Perjalanan dengan
menggunakan perahu motor dari Pulau Arron menuju Pulau Klais memakan waktu
sekitar dua jam. Kesempatan itu digunakan sebaik mungkin oleh Lambert dengan
beristirahat di dalam ruang kabin perahu itu. Ya, perahu motor yang dipinjamkan
oleh Walikota Albertino Han berukuran cukup besar, sampai-sampai jika ingin
mengadakan pesta barbekyu sangat mungkin dilakukan di atas kapal itu. Ruang
kemudi dikendalikan oleh seorang kapten kapal. Terdapat tiga ruang kabin untuk
penumpang di bagian anjungan. Sebuah tangga yang cukup landai menghubungkan
antara lorong kecil di depan kabin dan ruang kabin. Di bawah kabin terdapat
ruang makan dan kamar mandi. Di lantai yang sama juga terdapat ruang mesin.
Sementara Lambert
tidur di dalam kabin, Adam berdiri di buritan sambil menikmati pemandangan laut
yang menyegarkan. Beberapa hari lalu ia juga menaiki kapal sewaktu menuju Pulau
Arron. Tetapi saat itu ia sedang melarikan diri dan ia terpaksa menyelinap di
antara kargo rempah-rempah dari timur yang dibawa sebuah kapal. Ia terpaksa
meringkuk di antara peti-peti besar dengan bau menyengat khas dari
rempah-rempah di sekelilingnya. Matanya tidak sekalipun terpejam selama
perjalanan itu. Ia mengawasi sekitarnya, kalau-kalau ada orang yang menyadari
keberadaannya di tempat itu. Seandainya ada yang mengetahui ia menyelinap di
dalam kapal itu, maka pasti ia akan dilempar keluar dari kapal itu.
Adam bersyukur saat
itu kapal yang ditumpanginya memiliki keamanan yang sangat longgar. Begitu tiba
di kota Ravena, Adam segera menyelinap keluar dari ruang geladak kargo itu dan
bersikap seperti penumpang biasa. Begitulah ia selamat keluar dari kapal itu.
Saat Adam sedang menikmati
pemandangan dari buritan, ia merasakan seseorang menarik bajunya dari belakang.
Adam menoleh ke belakang dan menemukan Eva sedang menarik bajunya. Rambut
emasnya tampak berkilau di bawah sinar matahari. Tetapi kulitnya yang putih
tampak memerah karena tersengat matahari.
“Kulitmu terbakar.
Sebaiknya kau masuk ke dalam,” kata Adam.
Eva menggeleng. Adam
mengernyitkan dahinya.
“Aku sedang ingin
berdiri di sini. Kau tidak usah menemaniku,” kata Adam.
“Aku bosan,” kata Eva.
Adam menghela napas.
“Kau bisa tidur kalau kau bosan,” katanya.
“Aku bosan tidur,”
kata Eva merajuk.
“Lalu maumu apa
sekarang?”
“Aku hanya mau melihat
laut. Angin laut enak,” jawab Eva.
“Tapi kulitmu
terbakar. Sebaiknya kau masuk kembali ke kabin atau mengambil sesuatu untuk
melindungi kepalamu,” kata Adam.
Eva hanya
menanggapinya dengan tatapan bingung. Adam kembali menghela napasnya.
“Kau tidak tahu mau
menggunakan apa?” tanya Adam.
Eva membalasnya dengan
anggukan.
“Ikut aku!” kata Adam.
Ia menarik tangan gadis itu menaiki anjungan. Di salah satu kamar di kabin itu
Sierra sedang mengatur barang-barang mereka. Adam memasuki ruangan itu sambil
menarik tangan Eva ke dalam ruangan itu.
“Ada apa?” tanya
Sierra heran melihat keduanya masuk bersamaan.
“Punya sesuatu untuk
menutupi kepala anak ini?” tanya Adam sambil menunjuk pada Eva.
“Untuk apa?” tanya
Sierra.
“Dia memaksa ingin
menikmati angin di buritan kapal, tetapi kulitnya tidak tahan panas matahari.
Kalau dibiarkan bisa-bisa dia pingsan karena sengatan matahari,” jawab Adam.
“Aku tidak membawa
topi atau semacamnya. Tapi ada mantel kalau kalian mau. Kupikir tidak akan
terlalu panas kalau memakai mantel di buritan yang berangin seperti di luar,”
kata Sierra sambil membongkar salah satu ransel. “Ini dia,” katanya saat
menemukan mantel yang dimaksudnya.
Mantel itu terbuat
dari kain yang tidak terlalu tebal dengan warna tanah. Mantel itu memiliki tudung
pelindung kepala. Sangat cocok untuk segala musim. Sierra menyerahkan mantel
itu pada Adam, yang menerimanya dengan senang hati.
“Terima kasih,” kata
Adam.
“Tidak apa-apa,” balas
Sierra.
Adam menyerahkan
mantel itu pada Eva, tetapi gadis itu hanya melihatnya dengan tatapan polosnya.
“Jangan katakan kau
juga tidak tahu memakai mantel,” kata Adam.
Eva menggelengkan
kepalanya dengan takut. Ia takut dimarahi oleh pria itu. Lagi. Tetapi Adam
tidak marah. Ia hanya menarik napas dan mambuangnya secara perlahan.
“Baiklah, akan
kutunjukkan cara menggunakan benda ini,” kata Adam. Ia membentangkan mantel itu
dan mengenakannya ke tubuh Eva. Ia membiarkan mantel itu terbuka agar angin
masih bisa masuk ke bagian dalam mantel itu.
“Sudah selesai. Lain
kali kau pakai sendiri. Mengerti?” kata Adam.
Eva mengangguk dengan
cepat. Adam tersenyum melihat tingkah Eva yang terlihat seperti anak kecil. Ia
mencoba mengerti gadis itu. Ia tahu gadis itu banyak tidak tahu hal di dunia
ini karena terlalu lama tinggal di dalam tabung silinder berisi Panacea
―sesuatu yang harus dilakukan untuk melindunginya dari kerajaan Adventa. Karena
itu ia memutuskan mengajari gadis itu sebaik mungkin.
Adam menaikkan tudung
mantel Eva ke kepalanya. “Sekarang kau bisa menikmati angin di buritan sebebas-bebasnya
tanpa membuatku khawatir lagi,” kata Adam sambil menepuk-nepuk lembut kepala
gadis itu.
Eva tersenyum manis
pada Adam sebelum berlari keluar kabin itu. “Hati-hati! Jangan sampai jatuh!”
seru Adam mengingatkan gadis itu. Eva mematuhinya dan memelankan langkahnya.
Tingkah Eva membuat siapapun tidak bisa marah padanya. Ia hanya gadis berusia enam belas tahun yang
kekanak-kanakan. Keceriaannya mencerahkan dunia di sekitarnya. Termasuk pula
dunia Adam. Pria itu tidak menyadari sejak kapan gadis itu menjadi begitu
menyenangkan untuk dilihat. Meski terkadang menyebalkan, Adam tidak pernah bisa
benar-benar marah pada gadis itu.
“A―anu, Adam, apa ada yang
kamu perlukan lagi?”
Pertanyaan Sierra
menyadarkan Adam kalau ia sedang berada di dalam kamar gadis itu. Ia menoleh
pada gadis itu. Gelagat Sierra tampak aneh. Gadis itu tidak menatapnya sama
sekali, meski sesekali Adam melihat gadis itu mencuri-curi pandang padanya.
Wajah gadis itu pun tampak bersemu merah.
Beberapa hari lalu Sierra
tampak biasa-biasa saja di mata Adam, tetapi entah mengapa sejak dua hari lalu
ia melihat Sierra tampak cantik. Ia pun mulai menyadari ada sesuatu yang
dirasakannya pada gadis itu. Dan wajahnya yang memerah dan tampak malu-malu itu
terlihat menarik di matanya. Juga bibirnya yang mungil dan lembut itu. Oke! Ini pasti karena kejadian waktu itu,
kata Adam dalam hatinya. Sierra hanya
menciumku karena menganggapku sebagai kakak, dan yang kulakukan juga sama. Jadi
seharusnya aku tidak perlu kikuk di depannya.
“Ah, ma―maaf. Aku sudah
tidak ada urusan denganmu. Eh, maaf! Maksudku saat ini sudah tidak ada urusan
di sini lagi. Ah, maksudku…,” kata-kata yang meluncur dari mulut Adam terdengar
kacau. Ia merutuki dirinya sendiri yang menjadi gugup dan kacau di depan
Sierra. Silakan tertawakan kegugupanku,
Nona. Ini karena kau melakukan hal aneh di penginapanmu makanya aku jadi
seperti ini.
Sierra memang
menertawakan Adam. Baru kali ini ia melihat kegugupan pria itu, dan ia tidak
pernah menyangkan akan terlihat selucu ini. Adam yang selalu tampak berpikir
panjang dan serius kini kesulitan menjawabnya. Dan lagi warna wajah pria itu
mulai bersemu merah. “Maaf, aku tidak bermaksud menertawakanmu. Tapi baru kali
ini aku melihatmu seperti ini,” kata Sierra di sela-sela tawanya. “Dan lagi baru
kali ini juga aku melihat wajahmu memerah seperti ini,” lanjutnya.
“Ha?!” seru Adam tidak
percaya. Ia berjalan ke depan cermin yang berada beberapa langkah dari pintu
kabin itu. Benar saja. Wajahnya sedikit memerah. Dan lagi ia baru merasakan
kalau kulitnya terasa agak hangat. Bagus!
Sekarang aku bereaksi seperti Sierra. Berarti selama ini Sierra malu-malu
karena keberadaanku? Apa alasannya?
Saat itulah perut Adam
mulai bersuara. Sempurna! Saat yang tepat
untuk menambah hal-hal memalukan yang sudah terjadi hari ini!
Sierra tersenyum
lebar. Jam di dinding kapal itu menunjukkan pukul dua belas siang. Memang sudah
saatnya makan siang. Untung saja ia sempat menyiapkan bekal mereka semalam
kemarin. Ia mengeluarkan sebuah kantung kertas dari dalam salah satu ransel di
atas tempat tidurnya dan menyodorkannya pada Adam. “Ini, ambillah. Aku hanya
sempat membuat dua kemarin. Berikan pada
Eva juga, ya?” kata Sierra.
Adam membuka kantung
kertas itu. Di dalamnya terdapat dua buah roti bagel goreng bertabur wijen.
Adam meneguk air liurnya. Ia sebenarnya ingin menghabisi kedua bagel itu
sendiri, tetapi Sierra kembali mengingatkannya. “Aku tidak menyiapkan yang lain
lagi! Berikan pada Eva atau anak itu akan merajuk di perjalanan kita nantinya,”
kata Sierra sambil menggerakkan telunjuknya ke kiri dan ke kanan.
“Iya, iya! Aku tahu!
Akan kubawakan roti ini ke Eva. Aku yakin dia masih berada di buritan
sekarang,” kata Adam.
“Aku akan membangunkan
tuan Lambert juga,” kata Sierra. “Kita sudah harus kenyang sebelum tiba di kota
Klais.”
“Apa kita akan
mengalami kesulitan di sana sampai-sampai kita tidak bisa makan lagi?” tanya
Adam.
“Begitulah. Klais
selalu ketat terhadap pendatang yang memasuki kota mereka, berbeda jauh dengan
Ravena yang sangat terbuka pada pendatang. Apalagi setelah pulau Arron digempur
Adventa seperti kemarin dulu,” jawab Sierra.
“Kudengar walikota
Klais dan Ravena bersaudara. Tapi mereka tidak begitu akrab. Benar seperti
itu?” tanya Adam lagi.
Sierra mengangguk.
“Damian dan Albertino adalah saudara kandung, anak dari Raja Dominus Han,
penguasa Levitia. Sejak pertengkaran mereka dua puluh tahun lalu, mereka berdua
memutuskan meninggalkan Levitia dan membangun dua kota di dua pulau yang
berbeda. Kedua kota itu adalah Ravena dan Klais. Sampai sekarang sang raja
membiarkan kedua putranya itu melakukan apapun yang mereka inginkan, sambil
mengamati siapa yang layak mewarisi takhtanya,” jelas Sierra.
Adam mengangguk-angguk
mendengarkan penjelasan panjang Sierra itu. “Pantas saja kota Ravena tidak
diserang oleh kerajaan lain. Selain armada perang Adventa waktu itu tentunya,” kata Adam.
“Begitulah. Dan karena
peraturan ketat itu, Klais di percaya sebagai pintu masuk resmi menuju kerajaan
Levitia. Di sana terdapat banyak armada kapal perang yang melintas. Sebentar
lagi pasti ada sebuah kapal mereka yang akan menanyai kepentingan kita,” kata
Sierra.
“Kalau begitu Lambert
memang harus dibangunkan segera. Dia memegang surat jalan kita. Kalau kita
terlambat menyelesaikan urusan ini karena dia, aku akan menendang bokongnya!”
kata Adam.
“Aku juga ingin
semuanya segera selesai. Aku ingin secepatnya kembali ke Ciel,” kata Sierra. Ia
melirik pada Adam. “Kamu sendiri mau melakukan apa setelah urusan dengan Kunci
dan Pembuka Pintu ini selesai?”
“Aku tidak tahu. Dulu
aku hanya berpikir hanya ingin melarikan diri dari perbudakan saja. Aku tidak
pernah berpikir apa yang akan kulakukan setelahnya,” jawab Adam.
“Mau tinggal bersamaku
di kota Ravena? Pasti ada orang yang membutuhkan tenagamu di kota itu,” ajak
Sierra.
“Akan kupikirkan,”
jawab Adam. Senyum lebar menyungging di wajahnya.
Tanpa sadar mereka
berbicara sambil terus bertatapan mata sejak awal. Saat mereka menyadarinya,
keduanya segera memalingkan wajah masing-masing dengan kikuk.
“A―aku harus membawa
ini ke Eva sekarang,” kata Adam dengan gugup.
“A―aku juga harus
membangunkan tuan Lambert,” kata Sierra dengan kikuk.
Keduanya melangkah
bersamaan keluar dari pintu kabin itu. Tetapi pintu kabin itu terlalu kecil untuk
dilewati dua orang. “Kau duluan,” kata Adam.
“Aku permisi,” kata
Sierra. Ia menunduk, sebisa mungkin tidak melihat wajah pria itu.
Adam segera
meninggalkan anjungan itu menuju ke buritan. Ia menghela napas panjang dan
menarik napas dalam-dalam, berusaha agar detak jantungnya kembali normal. Ia
baru menyadari kalau ia menyukai Sierra. Tapi apakah ia menyadarinya setelah
gadis itu menciumnya atau sejak dulu? Lalu mengapa ia membalas ciuman gadis
itu? Hanya sekedar ‘mengembalikan’ bibir gadis itu? Seberapa penting gadis itu
untuknya?
“Akhirnya kamu
menyadari perasaanmu, Adam,” kata Eva yang kini berdiri di depannya. Adam
terlalu sibuk berpikir sampai-sampai tidak sadar gadis itu sedari tadi
mengendap-endap ke depannya. Ia menepuk kedua telapak tangannya dan tersenyum
lebar. “Kalau seperti ini, kamu sudah tahu jawaban semuanya. Kamu sudah lengkap
sekarang.”
“Maksudmu selama ini
Sierra cemburu padamu? Dan apa lagi itu, mengebutku saat ini sudah lengkap?
Memangnya sebelum ini aku tidak lengkap?” tanya Adam.
Eva mengangguk kuat.
“Meski aku seperti ini, aku tetap seorang gadis, lho. Kalau gadis lain
mendekati orang yang kusukai, pasti aku akan marah besar. Sekarang kamu sudah
punya seseorang yang penting untuk kamu lindungi. Kamu sudah punya alasan untuk
membuka Pintu itu sekarang,” katanya dengan wajah polos.
“Aku tidak bisa
membayangkan kau marah karena cemburu. Dan lagi darimana kau tahu semua itu?
Selama ini kau hidup di dalam tabung, kan?” tanya Adam.
“Aku merasakan
semuanya dan mempelajari semuanya dari dalam tabung itu. Panacea yang berada di
dalam tabung itu yang membuatku bisa mengetahui semuanya,” jawab Eva.
“Aku sebenarnya
penasaran dengan yang kau sebut Panacea itu. Sebenarnya benda apa itu?”
“Panacea adalah cairan
berwarna emas, persisi seperti warna rambutku sekarang,” kata Eva sambil
memainkan ujung rambutnya seperti anak kecil. “Dengan Panacea, semua hal bisa
dilakukan. Membuat obat penyembuh segala penyakit, membuat pelindung sehingga
yang berniat jahat tidak bisa melihat, bahkan dunia ini juga dibuat dengan
Panacea sebagai intinya,” kata Eva.
“Dunia ini terbentuk
dari Panacea?”
Eva mengangguk dengan
semangat. “Selain makhluk hidup di dunia ini, bebatuan, laut, bahkan langit di
dunia ini bergerak dan ada karena Panacea. Panacea sangat hebat! Kamu bisa
memindahkan gunung atau mengeringkan laut kalau memiliki sejumlah besar
Panacea,” katanya sambil mengepalkan kedua tangannya dengan semangat di depan
badannya. Tetapi sesaat kemudian ia melemaskan kepalannya. Matanya yang penuh
semangat berubah menjadi sedikit sendu. “Tapi kalau memakai Panacea sebanyak
itu, dunia ini akan hancur. Untuk mendapatkannya juga harus menunggu gunung
meletus atau menghancurkan sebuah pulau dulu,” katanya dengan ekspresi sedih.
“Maka dari itu Lambert
mengatakan kalau dunia ini tidak akan tahan lama?” tanya Adam.
Eva mengangguk lemah.
“Dunia ini bukan tempat yang layak bagi manusia. Sudah saatnya manusia kembali
ke dunia asalnya, Bumi,” kata gadis itu.
“Bumi?”
“Dunia di balik pintu
itu,” jawab Eva.
“Bagaimana kau tahu
ada dunia seperti itu di sana?”
“Kunci di dalam diriku
memberitahukan semuanya kepadaku,” jawab Eva sambil tersenyum.
Adam menghela
napasnya. Sebagian dari yang dijelaskan Adam tidak dapat ia pahami, tetapi
tentang kekuatan Panacea dapat ia mengerti. “Kau mau bagel? Sierra sempat
menyiapkan ini sebelum berangkat,” kata Adam sambil menyodorkan kantung kertas
yang ia pegang sejak tadi.
Eva mengangguk dengan
semangat. Adam mengambil sebuah bagel dan menyerahkannya pada gadis itu . ia
menerimanya dengan senang dan memakannya dengan lahap. Beberapa taburan wijen
di atas bagel itu menempel ke pipinya bersama beberapa remah dari roti itu.
Adam tersenyum melihat tingkah kekanakan gadis itu. Ia membersihkan pipi gadis
itu dengan tangannya. “Kalau makan jangan terlalu terburu-buru seperti itu.
Jangan berantakan seperti ini,” kata Adam sambil tersenyum.
Eva tertawa kecil saat
pipinya dibersihkan oleh Adam. “Terima kasih,” kata Eva. “Adam memang orang
yang baik.”
“Apa kau yakin aku
orang yang baik?” kata Adam. “Apa orang yang baik akan melakukan ini?
Hehehehe.” Adam mengangkat kedua tangannya di udara dengan jari-jari yang
ditekuk. Kantung kertas berisi bagel di tangannya ia letakkan di lantai
buritan. Wajahnya ia buat seram dengan maksud menakut-nakuti. Eva menjerit
kecil dan lari melihat wajahnya, tetapi gadis itu tidak tampak ketakutan sama
sekali ― Eva malah tampak menikmatinya. Adam mengejarnya dengan tawa yang
dibuat-buat. “Anak nakal akan dimakan serigala,” kata Adam.
“Eva bukan anak
nakal,” kata Eva.
“Anak baik tidak cengeng,”
kata Adam. Ia mempercepat larinya hingga mendahului Eva dan segera menangkap
gadis itu. “Tertangkap!” serunya. Eva menjerit kecil dan Adam tertawa seperti
penjahat. Ia mulai mengelitik gadis itu. “Ini hukumannya bagi anak nakal,”
katanya. Eva tertawa geli hingga terjatuh.
Saat itulah Sierra
keluar dan melihat mereka berdua. Wajahnya menunjukkan ia tidak begitu suka. Seketika
Eva dan Adam berhenti. Adam salah tingkah di depan Sierra. Sedangkan Eva masih
berusaha mengendalikan tawanya.
“Kalian sepertinya
senang, ya?” kata Sierra dingin.
“Aku hanya bercanda
dengan Eva saja, kok. Bukan macam-macam,” kata Adam. Ia berusaha tidak membuat
emosi Sierra naik kembali.
“Oh, begitu, ya? Sepertinya
enak, ya?” kata Sierra tanpa ekspresi. Matanya menatap Adam dengan tatapan
dingin.
Pria itu merasakan
rasa dingin menjalar sepanjang tulang belakangnya. Badannya merasa kaku
seketika. “Ada apa, Sierra?” tanya Adam canggung. Ia berusaha mengalihkan
perhatian gadis itu.
“Kalian dipanggil Tuan
Lambert. Kita sudah memasuki perairan Klais,” jawab Sierra. Ia melihat kantung
kertas berisi bagel yang diletakkan Adam di lantai buritan itu. Kantung itu
masih berisi, sedangkan Eva sedang menikmati roti bagelnya saat ini. “Kalau kamu
tidak mau makan lebih baik katakan sejak awal,” katanya sambil mengambil
kantung kertas itu.
Adam berusaha mencegah
Sierra, tetapi gadis itu telah lebih dulu membawa kantung kertas itu masuk
kembali ke dalam kabin. Perutnya berontak karena ia belum memasukkan apa-apa ke
dalamnya sejak mereka berangkat dari pulau Arron. Tetapi Adam merasa ia tidak
mungkin meminta kembali makanan yang telah diambil Sierra.
Eva merasa kasihan
pada Adam. Suara perutnya terdengar cukup keras, bahkan suaranya mengalahkan
deburan ombak di sisi kapal itu. Ia membagi dua roti bagel yang dipegangnya dan
menyerahkannya pada Adam. Pria itu tersenyum. “Terima kasih, tapi itu bagianmu,”
kata Adam. Sierra merengut mendengar kata-kata pria itu. Ia terus menyodorkan
sebagian roti itu dengan sedikit memaksa. “Tapi kalau itu kau berikan padaku
kau tidak akan kenyang, kan?” kata Adam lagi. Eva terus menyodorkan roti itu
pada Adam. Kali ini ia menghentak-hentak kakinya karena kesal. Adam akhirnya
menyerah juga. Dengan menghela napas ia menerima roti itu. “Terima kasih,” kata
Adam dengan lemas.
“Sama-sama,” jawab Eva
sambil tersenyum.
“Aku membuatnya marah
lagi, ya? Aku memang tidak pandai berurusan dengan kaum kalian,” kata Adam pada
Eva. Ia melayangkan pandangannya jauh ke batas cakrawala.
“Sierra cemburu. Adam
membuat Sierra cemburu,” kata Eva. Kata-kata sederhana yang entah mengapa
begitu menusuk ke dalam hati Adam.
“Artinya aku tidak
boleh terlalu akrab dengan gadis manapun lagi hanya karena Sierra menyukaiku?”
“Begitulah,” jawab Eva
sambil kembali memakan roti di tangannya. Ia masih memegang roti itu dengan
kedua tangannya. Remah roti dan beberapa biji wijen masih menempel di pipinya
―roti itu cukup besar sehingga pipinya selalu tenggelam dalamroti itu setiap
kali ia menggigit. Tapi kali ini ia membersihkan sendiri remah roti yang
lagi-lagi menempel di pipinya itu. “Mulai sekarang aku harus lebih mandiri. Aku
tidak boleh menyusahkan siapa-siapa lagi. Harus!” kata Eva. Ia mengepalkan
tangannya di depan dadanya dengan semangat. Matanya penuh kesungguhan. Ia
mengatupkan bibir mungilnya dan ia mengangguk mantap.
Bukannya menanggapi
Eva serius, Adam malah lucu melihat gaya Eva. Ia tidak tahan mengacak-acak
rambut gadis itu. “Oh, jadi anak manja sudah mau jadi gadis manis, ya?” tanya
Adam sambil mengacak-acak rambut gadis itu.
“Aah, rambutku
berantakan! Adam jahat,” teriak Eva. Gadis itu menatapnya dengan kesal. Matanya
mulai berkaca-kaca.
Adam tertawa. Reaksi
gadis itu mirip dengan reaksi Sierra. Ia menghentikan aksinya itu sebelum gadis
itu betul-betul menangis. “Ah, aku ingin sekali kembali ke masa lalu. Masa
empat tahun itu adalah waktu berharga yang tidak tergantikan oleh apapun,” kata
Adam setelah puas tertawa.
“Tidak ada yang bisa
kembali ke masa lalu,” kata Eva. Ia merapikan rambutnya yang tadi diacak-acak
tangan Adam. Ia masih kesal pada Adam. “Tapi kalau waktu yang berharga bisa
dibuat kapan saja, kan? Asalkan kamu mau,” lanjutnya.
Adam mengangkat
alisnya. Kata-kata Eva terdengar bagus. Ia senang mendengarkan nasihat dari
gadis manis itu. Ia mengulurkan kembali tangannya ke kepala Eva. Gadis itu
menutup matanya, bersiap menerima rambutnya kembali diacak-acak. Tetapi tangan
Adam cuma mengelus kepalanya dengan lembut.
“Terima kasih. Kau
memang gadis yang baik,” kata Adam sambil tersenyum.
“Eva memang anak yang
baik, kan?” kata Eva. “Tidak seperti Adam yang membuat Sierra marah-marah,”
lanjutnya. Ia menjulurkan lidahnya pada pria itu sebelum berlari masuk ke dalam
anjungan.
Adam menghela napas
panjang. “Aku memang orang yang tidak baik,” katanya pada dirinya sendiri. “Aku
memang orang jahat yang membuat gadis yang kusukai menangis.” Ia menyandarkan
punggungnya di pagar buritan itu. Tatapannya menerawang ke langit luas.
Beberapa ekor camar terbang dengan bebas sambil saling bersahutan. Bebas. Adam
tersenyum kecut. Ia hanya bisa merasa sebebas mereka dalam mimpinya saja.
Ia terpenjara dalam
kenyataan, dan berharap mimpi itu kembali menyapanya bersama kebebasan. Sebebas
burung camar yang terbang bebas di langit siang itu.
[Jumlah kata: 3095]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar