Edward berjalan dengan
gembira di sepanjang lorong istananya sejak pagi. Ia sengaja memamerkan tongkat
kerajaannya agar semua orang menunduk padanya. Ia sangat senang melihat tidak
ada lagi yang berani mengangkat wajahnya dan menatapnya dengan keangkuhan.
Secepatnya ia harus mencari jenderal baru menggantikan jenderal yang telah
dibunuhnya semalam.
Aku harus mencari pengganti orang itu
secepatnya, pikir Edward. Seseorang yang patuh dan kuat. Kunci itu
harus ku rebut kembali!
Pada saat itulah
sesuatu di langit sebelah selatan menarik perhatiannya. Cahaya berwarna emas
yang bahkan mengalahkan cahaya matahari bersinar ke langit. Perlahan-lahan
cahaya itu membentuk sebuah pintu yang cukup besar untuk terlihat dari
tempatnya. Matanya seketika membelalak. Meski jarak benda itu dengannya cukup
jauh dan sulit melihat dengan jelas pintu itu, tetapi Edward mengenalinya
dengan baik. Pintu itu adalah Pintu Faux Ciel. Pintu yang pernah ditunjukkan
oleh para Advano padanya. Pintu yang seharusnya
muncul setahun lagi dan menjadi miliknya sendiri. Dan kini pintu itu muncul di
langit sebelah selatan tanpa kehadirannya.
Raja Edward segera
berlari menuju ke ruangan di mana ia sering berkomunikasi dengan para Advano.
Ia mengacungkan tongkat kerajaannya ke pintu itu, tetapi tidak terjadi apapun.
Batu di ujung tongkat itu tidak bereaksi, demikian juga pintu itu. Ia kembali
mengacungkan tongkat itu dengan emosi. Ia berteriak keras. Pada akhirnya
tongkat itu menunjukkan perubahan. Tetapi berbeda dari biasanya, batu di ujung
tongkat itu kini mengeluarkan sinar berwarna merah separti darah. Pintu di
depan sang raja juga menunjukkan reaksi yang sama. Raja Edward bingung karena
tidak pernah melihat reaksi seperti itu. Dan tiba-tiba saja batu itu meledak.
Pecahannya melukai wajah sang raja. Tetapi sang raja tidak punya waktu untuk
terkejut. Kini pintu di depannya meledak dan menghempaskannya di sepanjang
lorong menuju pintu itu. Ia terjungkal dan berguling-guling. Saat ia telah
terungkur, ia mengangkat wajahnya dan melitah ke dalam ruangan di balik pintu
itu. Di dalam sana hanya ada kegelapan. Namun berbeda dari sebelumnya, di dalam
sana tidak ada lagi kristal besar seperti yang sering dilihatnya.
Raja Edward segera
berdiri dan berlari menuju ruangan itu. Ia memasukinya dengan tergesa-gesa
tanpa merasa takut. Ia memiliki firasat buruk. Dan firasatnya benar. Meski kini
ia berada di tengah ruangan besar itu, tidak ada tanda-tanda kristal penghubung
antara dirinya dan kaum Advano. Mereka telah meninggalkannya.
Ia berteriak dengan
marah. Ia berlari keluar dan kembali melihat pintu raksasa yang kini membuka.
Ia berteriak semakin keras, sampai-sampai para pengawalnya memeganginya untuk
mencegahnya merobek pakaiannya sendiri.
“Masukkan raja ke
dalam penjara! Raja kita sudah gila!” kata seorang pemuda pada para pengawal
yang memegangi sang raja.
Edward berbalik ke
asal suara itu. Seorang pemuda yang yang tidak pernah ia lihat sebelumnya
berdiri dengan lambang kekuasaan militer tertinggi di kerajaan itu, lambang
seorang jenderal.
“Siapa yang menunjukmu
menjari jenderal, anak muda?! Apa kau mau melangkahiku?!” seru Edward marah.
“Kami pihak militer
telah melihat banyak keputusan yang tidak benar yang kau perbuat. Dengan ini
kami mengambil alih kerajaan ini. Mulai hari ini, rakyat dan militer bersatu
untuk menolakmu sebagai pemimpin mereka! Kami tidak ingin dipimpin oleh orang
gila! Kerajaan Adventa berakhir saat ini!” kata pemuda itu. Ia melambaikan tangan
untuk menyuruh pengawal-pengawal yang memegangi sang raja untuk segera
membawanya pergi.
Edward meronta, namun
tubuh tuanya tidak mampu mengimbangi kekuatan para pengawal itu. Ia berteriak
di sepanjang lorong saat para pengawal itu menyeretnya menuju penjara. Para
pengawal itu menariknya dengan susah payah, karena meski mereka lebih kuat dari
sang raja, pria tua itu masih menimbulkan kesulitan dengan tendangannya yang
mengganggu. “Kau tidak bisa memasukkan aku ke dalam penjara! Kalian tidak bisa
melakukan ini padaku! Aku raja Edward, pemimpin tertinggi di Faux Ciel! Para
Advano menjadi sekutuku. Aku―” Teriakannya terhenti oleh sebuah pukulan telah
ke ulu hatinya. Seorang pengawal yang sangat marah mendengar teriakannya telah
membuatnya pingsan dengan satu pukulan.
“Kami tidak mau lagi
mendengar ocehanmu, raja gila!” kata pengawal yang memukul sang raja. Ia dan
temannya kembali menyeret sang raja menuju ke penjara. Kali ini lebih mudah
dari sebelumnya.
***
Pintu itu telah sangat
dekat dengan Adam. Namun pria itu tiba-tiba berhenti. Ia terdiam sesaat dan
berbalik.
“Ada apa? Apa kau ragu
di saat-saat terakhir?” tanya sang Kunci dengan panik. Ketiga Advano yang
berada di belakang mereka masih menatapnya. Sang Kunci berharap mereka tidak
marah dan mengubah keputusan mereka. Jika itu terjadi, maka bahkan iapun tidak
dapat menghadapinya.
“Bukan. Ada seseorang
yang ingin kuajak bersamaku saat ini,” kata Adam. Matanya menatap pulau Klais
dan kota yang dilindungi oleh Eva dengan perisainya.
Sang Kinci akhirnya
mengerti. Ia mendengus. “Kukira kau berubah pikiran. Kalau begitu, cepatlah!
Pergi dan jemput dia!” kata sang Kunci.
Dengan cepat Adam
melesat ke arah kota itu, melewati ketiga Advano yang menatapnya dengan
keheranan.
“Dia tidak membuka
pintu itu?” tanya Farros.
“Apa dia berubah
pikiran di saat terakhir dan memilih diam di dunia ini? Kalau benar, maka dia
menghina kita!” kata Darra.
“Bukan,” kata Barazza.
“Dia menjempit gadisnya. Lihatlah!” katanya sambil menunjuk ke arah kota di
bawah mereka.
Kedua Advano lainnya
akhirnya mengerti. “Ah, cinta rupanya,” kata Farros. “Benar juga. Itu adalah
kekuatan terbesar manusia.”
“Dia tidak akan bisa
membuka pintu itu tanpa kekuatan terbesarnya. Pilihan bagus, Manusia,” kata
Darra.
***
Sierra masih tidak
mengerti apa yang terjadi. Ia memandang segalanya dengan bingung. Tetapi hati
kecilnya berkata segalanya telah berakhir.
“Sepertinya Adam
berhasil,” kata Sierra.
“Bagaimana kau yakin?”
tanya Lambert. Mata pria itu masih menatap pada ketiga Advano di kejauhan dan
Eva yang masih melayang di langit. Tiba-tiba saja tubh Eva kembali bersinar.
Dengan perlahan tubuh gadis itu kembali turun ke tanah.
“Aku hanya tahu. Aku
mempercayainya,” kata Sierra sambil tersenyum lebar.
Lambert menatap wajah
Sierra. Gadis itu tampak sangat segar dan cerah. Iapun ikut tersenyum. “Cinta,
ya?” katanya. Sesaat kemudian Eva telah berdiri di depannya. Ia segera
merangkul gadis yang tertidur itu sebelum ia terjatuh. Wajah Sierra tampak
merona merah. Ia salah tingkah.
“Eh? Ke―kenapa Anda
bepikir seperti itu?” tanya Sierra gugup.
Lambert tertawa.
“Aku ini bukan orang
yang tidak peka sepertinya. Aku tahu itu sejak awal. Dan sepertinya diapun
sama. Lihat, dia datang menjemputmu,” kata Lambert sambil menunjuk ke langit.
Sierra mengikuti arah
yang ditunjuk oleh pria itu. Sosok Adam dengan sayap elang berwarna emas tampak
gagah. Dengan perlahan pria itu turun. Tangannya terulur padanya. Ia tersenyum.
Sierra pun tersenyum. Tanpa ragu ia menyambut tangan pria itu. Dengan sebuah sentakan
lembut Adam menariknya. Sedetik kemudian ia terangkat dari tanah.
Sierra merasa takut
karena ia tidak memijak apapun, tetapi Adam memegang erat tanganya. “Jangan
takut. Kau masih ingat janjiku untuk membawamu terbang bersamaku?” kata Adam.
Ia menatap lembut pada gadis itu.
“Ku―kupikir bukan
secara nyata seperti ini,” kata Sierra. Suaranya terbata-bata. Setengah karena
takut, setengah lagi karena gugup bersentuhan dengan pria yang dicintainya
sejak kecil itu.
“Yah, kupikir juga
dulu bukan secara nyata. Tetapi terbang bersamaku tidak buruk juga, kan?”
Sierra tersenyum. “Kau
benar,” katanya sambil memegang erat tangan Adam.
Adam menarik
tangannya. Dengan segera Sierra berpindah ke dalam pelukannya. Gadis itu
terkejut, namun ia tidak punya pilihan lain selain pasrah.
“Begini lebih aman.
Sebaiknya kau juga memelukku dengan erat. Kita berada di ketinggian, lho?” kata
Adam. Matanya menatap lurus ke arah pintu besar di depan sana.
Sierra semakin
terpesona memandang wajah pria yang memeluknya itu. Cahaya matahari lembut dan
cahaya yang terpancar dari dirinya membuat wajahnya tampak sangat hidup.
Rambutnya yang terkibar karena angin tampak begitu gagah. Otot-otot yang
merangkulnya saat ini terasa sangat kokoh dan di saat bersamaan sangat lembut
mendekapnya. Sierra semakin mencintai pria itu. Iapun merangkulkan tangannya
pada pria itu.
“Akan kubalas kau
karena membuatku melakukan ini,” kata Sierra dengan nada bercanda.
“Balas saja saat kita
kembali ke Bumi,” balas Adam.
Keduanya tersenyum
saat mereka melesat menuju ke pintu itu. Seluruh tubuh Adam bersinar semakin
terang. Pintu di depanya menanggapi dengan cara yang sama. Dan akhirnya Adam
menembus pintu itu seolah pintu itu tidak berada di sana. Sesaat setelahnya
seluruh langit yang terlihat di Faux Ciel berubah. Kini di seluruh penjuru
dunia itu langit berganti dengan sebuah pemandangan baru. Di atas sana terdapat
tanah yang lebih hijau dari dunia di bawahnya. Laut yang luas da juga burung-burung yang terbang dengan
bebas. Di seluruh penjuru dunia semua manusia mulai terangkat dari tanah menuju
tanah baru di atas kepala mereka itu. Beberapa terkejut, beberapa gembira.
Tetapi satu yang pasti: mereka menuju ke tempat yang lebih baik.
Lambert menatap dunia
itu untuk terakhir kalinya saat ia terangkat. Baru kali itulah ia melihat bahwa
sebenarnya Fauz Ciel adalah sebuah piringan raksasa yang terdiri dari lima buah
benua dan pulau-pulau kecil. Laut tampak bergelora di pinggiran piringan itu,
tetapi tidak tertumpah keluar dari piringan itu sedikitpun. Ia mengingat
ayahnya. Air matanya tanpa sadar mengalir.
“Ayah, aku pergi.
Terima kasih atas semua yang telah kau lakukan padaku,” kata Lambert. Ia
menatap tanah baru yang semakin terlihat dekat itu dengan air mata yang
berurai.
Kehidupan manusia yang
baru akan mereka songsong di tempat yang semestinya, Bumi yang baru.
[Jumlah kata: 1452]
TAMAT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar