“Darimana kau tahu
tentang Sang Kunci?”
Sorot mata Lambert
menatap tajam pada Adam yang duduk di depannya. Ia telah menyarungkan kembali
pistolnya. Awalnya ia tidak mempercayai Adam, namun Sierra yang ikut mendatangi
kamar pria itu karena kegaduhan yang dibuatnya meyakinkan dirinya bahwa Adam
adalah orang yang tidak berbahaya. Dan kini mereka bertiga berada dalam ruangan
itu, dengan Sierra yang berdiri di samping Eva yang tertidur di ranjang Adam,
dan kedua pria itu yang duduk saling berhadapan.
“Eva sendiri yang
menyebut dirinya seperti itu. Gadis itu mendatangiku tiba-tiba dan menunjukan
padaku penglihatan tentang masa laluku sendiri. Katanya aku yang memberikan
nama Eva padanya enam belas tahun lalu,” kata Adam.
Lambert terkesiap.
Tatapannya semakin tajam pada Adam. “Kau berbohong! Eva tidak pernah terbangun
sebelumnya! Dia bahkan tidak pernah keluar dari tabung tempatnya berada sejak lahir.
Bagaimana mungkin kau pernah bertemu dengannya!” seru Lambert. Pria itu
menghentakkan kakinya dengan keras ke lantai kayu. Suara hentakan itu sampai
membuat Sierra kaget.
Adam mendehem pelan.
“Kumohon kita jangan mengganggu tuan rumah di sini,” katanya dengan suara
pelan.
Lambert menghela napas
dan menatap Sierra yang terlihat sedikit takut karena mendengarkan suara keras
yang ditimbulkannya. “Maaf, Nona Sierra. Aku tidak bermaksud mengganggumu,”
katanya setelah tenang.
“Ah, tidak apa-apa.
Aku hanya sedikit kaget tadi,” kata Sierra sungkan. Ia tidak tahu apa yang sedang
terjadi saat ini, tetapi ia merasa apapun itu pastilah sesuatu yang penting
atau mungkin rahasia. Lambert bahkan memintanya masuk ke dalam ruangan itu dan
menguncinya dari dalam.
“Baiklah. Akan kuperlihatkan
sesuatu padamu sebagai bukti gadis itu tadi berada di sini,” kata Adam. Ia mengulurkan
lengan kirinya yang tersibak pada Lambert. Lambert melihatnya dengan tatapan
bingung. Ia tidak tahu apa yang ingin disampaikan pria di hadapannya itu.
“Lenganmu tampak
normal dan berotot. Itukah yang ingin kau tunjukkan?” kata Lambert dengan alis
kanan terangkat.
“Sierra, apa yang ada
di tangan kiriku?” tanya Adam pada Sierra yang berada di belakangnya.
Gadis itu berjalan ke arahnya. “Eh? Bukannya
di tangan kirimu ada simbol itu? Eh?!” kata Sierra Ia tidak percaya saat
melihat tangan kiri Adam. Ia masih ingat kemarin terbangun karena Adam
mengerang kesakitan. Ia juga masih ingat dengan sangat bagamana ngerinya simbol
sulur hitam di tangan kiri Adam membuat luka parah tangan itu. Ia ingat betapa
ia harus berhati-hati membersihkan luka-luka itu agar tidak membuatnya lebih
menderita. Tetapi yang dilihatnya sekarang adalah sebuah lengan kiri yang
bersih tanpa luka dan tanpa sulur apapun. Segalanya tampak normal, seolah
memang tidak pernah ada apa-apa di lengan itu.
Lambert melihat ekspresi
gadis itu dengan heran. “Ada apa, Nona Sierra?” tanya Lambert.
“Eh…,” Sierra menoleh
sejenak pada Adam. Ia ragu apakah harus memberitahukan tentang lambang budak
itu pada Lambert. Tetapi Adam mengangguk padanya dengan mantap. Sierra menghela
napasnya. “Baiklah jika itu maumu, Adam. Tuan Lambert, di tangan Adam
seharusnya ada simbol berupa sulur hitam yang menjalar hingga nyaris menyentuh
pundaknya. Saya masih ingat benar bentuknya karena simbol itu membuatnya
terluka parah kemarin. Saya sendiri yang merawat luka-luka itu,” jelas Sierra.
Lambert melipat kedua
tangannya. Ia tahu simbol itu, karena dulu ia juga pernah memiliki simbol yang
sama. Simbol yang dikatakan oleh Sierra adalah simbol seorang budak. Pantas
saja gadis itu merasa ragu untuk mengatakannya. Siapapun akan malu bila
statusnya sebagai budak diungkap begitu saja. Ia memutuskan untuk mencoba
mempercayai pria itu. “Kalau benar kau dulu memiliki simbol itu, berarti kau pernah berurusan dengan
Adventa. Aku menganggap kau bukan bagian dari mereka. Benar?” tanyanya memastikan.
“Aku tidak akan pernah
berpihak pada orang-orang yang menghancurkan hidupku!” seru Adam dengan keras.
Secara spontan Sierra menyentuh punggungnya untuk menenangkan kemarahannya.
Adam menaggapinya dengan menundukkan kepalanya. Ia menurunkan tangan kirinya secara
perlahan. Tetapi tangan itu masih terkepal dengan keras.
“Tenanglah, Adam.
Semuanya sudah aman sekarang,” bisik Sierra sambil meremas pelan pundak pria
itu. Ia tidak tahu bagaimana bisa tanda kutukan di tangan kiri Adam menghilang
begitu saja, tetapi ia tetap gembira mengetahui pria itu telah bebas dari tanda
itu.
“Musuh dari musuh
adalah teman. Begitulah yang dikatakan oleh ayahku. Jika kau membenci Adventa,
berarti kau sama denganku,” kata Lambert. Ia melihat Adam dan Sierra
bergantian. Semakin lama keduanya tampak seperti sepasang kekasih. “Lagipula
Nona Sierra mempercayaimu seperti ini. Aku tidak bisa mengatakan apa-apa lagi,”
katanya sambil tersenyum pada Sierra. Gadis itu segera sadar apa yang berada
dalam pikiran pria itu. Ia segera melepaskan tangannya dari pundak Adam. Tetapi
wajahnya sudah terlanjur memerah karena malu.
Lambert tersenyum
simpul. “Maafkan aku, Adam. Aku harus selalu mencurigai siapapun yang berada di
sekitarku. Di manapun di Dunia Baru ini selalu saja ada anjing-anjing dari
kerajaan Adventa yang mengejarku,” katanya.
“Asalkan kau tidak
menodongku dengan senjata lagi!” kata Adam.
“Aku tidak akan
menodongkan senjata lagi,” kata Lambert. “Dan aku akan menjelaskan segalanya
padamu. Tapi sebelumnya aku ingin bertanya padamu, apakah Eva menyebut sesuatu tentang
Sang Pembuka Pintu?”
“Seingatku tidak. Dia
hanya mengatakan aku harus bertanya padamu jika ingin tahu siapa dirinya. Jadi
sekarang jelaskan padaku,” jawab Adam.
Lambert terdiam
sesaat. “Baiklah. Tetapi setelah ini kalian akan tidak akan menganggap dunia
ini sama seperti sebelumnya. Semua yang kalian ketahui akan terguncang dan
hancur. Apa kalian masih ingin mendengarnya?” tanya Lambert serius.
“Duniaku sudah sejak
dulu terguncang dan hancur. Goyangan kecil tidak akan membuatku lebih hancur
lagi,” kata Adam mantap.
“Aku penasaran.
Lagipula aku sudah terlibat sejak awal, bukan?” kata Sierra.
Lambert
mengangguk-angguk. Ia cukup senang pada kemantapan hati keduanya. Sekarang
gilirannya membuka mata keduanya untuk melihat kebenaran dunia yang mereka
diami itu.
***
Adam dan Sierra masih
menunggu Lambert berbicara. Dan secara tiba-tiba pria itu berbicara dengan
cepat dan panjang, menjelaskan semua yang diketahuinya.
“Kalian mungkin pernah
mendengar tentang asal usul Dunia Baru ini. Bahwa dunia ini adalah hadiah dari
para makhluk suci pada manusia yang nyaris binasa dalam keputusasaan mereka.
