Edward membuang
pandangannya ke arah matahari yang mulai tenggelam di balik pegunungan. Sinar
jingga keemasan dari matahari yang mulai tenggelam itu memberikan nuansa agung
pada ruangan di mana ia berada. Sebuah ruangan di dalam bangunan bergaya
Basilica yang menjadi istananya. Langit-langit dalam istana itu tinggi dan
membentuk lengkungan, dengan ratusan fresco
yang menggambarkan ratusan manusia bersayap. Manusia bersayap dan manusia tak
bersayap, malaikat dan manusia biasa. Itulah yang dipercaya olehnya dan oleh
seluruh kerajaannya sebagai awal dari munculnya Dunia Baru. Semua fresco di dalam istana itu bercerita
tentang bagaimana para makhluk bersayap datang dan menyelamatkan manusia dari
kehancurannya dan membawa mereka ke sebuah tempat yang lebih baik. Dunia Baru
adalah dunia yang dianugerahkan pada mereka oleh para makhluk bersayap itu.
Karenanya seluruh kerajaan Adventa yang dipimpinnya memutuskan menyembah para
makhluk bersayap itu. Namun sekarang keberlangsungan dunia yang telah
dianugerahkan pada mereka terancam. Takdir yang telah diramalkan sejak seribu
tahun lalu akhirnya telah tiba.
“Raja Edward, para Pelayan
Dewa telah menemukan di mana lokasi Sang Kunci dan Sang Pembuka Pintu. Mereka
ada di salah satu pulau di selatan, tepatnya Pulau Arron.” Seorang prajurit
datang menghadapnya dan memberikan laporan. Edward menghela napas. Adalah mudah
menggempur Kota Ravena, satu-satunya kota yang berada di pulau itu. Ia sangat
yakin keduanya berada di kota itu, karena demikianlah yang disebutkan dalam
ramalan. Tetapi jika ramalan itu benar, maka semua pasukan yang dikirimnya akan
musnah, sebanyak apapun itu.
Hanya ada satu cara
yang bisa dilakukannya. Memanggil sang makhluk bersayap, Advano.
***
Memanggil Advano bukan perkara gampang. Mereka adalah makhluk dengan harga diri yang sangat tinggi.
Sembarang memanggil mereka dapat diartikan sebagai penghinaan. Edward telah
melihat dengan mata kepalanya sendiri apa yang telah dilakukan oleh makhluk
agung itu pada ayahnya yang tidak sengaja menyinggung mereka. Tiga puluh tahun
lalu, ayahnya hancur menjadi debu hanya karena ia memanggil sang makhluk agung
demi menunjukkan pada dunia bahwa kerajaan mereka tidak akan tertandingi oleh
siapapun. Sang makluk agung mengangkatnya sebagai pengganti, meski dirinya
adalah anak terakhir dari semua anak raja, bahkan ia adalah anak seorang selir
dan bukan anak dari permaisuri. Para anak permaisuri dan mereka yang merasa
layak sebagai raja bangkit melawaannya. Nyawanya terancam. Namun sang makhluk
agung mengirimkan pasukannya dan menghabisi mereka yang menentang dalam
sekejap.
Edward bingung apakah
ini saat yang tepat untuk memanggil mereka. Seandainya para Advano itu marah
padanya, mungkin bukan hanya dirinya saja yang akan dimusnahkan. Mungkin
seluruh kerajaan yang telah berdiri tujuh ratus tujuh puluh tujuh tahun itu pun
akan turut hancur. Namun ia kembali berpikir, jika ia tidak menyampaikan
perkembangan yang diperolehnya dan para Advano mengetahuinya sendiri, maka
kemungkinan itu akan jauh lebih besar. Mau tidak mau ia harus mengambil resiko.
Demi kerajaannya dan demi semua manusia yang ada di dalam Dunia Baru, ia harus
memanggil mereka.
Edward melangkah
mantap menuju sebuah pintu raksasa dengan bagian atas yang melengkung. Pintu
itu dipenuhi ukiran sulur emas dan tampak kokoh. Tidak ada pegangan atau lubang
kunci di pintu itu. Bahkan pintu itu tampak seperti menyatu. Tetapi Edward
tidak menghentikan langkahnya. Di tangan kanannya terdapat sebuah tongkat yang
terbuat dari emas tuangan seukuran betis orang dewasa. Di ujung atas tongkat itu
tampak sebuah kristal biru dengan sebuah benda berbentuk seperti kristal bunga
es berwarna emas di dalamnya. Sang raja mengangkat tongkat itu, lambang
kekuasaan tertinggi di kerajaan Adventa, dan mengacungkannya ke pintu raksasa.
Seketika kristal bunga es di dalam kristal biru itu berputar kencang dan
semakin membesar, hingga akhirnya bunga es itu melayang keluar dari kristalnya.
Kristal bunga es itu makin besar hingga seolah-olah menutupi pintu raksasa.
Saat bunga es keemasan itu menempel di pintu raksasa, sebuah cahaya keemasan
memancar dari arah pintu itu dengan sangat menyilaukan. Edward tak dapat
melihatnya dengan jelas, tetapi ia tahu sulur-sulur yang tampak menyatu di
pintu itu mulai bergerak memisah. Saat sinar keemasan itu tidak lagi memancar
barulah Edward melihat apa yang terjadi. Pintu raksasa yang tampak tak dapat
terbuka itu telah terbuka lebar. Kini sebuah ruangan hitam tampak menganga dari
balik pintu itu.
“Masuklah, Raja
Manusia!” Sebuah suara menggelegar terdengar dari dalam ruangan itu. Dengan
gemetar Edward mendekati ruangan itu. Kepalanya tidak berani terangkat. Dengan
tangan menyilang di depan dada ia melangkah memasuki ruangan itu.
Tepat setelah ia
berada di dalam ruangan gelap itu, pintu raksasa di belakang Edward kembali
menutup. Sang raja diliputi kegelapan dan ketakutan. Namun tiba-tiba kegelapan
itu lenyap tak bersisa. Kini yang dilihatnya adalah sebuah ruangan yang
dipenuhi cahaya yang memancar dari sebuah api raksasa berwarna biru langit yang
menyala di tengah-tengah ruangan itu. Sang raja menatap terpesona pada api itu,
namun segera sadar dan segera bersujud hingga kepalanya menyentuh lantai.
“Aku tahu yang akan
kau laporkan padaku, Raja Edward,” seru suara dari dalam api biru itu.
Seketika sekujur tubuh
Edward bagaikan tersengat listrik. Keringat dingin mulai mengucur deras dari
seluruh tubuhnya. Tidak ada bagian dari tubuhnya yang tidak bergetar
mendengarkan kata-kata itu. Tamat sudah,
katanya dalam hati. Aku dan kerajaanku
akan tamat!
“Kami telah mengamati
tanda-tanda ramalan itu. Dan memang, langkah pertama baru saja terjadi kemarin.
Tidak ada satupun yang bisa mengira kapan itu terjadi. Dalam hal itu kau tidak
bersalah terhadap kami, Raja Edward.”
Kini seluruh tubuh
Edward terasa lega, seolah ada kehangatan yang menentramkan sekujur tubuhnya
yang mengalir dan menghentikan gemetarnya.
“Tetapi kau tetapi
bersalah karena tidak membunuh gadis itu dari awal!!” seru suara dari dalam api
biru itu dengan marah.
Napas bagaikan akan
terbang keluar dari dalam tubuh Edward saat mendengarkan perkataan itu. Ia
tidak berani mengangkat kepalanya, namun jika ia tidak membela diri, maka
itulah akhir baginya. “Ampuni hamba, ya engkau yang agung, Advano. Hamba lalai.
Conrad dan Lambert, para pengkhianat itu telah membawa lari Panacea dan Glacies.
Kami tidak dapat mendeteksi mereka sampai tiga hari lalu, saat Glacies yang
mereka bawa akhirnya telah habis terpakai. Hamba mohon ampun,” kata Edward.
Badannya yang telah tua itu bergetar hebat, bagaikan anak kecil yang takut
ketika petir menggelegar di tengah malam.
“Mengapa kami harus
mengampunimu?”
“Hamba telah tahu di
mana mereka saat ini. Kami akan segera menyerang mereka tanpa menunggu lagi.
Bahkan sebelum pagi esok hari tempat itu telah akan rata dengan tanah.”
“Sang Kunci telah
bangkit, bagaimana kau akan menghancurkannya dengan kekuatanmu yang bagaikan
serangga itu, Manusia?”
Edward terdiam. Inilah akhirnya.
“Kami tahu kau tidak
akan bisa mengalahkan mereka sendirian. Maka dari itu kami mengutus wakil kami
untuk membantumu. Terimalah ia sebagai anugerah dari kami. Besok pagi, saat
matahari telah terbit di atas cakrawala, utusan itu akan tiba. Sambutlah ia
seperti kau seharusnya menyambut kami,” kata suara dari dalam api biru itu.
“Te—terima kasih, Yang
Maha Agung! Terima kasih!” seru Edward tanpa henti. Sementara ia berkata
demikian, sinar keemasan kembali memancar menyilaukan dan memenuhi mata sang
raja. Saat ia sadar, sang raja telah berada di luar pintu raksasa. Sulur-sulur
emas yang terukir di pintu itu masih sama seperti sebelumnya, seakan pintu itu
tidak pernah terbuka sama sekali.
***
Menunggu matahari
terbit tidak membuat Edward mampu memejamkan matanya sedetik pun. Ia berjalan
hilir mudik di dalam kamarnya dengan tidak tenang. Bahkan permaisuri yang
membujuknya untuk tidur pun tidak mampu membuatnya tenang. Tubuh tuanya tampak
semakin kurus. Wajahnya yang telah mulai mengering kini dihiasi kantung mata
yang mulai menghitam. Janggut yang yang telah memutih berkali-kali ia elus demi
menenangkan dirinya sendiri. Tetapi itupun tidak berguna.
“Siapa yang akan
dikirimkan oleh mereka? Apa yang akan dilakukannya?” berkali-kali sang raja
mengulangi perkataan itu. Dan akhirnya matahari pun menyingsing. Langit gelap
mulai berganti dengan cahaya kemerahan yang mulai naik dari arah laut. Entah
mendapat kekuatan dari mana, Edward sang raja berlari kencang meninggalkan
kamarnya. Ia tidak tahu harus berlari ke mana, namun kakinya seolah membawanya
ke lapangan utama istana. Ia berdiri di tengah lapangan itu, mendongak ke
langit, dan melihat sebuah bintang aneh yang tampak tidak berkedip. Bintang
berwarna keemasan itu semakin lama semakin besar dan terlihat, hingga akhirnya
ia tahu bahwa bintang itu adalah sebuah benda berbentuk seperti kristal bunga
es. Edward segera jatuh tersungkur dengan wajahnya hingga ke tanah. Sang utusan
yang agung telah datang padanya.
Benda berwarna emas
itu turun perlahan hingga nyaris menyentuh tanah lapangan yang ditutupi cobblestone. Bentuknya pipih dan tampak
sangat indah, dengan tiap sisinya yang membentuk wujud kristal bunga es terbuat
dari emas murni yang berkilauan saat disinari matahari pagi. Bagian tengah
benda itu adalah kaca berbentuk segi enam dengan warna biru laut. Kaca itu
setinggi manusia biasa, dan di dalamnya tampak siluet seperti sosok seorang
manusia yang sedang duduk.
Edward memberanikan
mengangkat mukanya. Sosok di dalam kaca di tengah benda di depannya tampak
berdiri. Sosok itu melangkah ke depan. Secara perlahan tubuh sosok itu
melangkah keluar dari dalam kaca, membuat kaca itu beriak bagaikan tirai air.
Dan akhirnya sosok itu berdiri tepat di depan sosok Edward yang terpesona
menatapnya.
Sosok itu adalah
seorang pria dengan iris mata berwarna merah, rambut pendek berwarna emas,
kulit sehalus pualam, dan wajah tampan bagaikan patung pahatan Yunani. Sorot matanya
penuh dengan keangkuhan. Ketampanan dan keangkuhan yang sangat khas dari
seorang Advano. Pakaian yang digunakan sang Advano adalah jubah berwarna putih.
Sekilas sosoknya tak jauh beda dengan manusia biasa, selain ketampanan dan
kesempurnaan fisiknya yang di atas manusia rata-rata. Ia juga tidak memiliki
sayap di punggung, yang seperti Edward sering lihat di lukisan fresco di dalam istana. Untuk pertama
kalinya sang raja melihat seorang Advano tanpa sayap sepertinya.
Sang Advano melirik ke
arah sang raja tanpa menggerakkan kepalanya sama sekali. “Sampai berapa lama
kau akan seperti itu, Manusia?” kata sang Advano.
Dengan gelagapan
Edward kembali berdiri. Ia berkali-kali membungkuk pada sang utusan. “Ma—maafkan
hamba, Yang Mulia. Hamba tidak membuat penyambutan yang layak untuk Anda,”
jawab sang raja gugup.
“Kau pikir penyambutan
oleh manusia sepertimu cukup layak untukku, Manusia? Kau pikir aku ini siapa?” kata sang utusan dengan dingin yang seakan membekukan sumsum tulang belakang yang mendengarnya.
Edward tersentak. Ia
menunduk tidak berani melihat pada sang utusan. “Hamba tidak layak, Yang Mulia.
Maafkan hamba yang lancang,” kata Edward.
Sang utusan tersenyum
puas. “Manusia memang harus seperti itu. Kalian harus ingat mengapa kalian
masih bisa bertahan hidup saat ini.”
“Hamba mengerti, Yang
Mulia.”
Sang utusan menoleh ke
kanan. “Mereka telah ada di selatan? Sangat menarik.”
“Yang Mulia memang
luar biasa mengetahui hal itu,” kata Edward kagum.
“Aku tidak bisa
mengandalkan manusia sepertimu, karena itu aku mengirim seorang prajurit
rendahanku kemarin dan melihat sendiri keadaan Faux Ciel ini,” balas sang
Advano dengan dingin.
Edward tak berani
berkata-kata lagi. Ia hanya berdiri membungkuk pada sang Advano yang namanya
tidak ia ketahui itu.
“Siapkan pasukanmu,
Manusia. Saatnya membunuh mereka semua,” kata sang Advano. Seketika di
punggungnya tampak sebuah sayap yang terbuat dari cahaya. “Bahkan Sang Kunci
tidak akan mampu bertahan melawanku, Makhaina Jerez,” lanjut sang Advano.
***
Apa yang dilihat Adam saat
ini terasa tidak asing. Langit biru yang membentang dengan laut dan tanah
berada di bawah kakinya. Burung-burung camar yang terbang melayang dalam damai
di langit. Angin semilir bertiup lembut di sela-sela rambutnya. Matahari pagi
yang mulai beranjak dari timur. Semuanya tidak berbeda dengan mimpi yang sering
dilihatnya saat tidur. Semuanya, kecuali sesosok gadis berambut keemasan dan
bermata ungu yang berdiri di hadapannya saat ini.
Adam memandangi sosok
gadis itu dari kepala hingga ke rambut. Sosoknya tidak berbeda dengan gadis
remaja biasa. Rambutnya yang berombak dibiarkan tergerai hingga ke pinggang. Angin
yang berhembus memainkan rambutnya. Gadis itu tersenyum sambil memejamkan mata.
Ia menikmati aliran angin yang membelai wajahnya yang putih mulus bagaikan
pualam. Saat gadis itu membuka kembali matanya, entah mengapa Adam merasakan sebuah
kelegaan dalam hatinya. Seakan ia telah bertemu seseorang yang sangat
dirindukannya, seseorang yang telah lama tidak dilihatnya. Tapi siapa gadis itu
sehingga ia sangat lega pada saat melihatnya?
Tidak seperti
biasanya, Adam tidak memasang sikap siaga terhadap gadis berambut keemasan itu.
Padahal biasanya ia akan mencurigai siapapun yang mendekatinya, apalagi orang
asing yang tidak pernah ia lihat dan kenal sebelumnya. Sikap itu bukanlah sikap
yang ia ingini. Kehidupan bagaikan di neraka yang senantiasa berteman cambuk,
pecut, dan pisau telah membuatnya terpaksa mengembangkan sikap defensif itu. Namun
di hadapan gadis yang senantiasa memancarkan aura kepolosan anak kecil ini
segala sikap defensif yang selama ini ia tunjukkan seakan runtuh. Ia bahkan
tertarik mengetahui siapa gadis itu.
Seakan tahu apa yang
dipikirkan oleh Adam, gadis itu segera memperkenalkan dirinya.“Namaku Eva. Aku adalah
Sang Kunci. Saatnya sudah tiba, Adam,” kata gadis itu dengan senyum polosnya.
Adam tidak mengerti. Kunci?
Saat apa? “Apa maksudmu?” tanyanya bingung. Gadis di depannya tampak cemberut
mendengarkan pertanyaan itu.
“Kamu lupa, ya, pada
apa yang kukatakan kemarin?” tanyanya setengah merajuk.
Kemarin? Kapan aku pernah bertemu
dengannya?
Seakan mendengarkan
suara hati Adam sang gadis yang menyebut dirinya Eva itu menjawab, “Aku telah
berbicara dalam mimpimu semalam. Dan jika kamu bertanya apakah aku bisa
mendengarkan suara hatimu saat ini, akan kujawab iya. Sebelum kamu bertanya
lebih jauh akan kutunjukkan sesuatu,” katanya sambil menunjuk ke arah matahari
pagi di sebelah kanannya. Seketika cahaya matahari itu tampak sangat terang dan
menyilaukan.
Adam tak sempat
bertanya saat cahaya itu melingkupi dirinya dan membutakannya sesaat. Saat penglihatannya
telah kembali, yang dilihatnya bukan lagi pemandangan di dalam mimpinya,
melainkan sebuah rumah kecil yang nyaman di pinggir sebuah danau. Tanpa sadar
dan tanpa ia mengerti air matanya segera mengalir saat melihat rumah itu.
Gadis bernama Eva itu
menoleh dan merangkul tangan kanannya. “Adam, inilah masa lalumu yang hilang. Ayom
akan kutunjukkan sesuatu padamu,” kata gadis itu sambil menggandeng Adam pergi
mendekati rumah itu .
Langkah demi langkah
seakan membawa potongan-potongan kenangan yang tidak pernah ia bayangkan
sebelumnya. Perlahan tapi pasti pecahan-pecahan itu menutupi kekosongan
jiwanya. Adam yang awalnya hanya melangkah karena ditarik oleh gadis itu
akhirnya berlari sendiri ke arah rumah itu. Sesuatu dalam dirinya berkata
inilah jawaban dari semua pertanyaannya. Ia tidak akan berhenti sampai ia
mengetahui semuanya.
[Jumlah kata: 2250]
[Jumlah kata: 2250]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar