Sudah lebih dari tiga
jam Eva terus menangis tanpa henti. Sudah selama itu pula Adam berada di
sebelahnya, memeluk gadis itu untuk membuatnya tenang. Tetapi gadis itu masih
menangis, meski kini sudah tidak sekeras sebelumnya. Tiga jam ini adalah waktu
yang menyiksa bagi Adam. Bukan karena ia membenci kemanjaan Eva ― ia mulai
terbiasa dengan hal itu. Tetapi selama tiga jam ini semua kenangan sedih yang
dulu ditekannya hingga terlupakan kembali bangkit. Dimulai dari saat ia bertemu
dengan gadis kecil berambut keemasan ― yang dinamainya Eva ― di dalam gua waktu
itu. Ingatannya berjalan mundur ke saat-saat terakhir kedua orang tuanya. Juga
bagaimana ngerinya kekejaman para Advano yang dilihatnya. Seharusnya semua itu
sanggup membuat seorang pria menangis, tetapi air mata sudah lama tidak
mengalir dari mata Adam. Cairan itu sudah lama mengering dan ia sudah
kehilangan alasan untuk menangis.
Eva terus menangis,
sesekali sesengukan, sesekali menangis dengan keras dan memilukan. Tiap kali
Adam mengingat hal-hal yang buruk di dalam hidupnya, tiap kali pula Eva
menangis dengan pilu. Seakan-akan gadis itu menggantikan dirinya yang sudah
tidak bisa lagi menangisi kesedihan dan kepedihan.
“Apa kau menangis
untukku lagi?” tanya Adam.
Eva menatapnya dengan
mata yang nanar. Ia mengangguk pelan menjawab pertanyaannya. Adam menghela napas.
Gadis itu memang tidak berubah sama sekali.
“Sudah kukatakan
dahulu, bukan? Jangan lakukan sesuatu yang menyusahkanmu hanya untuk orang lain
sepertiku,” kata Adam.
“Tapi kamu bukan orang
lain. Kamu Adam,” kata Eva.
Adam terkejut. Ia
menoleh dengan tatapan heran pada Eva. Baru kali ini ia mendengar suara gadis
itu.
“Kau bisa berbicara
normal?”
“Iya,” jawab gadis itu
dengan polosnya.
Adam menepuk dahinya
dengan keras. “Ya ampun. Kau tahu betapa inginnya Sierra mendengarmu bicara?
Dia tidak tahu harus melakukan apa saat bersamamu karena kau tidak mau bicara!”
katanya.
Eva terkejut mendengar
suara keras pria itu. Seperti anak kecil yang dimarahi, gadis itu mulai
terisak-isak kembali. “Tapi… tapi…” Hanya itu yang diucapkannya sebelum gadis
itu mulai menangis lagi.
Adam yang sudah berada
di batas kesabarannya mengacak-acak rambutnya sendiri. Sifat Eva bagi beberapa
orang mungkin bisa dikatakan imut atau lucu dengan segala kepolosannya. Tetapi
melihat gadis itu yang menangis nyaris tanpa henti selama tiga jam ini semua
orang pasti akan setuju dengan Adam: Eva adalah gadis yang terlalu
kekanak-kanakan dan cengeng. “Ya, ya, aku salah. Jangan menangis setiap kali
ada yang berteriak keras padamu,” katanya.
Tetapi gadis itu tidak
mau berhenti menangis. Adam berdecak. Ia kembali memeluk gadis itu dan mengelus
kepalanya. “Sekarang kau mau tenang, kan?”
Cara itu berhasil
membuat Eva sedikit tenang. Adam menghela napas lega. Tapi baru saat itulah ia
merasakan badan gadis itu bergetar. “Badanmu kenapa? Sepertinya kau kurang
makan ya?” kata Adam sambil mendorong gadis itu keluar dari pelukannya. Ia
memegang kedua pundak gadis itu dan menatapnya dengan khawatir.
Eva mengeleng dengan
kuat. Adam bisa melihat gadis itu berusaha untuk tampak tegar. Dalam keadaan
seperti ini, sosok Eva malah mengingatkannya pada sosok Sierra kecil yang
menangis.
“Jika seperti ini
terus, Sierra tidak akan berhenti marah-marah. Aku tidak tahu apa alasannya,
tetapi setiap kali melihatmu bermanja-manja padaku kulihat dia kesal. Sebaiknya
kau membantuku supaya dia tidak marah lagi, atau kita semua bisa diusirnya dari
sini. Kau mengerti, Eva?” kata Adam dengan suara selembut mungkin seperti
berbicara pada anak kecil. Ia tidak mau gadis di depannya itu menangis lagi.
“Sierra tidak marah
padamu. Sierra marah padaku,” jawab Eva.
Adam mengernyit.
“Maksudnya?”
“Ada Adam belum
menyadarinya?” tanya Eva polos.
“Menyadari apa?”
“Kalau begitu aku
tidak akan mengatakannya. Hal ini adalah hal yang harus kamu sadari sendiri.
Aku tidak boleh ikut campur,” jawab Eva.
“Kau tidak mau
mengatakannya padaku?”
Eva menggeleng dengan
sungguh-sungguh. Rambut emasnya yang lembut ikut bergoyang. “Tidak boleh. Tapi
kalau Adam tidak menyadarinya dengan segera nanti bisa terlambat,” kata gadis
itu.
“Kau mau membuatku
penasaran, ya? Tadi kau menangis tanpa sebab. Tidak mau ditemani siapapun
kecuali aku. Dan kini kau tidak mau memberitahukan sesuatu yang berhubungan
denganku?”
“Itu adalah dua hal
yang berbeda,” jawab Eva.
“Lalu apa alasanmu
menangis kalau bukan ingin mencari perhatian?”
Eva membenarkan posisi
duduknya. Kali ini ia menatap serius pada Adam. Tanpa bicara ia mengarahkan
tangan kanannya dan menyentuh dada pria itu. Dari ujung jarinya muncul cahaya
berwarna putih. Adam tampak tidak terlalu terkejut melihat itu, karena selama
ini banyak hal yang tergolong ajaib telah dilakukan oleh gadis itu.
“Apa lagi sekarang?”
tanya Adam. Ia tenang-tenang saja melihat Eva melakukan sesuatu seperti itu.
“Lihatlah,” jawab Eva
singkat.
Seketika suasana kamar
Adam berganti dengan langit malam. Ia dan Eva melayang di langit, sedangkan
ribuan bintang terbentang di atas kepalanya. Di bawah sana terhampar lautan
luas. Tetapi ada yang aneh di permukaan laut saat ini. Puluhan cahaya
berkelap-kelip tampak berjajar rapi dengan kecepatan yang stabil. Adam
memicingkan matanya untuk mengenali cahaya-cahaya itu. Namun saat ia tahu
darimana cahaya itu, mata pria itu membelalak.
“Kapal induk?!”
“Bukan kapal induk
biasa. Itu kapal induk dari Adventa. Dan tujuannya adalah ke tempat ini. Mereka
ingin menghancurkan tempat ini karena mereka tahu aku di sini. Aku menangis
karena sedih, aku membawa masalah ke pulau ini,” jawab Eva.
“Kupikir kota ini
mampu mempertahankan dirinya. Lagipula ada atau tidaknya dirimu di sini mereka
suatu saat nanti akan menyereng tempat ini.”
Eva mengeleng lemah.
“Lihat bintang aneh berwarna emas di atas mereka?” tanyanya sambil menunjuk
ribuan bintang yang terhampar di atas mereka.
Adam kembali melihat
ke atas. Ia baru menyadari ada bintang aneh yang bergerak perlahan di atas
iring-iringan kapal itu. Perasaannya seketika menjadi tidak enak.
“Itu Advano. Mereka
mengejarku,” kata Eva mempertegas kecurigaan Adam.
Adam menoleh pada
gadis itu. “Ulangi sekali lagi?”
“Itu Advano, Adam.
Manusia biasa tidak bisa melawannya. Aku juga tidak bisa melawannya secara
langsung karena kekuatanku tidak stabil dan hanya separuh. Tetapi kalau kita
bersatu, semuanya bisa terjadi,” jawab Eva.
“Aku tidak mengerti,”
kata Adam tegas.
“Kumohon, Adam. Kita
harus bersatu,” kata Eva.
“Bersatu bagaimana?
Mana mungkin manusia bisa bersatu selain…” Kata-kata Adam berhenti. Ia tidak
mau mengatakannya, tetapi sepertinya gadis itu mengerti. Wajahnya yang putih
tampak bersemu merah.
“Bu―bukan bersatu
seperti itu! Pikiranmu memangnya hanya itu saja, ya?” kata Eva.
“Lalu bagaimana lagi
menyatukan manusia selain menikah dan beranak pinak?”
“Ambil saja
kekuatanku! Itu maksudku!” seru Eva dengan suara berteriak yang malah terdengar
lucu mengingat wajahnya sudah semerah udang rebus.
Adam menghela napas
dan kembali fokus. “Baiklah. Kita harus bersatu, kalau itu istilahmu.”
“Bukan dengan cara
seperti itu!” potong Eva.
“Iya, iya, aku
mengerti! Sekarang bagaimana? Mengambil kekuatanmu bagaimana?”
Eva menarik napas
perlahan. “Lihat rambut emas yang kumiliki dan mata merahku? Hanya itu yang
terlihat seperti Advano. Tetapi aku sepenuhnya manusia biasa. Jika kekuatan
Advano ini kuberikan padamu yang kupilih, maka kamu akan mampu mengalahkan
Advano sekalipun. Bahkan membuka pintu yang kamu lihat di dalam mimpimu itu pun
bisa kamu lakukan,” kata Eva dalam satu helaan napas.
“Jadi aku harus
menjadi seperti Advano untuk mengalahkan Advano?”
Eva mengangguk dengan
mantap.
Adam tertawa kecil.
“Aku harus menjadi seperti musuhku untuk mengalahkan musuhku. Ironis sekali.”
“Tidak ada jalan lain,
Adam. Hanya itu caranya. Kumohon kamu mengerti.”
Adam masih ragu. Dalam
hatinya ada pertentangan hebat. Apapun yang terjadi ia sangat tidak ingin
melakukan yang dikatakan Eva. Berusaha keras tidak menganggap gadis itu sebagai
Advano saja sudah sangat susah. Apalagi jika menjadi sama dengan mereka yang
dibencinya?
“Jika kukatakan ini
demi Sierra, apa kamu mau menerimanya, Adam?” desak Eva.
“Sekarang kau
membawa-bawa nama Sierra. Apa kita tidak bisa mengandalkan tentara dan Lambert
saja?”
Eva menghela napas
panjang. Ia menjentikkan jarinya. Kini mereka berada di sebuah tempat yang
gelap. Batu-batu tersusun rapi di sekitar mereka. Satu-satunya penerangan di
tempat itu adalah beberapa obor yang terpisah berjauhan. Adam memandang
sekelilingnya dan akhirnya tahu tempat apa itu. “Ini benteng, bukan? Aku pernah
melihat benteng kota ini. Lalu ada apa dengan benteng ini?”
“Apakah tidak aneh
melihat tempat ini sangat sepi?” tanya Eva. “Seharusnya tempat ini dipenuhi
tentara, tetapi kini yang terlihat hanya tembok yang sepi.”
“Apa mungkin mereka
kembali ke barak?”
Eva menjentikkan
jarinya lagi. Kini pemandangan di sekitar mereka berganti menjadi sederet tenda
yang sepi. “Tempat ini juga sepi,” kata Eva.
“Mungkin mereka pergi
ke kota?”
Eva berjalan salah
satu tenda dan menunjukkan apa yang ada di dalamnya. “Ini yang terjadi,”
katanya. Adam melihat apa yang ditunjukkan oleh gadis itu.
Adam terkejut.
“Mayat?!”
“Bukan cuma di sini,
tapi nyaris di semua tempat. Satu persatu mereka dibunuh malam ini. Jika tidak
bertindak segera semuanya akan terlambat!” kata Eva nyaris menangis.
Tepat di saat itu di
langit mulai tampak cahaya-cahaya berbentuk bola yang melayang di langit. Eva
memandang langit dan tersenyum kecut. “Sudah saatnya,” kata gadis itu. Ruangan
di sekitar mereka seketika berubah kembali ke ruangan kamar Adam.
“Lalu apa yang harus
kulakukan untuk melawan mereka?” tanya Adam.
Eva memejamkan
matanya. Ia mengangkat tangan kanannya. Di dalam telapak tangannya terbentuk
sebuah bola cahaya kecil berwarna emas. Semakin lama bola itu semakin besar
hingga sebesar kepalan tangannya.
“Ini adalah
kekuatanku,” kata Eva. Ia membuka matanya. Tetapi ada yang beda dengan mata Eva
saat ia membuka matanya.
“Eva, matamu berubah,”
kata Adam. Mata merah Eva yang dilihatnya kini berubah menjadi hitam kelam.
“Tidak usah pedulikan
hal seperti itu sekarang. Ambil bola cahaya ini dan letakkan di dadamu,” kata Eva.
Tiba-tiba terdengar
desingan seperti desingan peluru dalam jumlah banyak. Adam dan Eva terkejut.
Namun belum selesai keterkejutan mereka, ledakan demi ledakan silih berganti
terjadi menyusul desingan peluru itu.
“Tidak ada waktu lagi!
Selama cahaya ini tidak padam kita akan menang!” kata Eva. Ia mendorong bola di
tangannya ke dada Adam dengan paksa. Setelah bola itu masuk ke dalam dada pria
itu ia tersenyum. “Bertahan hiduplah dan kembalikan itu padaku.”
Adam merasakan seluruh
tubuhnya seperti dialiri kehangatan yang menyenangkan. Kehangatan itu mengalir
perlahan dari dadanya ke seluruh tubuhnya. Bersamaan dengan itu, cahaya
berwarna keemasan tampak memancar dari dadanya dan melingkupi seluruh tubuhnya.
Baju yang dikenakannya hancur seperti terbakar, tetapi kulitnya tidak terbakar
sama sekali. Adam merasakan kegembiraan menjalar ke seluruh tubuhnya. Ia tidak
pernah menyangka kekuatan Advano bisa membuatnya segembira ini.
“Apapun yang terjadi,
jangan sampai terjatuh dalam kesombongan, Adam,” kata Eva. Rambut emasnya
perlahan berubah menjadi hitam. Saat seluruh rambutnya telah berganti warna,
gadis itu mulai menjadi oleh dan akhirnya jatuh pingsan. Adam bergegas
menangkap gadis itu dan membaringkannya di tempat tidurnya.
“Aku mengerti, Eva.
Aku akan segera mengalahkan mereka,” kata Adam. Ia berbalik hendak menuju ke
pintu kamarnya. Saat itulah ia melihat sosok Sierra yang telah berdiri mematung
di depan pintunya.
“Si, siapa kau?!”
teriak Sierra ketakutan.
“Kau bicara apa,
Sierra? Ini aku, Adam!”
“Adam bukan Advano
sepertimu!”
Adam mengernyit. Ia
mengingat ada sebuah cermin kecil di dalam kamar itu yang tergeletak di meja.
Selama ini ia biasa menelungkupkan cermin itu karena tidak suka melihat
sosoknya yang penuh luka. Tetapi kini ia membalik cermin itu. Ia memandangi
cermin itu dengan tidak percaya. Yang dilihatnya bukan sosok dirinya yang penuh
luka, tetapi sesosok pria tampan berhambut emas hingga sepinggang. Matanya
berwarna merah. Semua lukanya sembuh. Kulitnya bercahaya.
“Aku… menjadi Advano?”
Sierra tidak mengerti
apa yang dikatakan sosok asing itu. Yang pasti sosok itu bukanlah Adam. Lalu di
mana Adam? “Kau apakan Adamku!?” seru Sierra. Ia mengambil sebuah kursi kayu
dan menyerang sosok asing di depannya. Kursi itu hancur, namun tampaknya sosok
itu tidak merasakan apapun. Sierra terkejut. Ia merasa takut dan gemetar. Di
saat itulah ia melihat sesosok gadis berambut hitam di atas tempat tidur Adam.
Rambutnya mungkin berwarna hitam, tetapi Sierra mengingat betul wajah
kekanak-kanakan dari gadis itu.
“Eva?” tanya Sierra
bingung.
“Sekarang kau sudah
tenang, Sierra? Aku pun sebenarnya tidak tahu apa yang terjadi, tetapi jika
kita tidak melakukan sesuatu, maka seluruh kota ini akan musnah. Adventa
menyerang tempat ini untuk merebut Eva, dan Eva menyerahkan kekuatannya
padaku,” kata Adam.
“Buktikan jika kamu
Adam!” seru Sierra masih tidak percaya.
“Apa menu yang kau
siapkan malam ini?”
“Pasta dan roti bagel
seperti biasa! Roti bagel dengan taburan biji wijen dan krim keju!” jawab
Sierra.
Mendengarkan menu yang
lezat itu perut Adam bergemuruh keras. Sierra terkejut. Reaksi itu hanya Adam
yang punya. Hanya pria itu yang sangat tergila-gila pada bagel buatannya hingga
sanggup makan roti itu dengan jumlah di atas sepuluh. Bahkan dengan menyebut
nama roti itu saja sanggup membuat perutnya bergemuruh.
“A… Adam?” tanya
Sierra tidak percaya.
“Kau percaya padaku
setelah mendengar suara perutku?”
“Hanya Adam yang akan
kelaparan setiap kali mendengar kata bagel,” kata Sierra tersenyum.
Saat itu ledakan
kembali terjadi. Kali ini ledakan itu terjadi sangat dekat dengan tempat
mereka. Kaca jendela kamar itu hancur akibat ledakan. Dengan secepat kilat Adam
memakai punggungnya sendiri untuk mencegah pecahan kaca dari jendela itu
menyentuh Sierra dan Eva. Namun tak urung beberapa serpihan kayu yang menyusun
langit-langit kamar itu jatuh dan mengenai mereka.
“Sebaiknya kalian
segera pergi dari tempat ini. Tempat ini sudah berbahaya,” kata Adam.
Sierra mengangguk. Ia berdiri
dan memeluk Adam erat-erat. “Kembalilah dengan selamat setelah melakukan apa
yang harus kamu lakukan. Ada kami yang menunggumu pulang,” katanya.
“Aku mengerti,” kata Adam.
Sierra menatap wajah
pria itu. Matanya yang kini berwarna merah masih tampak menawan. Ia sudah lupa
kemarahannya tadi. Sosok di depannya kini adalah pria yang sejak dulu
disukainya, bukan seorang Advano yang dibencinya.
“Ada apa?” tanya Adam.
Tanpa diduga-duga Sierra
mendekatkan bibirnya ke bibir pria itu. Dengan sangat cepat ia memberikan
sebuah ciuman singkat padanya. “Anggap saja aku menitipkan sesuatu padamu. Kembalikan
saat kamu kembali dengan selamat,” kata Sierra sambil tersenyum manis. Ia bergegas
mengangkat Eva dan berjalan menuju lantai bawah tanpa menoleh lagi dan
mengatakan apapun pada Adam.
Adam hanya bisa
membisu. Ia berusaha mencerna apa yang terjadi. Ia melindungi Sierra dan Eva, Sierra
memeluknya, dan kemudian menciumnya. Nyaris tidak bisa dipercaya. Dan lagi
sepertinya gadis itu memintanya “mengembalikan” itu padanya? Tunggu! Apa maksudnya Sierra menitipkan
bibirnya? Adam menggeleng-geleng dengan kuat. Bukan saatnya berpikir seperti itu, Adam! Musuh ada di luar! Tetapi
ia tidak kuasa menahan senyum sumringah yang tersungging di wajahnya. Ia teringat
sesuatu yang dikatakan Eva. Sedikit demi sedikit ia mulai mengerti. Tetapi diam
di tempat dan merangkai semuanya akan membuang waktu untuk menyelamatkan kota
itu dari serangan.
“Akan kupikirkan
nanti. Saat ini yang penting menghentikan serangan musuh dulu,” kata Adam sambil
melompat keluar melalui jendela kecil kamar itu yang telah rusak akibat
ledakan. Tanpa ia sadari sebuah sayap berwarna emas muncul di punggungnya. Adam
melihat kedua sayap itu, dan saat menyadarinya ia mengepakkan sepasang sayap
itu dan terbang ke langit.
[Jumlah kata: 2349]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar