lidahnya. “Masakanmu hebat, Sierra,” kata pria itu.
Sierra tersenyum
lebar. “Terima kasih,” katanya.
“Eva masih belum
bangun?”
“Eva masih tertidur
saat aku turun ke sini. Aku sebenarnya bingung, sejak seminggu ini Eva sebagian
besar menghabiskan waktunya dengan tidur. Jika kuingat kembali Eva hanya bangun
tiga kali sepanjang minggu ini. Itupun hanya sebentar untuk minum,” kata
Sierra.
“Gadis itu memiliki
gen Advano dalam tubuhnya. Dia tidak perlu banyak makan untuk bertahan hidup.
Lagipula tubuh gadis itu masih lemah dan belum terbiasa dengan lingkungan ini. Aku
belum melihat Adam hari ini,” kata Lambert.
“Adam? Jam seperti ini
dia belum bangun. Aku harus membangunkannya dulu baru dia mau makan. Ah!
Bagelnya belum kuambil!” kata Sierra. Ia segera meninggalkan ruang kerja
pribadinya itu menuju dapur di sebelahnya. Beberapa saat kemudia ia kembali
dengan membawa sepiring penuh bagel berukuran besar dengan krim keju di
atasnya.
“Maaf, Tuan Lambert.
Aku harus membangunkan si tukang tidur itu dulu,” kata Sierra sambil menaiki
tangga yang menghubungkan ruangan itu dengan lantai iatas.
Lambert tersenyum
melihat hal itu. Sierra tampak seperti istri Adam. Mungkin kalau ini
dikatakannya pada Sierra, wajah gadis itu akan memerah lagi.
***
Tidak seperti
biasanya, Adam sudah terbangun begitu cahaya matahari baru mengintip di ambang
jendela. Badannya pun terasa lebih segar dari biasanya. Ia meregangkan kedua
tangannya. Saat itulah ia merasakan sesuatu menyentuh tangan kanannya. Ia
mengernyit. Seingatnya ia tidak meletakkan sesuatu di atas kasur. Ia meraba
benda yang disentuh tangannya itu. Bentuknya bulat dan lembut, sedikit
menumbulkan bunyi bemerisik saat ia memegang bedna itu. Ia mengenali sensasi
itu sebagai kepala dan rambut. Rambut? Berarti ada seseorang yang menyelinap
tidur di sebelahnya? Adam bergegas bangun dari tidurnya dan menyibakkan selimut
yang digunakannya. Di sebelah kanannya ada gadis berambut emas yang tertidur
dengan damai. Adam menghela napas. Seandainya ia tidak tahu siapa gadis itu, ia
pasti sudah berteriak saat ini dan memanggil Sierra.
“Kupikir siapa. Eva,
bangun! Apa lagi yang kau lakukan sampai bisa masuk ke kamar ini?” katanya
sambil mengguncang-guncang tubuh gadis yang tertidur di sebelahnya itu. Gadis
itu tidak bergerak sama sekali. Ia malah makin menggelung badannya seperti
kucing yang tertidur pulas. Adam hanya bisa menggaruk-garuk kepalanya dan
memutuskan untuk bangun. Ia berjalan menuju ke pintu yang masih terkunci. Adam
tidak kaget mengetahui pintu itu terkunci. Gadis yang sedang tertidur pulas di
kasurnya saat ini telah beberapa kali menunjukkan dirinya bukan manusia biasa.
Melakukan sesuatu seperti memasuki kamar yang terkunci tentu bukan masalah
baginya.
Adam baru saja membuka
pintunya saat ia melihat Sierra telah berdiri di depannya. Gadis itu tampak
kaget karena pintu itu terbuka sebelum ia sempa mengetuk. “Ah! Kamu sudah
bangun rupanya,” kata Sierra yang masih terkejut.
“Begitulah. Tidurku
enak, jadi aku bisa bangun lebih cepat dari biasanya,” kata Adam. Seperti
menyadari sesuatu, Adam menoleh ke balik pintu. “Oh, ya, Sierra. Bisa urus Eva
sejenak? Aku harus ke kamar kecil,” katanya.
“Eva? Terakhir aku
lihat dia masih tidur di kamarku,” kata Sierra. Ia baru akan membuka pintu
kamarnya yang berada di depan kamar Adam, tetapi Adam menghentikannya.
“Dia tidak ada di
kamarmu. Dia di dalam sini,” kata Adam sambil menunjuk bagian dalam kamarnya dengan
jempol.
“Eh? Di dalam?” kata
Sierra sambil buru-buru melongok ke dalam
kamar Adam. Ia melihat tempat tidur pria itu, tetapi tidak ada siapapun
di sana. “Tidak ada siapa-siapa di sana,” kata Sierra pada Adam.
“Apa? Terakhir kali
kulihat dia ada di―” Kalimat itu berhenti begitu saja di mulut Adam saat ia
menoleh ke dalam kamarnya dan menemukan tidak ada siapapun di atas kamar itu.
Sierra menghela
napasnya. Ia menatap Adam sambil menggelengkan kepalanya. “Kamu tidak sedang
demam, kan?” tanyanya sambil menyentuh dahi pria itu.
“Aku tidak sedang
demam. Entah apa lagi yang dilakukan gadis itu. Lama-lama aku meragukan kalau
dia itu manusia dan bukan hantu,” kata Adam sambil memegang tangan Sierra yang
menyentuh dahinya. Gadis itu tampak kaget. Wajahnya kembali bersemu merah. Adam
melihat perubahan ekspresinya yang sangat nyata itu.
“Aku yang seharusnya
bertanya apa kau sedang demam? Sejak seminggu di sini kulihat wajahmu selalu
tampak merah. Kau tidak apa-apa?” tanya Adam.
“Eh? Merah?” Sierra
segera menarik telapak tangannya yang digenggam oleh Adam. Ia memegang
wajahnya. Ia merasakan wajahnya sedikit hangat.
“Demam, kan? Apa perlu
kusampaikan pada Karl untuk menangani rumah makanmu untuk hari ini?” tanya
Adam.
“Ti―tidak perlu! Aku
masih bisa kerja, kok. A―aku kembali ke kamarku dulu untuk memastikan Eva. Kamu
langsung ke bawah saja. Bagelmu sudah ada di meja,” kata Sierra sambil bergegas
membuka pintu kamarnya. Ia bergegas masuk ke dalam kamar itu dan mengunci
pintunya. Detak jantungnya kembali bergemuruh. Adam sudah berada di tempat itu
sejak seminggu lalu. Pria itu bahkan sudah saling mengenal semua koki di
dapurnya. Tetapi tetap saja ia masih bertingkah aneh saat pria itu berada
sangat dekat dengannya atau menyentuhnya.
Setelah mengatur
napasnya ia melirik ke tempat tidurnya. Eva masih tidur di sana dengan wajah
datar. Sejak seminggu lalu sepertinya
gadis ini tidak begitu suka padaku, pikir Sierra. Ia menghela napasnya.
Hari ini ia akan mencoba membangunkan gadis itu. Meski gadis itu memiliki gen Advano,
tetap saja tubuhnya adalah manusia yang butuh makan.
“Eva, ayo bangun.
Lambert menunggumu di bawah,” kata Sierra. Ia tidak terlalu berharap gadis itu
meresponnya, karena setelah beberapa hari mencoba membangunkannya gadis itu
tetap bergeming. Gadis itu hanya bangun bila ia ingin bangun saja. Tetapi kali
ini gadis itu terbangun.
Eva meregangkan
badannya sejenak sebelum bangun. Ia duduk dengan rambut emasnya yang berantakan
dan menggosok-gosok matanya. Dengan pakaian yang sedikit longgar dan tingkah polosnya
gadis itu tampak sangat imut. Bahkan Sierra sendiripun mengakui hal itu. Semua pria pasti suka pada wanita yang polos
dan imut seperti Eva, pikir Sierra. Tetapi
apakah Adam juga menyukainya?
Eva menguap kecil. Ia
menatap Sierra dengan kedua matanya yang bulat. Kedua mata itu menatapnya
dengan tatapan seorang anak kecil yang masih polos, seolah ia ingin bertanya,
“Ada apa?” pada yang melihatnya. Ugh,
bahkan matanya terlihat bagus. Meski warnanya tidak alami, sih.
“Syukurlah kamu mau
bangun. Lambert menunggumu di bawah,” kata Sierra sambil tersenyum simpul.
Eva mengangguk pelan.
Dengan perlahan ia turun dari tempat tidur itu dan mencoba berdiri. Tetapi kakinya
terlalu lemah untuk menopang dirinya sendiri. Sierra segera berlari ke
sampingnya dan memapahnya untuk berdiri. Eva hanya tersenyum polos pada Sierra,
sedangkan gadis itu merasa jantungnya hampir melompat keluar saat melihat
bagaimana lutut gadis itu nyaris tidak bisa menopang tubuh gadis itu.
Apa boleh buat. Aku tidak bisa marah padanya.
Apalagi kalau kutinggalkan sendirian bisa-bisa gadis ini tiba di bawah dengan
badan penuh luka.
“Kita ke bawah
sekarang. Aku akan memberikan makanan yang enak untukmu,” kata Sierra.
Mereka berdua berjalan
perlahan-lahan ke ruang kerja pribadi Sierra di lantai bawah. Adam sudah ada di
sana dan menikmati rotinya hingga nyaris habis. Sudah kuduga tiga roti tidak akan cukup untukmu, kata Sierra dalam
hatinya. Setelah mendudukkan Eva di sebuah bangku, Sierra segera pergi ke dapur
di sebelah ruangan itu dan mengambil beberapa roti bagel lagi. Ia juga membawa
sepiring pasta untuk Eva.
“Ini adalah pasta
terenak di pulau ini. Nikmatilah selagi panas. Dan ini adalah porsi keduamu,”
kata Sierra sambil meletakkan sepiring pasta di depan Eva dan sepiring penuh
bagel di depan Adam.
“Terima kasih. Nanti
saat aku dapat kerja aku akan membayar semua biaya yang kau keluarkan untukku
selama aku di sini,” kata Adam.
Sierra senang saat
melihat Adam menikmati roti buatannya. Tetapi tampaknya Eva tidak begitu
tertarik dengan pastanya. Gadis itu malah menatap roti yang dimakan dengan
lahap oleh Adam. Sierra dapat melihat gadis itu mengelan ludahnya sendiri saat
melihat bagaimana Adam memakan roti itu dengan lahap. Apa dia mau makan bagel? Ah, aku memang lupa bertanya apa yang
disukainya! Bodohnya aku! Tapi… aku tidak pernah mendengarnya bersuara. Bukan
salahku juga, kan?
Eva menatap Adam
seperti anak kecil yang meminta makanan dari orang tuanya. Bahkan ia makin
terlihat seperti anak kecil dengan tangan yang ia letakkan dengan manja di
bawah dagunya. Sial, makin lama kulihat
gadis ini makin imut! pikir Sierra. Kalau begini terus, bisa-bisa Adam akan ...
Sierra melihat Adam
menoleh pada gadis itu. Sepertinya pria itu sadar ada seseorang yang
menatapnya. Pria itu bahkan menawarkan roti yang tengah dimakannya pada Eva.
Gadis itu tersenyum gembira dan mengambil roti yang ditawarkan pria itu. Ia
tampak menikmati roti itu dan tidak henti-hentinya tersenyum. Adam yang
melihatnya pun tersenyum. Pria itu bahkan mengelus-elus rambut gadis itu, yang
tampak menikmati setiap saat tangan pria itu menyentuh rambutnya yang lembut.
Ugh! Padahal kalau aku pasti diacak-acak.
Lagipula kalau makan roti yang sudah digigit oleh Adam bukannya itu berarti dia
dan Adam sudah ci… ci…
“Ada apa, Sierra? Kau
tampak sedikit pucat?” tanya Lambert.
Sierra terkesiap. “Eh?
Ah! Oh! Tidak, saya tidak apa-apa, Tuan Lambert. Saya permisi dulu ke dapur.
Tampaknya Eva lebih suka makan roti dari pada pasta,” kata Sierra. Ia baru saja akan mengambil pasta di depan Eva
saat Lambert menghentikannya.
“Tidak baik makanan
yang sudah keluar dikembalikan ke dapur. Biar aku saja yang makan,” kata
Lambert.
Sierra mengangguk dan bergegas
memasuki dapur. Pintu penghubung ruang kerjanya dan dapur itu tanpa sadar
dibantingnya. Para koki yang sedang sibuk membuat adonan roti dan memasak pasta
tampak sibuk dan tidak mendengarkan suara keras itu. Kecuali Karl yang berdiri
di seberang ruangan.
“Kau sedang kesal,
Nona? Apa nona manis di depan membuatmu cemburu?” tanya Karl tanpa berhenti
menguleni adonan roti di tangannya. Ia tersenyum dan memamerkan sederet gigi yang
putih bersih.
“Kau tahu apa, Karl? Fokus
saja untuk mengerjakan pekerjaanmu,” kata Sierra dengan ketus.
“Oh, ya ampun.
Tampaknya separah itu, ya? Baiklah, aku tidak akan mengganggumu,” kata Karl
sambil kembali sibuk menguleni adonan rotinya. Ia tidak mempedulikan Sierra
yang masih menatapnya dengan tajam untuk beberapa saat. Setelah gadis itu
mengambil beberapa bagel dan meninggalkan dapur barulah karl bisa bernapas
lega.
“Aku memilih waktu
yang salah untuk mengganggunya. Wanita yang sedang jatuh cinta memang
mengerikan,” kata Karl pada dirinya sendiri.
[Jumlah kata: 2729]
[Jumlah kata: 2729]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar