“Tidak kusangka
aku akhrinya terbiasa dengan sosok
seperti ini,” kata Adam. Sosoknya kini tidak lagi berambut hitam pendek,
melainkan berambut emas dan memanjang hingga ke pinggangnya. Matanya juga
berubah menjadi merah. Di punggungnya kini terdapat sepasang sayap seperti
sayap elang yang terbuat dari gumpalan-gumalan cahaya yang menyelimuti dirinya.
Sosok seorang Advano yang dulu sangat dibencinya kini menjadi satu-satunya cara
untuk menyelamatkan mereka semua dari para Advano yang bergerak cepat ke arah mereka.
“Adam, kau dengar?”
Suara sang Kunci kembali didengar Adam. Tetapi berbeda dari sebelumnya, suara
itu tidak terdengar di dalam kepalanya, melainkan seperti berada di dekat
telinganya.
“Kau Sang Kunci,
bukan? Kau tidak bergabung denganku lagi?” tanya Adam.
“Belum saatnya. Tetapi
sekarang kau kuakui sebagai sang Pembuka Pintu. Sebelum kau bisa mencapai pintu
itu kau harus mengalahkan mereka berlima dulu,” jawab sang Kunci.
“Siapa mereka
sebenarnya?” tanya Adam.
“Mereka adalah lima
Advano tertinggi. Mereka adalah para Hakim yang akan menguji apakah seseorang
yang akan membuka pintu itu adalah memang orang yang layak untuk membukanya,”
jawab sang Kunci.
“Jadi ujiannya adalah
kekuatan?”
“Kuharap juga seperti
itu. Tetapi sepertinya ada yang lain. Maaf, selebihnya aku tidak tahu,” kata
sang Kunci.
“Sepertinya ini adalah
saat penentuan. Dan sampai sekarang aku tidak tahu kau ini sebenarnya apa. Jadi
sekarang kau ingin menjelaskannya?” tanya Adam.
Sang kunci terdengar
menghela napas panjang. “Akan kujelaskan secara singkat. Aku dibuat dengan gen
dari para Advano yang membuat dunia ini. Aku mewarisi sedikit pikiran mereka,
juga kepribadiannya. Aku, meskipun adalah bagian dari mereka, berada di pihak
manusia. Aku adalah penjaga keseimbangan. Tetapi para Advano saat ini telah
jauh berbeda dengan mereka seribu tahun lalu. Mereka terkotori emosi negatif
manusia. Karena itu kali ini aku memutuskan untuk muncul dan memurnikan
mereka,” jawab sang Kunci.
“Kali ini? Apa
sebelumnya mereka telah mencoba untuk membangkitkan Kunci seperti sekarang?”
“Ya. Dan dengan
cara-cara yang sangat tidak manusiawi seperti yang mereka lakukan pada ibu
kandung Eva. Bagi manusia busuk itu manusia lain tidak ubahnya binatang yang
bisa dipaksa beranak pinak dan dibunuh begitu saja. Belum lagi mereka bersekutu
dengan Advano dan membuat mereka yang seharusnya menjadi penjaga dunia ini
bergeser menjadi ingin menguasainya,” kata sang Kunci.
“Apa tidak ada lagi
yang baik di pihak Advano?”
“Kurasa masih ada satu
atau dua. Dan kurasa dia ada di antara tamu yang menyongsong kita saat ini,”
kata sang Kunci.
“Bagaimana kau bisa
tahu?”
“Aku setua dirinya.
Dia adalah salah satu Advano yang masih murni, salah satu yang membentuk dunia
ini dengan kekuatan Panacea miliknya.”
“Lalu mengapa dia
sekarang memilih untuk menyerang manusia?”
“Bukan manusia, tetapi
siapapun yang mendekati Pintu. Lagipula sekarang dia adalah penguji. Jika kau
berhasil meyakinkannya, dia mungkin akan mengizinkan kita mendekati sang
Pintu.”
“Lalu bagaimana dengan
yang lainnya?”
“Aku merasakan amarah
dan kebencian yang tidak terhingga dari dua Advano lainnya. Kalau berhasil
mengalahkan keduanya, aku kira kita bisa meyakinkan sisanya. Kuharap lawan kita
hanya dua Advano itu.”
“Kenapa?” tanya Adam.
“Karena tiga Advano
lainnya adalah yang paling kuat di antara semua Advano. Termasuk dia yang
menguasai Panacea, sumber kekuatanku,” jawab sang Kunci.
“Sepertinya kau benar.
Dua titik cahaya saja yang semakin mendekat kemari. Sedangkan tiga lainnya
tetap di tempatnya,” kata Adam.
“Syukurlah. Aku tahu
kau bisa melakukannya. Kupinjamkan kekuatanku padamu. Bukalah pintu itu, Adam,”
kata sang Kunci.
“Tunggu! Bagainmana
dengan Eva dan Sierra? Kalau kita bertarung di atas kota bukankah yang berada
di bawah sana akan ikut terlibat?”
“Karena itulah Eva
melayang di udara seperti sekarang. Semua serangan tidak akan melewatinya. Dia
adalah perisai untuk kota itu.”
“Lalu apa yang akan
terjadi padanya jika ia menerima serangan itu?”
“Jangan khawatirkan
hal seperti itu. Berbeda dengan penyatuanku denganmu saat itu, aku dan Eva bisa
dikatakan sebagai satu kesatuan. Dengannya aku bisa mengeluarkan kemampuan
terbaikku. Selesaikan cepat dan bawa Eva bersamamu menuju Pintu itu,” kata sang
Kunci.
Adam baru membuka
mulutnya untuk kembali bertanya saat tiba-tiba dua berkas cahaya berwarna merah
dan hijau memancar seperti ditembakkan ke arahnya. Adam segera menghindari
kedua serangan itu, tetapi sinar itu tidak berhenti. Kedua sinar itu terus
menuju ke arah kota. Adam terkejut. Ia mengira kota itu akan hancur karena
serangan sinar itu. Tetapi kedua berkas cahaya itu lenyap seperti ditelan
sesuatu. Adam melihat keduanya seperti mengenai selaput tipis yang beriak
seperti air kolam yang ditimpa batu. Di tengah-tengah selaput tipis itulah Eva
berada.
“Kau lihat? Kau tidak
perlu khawatir melawan mereka. Sekarang keluarkan pedangmu. Kita akan membuat
mereka merasakan serangan mereka sendiri,” kata sang Kunci.
“Ide bagus,” kata
Adam. Ia mencoba mengingat sensasi pedang dan baju zirah pelindung yang dulu
dikenakannya saat bertarung. Tidak sulit untuk kembali mengingatnya. Dengan
segera seluruh tubuhnya telah dibalut pakaian zirah itu, dan di tangan kanannya
pedang itu pun telah muncul.
Bersamaan dengan
munculnya baju zirah dan pedang itu, wujud kedua titik cahaya di langit itu
juga mulai tampak. Keduanya kini hanya terpisah dua ratus meter dari Adam.
Seperti Advano yang dilawan pria itu dahulu, wujud keduanya adalah raksasa.
“Setelah Quetzalcoatl,
sekarang Wyvern dan Daemon rupanya,” kata sang Kunci.
Cahaya yang meliputi
kdeua sosok raksasa itu perlahan meredup. Sebagai gantinya kini berdiri makhluk
yang menyerupai wujud Quetzalcoatl, namun dengan sayap kelelawar dan bertangan
dan berkaki. Kepala makhluk itu terlihat seperti kepala kadal dan seluruh
sisiknya berwarna hijau. Sedangkan makhluk di sebelahnya berbentuk seperti kambing
yang berdiri dengan dua kakinya. Kaki depannya berubah bentuk menjadi tangan
manusia. Tanduknya menjulang tinggi hingga sepanjang lengannya. Matanya hitam,
sedangkan semua rambut di tubuhnya berwarna merah.
“Mereka musuhku?”
tanya Adam.
“Begitulah,” jawab
sang Kunci.
Sosok berwarna hijau
meraung. Suaranya jauh lebih keras daripada Quetzalcoatl saat itu, tetapi Adam
sudah terbiasa dengan suara seperti itu.
“Jadi kau manusia
itu?” kata sosok berwarna merah. “Kau manusia hina yang berani melawan kami?
Hah! Jangan bermimpi! Kau pikir bisa menghadapiku, Asdaros sang Daemon?!” kata
sang Advano. Ia tertawa menghina Adam. Suara tawanya memenuhi udara. Seandainya
manusia biasa yang menghadapinya saat ini, pastilah manusia itu sudah mati
karena suara yang memecahkan gendang telinga itu.
“Jadi namamu Asdaros?
Lalu siapa makhluk aneh di sampingmu ini?” tanya Adam pada sosok berwarna hijau
di sebelah Asdaros.
Sosok berwarna hijau
itu mengamnuk. Ia mengeluarkan cahaya hijau ke arah Adam, namun dengan cepat
Adam menangkisnya dengan pedang di tangannya. Sosok itu terkejut, namun
kemudian ia tertawa. “Heh! Ternyata kau hebat juga bisa melawan serangan Marr
yang hebat ini,” kata sosok itu.
“Todak di manapun
kalian semua sombong, ya? Mau merasakan bagaimana kekuatanmu sendiri, Marr sang
Wyvern?” kata Adam. Secepat kilat ia menebas udara di depannya. Sebuah sinar
berwarna hijau melesat keluar dari pedangnya. Sinar itu sangat cepat hingga
sang Advano sendiri tidak melihatnya. Dalam sekejap tubuh makhluk berwarna
hijau itu terbelah. Advano berwaran itu sendiri tidak sadar saat tubuhnya
terpotong, sampai akhirnya ia terpisah sempurna dan hancur.
“Apa!?” seru Asdaros.
Matanya yang sepernuhnya hitam itu terbelalak. Ia tidak percaya Advano seperti
mereka dimusnahkan begitu saja hanya dengan sebuah serangan. Amarahnya
memuncak. Ia berteriak sekeras-kerasnya. Dari mulutnya muncul api yang
menyala-nyala. Api itu perlahan-lahan berubah bentuk menjadi cahaya, dan dengan
sebuah sentakan Advano itu melepaskan seluruh api itu ke arah Adam.
“Akan kuterima,” kata
Adam. Ia menebas api itu sebelum api itu mengenai tubuhnya. Seketika itu pula
serangan itu menghilang, terserap ke dalam pedang di tangan kanannya. Ia
mengangkat pedang itu dan menebas udara ke arah Asdaros. Tetapi sosok raksasa
Advano itu dengan secepat kilat menghindarinya dan telah berada di belakang
Adam.
“Apa?!” seru Adam.
Sebelum ia sempat menghindar, sebuah pukulan dari Advano itu telah
menghantamnya. Tubuhnya bagaikan dihantam sebuah gunung. Baju zirah yang
digunakannya retak. Ia berkonsentrasi memperbaiki retakan itu, namun Asdaros
sudah kembali menyerangnya dari atas. Dengan sekuat tenaga Advano itu memukul
tubuhnya jatuh. Ia seperti tidak berdaya terhempas memasuki laut.
“Hanya seperti itu
kemampuanmu, manusia?!” teriak Asdaros. Ia mengarahkan telapak tangannya ke
permukaan laut di mana Adam terjatuh. Dalam sekejap sebuah cahaya berwarna
merah melesat keluar dari telapak tangannya menuju ke laut itu. Sedetik
kemudian laut itu seperti terbelah. Ledakan yang disebabkan cahaya itu telah
membuat dasar laut itu terlihat. Tetapi Asdaros tidak berhenti sampai di situ
saja. Ia berkali-kali melepaskan sinar itu hingga akhirnya nyaris membuat kota
Kalis tenggelam oleh gelombang besar. Seandainya tidak ada tabir dari Eva, maka
pastilah itu terjadi.
“Rasakan itu,
manusia!” teriak Asdaros. Ia tertawa terbahak-bahak melihat kehancuran yang
dilakukannya. Ia sangat yakin ia telah membunuh sang Pembuka Pintu. Dengan
demikian, sudah tidak ada lagi yang akan berani melawan para Advano.
Atau setidaknya
begitulah yang dipikirkannya.
Sebelum sempat
menyadari apa yang terjadi, tubuh Asdaros telah terpotong menjadi enam bagian.
Kepalanya yang tertebas terjatuh bersama bagian-bagian tubuhnya yang lain. Di
saat itulah ia melihat sosok Adam yang berdiri di belakangnya dengan pedang
yang terhunus. Manusia itu selamat dari serangannya dan menyerang balik
dirinya, memotongnya menjadi enam dan
mengalahkannya dengan mudah.
“Tidak… mungkin…” kata
Asdaros. Sedetik kemudian tubuhnya pun hancur. Ledakan yang ditumbulkannya jauh
lebuh besar daripada ledakan saat tubuh Marr, sosok Advano yang bertubuh hijau
itu hancur.
“Sisa tiga. Aku harap
aku tidak melawan mereka,” kata Adam.
“Aku juga,” kata sang
Kunci.
***
Ketiga sosok yang
mengawasi pertarungan itu tidak melepaskan pandangan mereka dari Adam. Mereka
kagum melihat pertarungan yang disajikan oleh manusia itu, meski pada akhirnya
dua rekan mereka terbunuh olehnya.
“Marr dimusnahkan
begitu saja,” kata Farros. Cahaya yang melingkupinya perlahan menghilang.
Wujudnya tersingkap. Berbeda dengan bentuk kristalnya, kini wujudnya adalah
seekor kuda raksasa berwarna putih dengan sebuah tanduk di kepalanya.
“Dia musnah karena
kesombongannya,” kata Darra. Seperti halnya Farros, wujudnya perlahan-lahan
tersingkap dari cahaya yang melingkupinya. Kini ia tampak seperti singa raksasa
berkepala elang dengan sepasang sayap elang di punggungnya.
“Sebentar lagi Asdaros
akan menyusulnya. Dengan demikian, giliran
kita untuk menghadapinya,” kata Barazza. Sosoknya kini bukanlah kristal
berbentuk angka delapan, tetapi seperti manusia berukuran raksasa dengan
delapan tangan. Seluruh tubuhnya dibalut semacam perban, kecuali wajahnya yang
terlihat dengan jelas. Kedua matanya yang berwarna merah memandang tubuh Adam
yang terhempas dihantam oleh Asdaros. Meski posisinya tampak tidak
menguntungkan, ia tahu manusia itulah yang akan memenangkan pertarungan itu.
Dan dugaannya benar.
Asdaros yang sombong dan angkuh berakhir seperti Marr, dengan badan yang terpotong
menjadi enam bagian dan hancur hanya dengan sebuah serangan dari seorang
manusia. Bahkan Jerez yang memiliki posisi lebih rendah dari mereka berlima
berjuang lebih keras darinya.
“Saatnya telah tiba.
Mari menguji apakah dia layak menjadi seorang Pembuka Pintu,” kata Barazza.
“Mari!”
“Mari!” seru kedua
Advano lain yang berada di sisi kiri dan kanannya itu.
***
Adam kini berada di
antara ketiga Advano berukuran raksasa itu. Seekor kuda raksasa dengan sebuah
tanduk besar di sisi kirinya. Seorang manusia raksasa dengan seluruh tubuhnya ―terkecuali
kepala dan wajahnya― terbalut kain seperti perban yang dibalutkan Sierra
padanya beberapa hari lalu berdiri tepat di depannya. Seekor makhluk aneh yang
terlihat seperti gabungan singa dan elang berada di sisi kanannya. Ketiganya
hanya memiliki kesamaan pada rambut emas mereka dan mata mereka yang merah.
“Aku tidak menyangka
berada di antara tiga makhluk raksasa ini sekarang,” bisik Adam. “Dan aku kagum
pada diriku sendiri karena memiliki keberanian untuk tidak melarikan diri, juga
kewarasan untuk tidak melawan mereka di saat seperti ini.”
“Baguslah,” kata sang
Kunci. Ia terdengar lega. Adam dapat mendengar suara desahan leganya di
telinganya. “Setidaknya kau memiliki akal sehat. Lagipula mereka tidak sedang
ingin menghancurkanmu. Setidaknya tidak sekarang.”
“Maksudmu ada
kemungkinan mereka menghancurkanku saat ini?” tanya Adam.
“Mungkin. Ingat, ini
ujian. Kalau kau gagal, kau akan mati diserang mereka. Dan kau tidak akan bisa
melarikan diri dari kepungan mereka,” jawab sang Kunci.
“Aku ingin tahu ujiannya
seperti apa,” kata Adam bersemangat. Entah darimana semangatnya itu bersal,
tetapi ia merasa siap menghadapi apapun saat ini. Ia tidak merasakan keinginan
untuk membunuh dari ketiga Advano yang berada di depannya saat ini. Tetapi di
saat bersamaan ada sensasi menekan yang dirasakannya.
“Apa kau siap menerima
ujianmu, Manusia?” tanya sosok manusia raksasa di depan Adam.
Adam mengangguk
mantap. Sosok di depannya tersenyum. “Adam, sang Manusia, keteguhan hatimu akan
menentukan nasibmu dan dunia ini. Ujian ini akan menentukan apakah kau layak
membuka pintu itu atau tidak. Bila kami menganggapmu tidak layak, kami akan
menghancurkanmu karena merusak kesetimbangan alam ini,” kata sosok manusia
raksasa itu lagi.
“Lebih baik daripiada
membiarkan segelitir manusia saja yang menguasai pintu itu dan menyelamatkan
diri mereka,” kata Adam.
“Kau tahu hal itu?”
tanya kuda bertanduk di sisi kirinya.
Adam menoleh pada kuda
raksasa itu dan menjawab dengan mantap, “Ya. Seseorang menceritakan itu padaku,
dan temanku membenarkannya. Aku tahu bagaimana Adventa telah berlaku
semena-mena pada semua manusia yang berada di Faux Ciel. Aku tidak bisa
membayangkan apa yang akan terjadi bila mereka membuka pintu itu.”
“Sejak kapan kita
berteman?” tukas sang Kunci. Tidak ada yang mempedulikan perkataannya itu.
Tetapi ia lega karena hal itu. Ia tidak ingin menyela para makhluk raksasa itu
dan membuat mereka marah. Bahkan iapun tidak akan selamat bila mereka bertiga
murka padanya.
“Mereka adalah
perwakilan kami di dunia ini. Kami membuat dunia ini agar manusia mau belajar
berdamai dengan sesama mereka. Kami berharap suatu saat nanti sifat buruk
manusia yang suka saling menghancurkan sesamanya akan hilang. Tetapi beberapa
dari kami menyimpang karena mereka merasakan sifat buruk manusia. Dan mereka
menikmatinya. Kau baru membunuh dua di antara mereka,” kata kuda raksasa itu.
“Lalu, apa kalian juga
seperti mereka berdua?” tanya Adam.
“Tidak. Kami berbeda.
Kami lebih suka membiarkan manusia hidup sebagaimana adanya. Kami lebih suka
mengatur dari balik layar, dengan mengizinkan mereka mengembangkan budaya
mereka kembali. Barazza yang agung mengizinkan cairan emas yang kalian sebut
Panacea itu mengalir dari tubuhnya untuk menjadi kekuatan kalian. Tetapi kalian
mengubahnya menjadi senjata!” kata makhluk di sebelah kanan Adam.
Adam menoleh ke
sebelah kanan. “Lalu mengapa kalian membiarkan kerajaan lalim seperti itu masih
ada? Tidakkah itu membuat kalian terlihat seperti penjahat?” tanyanya pada
sosok yang berada di sebelah kanannya.
“Jika kami mengambil
tindakan saat itu juga, maka kehadiran kami akan mengacaukan keharmonisan alam
di dunia ini. Kami tidak boleh berada di dalamnya, atau dunia ini akan hancur
karena tertekan oleh kekuatan kami,” jawab sosok berkepala elang dan bebadan
singa itu.
“Lalu bagaimana kau
menjelaskan dua orang Advano yang membunuh kedua orang tuaku dan dia yang
menyerangku di Ravena?” tanya Adam lagi.
“Kedua Advano itu adalah
kesalahan kami. Seharusnya kami tidak mendengarkan permohonan Edward, raja
Adventa, saat dia berkata sebuah keluarga sedang berencana menghancurkan dunia
ini dengan melakukan hal terlarang di dunia ini. Membangkitkan kembali senjata
pemusnah massal yang mampu membunuh semua manusia, seperti yang kalian miliki
dulu di dunia lama kalian. Saat kami
menyadari kesalahn kami, semuanya sudah terlambat. Terlebih lagi itu membuatmu
bertemu dengan sang Kunci dan memaksamu menjalani takdir seperti ini. Maafkan
kami,” kata sosok itu lagi.
“Maafmu tidak akan
menghidupkan orang tuaku kembali,” kata Adam. Ia mulai merasa geram kembali.
Sang Kunci mengingatkannya untuk tidak memancing kemurkaan ketiga Advano itu,
tetapi ia tidak mempedulikannya.
“Kami mengerti. Dan
kini kau menemukan seseorang yang berharga, bukan?” kata sosok manusia raksasa
di depan Adam.
“Aku tahu,” kata Adam
pada sosok itu. “Tetapi tetap saja aku masih membenci kalian karena hal itu.”
“Kau bisa membalasnya
pada kami jika kau ingin. Tetapi itu jika kau bisa melewati ujian ini. Bahkan
jika kau membunuh kami, kami tidak akan melawan. Aku, Barazza, menjamin itu
padamu dengan semua Panacea yang mengalir di dunia ini,” kata sosok manusia di
hadapan Adam.
“Akan kuingat itu,”
kata Adam.
Ketiga Advano itu
mengangkat kepala mereka. Mata merah mereka bersinar. Cahaya berwarna merah
memancar keluar dari ketiga pasang mata mereka dan menyorot langit di atas
mereka. Seketika itu pula muncul sebuah lingkaran dengan pinggiran berwarna
emas yang semakin membesar dan mendekati mereka berempat. Adam menatap mantap
saat lingkaran itu akhirnya menelan mereka berempat ke dalam sebuah tempat yang
tidak asing untuknya. Dunia yang sering di lihatnya dalam mimpinya sendiri.
***
Sensasi nikmat berdiri
di atas langit memandangi matahari yang mulai naik di sebelah timur tidak
pernah membuatnya bosan. Ia bisa menikmati pemandangan itu selama apapun,
tetapi tidak kali ini. Ketiga Advano yang bersamanya di luar sana juga berada
di dalam dunia mimpinya itu.
“Kami melihat mimpimu.
Dan kami melihat kedamaian di dalam mimpimu itu. Ini adalah harapanmu. Dan
dengan ini kau telah lulus ujian pertama, ujian dariku, Farros sang Unicorn,”
kata sosok kuda raksasa bertanduk di sisi kiri Adam.
“Semudah itu?” tanya
Adam.
“Tidak juga. Masih ada
dua ujian lain dari mereka,” kata kuda itu.
“Sekarang aku yang
mengujimu. Apa yang akan kau lakukan dengan kesetimbangan di dunia ini bila kau
masih berniat membuka pintu itu? Apa kau tidak tahu bila membuka pintu itu maka
dunia ini akan hancur? Bagaimana kau yakin bila di seberang sana ada kehidupan
yang layak?” tanya sosok berkepala elang dan berbadan singa di sisi kanan Adam.
“Aku tidak tahu.
Tetapi aku percaya ada sesuatu yang lebih baik dari dunia ini. Kebebasan
manusia adalah apa yang membuat mereka menjadi manusia. Tetapi aku tidak
menolak pemikiran untuk membatasi kebebasan itu agar manusia tidak saling menghancurkan.
Tetapi biar manusia yang mengatur diri mereka sendiri, karena hanya mereka yang
tahu diri mereka sendiri. Bukankan dunia lama kami, sebuah tempat bernama Bumi,
telah ditinggalkan sekian lama? Mungkin saja dunia itu telah layak kami huni
kembali,” jawab Adam.
“Bagaimana kau yakin
Bumi masih layak kalian huni? Bagaimana dengan mereka yang lebih suka berada di
tempat ini?” tanya sosok itu lagi.
“Aku percaya. Aku
tidak melihat pilihan lain untuk tidak percaya saat aku mendengar bahwa dunia
ini akan hancur. Panacea telah dikuasai sepihak oleh Adventa dan hanya sedikit
yang diterima oleh orang lain. Kesetimbangan yang kau katakan telah hancur
sejak awal. Maka dari itu, lebih baik manusia hidup tanpa Panacea dan menjalani
hidupnya kembali seperti dahulu,” jawab Adam kembali.
“Kau tetap percaya
bahkan saat kau tidak punya landasan untuk itu? Kau tidak takut?”
“Hanya itu yang kami
punya, bukan?” balas Adam.
Sosok berkepala elang
dan berbadan singa itu mengangguk. “Kepercayaan manusia untuk hidup yang lebih
baik memang mengagumkan. Bahkan saat ketidakpastian dan ketakutan menghadang
kalian. Kau lolos ujian dariku, Darra sang Griffin,” kata sosok di sebelah
kanan Adam itu.
“Berarti sisa satu
lagi?” kata Adam sambil menoleh pada sosok manusia raksasa dengan perban di
sekujur tubuhnya. Sosok di depannya itu mengangguk.
“Apa yang paling
berharga untukmu? Akan kuberikan itu padamu,” kata Barazza, manusia raksasa
itu.
“Untuk apa kau
memberikannya padaku?” tanya Adam.
“Sebagian dari
permintaan maafku, sebagian lagi untuk mengujimu. Bahkan jika kau meminta
seluruh dunia ini akan kuberikan padamu,” kata Barazza.
“Apa gunanya menguasai
seluruh dunia yang akan hancur sebentar lagi?”
“Kaualu begitu aku
tinggal membuat dunia baru dan memindahkan kalian semua ke sana. Aku akan
membuatmu ternama dan memerintah mereka. Kau akan dikelilingi para wanita. Kau
akan dipuja bagai pahlawan dan bergelimang harta. Sebagai gantinya kau tidak
boleh membuka pintu itu. Kau setuju?” tanya Barazza.
Adam menghela napas.
“Aku tidak mau menjadi orang sehebat itu. Aku tidak suka menjadi sombong. Aku
hanya mau bebas dari tempat ini dan dari kalian,” jawab Adam.
“Kalau kuberikan
Sierra padamu?”
Adam tersenyum. “Cinta
tidak bisa diberi begitu saja, tetapi diperjuangkan. Aku tidak butuh bantuanmu
untuk itu. Aku masih mampu melakukannya sendiri,” katanya.
Barazza tersenyum.
“Jadi kau tidak tertarik pada harta, kekuasaan, dan wanita?” tanyanya.
“Tidak. Aku hanya
ingin menjalani hidupku sendiri seperti yang kuinginkan. Aku hanya ingin hidup
bersama orang yang kusayangi. Aku hanya ingin hidup dari apa yang dihasilkan
tanganku,” jawab Adam. “Dan aku ingin bebas dari kalian, itu saja!”
Barazza mengangguk.
“Baiklah. Kau tidak seperti raja-raja Adventa yang memilih harta, kekuasaan dan
wanita sebagai ganti kebebasannya. Kami menyatakan kau lulus. Sekarang pergilah
menuju pintu itu,” katanya sambil mengangkat tangan kanannya. Sebuah lingkaran
dengan tepian berwarna emas kembali muncul dan menelan mereka. Dalam sekejap
mereka kembali ke tempat asal mereka. Barazza menunjuk ke arah selatan. Sebuah pintu
dengan ukiran sulur tanaman yang menghiasinya tampak melayang di langit. Cahaya
berwarna keemasan menyinarinya dari bawah. Adam pernah melihatnya sekali di
mimpinya. Akhirnya ia sadar apa maksud dari mimpinya saat itu, mimpi sehari
sebelum ia bertemu dengan Eva. Ia memang membutuhkan Kunci untuk membukanya.
Itulah maksud Eva saat itu.
“Sekarang, apa yang
akan kau lakukan pada kami?” tanya Farros.
“Membunuh kalian semua
pun tidak akan mengubah masa laluku. Lagipula ada bagian dari masa laluku yang
tidak ingin kuubah,” jawab Adam.
Adam membentangkan
sepasang sayap elang di punggungnya. Dengan cepat ia melesat ke arah pintu itu.
“Ini adalah saatnya,”
kata sang Kunci. “Sebentar lagi tugasku selesai dan kau akan bebas. Bersama
semua manusia di sini tentunya.”
“Bagaimana denganmu?”
tanya Adam.
“Takdirku memang
adalah untuk hilang saat tugasku selesai. Tetapi tenang saja, Eva akan tetap
hidup karena dengan ini perjanjian antara kami telah selesai,” jawab sang
Kunci.
“Meski sebentar, kau
teman seperjuangan yang menyenangkan,” kata Adam.
“Terima kasih. Hanya
kau yang menganggapku sesuatu,” kata sang Kunci.
“Memang kau itu
sesuatu, kan?” kata Adam. Ia tersenyum jahil. “Sesuatu yang menyebalkan dan
tidak bisa dibenci.”
[Jumlah kata: 3387]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar