Adam mengepakkan kedua
sayapnya. Dengan sangat cepat ia melesat menuju langit, dimana sebuah benda
pipih berwarna emas menukik tajam ke arahnya. Tepat sesaat sebelum keduanya
bertabrakan, benda berwarna emas itu tiba-tiba terbelah menjadi dua seperti
aliran air terjun yang tersibak. Benda itu melewati Adam begitu saja. Melihat
itu Adam berhenti dan berbalik.
Benda berwarna emas
itu kembali menyatu, namun kali ini ia membentuk sebuah bola. Atau lebih
tepatnya seperti sebuah kepompong serangga.
“Ini buruk,” kata
suara misterius di dalam kepalanya.
“Apa yang buruk?”
“Advano memiliki tiga
bentuk. Bentuk pertama adalah bentuk yang menyerupai manusia sepertimu
sekarang. Bentuk kedua adalah benda pipih yang dulu kau pernah lihat sewaktu
masih kecil. Dan bentuk ketiga adalah bentuk asli mereka,” jawab suara itu.
“Kau tahu banyak
tentang mereka, ya? Apa kau bagian dari mereka?” tanya Adam.
“Jangan memikirkan hal
kecil seperti itu sekarang. Lihat benda itu!” jawab suara misterius itu.
Adam melihat benda
berwarna emas di bawahnya. Pada benda itu tampak seperti robekan kecil yang
menjalar cepat ke seluruh kepompong itu. Sebelum Adam sempat berkedip,
kepompong itu telah hancur seperti kain yang dirobek hingga semua benangnya
putus. Yang tampak dari dalam kepompong itu adalah seekor naga raksasa berwarna
emas. Naga itu memiliki sayap abu-abu seperti sayap burung hantu dengan tubuh
seperti ular. Bentangan sayapnya nyaris sepanjang tubuhnya sendiri. Leher naga
itu ditumbuhi rambut-rambut halus seperti surai singa.
“Quetzalcoatl,” bisik
suara misterius di dalam kepala Adam.
“Quetzalcoatl?”
“Dahulu dalam legenda
manusia di Dunia Lama ada makhluk berbentuk naga bernama Quetzalcoatl. Konon
naga itu bahkan selevel dengan dewa. Kalau memang dia Quetzalcoatl, maka kita
dalam masalah,” jawab suara misterius itu.
“Apa yang bisa
dilakukan naga ini?”
“Salah satu legenda
menyebutkan Quetzalcoatl menciptakan manusia. Ada yang menyebutkan dari
dirinyalah bintang senja lahir. Tetapi Quetzalcoatl ini mampu melakukan menghancurkan
keduanya dengan mudah,” jawab suara misterius itu lagi.
Naga di bawah Adam
meraung. Suaranya seperti merobek langit. Adam menutup telinganya yang terasa
sakit karena raungan itu.
“Bodoh! Itu hanya
pengalihan!” seru suara misterius.
Saat Adam sadar, naga
itu telah melesat ke arahnya dengan mulut yang terbuka. Ia mencoba menghindar,
tetapi kelenturan dan kegesitan naga itu tak tertandingi. Adam kini seperti
seekor burung yang tertangkap dalam mulut ular.
Naga itu mendorong
Adam dengan kecepatan tinggi menuju langit. Adam merasakan kulitnya mulai
terbakar karena gesekan antara tubuhnya dengan udara. Gigi-gigi naga itu
mencengkeram tubuhnya dengan kuat. Kulitnya seperti ditusuk ribuan tombak,
namun tidak ada darah yang keluar. Seakan-akan kulitnya menjadi sangat elastis
sehingga tidak mampu ditusuk oleh apapun. Seandainya ia berada dalam wujud
manusia biasa, pastilah tubuhnya sudah terbelah dua sekarang. Tetapi bahkan
saat ia sudah menjadi seperti Advano rasa sakit dari cengkeraman gigi dan
gesekan dengan udara itu masih terasa sangat menyiksa.
“Pikirkan sebuah
tameng perlindungan atau apa saja! Aku tidak bisa melakukan apapun kalau kau
tidak berpikir!” seru suara itu lagi.
Adam mencoba tidak
mempedulikan sakit yang dirasakan punggungnya yang terbakar. Ia memikirkan
sebuah baju zirah yang tidak bisa ditembus apapun. Baju zirah yang cukup ringan
namun kuat, yang membungkus tubuhnya dengan nyaman dan tidak menghalangi
gerakannya.
“Keinginanmu
kukabulkan!” seru suara misterius di dalam kepala Adam.
Cahaya berwarna putih
tampak memancar dari dada Adam. Cahaya itu melingkupi seluruh tubuhnya. Saat ia
sadar apa yang terjadi, seluruh tubuhnya telah ditutupi sebuah baju zirah
berwarna emas yang sangat ringan namun sangat kuat. Bahkan gigi naga yang
menggigitnya kini tidak dapat menembus kulitnya lagi. Baju zirah itu melekat di
tubuhnya dengan nyaman tanpa membatasi gerakannya sama sekali.
“Wah! Ini bagus!” seru
Adam.
“Bukan saatnya untuk
itu! Sekarang keluar dari sini!”
Adam mendorong rahang
naga itu. Rahang nagai itu terbuka dengan mudah. Saat celah yang diperolehnya
sudah cukup untuk meloloskan diri, sayap di punggung Adam yang sebelumnya
hancur karena gigitan naga itu kembali muncul. Adam mengepakkan sayap itu dan
menghindar dari jalur terbang sang naga.
“Setidaknya ini
memberikan kita posisi tarung yang lebih baik melawannya,” kata suara misterius
di dalam kepala Adam.
“Hei, sebutkan siapa
namamu,” kata Adam pada suara itu.
“Untuk sekarang sebut
saja aku Kunci,” kata suara misterius itu.
“Kunci, kau bisa
menciptakan pedang?” tanya Adam.
“Selama kau bisa
memikirkannya,” jawab Sang Kunci.
Adam mengangkat tangan
kanannya ke arah naga yang kini telah berbalik dan menukik ke arahnya. Telapak
tangannya dalam posisi menggenggam sesuatu. Dalam pikirannya ia membayangkan
sebentuk pedang yang sangat tajam, kokoh, namun ringan. Seperti merespon
pikirannya, dalam genggamannya cahaya putih muncul dan mulai membentuk sebuah
pedang seperti pikirannya. Saat naga itu nyaris menyerangnya lagi, pedang itu
telah sepenuhnya terbentuk.
Adam melesat ke arah
naga itu, namun ia tidak menyerang secara langsung. Ia melesat ke samping, dan
dengan sekali tebas ia memotong sayap naga itu dengan pedangnya. Naga itu
kembali meraung, namun kali ini dalam kesakitan. Adam tidak lagi menutup
telinganya. Baju zirah yang dikenakannya sekarang juga dilengkapi pelindung
kepala yang melindungi telinganya.
“Bagus! Kau punya daya
pikir yang hebat juga!” seru Sang Kunci gembira.
“Tetapi ini belum
selesai, kan?” kata Adam.
“Ya, kau benar. Dia
masih hidup,” balas sang Kunci.
Naga itu akhirnya
berhenti meraung. Ia kini menggeram. Tatapan matanya yang merah menatap tajam
pada sosok Adam dengan keinginan membunuh yang sangat besar.
“Sang Kunci dan Sang
Pembuka Pintu telah menyatu rupanya. Tapi kalian berdua tidak akan bisa
mengalahkanku, Makhaina Jerez yang hebat ini!” seru sang naga. Setelah
mengatakan hal itu naga itu kembali meraung dengan penuh kemarahan.
“Dia tadi bicara?”
tanya Adam.
“Meski wujudnya naga,
dia tetap Advano. Dalam ruma manusia mereka bisa bicara dalam bahasa manusia,
kan?” balas sang Kunci. “Sebaiknya kau memutuskan sayapnya yang satu lagi
sekarang sebelum dia menyerang.”
“Ide bagus!” seru Adam
dengan semangat. Ia melesat maju ke arah naga itu. Ia mengayunkan pedangnya hendak
menebas sebelah lagi sayap naga itu, namun tiba-tiba sayap itu memancarkan cahaya
yang sangat menyilaukan. Adam terkejut namun tak dapat menghindar. Cahaya itu
mendorong tubuhnya mundur, bahkan sangat kuat sampai-sampai tubuhnya nyaris
terpental. Kedua sayap di punggungnya membentang lebar untuk menahan agar
tubuhnya tidak terdorong semakin mundur.
Cahaya yang terpancar
dari sebelah sayap naga yang tersisa itu terlihat seperti sebuah bola yang terus
mendorong tubuh Adam. Naga itu tertawa melihat bagaimana Adam berusaha keras
melawan agar dirinya tidak terlempar. Suara tawanya bagaikan guntur yang
menggelegar. “Sekarang kau bisa apa, Manusia!? Kau tidak pantas memiliki
kekuatan seperti kami, para Advano!” seru sang naga. Cahaya yang terpancar dari
sayapnya semakin menyilaukan dan semakin besar. Adam terpaksa menahannya dengan
nyaris semua kekuatannya. Baju zirah yang digunakannya pun mulai mengalami
keretakan.
“Sial! Hanya dengan
satu sayap dia bisa melakukan ini?!” seru Adam yang mati-matian melindungi
dirinya dari energi besar yang dilepaskan oleh naga yang berada di depannya.
“Heh, bagaimanapun dia
adalah Quetzalcoatl. Salah satu makhluk legenda. Jika Advano sampai mengirim
utusan seperti dia, berarti mereka sudah menyadari keberadaanku,” kata sang
Kunci.
“Kau punya ide? Kalau
tidak kita akan terlempar sekarang.”
“Kalau begitu
menghindarlah. Ada jalan memutar dalam menyerang. Cahaya ini hanya ada di depan
badan naga itu saja. Bagian belakangnya tidak terlindung,” balas sang Kunci.
Adam mengepakkan
sayapnya ke depan. Ia membiarkan dirinya terdorong oleh cahaya itu. Ia
berkonsentrasi pada pertahanan baju zirahnya. Ia merasakan retakan-retakan pada
baju zirahnya itu. Ia membayangkan retakan-retakan itu menutup. Baju zirahnya
merespon pikiran itu, membuat semua retakan padanya menutup kembali.
Adam memutuskan
menjatuhkan diri ke bawah. Ia menghilangkan kedua sayapnya dan membiarkan
gravitasi menariknya ke bawah. Tepat sebelum ia menyentuh laut ia kembali
memunculkan sayapnya. Dengan sekali kepakan dirinya kembali melesat menuju
langit dengan kecepatan yang tidak berkurang sama sekali. Naga yang dihadapinya
berada tepat di atasnya. Ia menghunus kembali pedangnya. Kali ini sayap naga
itu pasti akan ia tebas!
“Taktik kuno. Sang
Kunci bukan tandingan Advano yang telah berkembang seperti kami,” kata naga itu
dengan tenang.
“Bicara apa kau, Naga
sialan!?” seru Adam. Ia mengayunkan tangannya ke arah sayap naga itu. Ia yakin
sayap itu tertebas. Namun pedangnya tidak menyentuh apapun. Ia hanya menebas
udara. Adam terkejut. Tempat di mana naga raksasa itu berada sedetik lalu kini
hanya menyisakan udara kosong.
“Menebas udara, Anak
Muda?” tanya sang naga dengan nada mengejek.
Adam kaget mendengar
suara itu. Suara itu berasal dari belakangnya. Naga sebesar itu dengan mudahnya
berpindah tempat tanpa terlihat dan tanpa terdengar. Ia membalik badannya dan
menemukan naga itu dengan mulut terbuka dan sebentuk bola cahaya yang
perlahan-lahan membesar di dalamnya. Langit malam di sekitar mereka berubah
menjadi seperti siang hari dengan bola cahaya di mulut sang naga sebagai
mataharinya. Tubuh naga itu sendiri nyaris tidak tampak karena cahaya itu
sangat menyilaukan. Meski demikian Adam masih sempat melihat sososk sang naga.
Tetapi ada sesuatu
yang membuatnya terkejut: naga itu memiliki sepasang sayap… utuh!
“Apa?!” seru Adam.
“Jadi dia juga punya
kemampuan meregenerasi tubuhnya?” kata sang Kunci pada dirinya sendiri.
“Jangan bicara seolah
ini bukan masalahmu! Sekarang apa yang harus kita lakukan?!” teriak Adam.
“Kalau menghindar kita
akan selamat. Tetapi kota di bawah akan terkena,” kata sang Kunci.
Adam mendelik. Di
bawah sana ada kota Ravena yang kini tampak seperti tumpukan arang. Serangan
pertama Advano telah mendorong air laut ke kota itu dan membuat api yang
berkobar di kota itu padam. Sebuah bangkai kapal induk tampak terdorong hingga
ke pelabuhan. Beberapa penduduk berusaha menyelamatkan orang yang terjebak
dalam reruntuhan bangunan yang rubuh. Jika ia menghindari serangan naga itu,
belum tentu naga itu akan mengikutinya. Ia tidak bisa membahayakan warga kota
Ravena dengan bergerak dari tempatnya.
“Jadi maksudmu aku
harus menjadi perisai untuk kota ini?” tanya Adam. Meski jarak antara dirinya
dan naga itu cukup jauh, Adam dapat merasakan panas yang sangat tinggi
terpancar dari arah bola di mulut sang naga. Bila bola itu jatuh ke kota
Ravena, kota itu pasti hancur berkeping-keping. Itu berarti kematian bagi semua
orang di kota itu, termasuk Sierra.
“Begitupun kita tidak
bisa memastikan kota itu tidak akan terkena dampaknya, bukan?” balas sang
Kunci.
“Kau punya ide?” tanya
Adam.
“Sudah ada banyak ide
yang kuberikan padamu, kan? Kau sudah punya kunci untuk mengalahkan musuh
seperti ini,” jawab sang Kunci.
“Kalau aku berpikir
melawan naga dengan naga, apa kau pikir itu mungkin terjadi?” tanya Adam.
“Kalau kau percaya
apapun bisa terjadi,” jawab sang Kunci.
“Ah, tapi itupun tidak
berguna sekarang. Kalau begitu aku ingin menjadi pembunuh naga!”
“Berpikir saja pedang
yang kau pegang sekarang bisa mengalahkan naga itu,” kata sang Kunci. “Dan
sebaiknya kau lakukan dengan cepat. Naga itu sudah melepaskan serangannya.”
Adam tahu waktunya
tidak banyak. Ia memikirkan sebuah senjata yang dapat digunakan menebas
serangan yang telah dilepaskan naga itu. Tetapi pedang di tangannya tidak
berubah sama sekali. Bola cahaya yang dilontarkan naga itu semakin lama semakin
mendekat. Adam akhirnya memutuskan tidak memikirkan apapun dan hanya melesat
menuju bola cahaya itu. Ia mengayunkan pedangnya ke arah bola cahaya itu dengan
sekuat tenaga. “Hancurlah!!” seru Adam.
Pedang dalam genggaman
Adam saling bersentuhan dengan bola cahaya yang dilontarkan oleh sang naga.
Tetapi bola itu tidak hancur sama sekali. Adam telah pasrah apabila hal seperti
itu terjadi. Setidaknya ia bisa menjadi perisai bagi kota itu. Satu-satunya
yang ia inginkan dalam kematiannya adalah kematian yang tenang. Karena itulah
ia menutup matanya dan menerima bola itu.
Di saat ia berpikir
sudah tidak ada harapan lagi, sebuah keanehan pun terjadi. Panas yang
dirasakannya dari bola itu berangsur-angsur menghilang bersamaan dengan cahaya
yang menyilaukan dari bola itu. Sebagai gantinya, tangan kanannya menjadi
terasa hangat. Pedang cahaya yang digenggamnya memancarkan sinar yang jauh
lebih terang dari sebelumnya. Cahaya dari pedang itu seperti cahaya yang
memancar dari bola cahaya yang dilontarkan oleh sang naga.
“Sepertinya pedang itu
mampu menyerap serangan lawanmu. Kekuatan seperti itu sangat cocok dengan
sifatmu, Adam,” kata sang Kunci.
Adam tersenyum kecil.
“Kau menyebut namaku sekarang?” tanyanya.
“Yah, untuk sekarang
kau kuijinkan memakai kekuatanku. Eva terpaksa memberikan kekuatanku padamu
hanya karena ancaman pada dirinya. Kalau tidak kau akan kuhancurkan meski kau
sang Pembuka Pintu,” jawab sang Kunci.
“Jadi benar kau sang
Kunci? Bukankan seorang Pembuka Pintu itu penting?” tanya Adam.
“Seorang Pembuka Pintu
bisa didapat dimana pun selama mereka memiliki gen dari manusia awal yang
membuka sang Pintu dari Dunia Lama menuju tempat ini. Bukan cuma dirimu,” jawab
sang Kunci.
“Bukankah seseorang
harus dipilih oleh sang Kunci bila ingin menjadi Sang Pembuka Pintu?”
“Eva adalah wadah
untukku. Meski Eva menyukaimu dan memilihmu bahkan sebelum lahirnya, kalau aku
menolakmu, maka semuanya sia-sia.”
“Jadi, maksudmu aku
mendapat penerimaan darimu?”
“Jangan besar kepala,
Anak Muda. Ini hanya sampai perang kecil ini berakhir. Setelah itu aku akan
kembali ke tubuhnya,” jawab sang Kunci.
Quetzalcoatl meraung.
Tampaknya naga itu merasa sangat kesal dengan kegagalannya yang tidak mapu
menggores tubuh Adam sedikitpun. Serangan yang ia lancarkan sebelumnya adalah
serangan terkuatnya. Tidak ada satu makhlukpun yang pernah merasakan serangan
itu yang dapat hidup untuk menceritakannya kembali. Tetapi bocah di depannya
bukan hanya mengalahkan serangan terkuatnya itu, ia bahkan mencuri energi dari serangan
itu dan membuatnya menjadi miliknya sendiri.
“Sialan!!” teriak naga
itu. Quetzalcoatl, sang naga, membentangkan kedua sayapnya dengan sangat marah.
Ia kembali meraung dengan kepalanya menghadap langit. Kali ini petir yang tidak
diketahui asal muasalnya seakan menjawab
raungan itu. Satu demi satu petir-petir itu menyerang ke segala tempat, namun dengan
mudah Adam menghindari serangan sang Advano.
“Sepertinya dia sudah
tertekan,” kata Adam yang masih sibuk menghindari petir yang seolah-olah tidak
berhenti menghujaninya. Ia bahkan harus terbang rendah di atas permukaan air
untuk mendekati sang naga.
“Advano adalah makhluk
yang sangat tinggi harga dirinya. Sudah jelas mereka tidak mau dikalahkan oleh
siapapun,” kata sanga Kunci.
“Siapa yang tertekan
dalam pertempuran akan kalah, bukan?”
“Kalau begitu tidak
ada masalah untuk menjatuhkan naga itu, bukan?”
“Tentu saja!” seru
Adam. Ia mengepakkan sayapnya dan kembali melesat ke arah Quetzalcoatl. Naga
itu masih meraung-raung memanggil petir. Adam tidak menemukan masalah berarti
melewati semua petir itu.
“Kewaspadaannya juga
turun, ya?” tanya Adam.
“Sepertinya begitu.
Mau dikejutkan sedikit?” balas sang Kunci.
“Sebuah tebasan kecil
rasanya tidak akan mengganggu,” jawab Adam sambil tersenyum usil.
“Tetap saja kau harus
berhati-hati, kan? Siapa tahu ini cuma pancingan/”
“Masuk akal. Kalau
begitu serangan penuh saja!” kata Adam yang segera mengayunkan pedangnya ke
arah naga yang masih meraung-raung itu. Jarak antara sang daga dan Adam cukup
jauh, tetapi tebasan yang dilakukan pria itu membuat sebuah gelombang udara
yang mencabik-cabik kedua sayap sang naga.
Tubuh kokoh sang naga
tampak seperti sebuah balok kayu yang terjatuh dari langit saat kedua sayapnya
dihancurkan. Ia terlambat menyadari serangan Adam yang lebih cepat dari
biasanya itu. Ia bahkan dipaksa merasakan kekuatannya sendiri yang telah dicuri
pria itu. Ia telah kalah telak. Harga dirinya sebagai Advano yang agung seperti
diinjak-injak. Ia tidak mau begitu saja dikalahkan. Jika ia kalah dan mati,
setidaknya ia harus membawa serta musuhnya mati bersamanya.
Dengan kesempatan
terakhir yang dimilikinya, sang naga membelitkan ekornya ke badan Adam. Dengan
erat ia mengikat tubuh pria itu dan menjatuhkan dirinya ke laut. “Dengan begini
aku bisa membawamu mati bersamaku!” serunya. Cahaya terang memancar dari kepala
naga itu dan menjalar turun ke seluruh badannya. Dalam sekejap Adam seperti
terjebak di dalam lilitan tali yang terbuat dari cahaya.
“Dia ingin meledakkan
dirinya!” seru sang Kunci.
“Dan aku tidak bisa
keluar dari sini!” balas Adam.
“Keluarkan semua
energi yang diserap pedangmu tadi. Kalau kau meledakkannya sekarang, ledakan
dari naga ini tidak akan membuatmu terluka parah!” seru sang Kunci.
“Bagaimana caranya?”
“Tarik kembali pedang
itu ke dalam dirimu. Semua benda di tubuhmu sekarang adalah cahaya yang keluar
dari dalam dirimu. Kalau kau menginginkan mereka kembali ke dalam dirimu, cukup
kau perintahkan saja.”
Adam mencoba
membayangkan pedang di tangan kanannya berubah kembali menjadi cahaya.
Perlahan-lahan Adam merasakan genggaman tangannya terasa kosong. Sebagai
gantinya aliran energi yang hangat menjalar dengan cepat ke seluruh tubuhnya.
“Sepertinya energi
yang kau serap itu sudah ada di dalam tubuhmu. Sekarang lepaskan semuanya dalam
satu ledakan. Bayangkan sebuah bola cahaya besar!” kata sang Kunci.
Adam mengikuti
petunjuk sang Kunci. Ia membayangkan seluruh tubuhnya diliputi cahaya yang
berubah bentuk menjadi sebentuk bola. Perlahan-lahan tubuhnya diliputi cahaya.
Tetapi sebelum cahaya itu berubah bentuk menjadi bola, naga yang melilit tubuh
Adam tiba-tiba mengeluarkan cahaya yang sepuluh kali lebih terang dari
sebelumnya.
“Sial! Kalau begini
tidak akan sempat!” umpat sang Kunci.
Quetzalcoatl
mengeluarkan sinar terang yang membuat malam itu berubah menjadi siang untuk
sesaat. Tepat sebelum naga itu mencapat permukaan laut, seluruh tubuhnya
bersinar dan melepaskan energi yang menyapu habis seluruh armada kapal perang
Adventa yang masih tersisa di dekat pelabuhan.
Cahaya yang
menyilaukan itu bertahan untuk beberapa saat. Setelah cahaya itu padam malam pun tampak lebih
gelap dari biasanya. Yang tersisa dari semua kekacauan itu hanyalah setitik
cahaya yang bersinar lemah di atas permukaan laut.
“Kau masih hidup, Anak
Muda?” kata sang Kunci.
“Sepertinya. Terima
kasih atas bantuanmu tadi, Kunci,” jawab Adam. Berbeda dengan tubuhnya yang
dipenuhi cahaya sebelumnya, tubuh Adam saat ini hanya terlihat seperti kunang-kunang
yang berusaha mempertahankan pendarannya yang melemah.
“Aku hanya
menyelamatkan diriku sendiri saja. Kau memang masih belum bisa diharapkan, ya?”
“Aku memang masih
lemah. Untuk berjuang melawan seluruh dunia dan menyelamatkan manusia seperti
yang dikatakan Eva rasanya sangat sulit untukku. Apalagi melawan makhluk
seperti tadi,” kata Adam.
“Kau meragukan Eva?”
“Sejujurnya aku memang
meragukan pilihannya. Dari semua orang yang hebat di dunia ini, apa harus aku
yang dipilihnya?”
“Aku sebenarnya tidak
terlalu suka mengatakan ini, tetapi sesuatu dalam dirimu berbeda dari semua
orang kuat di dunia ini. Hanya kau orang aneh yang malah menghibur gadis yang
tidak kau kenal di hari kau melihat kedua orang tuamu terbunuh. Hanya kau juga
yang malah memutuskan menerjang bola cahaya sepanas matahari itu demi
melindungi kota itu. Kupikir itu yang dilihat Eva darimu,” kata sang Kunci.
“Aku hanya tidak bisa
melihat orang menangis di dekatku. Aku juga hanya ingin menepati janjiku saja,”
kata Adam.
“Melindungi gadis itu?
Gadis yang memberimu kekuatan ini atau gadis yang menitipkan bibirnya padamu?”
tanya sang Kunci.
“Seandainya kau
berwujud aku pasti menghajarmu sekarang, Kunci!” kata Adam.
Sang Kunci tertawa.
“Sebaiknya kau segera menyadari perasaanmu pada Sierra, Anak Muda. Dia gadis
yang baik. Dan juga sebaiknya kau berpikir bagaimana caranya mengembalikan apa
yang ia berikan padamu itu,” kata sang Kunci. Ia terkekeh-kekeh setelah
mengatakan itu.
Adam merasa seperti
ditertawakan oleh dirinya sendiri. Ia mengatakan akan memikirkan Sierra dan apa
yang telah dilakukannya setelah kota Ravena telah diselamatkan. Tetapi kini ia
masih bingung.
“Yah, itu adalah
masalahmu, Anak Muda. Tetapi sekarang masih ada masalah serius yang harus kita
selesaikan. Kembalikan aku ke wadahku. Kalau tidak gadis itu akan mati,” kata
sang Kunci. Nada bicaranya berubah menjadi serius.
Mendengarkan kata-kata
sang Kunci Adam terkesiap kaget. “Apa? Jadi memang benar kau adalah inti
kehidupan Eva?” tanya Adam.
“Gadis itu memiliki
jiwanya sendiri. Dia hanya wadahku untuk sementara. Tetapi jika kontrak yang
melekat antara diriku dan dirinya sejak aku lahir belum terpenuhi, dia akan
mati,” jawab sang Kunci.
“Kontrak?”
“Aku akan berada
bersamanya, melindungi dirinya, dan menjadi penjaganya. Sebagai gantinya Eva
harus memberikan tubuhnya agar aku memiliki eksistensi di dalam Faux Ciel ini.
Hanya dengan demikian aku bisa melakukan tugasku untu membuka Pintu Dunia ini
dari dalam” jelas sang Kunci.
“Berapa lama
waktunya?”
“Aku hanya bisa
meninggalkan tubuh gadis itu selama satu jam. Lebih dari itu badan gadis itu
akan melemah dan mati. Jika waktunya telah lewat, ia bahkan tidak akan bisa
menjadi wadah untuk kekuatanku lagi,” kata sang Kunci.
“Berarti sisa sepuluh
menit!” seru Adam. Dengan sisa-sisa cahaya terakhir yang dimilikinya ia kembali
membentuk sayap cahaya di punggungnya. Dengan cepat ia melesat ke arah kota
Ravena yang kini tampak sama karena bekas kebakaran yang terjadi sebelumnya. Ia
tidak mempedulikan tatapan terkejut atau takut dari warga kota di bawahnya saat
ia melintasi kota itu. Ia hanya memakai perasaannya untuk menuju sebuah
bangunan yang kini tampak rusak.
“Mereka di bawah
tanah. Tenanglah,” kata sang Kunci.
“Aku tahu,” balas
Adam.
Ia dengan perlahan
turun ke depan sebuah bangunan yang beberapa jam lalu masih dipadati orang yang
makan di dalamnya. Ciel kini tampak seperti bangunan yang siap dihancurkan.
Tepat sebelum ia menyentuh tanah, sayap di punggungnya menghilang. Ia tersungkur
jatuh ke tanah tetapi dengan sigap ia kembali berdiri dan akhirnya berlari.
Sierra sempat
memberitahunya beberapa hari lalu bahwa di dalam bangunan itu ada sebuah ruang
bawah tanah di dalam gudangnya. Ia berlari menuju gudang itu. Pintu gudang itu
sudah hancur karena ledakan-ledakan yang terjadi sebelumnya. Dengan hati-hati
Adam memasuki ruangan itu dan menemukan pintu ruang bawah tanah di lantainya. Dengan
segera ia membuka pintu itu dan menemukan Sierra yang berdiri dengan sabar
menantinya.
“Selamat datang
kembali, Adam,” kata gadis itu. Mata Sierra tampak berkaca-kaca saat dilihatnya
sosok yang membuka pintu ruangan itu adalah Adam.
“Aku kembali,” kata
Adam lega. Ia tersenyum melihat gadis itu tidak terluka sama sekali.
“Baguslah kau datang
tepat waktu. Sekarang kembalikan itu pada Eva,” kata Lambert yang masuk ke
dalam ruangan di mana Sierra berada saat ini. Wajahnya tampak sangat tidak
senang.
“Aku tahu. Di mana Eva
sekarang?” tanya Adam.
“Di dalam. Lewat
sini,” kata Lambert sambil kembali ke ruangan darimana ia tadi keluar.
Adam melompat ke dalam
ruang bawah tanah itu. Sebelum ia memasuki ruangan yang dimasuki oleh Lambert,
ia menoleh pada Sierra dan dengan cepat menarik kepala gadis itu ke wajahnya.
Dengan cepat Adam mencium bibir gadis itu dan berlalu pergi dengan hanya
mengatakan, “Kukembalikan titipanmu”. Sierra yang masih terkejut hanya bisa
mematung dan memegangi bibirnya. Wajahnya perlahan-lahan bersemu merah.
Sedangkan Karl yang sejak awal berdiri tenang tanpa suara di samping sebuah rak
di sudut yang tak terlihat oleh Adam hanya tercengang. Sepertinya tidak ada
lagi harapan baginya mendapatkan gadis itu.
Di dalam ruangan di
mana Lambert berada kini sosok Eva tampak terlelap dengan damai. Tetapi Adam
tahu bila ia tidak menyerahkan kembali kekuatan sang Kunci kepadanya, gadis itu
akan benar-benar pergi dalam damai. Adam memegang tangan gadis itu.
“Kukembalikan yang kau berikan padaku. Jangan bersikap ceroboh lagi atau aku
terpaksa mencubitmu,” kata Adam sambil tersenyum. Cahaya keemasan terpancar keluar
dari genggamannya dan mengalir masuk ke dalam gadis itu melalui tangannya. Di
saat bersamaan rambut Adam kembali menyusut seperti semula. Warna emas di
rambutnya kembali berganti menjadi warna hitam. Begitu juga warna matanya yang
merah kini perlahan pudar dan kembali seperti semula.
Saat Adam telah
kembali seperti semula, tiba-tiba tubuh Eva memancarkan cahaya. Gadis itu
melayang dari tempat tidurnya untuk beberapa saat. Meski cahaya itu cukup
menyilaukan, Adam masih bisa melihat rambut hitam gadis itu berubah dengan
cepat menjadi emas. Dan setelah itu cahaya yang terpancar dari tubuh Eva pun
lenyap. Gadis itu perlahan kembali turun ke tempat tidurnya.
“Dia sudah kembali,”
kata Lambert sambil menepuk pundak Adam. “Terima kasih telah melindungi kota ini.”
“Aku masih membiarkan
kota ini hancur seperti sekarang. Aku gagal melindungi kota,” kata Adam.
“Setidaknya kau
menyelamatkan kami yang masih hidup sekarang. Dan masalah kota ini kau tidak
perlu khawatir. Mereka akan kembali bangkit seperti dulu,” kata Lambert.
Adam tersenyum. “Kau
benar,” katanya. Ia baru saja akan pergi dari ruangan itu dan melepaskan
tangannya dari tangan Eva, tetapi tampaknya gadis itu enggan melepaskan
tangannya. Gadis itu memegang tangan Adam lebih erat. Wajah tidurnya tampak
merengut. Tampaknya Adam masih harus duduk di samping gadis itu sedikit lebih
lama.
“Sepertinya aku harus
menunggu sampai dia terbangun,” kata Adam. “Aku tidak bisa mengambil tanganku
sekarang.”
“Entah kapan hal itu
terjadi,” kata Lambert. Ia menepuk pundak Adam dan pergi meninggalkannya sendirian
dengan ‘masalah kecil’ itu.
“Kuharap segera,”
balas Adam. Ia menghela napas, tetapi saat ia menatap wajah tidur Eva yang
tampak manis dan damai ia tidak bisa menahan senyumnya. “Aku ingin mendengar
suaranya lagi.”
[Jumlah kata: 3815]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar