Ledakan demi ledakan
yang menghujani kota Ravena telah berhenti. Api berkobar di mana-mana. Malam itu
berubah seperti siang karena semua tempat di kota itu disinari lidah-lidah api.
Teriakan panik memenuhi kota itu. Beberapa orang bahkan terinjak-injak oleh
yang lainnya. Ledakan yang terjadi tak pelak membunuh beberapa warga kota itu.
Suasana pesta yang sesaat lalu meriah kini berubah menjadi neraka. Tetapi
Lambert tahu ini bukan akhir dari penderitaan. Sebaliknya, ini adalah awal dari
serangan yang sebenarnya.
Lambert berusaha
menerobos kerumunan manusia yang berlari dengan panik. Ia berusaha untuk tidak
terjatuh, karena terjatuh di dalam kekacauan ini sama saja dengan mati. Tetapi
tak urung ia nyaris terjatuh saat kakinya terantuk sesuatu. Ia mencoba melihat
apa yang mengenai kakinya dan menemukan seorang wanita yang luka-luka karena
terinjak. Dengan cepat Lambert mengangkat wanita itu dan menyuruhnya pergi.
Jarak antara rumah
makan Ciel dan lapangan yang menjadi pusat kota itu hanya satu kilometer.
Dengan keadaan normal, jarak itu bisa ditempuh Lambert hanya dalam waktu kurang
dari dua puluh menit. Tetapi dengan kekacauan ini segalanya tidak bisa
diprediksi. Ia bahkan tidak yakin bisa mencapai tempat itu. Tetapi saat ia
mengingat Eva, ia merasa ada sebuah tenaga baru yang mendorongnya maju lebih
cepat menuju tempat itu.
Dan pada saat itulah
ia melihat cahaya emas yang berkelebat di langit. Langkah Lambert sempat
terhenti, namun kerumunan manusia yang panik itu mendesaknya untuk maju. Ia merasa mengenali cahaya berwarna emas itu,
namun ia tidak yakin. Lagipula ia tidak punya waktu dan kesempatan untuk
memastikan hal itu.
Dengan susah payah
lambert mencapai bangunan rumah makan dan penginapan Ciel. Pintu depan dan
jendela-jendela bangunan itu tampak hancur, namun bangunan kayu itu sendiri
secara ajaib tidak terbakar. Bahkan sepertinya ledakan yang membabi buta
sebelumnya luput mengenai bangunan itu. Lambert bersyukur dalam hati.
Setidaknya dengan begitu semua orang di dalam bangunan itu masih bisa selamat.
“Tuan Lambert, di
sebelah sini,” kata Sierra dari arah pintu gudang di samping kiri bangunan itu.
Lambert melihat gadis
itu melambaikan tangannya padanya. Dengan cepat Lambert mengikuti gadis itu
memasuki gudang. Di dalam gudang itu terdapat sebuah pintu kecil di lantai
menuju ruangan bawah tanah. Ruangan itu sendiri terhubung menuju ke dapur dan
ruangan pribadi Sierra. Seorang koki bertubuh besar dan tegap tampak mengangkat
beberapa baskom logam dengan rolling pin
serta beberapa pisau dari dapur ke dalam gudang itu. Pria itu tampak
terburu-buru mengangkat semua peralatan itu.
“Apa semuanya sudah
terangkat, Karl?” kata Sierra pada pria bertubuh tegap itu.
“Kita tidak bisa
membawa semuanya dengan keadaan seperti ini. Tetapi setidaknya peralatan penting
sudah diamankan,” jawab Karl tanpa menghentikan langkahnya. Pria itu segera
membawa peralatan itu ke ruang bawah tanah.
Sierra menyusul Karl
begitu pria itu tiba di bawah. “Jika demikian kita bisa bernapas lega
sekarang,” kata Sierra saat ia telah tiba di ruangan bawah tanah itu. Ia
melihat ke atas. Lambert masih berdiri di sana dengan tatapan bertanya-tanya.
Sierra sepertinya tahu apa yang dipikirkan pria itu. “Eva telah kuamankan di
sini. Anda tidak perlu khawatir,” kata Sierra sambil tersenyum.
Mendengar itu Lambert
merasa lega. Dengan cepat ia menutup pintu gudang itu dan menyusul Sierra ke
dalam ruang bawah tanah itu. Ruang bawah tanah itu cukup luas. Tepat di bawah
tangga terdapat sebuah ruangan dengan banyak rak penyimpanan. Tampaknya ruangan
itu berfungsi sebagai gudang tambahan bila gudang di atas sudah penuh. Dari
ruangan itu terdapat sebuah pintu kecil. Lambert menduga ruangan di sebelah
pintu itu adalah ruang tempat tinggal darurat.
“Aku sebenarnya tidak yakin apakah cara ini
efektif melawan Adventa. Tetapi setidaknya kita bisa bertahan hingga
pertolongan datang,” kata Lambert sambil menutup pintu ruangan bawah tanah itu
dari dalam.
“Jadi benar serangan
ini dilakukan Adventa?” kata Sierra. Gadis itu mendesah. Siapa lagi yang
mempunyai persenjataan semematikan Adventa?
“Apa yang membuat kerajaan
itu menyerang kami? Kami adalah kota yang bebas dan tidak punya masalah dengan
negara atau kerajaan manapun!” kata Karl.
“Tidak perlu alasan
untuk Adventa menyerang sebuah wilayah. Mereka menyerang saat mereka ingin
menyerang. Mereka tidak akan berhenti sampai seluruh dunia ini mereka kuasai,”
kata Lambert. Ia mendelik pada Karl. “Kau pasti berasal dari negeri yang tidak
pernah diserang oleh Adventa, kan?” tanyanya pada pria itu.
“Memang benar. Aku
berasal dari Levitia di Tanah Selatan. Kami tidak pernah perang dengan bangsa
manapun,” jawab Karl mantap.
Lambert tersenyum.
“Jadi Tanah Selatan masih belum disentuh oleh kerajaan itu? Baguslah,” kata
Lambert dengan suara pelan.
“Maaf?” kata Karl.
“Ah, tidak. Tidak ada
apa-apa. Oh, ya! Katamu Eva ada di sini, Sierra?” kata Lambert berusaha
mengalihkan perhatian.
“Dia ada di ruangan
sebelah. Mari ikut saya,” jawab Sierra. Ia membuka pintu yang berada di
sebelahnya dan mempersilakan Lambert memasuki ruangan di balik pintu itu.
Ruangan di balik pintu
itu ternyata menyerupai sebuah rumah kecil. Di balik pintu itu terdapat sebuah
ruang tamu, tiga kamar tidur yang berjajar, sebuah toilet, dan dapur. Cahaya
temaram dari lentera menerangi ruangan-ruangan itu.
“Eva tertidur di kamar
tengah,” kata Sierra.
“Terima kasih,” kata
Lambert. Ia membuka pintu kamar tidur kedua yang berada tepat di depan pintu
masuk. Cahaya temaram lampu gantung menyambutnya. Di dalam keremangan cahaya
itu seorang gadis tampak tertidur dalam damai, seakan kekacauan di luar sana
tidak pernah ada. Tetapi gadis itu bukan Eva.
“Sierra, di mana Eva?”
tanya Lambert. Pria itu mulai panik.
“Ia tidur di kamar
kedua,” balas Sierra dari dapur.
“Ini bukan Eva. Eva
tidak berambut hitam!”
“Ah! Saya lupa
mengatakan sesuatu. Eva kutemukan di kamar Adam dalam keadaan seperti itu,
sedangkan sosok Adam berganti menyerupai Eva. Sepertinya mereka mengalami
pertukaran. Kupikir Eva mampu melakukan hal seperti itu, mengingat dia juga
melepaskan segel kutukan di tangan kiri Adam,” jelas Sierra.
“Apa?!”
“Saya juga tidak tahu
pastinya, tetapi ini kenyataannya. Adam yang kukenal kini bersosok seperti
Advano. Katanya Adam akan melakukan sesuatu untuk menghentikan serangan ini,”
kata Sierra.
Lambert mengernyit. Ia
bukannya tidak tahu apa yang terjadi. Tetapi ia tidak menyangka proses
penyatuan antara Sang Kunci dan Sang Pembuka Pintu akan terjadi secepat ini.
***
Adam masih merasa
ganjil dengan semua yang dialaminya saat ini. Beberapa menit lalu ia masih
berada di kamarnya menghibur Eva yang menangis. Lalu kemudian terjadi ledakan
demi ledakan yang menghancurkan kota Ravena. Setelah itu Eva melakukan sesuatu
yang membuat dirinya berubah menyerupai Advano dengan rambut berwarna emas,
sedangkan Eva berubah menjadi seperti anak gadis biasa. Dan kini ia sudah
berada di angkasa, dengan dua sayap dari cahaya yang membentang. Angin malam
berhembus ke arahnya dan menggoyangkan rambut panjangnya. Seperti ini tidak buruk juga, pikir Adam. Dan sekarang bagaimana caranya menghentikan serangan ini? Aku bahkan
tidak tahu serangan ini datang dari mana.
Seperti ada yang
membisikkan padanya, Adam melihat ke arah pelabuhan. Tetapi tidak ada apapun di
sana. Lagi-lagi seperti diberitahu oleh seseorang, Adam memejamkan matanya
sesaat. Saat ia membuka matanya, pelabuhan yang tadinya terlihat sepi kini
tampak ramai dijejali kapal perang berwarna hitam dengan simbol khas kerajaan
Adventa, dua segi enam emas yang saling tumpang tindih dan dibingkai oleh dua
tangkai bulir gandum. Keagungan dan kemakmuran bagi yang bernaung di bawah
bendera Adventa. Ironis, pikir Adam.
Kapal-kapal perang
kerajaan Adventa tampaknya menyadari keberadaannya. Meriam-meriam mereka kini
mengarah kepadanya. Mulut-mulut meriam itu mulai bercahaya. Sebentar lagi
serangan seperti sebelumnya akan terjadi. Adam merasa harus berpindah ke arah
laut dengan segera. Ia hanya memikirkan hal itu, dan ia telah berada di atas
laut sekarang. Tepatnya berada di atas kapal-kapal perang itu.
Adam mengernyit. Ia merasa ada yang
aneh di sini. Mengapa ia seakan-akan tahu semua yang harus dilakukannya? Mengapa
ia merasa semua tindakannya dikendalikan oleh seseorang? Atau mungkin oleh sesuatu? Ia tidak mengerti.
“Nanti saja mengertinya,
Adam. Sekarang bersiaplah menerima serangan. Terbang ke atas!”
Suara yang lagi-lagi didengarnya di dalam
kepala kembali memberinya instruksi. Ia melihat ke bawah. Meriam-meriam dari
semua kapal perang di bawahnya tampaknya cukup lincah mengikuti perpindahannya.
Kini isi meriam itu telah melayang ke arahnya. Tetapi seolah dalam gerakan
lambat, peluru-peluru yang dimuntahkan oleh meriam itu terlihat jelas oleh Adam.
Bentuk peluru itu ternyata seperti bola biasa, namun dari dalam bola itu
terpancar sebuah cahaya berwarna putih. Ia mengepakkan sayapnya dan melesat
semakin tinggi di angkasa. Peluru-peluru meriam itu meledak di tempatnya berada
sebelumnya. Beberapa pecahannya terjatuh dan menimbulkan rentetan ledakan pada
kapal-kapal perang yang menenmbakkan mereka.
“Siapa yang berbicara
ini?” tanya Adam. Ia merasa sudah cukup gila dengan semua yang ditunjukkan Eva padanya.
Menambahnya sedikit dengan suara tanpa wujud tidak akan mengubah apa-apa.
“Apa itu penting untuk
sekarang?” balas suara misterius itu. Suara itu terasa dekat dengan Adam. Sangat
dekat sehingga Adam merasa suara itu langsung terdengar di dalam gendang
telinganya.
“Ya. Aku tidak mau
diperintah, apalagi oleh sesuatu yang tidak kulihat!”
“Bahkan dalam keadaan
seperti sekarang? Lihat ke atas!”
Adam mengikuti saran
suara misterius itu. Di atas kepalanya tampak sinar putih yang semakin lama
semakin terang. Berbeda dengan peluru-peluru sebelumnya. Sinar itu bergerak
sangat cepat sehingga nyaris tak dapat dihindarinya. Tetapi tepat sebelum
mengenainya, tubuh Adam seperti bergerak sendiri menghindari serangan itu. Sianr
itu menghantam laut dan membuat laut seperti terbelah. Sebuah kapal perang yang
terjebak di lintasan sinar itu hancur tak bersisa saat sinar itu mengenainya.
Adam terkejut. Seandainya
ia tidak menghindar, mungkin tubuhnya akan sama seperti itu. Dan suara
misterius yang didengarnya kini terdengar seperti tertawa mengejek.
“Kalau tidak kutolong,
Sang Pembuka Pintu akan mati oleh serangan Advano rendahan seperti itu,” kata
suara misterius itu.
“Jadi kau tahu tentang
Sang Pembuka Pintu?”
“Jelas saja! Aku ini
Kunci. Jelas aku tahu siapa yang harus membuka pintunya. Ya ampun! Dari semua
orang yang ada Eva memilih orang ini?”
“Kau Sang Kunci? Kau Eva?”
“Bukan! Tapi aku tidak
akan menjelaskannya. Setidaknya bukan sekarang. Menghindar!” seru suara
misterius itu.
Adam mengikutinya. Ia membiarkan
tubuhnya bergerak dengan refleks. Sinar putih yang sama seperti sebelumnya
kembali melesat ke arahnya. Kali ini ia sudah terbiasa menghindarinya. Tetapi sinar
seperti itu terus menerus melesat dari langit seolah-olah ada sesuatu yang
menembakkannya.
“Sial! Kalau seperti
ini terus kota Ravena akan tenggelam oleh air laut!” seru Adam yang sudah mulai
bosan menghindar.
“Setidaknya mereka
tidak terjebak dalam api, kan?” balas suara misterius.
“Haha, lucu! Bagaimanapun
mereka akan binasa kalau seperti ini dan aku tidak mau itu terjadi!”
“Oh? Maksudmu kau
tidak mau membiarkan gadis yang menciummu itu mati, begitu?”
“Apa itu penting
sekarang?”
“Tidak. Itu memang
tidak penting. Hei, kau membalasku dengan kata-kataku sendiri!”
“Kau tahu jawabannya,
kan?”
“Ya. Ini memang tidak
penting. Yang penting sekarang adalah memancing turun Advano yang bersembunyi
di langit itu. Bersiaplah!” kata suara misterius.
Suara itu
memerintahkan Adam mengangkat tangan kanannya. Seluruh tubuhnya kini diliputi
cahaya berwarna putih. “Lapaskan!” seru suara misterius itu.
“Bagaimana caranya?”
tanya Adam. Ia merasa seluruh tubuhnya terasa panas.
“Pikirkan cahaya yang
melingkupimu sekarang melesat seperti cahaya yang menyerangmu tadi. Akan kubantu
mengarahkan sasarannya!” jawab suara misterius itu. Tangan Adam bergerak
sendiri menunjuk sebuah bintang berwarna emas yang tampak berbeda dari
bintang-bintang lainnya.
“Sekarang!” seru suara
misterius itu lagi.
Adam memikirkan bila
semua panas di tubuhnya yang ia rasakan kini berpindah ke bintang yang ditunjuknya.
Seperti merespon pikirannya, seluruh cahaya yang melingkupi dirinya mulai
berkumpul ke tangan kanannya. Dan dalam sekejap cahaya berwarna putih melesat
meninggalkan tangannya menuju bintang itu. Adam melihat cahaya itu mengenai
bintang, dan bintang itu tampak oleng.
“Sudah kuduga! Itu bukan bintang,
kan? Lihat, dia datang kemari,” kata suara misterius.
“Advano?”
“Ya. Itu Advano. Kau takut?”
Adam tersenyum. “Tidak
sama sekali. Aku malah ingin menghancurkannya sekarang!”
“Bagus. Itu yang
kuharapkan. Sekarang, ayo sambut dia!”
“Ayo!”
Adam mangepakkan
sayapnya. Ia melesat ke arah bintang berwarna emas yang dengan cepat menukik ke
arahnya. Tubrukan sudah tidak terhindarkan lagi. Tetapi Adam tidak peduli! Ia akan
melakukan apapun untuk melindungi kota itu!
[Jumlah kata: 1895]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar