Rumah itu tampak
sederhana. Dinding bangunannya tersusun dari bilah-bilah papan, dengan atap
yang juga dibuat dari papan yang disusun berundak-undak. Rumah itu mengambil
gaya Medieval seperti umumnya rumah di
Dunia Baru. Hanya beberapa bagian dari rumah itu yang dibuat dari batu. Salah
satunya adalah cerobong asap yang mengepul di belakang rumah itu.
Rumah itu berdiri di
sisi sebuah danau. Pintu belakangnya berhadapan langsung dengan tepian danau. Sebuah
perahu kecil tampak tertambat di belakangnya. Jala dan pancing tersusun rapi di
belakang rumah itu, bersebelahan dengan kapak yang tertancap di sebuah batang
kayu tua.
Danau itu sendiri cukup
luas. Danau itu dikelilingi perbukitan dengan hutan pinus yang hidup di
atasnya. Sebuah sungai tampak mengalir menuju danau itu. Dari danau itu
terdapat dua buah sungai kecil yang mengalir ke dataran rendah, salah satunya mengalir
di dekat rumah bergaya medieval itu.
Adam menyapu
seluruhnya dengan matanya. Semua pemandangan itu membangkitkan kerinduan di
dalam hati Adam. Ia sendiri tidak tahu apa yang terjadi, tetapi semua yang
dilihatnya itu tampak tidak asing. Ia seperti pernah berada di rumah itu,
bermain dengan peralatan pancing dan jala itu, dan juga tenggelam saat berada
di sungai yang tak jauh dari rumah itu. Ia merasa sangat dekat dengan rumah
itu, seakan ia pernah terikat secara emosional dengan bangunan itu. Tetapi
sekuat apapun ia berusaha mengingatnya, ia tetap tidak bisa menghubungkan
dirinya dengan semua yang dilihatnya.
Saat ia masih berusaha
mengingat apa saja yang bisa menghubungkannya dengan semua pemandangan yang
dilihatnya sekarang, ia merasakan sebuah tangan merangkul tangan kanannya. Adam
tersadar ia tidak sendirian di tempat yang terasa teduh itu. Ia menoleh ke sosok
yang merangkul tangannya. Seorang gadis berambut keemasan sedang menatapnya
dengan polos dan tersenyum manis. “Adam, inilah masa lalumu yang hilang. Ayo
akan kutunjukkan sesuatu padamu,” kata gadis itu.
Ia merasakan tangannya
ditarik oleh gadis itu. Awalnya ia merasa terpaksa mengikutinya, tetapi entah
mengapa di tiap langkahnya ada sebuah bayangan-bayangan peristiwa yang melintas
di dalam kepalanya. Semakin lama semakin banyak bayangan yang melintas hingga
akhirnya membentuk sebuah peristiwa yang memicu ingatannya. Meski demikianpun
ia masih belum tahu apakah itu adalah ingatannya yang hilang atau sebuah mimpi
lain yang terasa nyata. Apapun itu, Adam tahu di setiap langkahnya secara
perlahan lubang kosong di dalam hatinya mulai tertutup. Pada akhirnya ia
melepaskan tangannya dari rangkulan gadis itu dan berlari menuju rumah di
depannya. Ia berlari bagaikan anak kecil yang pulang kembali ke rumahnya
setelah lelah bermain.
Perlahan tapi pasti
rumah itu makin terasa familiar bagi Adam. Ia mempercepat larinya hingga
akhirnya tiba di depan pintu rumah itu. Ia mengetuknya, tanpa peduli tinggi
pintu itu kini terlihat lebih tinggi darinya. “Ibu, aku pulang,” katanya. Kata-kata
itu seakan keluar begitu saja dari mulutnya tanpa ia sadari. Ia mengetuk sekali
lagi. Kali ini ia mendengar seorang wanita yang berbicara dari balik pintu itu.
Kerinduan dalam hatinya semakin meluap-luap. Saat pintu itu terbuka, sesosok
wanita bermata biru lembut menyambutnya dengan tangan terbuka. Rambutnya yang
hitam bergelombang tampak sedikit kumal. Wanita itu tampak sangat anggun di
mata Adam, meski ia hanya berpakaian biasa dan memakai celemek yang sudah
sedikit usang. Bau roti bagel lezat tercium dari celemek itu. Adam segera
menghambur ke dalam pelukannya, menghirup bau roti bagel dan kehangatan yang
sepertinya telah sangat lama tidak dirasakannya.
“Ibu kira kamu masih
membantu Ayah di sungai, Adam,” kata wanita itu.
Ibu? Apa yang wanita ini katakan?
“Ayah menyuruhku
pulang dan menyerahkan ini pada ibu.” Lagi-lagi ia berbicara tanpa sadar.
Tangan kanannya memegang sebuah keranjang berisi ikan yang kemudian diberinya
pada wanita itu. Wanita itu mengelus rambutnya dan tersenyum.
Apa yang kukatakan? Aku tidak bisa
mengendalikan tubuhku sendiri?
“Dengan ini kita bisa
membuat makanan yang lezat untuk makan malam nanti,” kata wanita itu. “Malam
ini akan menjadi perayaan ulang tahunmu yang kedelapan. Sebentar lagi kamu akan
menjadi pemuda yang tampan. Ibu tak sabar menunggu,” lanjut wanita itu sambil
mencium lembut keningnya.
Kerinduan dalam hari
Adam akhirnya tumpah menjadi air mata. Saat dilihatnya sosok wanita itu kembali
memasuki dapur, ia mulai mengerti apa yang sedang terjadi.
“Kamu terlalu
bersemangat sampai tidak mendengarkanku, ya? Aku tadi bilang tunggu, kan?”
Suara seorang gadis remaja
menyadarkan Adam kembali. Air matanya seketika berhenti, namun rasa rindu itu
masih tetap ada. Ia menoleh ke belakang. Gadis berambut emas yang bersamanya
tampak kesal karena ditinggalkan. “Apa yang telah kau lakukan padaku?” tanyanya
pada gadis itu.
“Sudah kukatakan,
bukan? Aku akan menjawab semua pertanyaanmu,” jawab gadis itu.
“Untuk apa? Apa
untungnya untukmu menunjukkan masa lalu ini padaku?”
“Percayalah. Apa yang
kulakukan ini tidak ada artinya dengan apa yang telah kamu lakukan padaku. Kamu
mungkin tidak menyadarinya karena ingatanmu sebelum berusia sepuluh tahun telah
hilang. Tetapi setelah ini kamu akan ingat segalanya,” kata gadis itu. Ia
menunjuk ke dalam rumah itu. Suasana siang yang tadi berada di sekelilingnya
berganti menjadi malam. “Ayo kita masuk,” kata gadis itu.
“Tapi…”
“Sudahlah. Toh ini
adalah ingatanmu. Tidak perlu merasa sungkan,” kata gadis itu sambil menarik
tangan Adam.
Berada di dalam rumah
itu membuat Adam kembali menyadari sesuatu. Ia menyadari sesuatu yang penting
akan terjadi sebentar lagi. Namun ia masih belum bisa mengingatnya.
***
Suasana yang
dilihatnya kali ini adalah ruang makan yang sederhana. Sebuah meja kecil dan
tiga buah kursi yang mengelilinginya terdapat di tengah ruangan itu. Di atas
meja itu sudah terhidang beberapa potong roti bagel dan ikan bakar. Seorang
pria berusia tiga puluhan tampak duduk berhadapan dengan seorang anak kecil.
Rambut mereka sama-sama hitam. Senyum mereka sama. Raut muka mereka pun sama.
Pria itu memandangi anak di depannya dengan tatapan sayang, dan anak itu
tersenyum gembira. Saat itu seorang wanita, wanita yang dilihat oleh Adam
beberapa saat lali, tampak memasuki ruangan itu. Ia membawa sebuah kue tart
yang telah dihiasi lilin berbentuk angka delapan di atasnya. Anak kecil itu
langsung terlonjak gembira dari kursinya. Tawa hangat memenuhi ruangan itu,
membuat ruangan kecil itu terasa sangat hidup.
“Anak itu adalah
diriku, bukan?” kata Adam.
“Ya. Kamu waktu itu
manis sekali, lho?” kata Eva.
“Manis?”
“Lihat saja lanjutannya,”
jawab Eva.
Adam kembali melihat
pada tiga orang yang terdapat di tengah ruangan itu. Mereka tampak saling
berpegangan dan memejamkan mata. Sang ayah mengucapkan sesuatu dengan khusuk.
Sang ibu tampak larut di dalam suasana itu. Sedangkan sang anak merasa gembira
saat merasakan kehangatan kedua orang tuanya. Adam merasakan semua yang
dirasakan oleh anak itu. Ia seakan berada di sana, menatap hidangan-hidangan
lezat itu. Ia pun seakan bisa mendengarkan apa yang dipikirkan oleh anak itu.
Ayah, doanya dipercepat, dong? Aku lapar
sekali!
Adam tersenyum. Anak kecil, pikirnya.
“Amin!” kata sang
ayah. Ia melepaskan genggaman tangannya dan menepuk kedua belah telapak
tangannya sambil berkata, “Sekarang mari kita berlomba menghabiskan makanan ibu
yang lezat ini, Adam.”
Adam mengangguk
gembira. Dengan cepat ia menyambar sebuah roti bagel dan mengolesinya dengan
mentega. Dengan lahap ia memakan roti itu, bahkan sampai tersedak karena
terburu-buru. Ibunya dengan sigap menepuk-nepuk punggungnya, sedangkan sang
ayah memberikannnya segelas air putih.
“Ini akibatnya kalau
kalian makan terburu-buru!” kata sang ibu dengan nada khawatir.
“Yah, maaf, deh. Adam,
minum dulu. Kalau tersedak terus seperti ini nanti makanan yang di meja ayah
habiskan semua, lho?”
“Ayah!” seru sang ibu
sambil melotot pada sang ayah. Sang ayah hanya tertawa menanggapi tatapan
istrinya itu.
“Baik, baik. Ayah
tidak akan menggoda kalian lebih jauh lagi. Oh, ya! Ayah punya hadiah menarik
untuk Adam,” kata sang ayah. Ia segera beranjak dari kursinya dan keluar dari
ruangan itu. Adam memandangi sosok sang ayah dengan tatapan berbinar-binar. Ia
menunggu dengan tidak sabar apa yang akan diberikan padanya.
Aku berharap akan dapat alat pancingku sendiri.
Aku sudah tidak sabar memancing ikan besar di tengah danau!
“Tidak akan terjadi,
anak kecil,” kata Adam datar. Ada kesedihan memancar seketika di wajahnya.
“Apa kamu sudah
mengingatnya?” tanya Eva.
“Sedikit. Aku hanya tahu
sesuatu yang sangat menyedihkan akan terjadi sebentar lagi.”
“Apa kamu masih mau
melihatnya? Aku bisa menarikmu kembali ke luar kalau kamu mau.”
“Kau sudah menunjukkan
semua ini padaku, kan? Seharusnya kau sudah tahu aku tidak suka mengingat
kejadian ini. Dan sekarang kau bertanya setelah sejauh ini?” tanya Adam dingin.
“Ya, maaf, deh. Tapi
kupikir aku harus menunjukkan semua ini padamu,” jawab Eva.
“Kalau begitu biarkan
semuanya sampai selesai!” kata Adam.
Eva memonyongkan
bibirnya ke depan karena kesal dimarahi oleh Adam. “Ya terserah kalau begitu.
Aku menonton dari belakang saja,” katanya ketus. Ia melangkah menuju dinding
dan bersandar di sana. Adam masih berdiri di tempatnya, tepat di samping anak
kecil yang masih menanti-nantikan hadiahnya itu.
“Sudah saatnya,” kata
Adam. Air matanya kini kembali mengalir. Ditatapnya wajah wanita yang berada di
hadapannya, wajah sang ibu yang sempat ia lupakan. Sebentar lagi ia tidak akan
melihat wajah lembut itu. Senyum di matanya akan berganti dengan kengerian. Dan
di atas semuanya, Adam tahu segalanya tidak akan sama lagi setelah malam ini.
***
“Ibu, ada bintang jatuh,”
kata anak kecil itu.
“Mana, Nak?” tanya
sang ibu.
Anak itu menunjuk ke
arah jendela. Di luar jendela itu terhampar pemandangan malam yang penuh
bintang. Beberapa bintang itu tampak lebih terang dari yang lain. Dan bintang-bintang
itu bergerak dengan perlahan turun mendekati perbukitan. Anak kecil itu tampak
bersemangat melihat bintang itu, namun sang ibu malah menatap bintang-bintang itu
dengan mata yang membelalak. Tangannya segera merangkul anaknya dengan sangat erat
sedangkan matanya tak lepas dari bintang-bintang itu.
“Ibu, sesak,” kata
anak itu.
Tetapi sang ibu tidak
mengendurkan rangkulannya sedikitpun. Sang anak merasa aneh, mengapa ibunya
tiba-tiba bersikap seolah-olah ada bahaya yang mendekat. Anak itu melihat mata
ibunya. Mata ibunya nyaris tidak berkedip.
“Ibu?” tanya anak laki-laki
itu.
“Adam, kamu ingin
mendengarkan permintaan ibu yang terakhir kalinya?” tanya sang ibu.
Anak laki-laki itu mengangguk
dengan polosnya. Ibunya tersenyum. Ada air mata yang mengalir di mata indahnya.
Sang ibu memeluk erat tubuh anaknya, seolah tidak ingin melepaskannya. Saat itulah
sang ayah masuk dengan terburu-buru.
“Emilia, mereka
datang! Kita harus pergi dari tempat ini!” kata sang ayah. Ia berlari masuk ke
dalam ruang itu tanpa membawa apapun selain sebuah tas ransel di punggungnya. Anak
kecil itu menatap sang ayah. Ada kepanikan di wajah sang ayah.
“Aku mengerti,” kata
sang ibu. Ia menarik tangan anak kecil itu dan menyeretnya mengikuti suaminya
yang telah lebih dulu keluar melalui pintu belakang.
“Ibu, ada apa?” tanya
anak kecil itu bingung.
“Adam, ibu ingin
apapun yang terjadi pada ayah dan ibu nanti, jangan pernah berhenti. Jangan pernah
menoleh dan jangan pernah mencari tempat ini lagi! Mengerti?” kata sang ibu
tanpa mengendurkan genggaman tangannya.
Tiba-tiba saja sebuah ledakan
terjadi di depan mereka. Sang ibu segera merangkul Adam kecil dan melindunginya.
Ayahnya dengan sigap meraih sesuatu dari tas ranselnya. Adam tidak pernah
melihat benda itu sebelumnya, tetapi dari benda itu Adam melihat sebuah cahaya
berwarna putih yang memancar.
“Aku tidak tahu apakah
laser gun ini berguna menghadapi
mereka! Cepat! Kalian lari ke hutan!” seru sang ayah.
Tanpa menunggu waktu
sang ibu segera menggendong Adam kecil dan berlari dari tempat itu. Air matanya
mengalir semakin jelas. Ia tahu inilah saat terakhirnya bersama suaminya. Tetapi
ia memilih meninggalkan suaminya demi anak mereka.
Adam melihat sang ayah
dari balik punggung ibunya. Sang ayah mengarahkan benda aneh itu ke beberapa
arah, dan ledakan demi ledakan terus terjadi. Saat itulah Adam melihat sebuah
cahaya keemasan yang terpancar dari sebuah benda aneh berbentuk segi enam. Ayahnya
berkali-kali menembak benda itu, dan berkali-kali pula benda itu mengelak. Dari
dalam benda itu juga keluar cahaya yang sama yang mengarah pada ayahnya. Pria itu
berkali-kali menghindari cahaya itu. Semua yang terkena cahaya itu meledak
seketika. Saat itulah Adam kecil sadar ayahnya dalam bahaya. “Ayah!!” serunya. “Ibu,
ayah dalam bahaya! Kita harus menolong ayah!!” serunya pada sang ibu. Tetapi ibunya
tidak memelankan larinya. Malah ia berlari semakin kencang.
Adam kecil menoleh
pada ibunya. Ia ingin sekali meminta ibunya untuk berhenti, namun tak satupun
kata yang keluar dari mulutnya saat menatap wajah ibunya. Air mata telah
mengalir deras dari matanya yang memerah. Ibunya berusaha menahan tangisnya,
tetapi kesedihan itu terlalu kuat untuk ditahan.
Emilia terpaksa
meninggalkan suaminya demi menyelamatkan anak mereka. Ia terpaksa meninggalkan
pria yang sangat dicintainya demi menyelamatkan seorang pria lain yang mewarisi
eksistensi mereka. Seandainya mungkin ia ingin membawa mereka semua dalam
rangkulannya. Tetapi ia hanya dapat membawa Adam. “Adam, jangan menoleh ke
belakang. Kamu lupa apa yang ibu katakan tadi?” katanya pada anak yang berada
dalam gendongannya. Ia berusaha tegar dan tegas pada anaknya, tetapi tangisan
telah membuat suaranya parau dan bergetar.
“Adam ingat, Bu. Tapi —”
Jawaban Adam terputus saat sebuah teriakan terdengar dari balik punggungnya. Teriakan
itu terdengar sangat jauh, tetapi Adam masih mengenal jelas suara itu. Ia masih
bisa melihat sumber suara itu, ayahnya yang sedang berjuang mengalihkan
perhatian benda asing berbentuk segi enam itu dari dirinya dan ibunya. Sesuatu yang
merah tampak menyembur dari kaki sang ayah. Adam dapat melihat kaki ayahnya
yang terpotong dan badannya yang rubuh seketika. Sesaat kemudian benda asing
itu kembali melepaskan sinar ka badan ayahnya. Kali ini sang ayah tidak dapat
menghindar. Sinar itu mengenai tubh sang ayah dan meledakkannya hingga tak
bersisa.
Mata Adam membelalak
tak percaya. Beberapa jam lalu ia masih berada di dalam ruang makan bersama
ayah dan ibunya. Ia bahkan belum mencicipi kue tart spesial buatan ibunya. Dan kini
di depan matanya ia melihat ayahnya terbunuh dengan mengenaskan. Ia ingin berteriak
memanggil ayahnya, tetapi tidak ada satupun kata yang keular dari mulutnya. Tenggorokannya
seakan kelu meski mulutnya terbuka lebar. Air mata membanjiri wajahnya. Matanya
tak berkedip sekalipun. Ia masih dapat melihat benda asing berbentuk segi enam
itu terangkat ke langit seakan tidak ada sesuatu yang terjadi. Ia menatap benda
itu dan teringat bahwa benda itu adalah bintang jatuh yang tadi ditunjuknya. Badannya
bergetar hebat. Ketakutan, kemarahan, kesedihan, dendam melebur menjadi satu
dan meluap-luap dalam dirinya. Ia tidak pernah merasakan perasaan semacam itu
sebelumnya. Tetapi ia tahu dengan pasti ia tidak suka hal itu.
“Adam, tenanglah ibu
akan melin—” Kalimat itu terputus begitu saja diikuti dengan robohnya sang ibu.
Dalam saat-saat terakhirnya sang ibu masih sempat melemparkan Adam ke arah
semak-semak. Adam melihat ibunya tertuh dan puluhan sinar berkelebat menerpa
tubuh ibunya. Sedetik kemudian tubuh ibunya
meledak dan hancur seperti yang terjadi pada ayahnya. Adam merasakan dadanya
menjadi sesak. Ia tidak berani bergerak. Badannya menjadi kaku seketika. Saat itu
dilihatnya tiga buah benda berbentuk persegi enam itu turun ke tanah. Cahaya memancar
dari benda-benda itu, dan dengan perlahan wujud ketiganya berubah menjadi sosok
manusia dengan sayap di punggung mereka.
Adam merasakan bulu
kuduknya berdiri. Ketiga sosok di depannya tampak sangat mempesona dan secara
bersamaan mengerikan. Mereka menoleh ke berbagai arah. Rambut keemasan mereka berkilauan
diterpa cahaya bulan. Sayap mereka tampak transparan seolah terbuat dari
cahaya. Mata merah mereka berusaha mengitari sekeliling mereka dengan sorot
yang sanggup membuat tulang punggung Adam membeku seketika. Setiap kali mereka mendengar
dan melihat sebuah gerakan, sekecil apapun itu, dengan cepat mereka menunjuk ke
arah sumber gerakan itu. Dari telunjuk mereka keluar sinar seperti sinar yang
telah meledakkan ayah dan ibunya. Sudah nyaris tidak ada tempat untuk
bersembunyi. Namun sebuah gerakan kecil saja dapat membuat mereka menyadari
keberadaannya.
Sebisa mungkin Adam
tidak ingin bergerak dari tempat itu. Ia bahkan menahan napasnya selama
mungkin. Ia hanya berharap ketiga sosok bersayap itu segera pergi. Tetapi harapan
di hari ulang tahunnya itu tidak terkabul. Satu dari ketiga sosok itu menyadari
keberadaannya. Sosok itu mengarahkan telunjuknya ke arah tempat
persembunyiannya. Tanpa menunggu sinar memancar dari telunjuk itu Adam segera
berlari sekencang-kencangnya. Ledakan demi ledakan terjadi di belakangnya. Semak
dan duri, kerikil-kerikil tajam yang berada di jalannya tidak ia pedulikan. Hanya
pesan sang ibu yang terus teringat di dalam kepalanya. Jangan berhenti, jangan menoleh!
Semakin lama jalur
yang dilaluinya semakin menanjak. Ia terpaksa berlari di pinggir tebing. Jauh di
bawah tebing itu mengalir deras sebuah cabang sungai yang berasal dari danau. Jika
ia jatuh ke bawah, maka riwayatnya tamat. Namun jika ia berhasil melewati perbukitan itu ia
akan sampai di sebuah bukit batu yang memiliki banyak gua. Ia dan ayahnya telah
sering melakukan penjelajahan di dalam gua-gua itu. Ia tahu sebuah jalan tembusan
dari bukit itu menuju kota yang berada di hilir sungai. Tapi sebelum sempat melintasi
perbukitan itu ia merasakan pijakan kakinya hilang. Sebelum ia sempat sadar,
dirinya telah melayang jatuh dari tebing itu.
Adam merasa damai. Ia tahu
sebentar lagi ajal akan menjemputnya, tetapi ia tidak peduli. Jika kematian
datang padanya, maka berarti ia akan bisa pergi ke tempat kedua orang tuanya. Mungkin
mereka akan memarahinya, tetapi ia tidak peduli. Dengan tersenyum ia merelakan
dirinya menghantam aliran sungai itu dan terlarut dalam airnya yang dingin. Perlahan-lahan
kesadarannya menghilang. Dan akhirnya semua terlihat gelap.
[Jumlah kata: 2709]
[Jumlah kata: 2709]
rumah itu, danau itu... sepertinya penggunaan 'itu' yang terlalu banyak malah memberikan penekanan yang tidak perlu. Efeknya, tulisan jadi terasa kaku. Hanya opini saya :)
BalasHapusHahahaha. Memang 'itu' masih jadi penyakit saya, Mas. Susah mencari pengganti lain. Masih pemula. Terima kasih tanggapannya,Mas. Nanti saya kurangi ke depannya.
BalasHapusSalam :)