Bahwa semua yang berada di dalam dunia ini akan terus mereka lindungi, karena
mereka adalah wakil dari Sang Pencipta. Dan mereka melindungi manusia dalam
naungan mereka.
“Tetapi tahukah kalian
apa yang sebenarnya terjadi? Dunia ini bukan sebuah dunia ideal seperti yang
dibayangkan manusia. Ini bahkan bukan surga! Awalnya manusia tidak masalah
dengan ditempatkan dalam dunia buatan ini. Tetapi lama kelamaan maksud dan tujuan
para makhluk itu terungkap juga. Mereka hanya ingin mengendalikan kebebasan
manusia. Bagi mereka, manusia adalah makhluk berbahaya yang bisa menghancurkan
apapun bila diberikan kebebasan. Karena itu mereka mengurung kebebasan itu di
dalam dunia ini. Manusia pun akhirnya menyebut dunia ini dengan nama Faux Ciel.
Surga Palsu.
“Manusia melawan
dengan teknologi mereka yang sangat kalah jauh dengan apa yang dimiliki oleh
makhluk-makhluk penipu itu. Dan tujuh ratus tujuh puluh tujuh tahun lalu
manusia akhirnya kalah telak. Semua teknologi mereka yang dianggap berbahaya dihancurkan.
Manusia dilarang membuat dan mengembangkan teknologi mereka kembali. Yang
melanggar akan dihukum mati dengan petir dari langit. Saat itulah Kerajaan
Adventa mulai berdiri. Mereka menyatakan diri sebagai manusia yang tunduk pada
makhluk-makhluk itu, yang mereka panggil dengan nama Advano. Mereka memuja para
Advano, dan sebagai gantinya mereka diberikan teknologi di atas bangsa lain.
Hanya mereka yang boleh memakai teknologi maju itu. Sejak saat itu pula
kerajaan itu mulai melakukan penaklukannya ke berbagai wilayah di dunia ini,”
kata Lambert. Ia menatap sejenak pada Adam dan Sierra. Tatapan mereka
menunjukkan dengan jelas mereka lebih pada kebingungan daripada terkejut.
“Ceritaku terlalu
panjang?” tanya Lambert.
Sierra mengangguk
pelan. Adam melipat tangannya. “Kau bahkan belum menjelaskan tentang Eva,” kata
pria itu dengan nada sangsi.
“Aku baru saja mulai.
Asal kau tahu saja, Faux Ciel bukanlah dunia yang stabil. Dunia ini hanya
tempat persinggahan. Dan manusia di masa lalu telah mengetahuinya. Dunia ini
hanya akan bertahan selama seribu tahun. Apa kalian tahu apa yang akan terjadi
setelah lewat seribu tahun di dunia ini?”
Adam dan Sierra hanya
terdiam. Mereka menunggu kelanjutan kata-kata dari pria di depan mereka itu.
“Setelah seribu tahun,
dunia ini akan hancur dan musnah. Demikian pula dengan semua isinya. Seluruh
dunia akan direkonstruksi menjadi dunia baru. Hanya sedikit manusia yang akan
diselamatkan untuk masuk ke dunia yang baru itu. Para Advano sengaja
menempatkan manusia di dalam dunia sementara ini dengan tujuan memilah-milah
siapa yang sepenuhnya patuh pada mereka. Itu semua demi menghilangkan apa yang
mereka anggap berbahaya pada manusia: kebebasan berpikirnya.
“Ayahku dahulu adalah
orang yang berasal dari Adventa. Ayah mengetahui masa seribu tahun akan segera
tiba. Awalnya ia tidak masalah akan hal itu. Ia berpikir akan lebih baik lagi
kalau manusia bisa pergi ke dunia yang lebih baik. Namun suatu waktu ia
mendengarkan para pelayan di kuil Advano berkata bahwa hanya para pelayan di
kuil Advano dan keluarga kerajaan Adventa saja yang akan diselamatkan.
Sedangkan semua manusia yang lain akan dibiarkan hancur begitu saja. Sejak saat
itu ayahku mulai mempelajari sejarah Dunia Baru ini dengan diam-diam. Ayahku akhirnya
mengetahui apa itu Faux Ciel dan juga tentang Sang Kunci dan Pintu Dunia Baru.
Siapapun yang memegang Kunci akan memegang kendali terhadap Pintu. Siapa yang
mengendalikan Pintu bisa memutuskan untuk menyelamatkan siapapun yang
diingininya. Dan siapapun yang dipilih oleh Kunci itu sendiri akan menjadi
Pembuka Pintu, orang yang mengendalikan Pintu Dunia Baru.” kata Lambert.
“Dan Eva adalah Sang
Kunci? Bagaimana bisa gadis biasa sepertinya menjadi kunci pembuka dunia ini?”
tanya Adam.
“Eva sebenarnya bukan
gadis biasa. Apakah kau pernah bertemu dengan para Advano? Mereka adalah
makhluk dengan sayap dari cahaya, berambut keemasan, dan mata merah seperti
batu rubi. Mereka adalah gabungan dari keanggunan patung-patung pahatan dari
pualam sekaligus perwujudan kengerian yang dapat dibayangkan oleh manusia. Aku
menganggap kau telah melihat wajah Eva, maka seharusnya kau bisa menemukan
ciri-ciri itu padanya,” kata Lambert.
Adam terkesiap. Ia teringat
kembali pada makhluk yang muncul dari benda asing yang telah membunuh kedua
orang tuanya. Ia masih mengingat kengerian yang dirasakannya saat sepasang mata
merah menatapnya dengan dingin. Badannya bergetar ketakutan.
“Eva adalah bagian
dari mereka katamu?” kata Adam.
Lambert terdiam sesaat.
“Bisa dikatakan demikian, tapi bisa dikatakan juga tidak. Dia terlahir dari
seorang wanita biasa yang mengandung seorang anak yang memiliki gen Advano.
Tetapi Advano sendiri terlalu angkuh untuk menyentuh manusia. Mereka mengambil
wanita itu dan menyuntikkan gen mereka ke dalam rahimnya. Di dalam gen itulah
terdapat Kunci yang bisa membuka Pintu Dunia. Wanita itu pun hamil dan akhirnya
meninggal saat melahirkan. Ayahku segera membawanya lari dan menyembunyikannya
di dalam sebuah tabung yang berisi Panacea. Hanya dengan cara inilah gadis itu
tidak akan dideteksi oleh Advano ataupun pihak Adventa,” katanya.
“Panacea? Maksud Anda
cairan berwarna emas yang Anda tuangkan ke sumber air kota ini waktu itu?”
tanya Sierra.
“Ya. Panacea adalah
cairan yang bisa menyembuhkan luka atau sakit macam apapun. Tetapi jika ada sesuatu
dimasukkan ke dalamnya, bahkan para Advano dan kehebatannya sekalipun tidak
akan mampu mendeteksinya. Dan lagi manusia tidak akan mati bila masuk ke dalam
cairan itu,” jelas Lambert.
“Kalau begitu
sebenarnya Eva bukan seorang Advano sejati, tetapi manusia yang dijadikan sama
seperti Advano? Apa alasannya?” tanya Sierra.
“Pintu Dunia adalah
kunci dari rekonstruksi dunia ini. Menurut yang dibaca oleh ayahku, kode
pembuka pintu itu adalah gen yang dimiliki oleh seorang Advano tua saat itu –
sang pencipta Faux Ciel sendiri – dan juga gen dari tujuh orang terpilih yang
merupakan wakil dari manusia. Enam dari tujuh wakil manusia itu dimiliki oleh
keluarga Adventa secara turun temurun, karena merekalah keturunan langsung
kelima orang itu. Sedangkan wanita yang mengandung Eva merupakan keturunan wakil
yang tersisa. Gen dari Advano yang ditanamkan ke dalam rahim wanita itu berasal
dari satu-satunya Advano yang melakukan sumpah saat itu,” jawab Lambert.
“Apa yang akan terjadi
bila Advano mendapatkan Eva? Apa yang akan terjadi padanya bila pintu itu telah
terbuka?” tanya Adam. Mengetahui Eva bukanlah Advano murni membuatnya sedikit
lega. Setidaknya ia tidak perlu membenci gadis itu.
“Aku sendiri tidak
bisa membayangkan apa yang terjadi pada saat mereka menguasai Eva. Juga setelah
pintu itu terbuka. Tetapi ayahku yakin Advano tidak bisa membuka pintu itu
meski mereka memiliki Eva. Di dalam diri gadis itu terdapat gen Advano yang
terlalu kuat. Untuk itu dibutuhkan manusia lain yang memiliki gen manusia yang
diwakili oleh seseorang. Kerajaan Adventa menyebutnya sebagai Sang Pembuka
Pintu. Awalnya orang itu direncanakan berasal dari pihak kerajaan, tetapi
dengan tindakan ayahku yang membawa lari Eva, tidak ada satupun yang tahu siapa
yang akan menjadi Sang Pembuka Pintu. Siapapun yang dipilihnya akan menjadi
Sang Pembuka Pintu. Dan sepertinya orang itu adalah dirimu,” kata Lambert pada
Adam.
“Jika aku menolak
membuka pintu itu?”
“Itu hakmu. Kaulah
yang bisa mengendalikan gadis itu. Oh, ya! Aku ingat sekarang. Saat anak itu
lahir, ayahku berkata nama gadis itu adalah Eva. Katanya itu adalah nama yang
disampaikan gadis itu sendiri. Aku tidak tahu apa itu membantumu atau tidak,”
jawab Lambert.
“Aku bertemu pertama
kali dengan Eva enam belas tahun lalu. Dan saat itu dia terlihat seperti sudah
berusia enam tahun. Bagaimana mungkin umurnya baru berusia enam belas tahun?”
tanya Adam.
“Ada banyak hal yang
kami sendiri belum tahu. Dunia ini sendiri memiliki banyak misteri yang belum
terungkap. Apa yang kau lihat mungkin adalah wujud Eva yang sebenarnya. Sosok
Sang Kunci itu sendiri. Dan kenyataan kaulah orang yang dipilihnya untuk
melihat sosok itu membuktikan kau adalah Sang Pembuka Pintu,” jawab Lambert.
Adam memegangi
kepalanya yang terasa pusing. Terlalu banyak informasi yang memenuhi kepalanya.
“Jangan harapkan aku untuk langsung mempercayai hal ini. Maaf, kepalaku sakit.
Aku mau kembali istirahat,” kata Adam.
Lambert beranjak dari
kursinya. “Baiklah. Aku akan membawanya sekarang,” kata Lambert. Ia baru saja akan
mengangkat gadis itu saat ia melihat wajah gadis itu tiba-tiba merengut dalam
tidurnya. Ia seperti anak kecil yang tidak suka bila tidurnya terganggu.
“Eh? Eva sepertinya
tidak mau dipindahkan dari ranjangmu ini,” kata Lambert.
Adam mendecak. Ia
berjalan menuju gadis itu dan mengangkatnya. Wajah tidur gadis itu tampak
terkejut, namun hanya orang yang benar-benar memperhatikan saja yang bisa
melihat itu. “Eva, ini kamarku. Kau tidur saja di sebelah,” katanya. Ia melihat
pada Sierra. “Bisa menjaga anak ini? Mungkin dia tidak suka tinggal dengan
orang menyeramkan ini,” katanya sambir melirik pada Lambert.
Lambert yang mengerti
dirinya disinggung hanya bisa mendehem. Meski demikian Adam tidak peduli. Ia
memang bertujuan menyinggung pria itu dengan terang-terangan. Sierra yang
melihat hal itu hanya bisa menghela napas. “Baiklah, baiklah. Eva bisa tidur di
kamarku,” kata Sierra sambil tersenyum.
***
Adam mengikuti Sierra.
Memasuki kamar gadis itu mengingatkannya dengan rumah gadis itu dahulu. Udara
di dalam kamar itu dipenuhi bau ragi harum. Ia mengitarkan pandangannya ke
seluruh ruangan itu. Celemek disusun dengan rapi di dinding. Berbagai gambar
roti dan juga foto-fotonya dengan para pelanggan memenuhi sisi dinding lainnya.
Tetapi sebuah foto di meja kecil di samping ranjang itu adalah yang paling
menarik perhatiannya.
“Kau masih menyimpan
foto ini?” tanya Adam. Di dalam foto yang dibingkai dengan pigura kayu itu
terdapat sepasang suami istri dengan dua orang anak kecil di depan mereka.
Seorang anak laki-laki berambut hitam dan gadis kecil berambut ekor kuda yang
memegangi tangan anak laki-laki itu dari belakang. “Jika melihatmu di dalam
foto ini aku masih tidak bisa percaya kau mampu menggerakkan seluruh tempat
ini,” kata Adam. Sebuah senyuman usil menghiasi wajahnya. “Si Tukang Menangis
sekarang sudah jadi Nona Besar, ya?”
Stella yang tahu
dirinya sedang digoda segera memasang muka cemberutnya. “Iya, iya! Aku anak
yang cengeng dan manja!” katanya.
Adam tertawa kecil. Ia
menjulurkan tangannya ke kepala Sierra dan mengacak-acak rambut gadis itu.
Sierra yang kesal mencoba melepaskan diri dari kejahilan tangannya, tetapi
tangan Adam terlalu lincah dan kuat untuk dilawan. Setelah cukup puas
mengacak-acak rambut gadis itu barulah Adam berhenti.
“Adam jahat!” seru
Sierra sambil merapikan rambutnya kembali. Wajahnya kembali memerah karena
kesal bercampur malu.
“Kalau semua anak
buahmu mendengarmu sekarang mereka akan segera menertawakanmu,” kata Adam.
Kata-kata itu memang sering dikatakan Sierra bila ia diganggu oleh Adam sewaktu
ia masih kecil. Tetapi bila itu dikatakan oleh seorang gadis berusia dua puluh satu
tahun, maka itu pasti terdengar sangat lucu.
“Berisik!” seru
Sierra. Ia mendorong punggung Adam keluar dari kamarnya. Adam hanya pasrah
‘diusir’ keluar dari kamar itu.
“Selamat malam,
Sierra,” kata Adam.
“Kamu masih ingat
kebiasaan ayahku rupanya,” kata Sierra sambil tersenyum. Dahulu ayahnyalah yang
sering menyapanya seperti itu sebelum ia tidur.
“Aku hidup di rumah
kalian selama empat tahun. Mana mungkin aku melupakan kebiasaan kalian?” kata
Adam.
“Terima kasih,” kata
Sierra.
“Aku juga,” kata Adam.
Ia menutup pintunya dan segera menjatuhkan dirinya ke kasur. Kepalanya terlalu
berat dengan banyaknya hal yang diungkapkan. Tetapi apapun itu, sulur-sulur
yang menjadi kutukan untuknya itu telah hilang. Adam mengangkat tangan kirinya
dan tersenyum. Bagaimanapun ia tidak bisa membenci orang yang telah menolongnya
itu.
Setelah Adam mengunci
pintunya barulah Sierra menutup pintu kamarnya. Ia melihat gadis yang tertidur
di ranjangnya. “Kamu adalah gadis pertama yang ditemuinya, ya?” tanya Sierra
dengan berbisik. Ia tidak berharap untuk mendapatkan jawaban dari gadis itu,
tetapi entah mengapa ia seperti mendengar suara gadis itu yang berkata, “Tetapi
yang dipilihnya adalah dirimu.”
Sierra menggelengkan
kepalanya. “Mana mungkin gadis ini berbicara tanpa menggerakkan bibirnya? Lagipula
dia, kan, sedang tertidur. Aku pasti sudah terlalu lelah sampai mengkhayalkan
hal seperti itu,” katanya. Ia berganti pakaian ke pakaian tidur dan beranjak ke
ranjang itu. Gadis bernama Eva itu tidur berdekatan dengan dinding, sedangkan
dirinya tidur di sisi luarnya. Ia menghela napasnya dan berusaha meredam
berbagai pikiran, juga perasaan-perasaannya. Termasuk kecemburuan yang mulai
muncul di dalam hatinya.
[Jumlah kata: 2806]
[Jumlah kata: 2806]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar