Nyaris setengah hari
dihabiskan oleh rombongan Adam di atas kapal mereka. Sejak siang kapal penjaga
perbatasan Klais yang bersenjata lengkap telah mengelilingi mereka dan menahan
mereka maju lebih jauh. Lambert telah turun dari kapal itu dan menaiki kapal penjaga
yang membawanya menuju ke pulau Klais. Adam, Eva, Sierra dan kapten kapal
mereka harus tinggal di perairan. Secara teknis mereka adalah sandera yang siap
dibunuh kapan saja bila dianggap berbahaya. Secara teknis pula, nasib mereka
tergantung sepenuhnya di mulut Lambert. Sekali saja pria itu salah bicara, maka
mereka semua akan mati.
Adam bersandar di
pembatas buritan kapal itu sambil menatap bulan purnama yang tampak bersinar
terang. Angin malam yang dingin berhembus ke arahnya. Orang lain mungkin akan
mengigil kedinginan dalam keadaan seperti itu, tetapi tidak untuk Adam. Lantai dingin
penjara bawah tanah yang sering ditempatinya jauh lebih dingin dari angin malam
kali ini.
Di depan pria itu,
tepat di belakang kapal yang membawanya dari pulau Arron, terdapat sebuah kapal
penjaga perbatasan yang mengacungkan senapan mesin ke arahnya. Prajurit di
belakang senapan itu menatap padanya dengan tajam, seolah ia tidak akan
melewatkan satupun gerakan mencurigakan yang dilakukannya dan segera
menembakkan isi senapan itu. Adam dapat melihat tubuh prajurit itu menggigil,
tetapi pria itu menahannya dengan baik. Ia menghela napas panjang. Sejak ia
melarikan diri dari Tanah Timur, tempat ia dijual sebagai budak oleh pedagang
budak dari Adventa, entah sudah berapa kali nyawanya terancam seperti ini. Selama
ini ia memang sering menghadapi bahaya yang mengancam nyawanya, tetapi tidak
pernah sampai membuatnya nyaris mati mengenaskan. Nyaris menjadi serpihan
karena serangan makhluk aneh yang disebut Advano dan juga tatapan yang membekukan
dari Sierra dianggapnya mengancam nyawanya ―berbeda, namun memiliki efek
mematikan yang sama baginya.
Adam kembali menghela
napas panjang saat mengingat Sierra tidak berbicara dengannya sejak siang. Gadis
itu hanya melihatnya sesaat lalu membuang mukanya. Saat mereka berpapasan di
anjungan pun gadis itu hanya menatap lurus ke depan, seolah dirinya tidak ada
di depannya. Gadis itu juga mendengus setiap kali mereka berpapasan. Adam makin
tidak mengerti gadis itu. Ia mencoba untuk menjelaskan kesalahpahaman yang
terjadi di antara mereka, tetapi gadis itu tidak memberikannya kesempatan
sedikitpun.
Adam disadarkan dari
lamunannya sendiri oleh sebuah sentakan di bajunya. Ia sudah mulai terbiasa
dengan sentakan-sentakan seperti itu. Dan rasanya ia sudah tahu siapa yang
melakukannya. Ia berbalik tanpa mempedulikan prajurit di belakang senapan yang
segera melepas kunci senapan mesinnya.
“Ada apa, Eva?” tanya Adam.
“Sierra marah,” jawab Eva.
Adam mengangkat
alisnya. “Kepadamu?”
Eva mengangguk pelan. Wajahnya
tampak murung.
“Sierra memarahimu
secara langsung?”
Eva segera menggeleng
dengan kuat.
“Lalu?”
Eva tampak ragu sesaat
sebelum ia menjawab dengan perlahan, “Aku merasakannya. Sierra tidak marah
secara langsung, kok.”
“Kau melindunginya?”
Eva kembali menggeleng
dengan kuat. Jika itu jawabannya, maka memang ia mengatakan hal yang
sesungguhnya.
“Maaf telah membuatmu
seperti ini. Tolong maafkan dia,” kata Adam.
Kali ini Eva mengangguk
dengan kuat. Wajahnya yang murung perlahan berubah kembali ceria. Adam sampai bingung
bagaimana caranya gadis itu bisa mengganti-ganti ekspresinya secepat itu. Tetapi
yang pasti senyum gadis itu bisa membuatnya juga tersenyum.
Adam mengulurkan
tangannya ke arah kepala Eva, tetapi gadis itu dengan cepat menghindarinya. Gadis
itu tersenyum dan menjulurkan lidah padanya sebelum kembali berlari ke dalam
anjungan. Adam tidak mengejarnya. Ia hanya mengikuti gadis itu masuk ke dalam
anjungan itu dengan tersenyum.
Setelah gadis itu
menghilang di dalam anjungan itu, Adam kembali berbalik. Prajurit di belakang
senapan mesin itu masih dalam keadaan siaga. Ini sudah mulai menyebalkan! kata Adam dalam hati. “Turunkan saja
senjatamu. Aku tidak sedang merencanakan apapun,” sahutnya pada prajurit itu. Tetapi
prajurit itu bergeming di tempatnya.
Adam menarik napas
panjang dan menghembeskannya dengan perlahan. “Prajurit,” bisiknya pada dirinya
sendiri, “di manapun sama saja.”
***
“Anda dari Arron?”
Lambert menarik
bibirnya ke kiri. Sudah lebih dari sepuluh kali ia ditanya dengan pertanyaan
yang sama. Setiap kali dengan pertanyaan lanjutan yang sama: Tujuan Anda ke
sini? Apa hubungan Anda dengan kekacauan semalam? Apa alasan Anda menuju pulau
ini? Setelah ketiga pertanyaan itu, maka sang penanya ―orang yang sama yang
menginterogasinya sejak ia dimasukkan ke dalam ruang interogasi di mana ia
berada saat ini― akan keluar dan kembali setengah jam kemudian. Tentu saja
dengan pertanyaan yang sama.
“Ya,” jawab Lambert dengan
bosan.
Sang penanya, seorang interogator
berperawakan tinggi gemuk, tampak tidak begitu terpengaruh. Ia kembali mengulangi
pertanyaannya seperti sebuah ritual.
“Berapa lama lagi aku
harus berada di sini? Pertemukan aku dengan Damian Han sekarang!” seru Lambert yang
sudah berada di batas kesabarannya.
Tanpa diduga-duga
interogator itu menggebrak meja di depannya dengan sangat keras. Lambert terkejut,
namun ia masih bisa menyembunyikan emosinya itu. “Kau pikir aku tidak bosan,
hah?! Jika kau mengatakan sesuatu yang benar di sini, akan kupastikan semuanya
akan berakhir dengan cepat!” teriak interogator itu.
“Sesuatu yang benar? Bukan
sesuatu yang ingin kau dengar?” tanya
Lambert dengan mencibir.
Pria bertubuh tinggi
gemuk itu tampak geram. Ia baru saja akan melayangkan tinjunya ke arah Lambert saat
tiba-tiba pintu ruangan gelap tempatnya berada dibuka dengan keras. Bahkan mungkin
tidak berlebihan jika mengatakan pintu itu dibanting dengan keras. Pria itu
berhenti. Kini ia tampak seperti ketakutan. Dengan cepat pria itu berdiri tegak
dan memberi hormat pada sosok di anggang pintu ruangan itu. Lambert tidak dapat
melihatnya dengan jelas karena pria itu membelakangi ruangan yang sangat terang,
sedangkan ia sudah terbiasa dengan keadaan temaram di dalam ruangan itu.
“Hentikan, Jig,” kata
sosok itu.
Pria bertubuh tinggi
gemuk itu tampak bergetar di tempatnya. “Sa―saya minta maaf, Tuan Damian,” kata
pria bernama Jig itu.
Sosok yang berdiri di ambang
pintu itu melangkah masuk. Ia menepuk tangannya dua kali. Cahaya temaram yang
menerangi ruangan itu perlahan makin terang. Perlahan-lahan sosok yang masuk ke
dalam ruangan itu mulai terlihat.
“Namaku Damian Han,”
kata sosok itu, yang kini tampak sebagai seorang pria yang berperawakan tinggi
ramping. Sosok itu memakai setelan jas resmi. Rambutnya telah putih seluruhnya.
Tidak ada cambang, janggut atau kumis di wajah pria itu. Beberapa kerutan
menghiasi wajah yang tampak keras itu. Sorot matanya menatap tajam ―nyaris
terlihat angkuh― pada Lambert. Ia melihat Lambert dari ujung kaki ke ujung
kepalanya, dan kembali ke ujung kakinya.
“Anda Damian? Pimpinan
kota ini?” tanya Lambert.
“Sopan berbicara
padanya!” seru Jig pada Lambert dengan emosi, tetapi emosi itu segera terhapus
begitu saja begitu ia melihat Damian mengangkat tangannya dan menyuruhnya
keluar.
Damian menunggu hingga
Jig meninggalkan ruangan itu dan menutupnya dari luar. “Jadi, kata Anda ada
surat dari Albert untukku?” tanya pria itu.
Lambert mengangguk. Ia
mengambil sebuah amplop dari dalam jaketnya. “Aku berusaha keras agar surat ini
tidak diambil anak buahmu. Masih tersegel seperti sedia kala,” kata Lambert. Ia
berdiri dan menyerahkan amplop itu pada Damian.
Damian menerima amplop
itu dan melihatnya sekilas. Ia tahu simbol segel lilin yang terdapat di surat
itu. “Ini memang surat dari anak bodoh itu. Dan surat ini memang masih
tersegel. Setidaknya aku bisa mempercayai itu untuk saat ini,” kata Damian. Ia menarik
sebuah kursi lain di dalam ruangan itu menuju meja yang digebrak oleh Jig tadi.
Ia kemudian duduk di kursi itu dan mulai membuka surat yang diserahkan Lambert dengan
santai. Ia mengambil sebuah kotak berisi kacamata dari dalam saku celananya dan
mulai memakainya.
Lambert belum kembali
beranjak ke kursinya. Ia menatap sosok pria yang sekilas tadi terlihat angkuh
itu. Saat ini ia tampak tidak jauh berbeda dengan adiknya.
Damian memiliki
intuisi yang cukup tajam. Ia merasa benar kalau ada sesuatu yang dipikirkan
oleh pria di depannya saat ini. Ia melirik Lambert dari sela-sela kacamatanya. “Ada
masalah?” tanyanya.
“Tidak. Aku hanya
melihat Anda sangat tidak berbeda dengan adik Anda,” jawab Lambert.
Damian tertawa
terbahak-bahak begitu ia mendengar kata-kata Lambert. “Kalau orang biasa berani
mengatakan itu padaku, maka aku pasti akan menghajarnya saat ini juga hingga
menjadi bubur. Tetapi karena adik kurang ajar itu berani mengirim surat ini dan
juga orang sepertimu sebagai kurirnya, kuanggap kau orang yang di luar
kebiasaan,” kata Damian.
“Untuk kata-kata itu
juga Anda tidak jauh berbeda dengan adik Anda,” kata Lambert lagi.
Damian tersenyum. “Kami
berasal dari kandungan yang sama. Jelas saja kami sama,” katanya sambil kembali
mengalihkan pandangannya ke surat yang kini telah terbuka di tangannya.
Beberapa menit berlalu
dalam hening. Surat yang dikirimkan oleh Albertino Han ternyata tidak hanya
satu lembar saja. Kali ini Damian sedang membaca lembar ke empat. Dan sepertinya
masih ada tiga lembar lagi yang belum dibacanya.
Seakan mengetahui pria
di depannya sudah merasa bosan, Damian menurunkan surat yang dibacanya dan
menatap pada pria itu. “Tuan Lambert, bukan? Aku telah membaca sebagian besar
penjelasan tentang Anda melalui surat ini. Maaf kalau ini membuat Anda bosan,
ini adalah sebuah keharusan yang harus kami lakukan untuk menjaga keselamatan
kerajaan kami,” kata Damian. Ia berhenti sejenak dan memperbaiki posisi
duduknya. “Baiklah. Panacea? Anda tahu benda itu tidak seharusnya diketahui
orang yang tidak berkepentingan bukan?”
Tidak berkepentingan, ulang Lambert dalam hatinya.”Aku
mengetahuinya dari ayah angkatku, Conrad von Hermann,” jawabnya singkat.
Seperti teringat
sesuatu, Damian menjentikkan jarinya. “Ah! Aku ingat. Jenderal besar Adventa
yang mengkhianati bangsanya sendiri. Aku menolongnya saat itu,” kata Damian. Ia
memajukan badannya ke depan dan meletakkan tangannya ke depan meja. “Tapi itu
bukan yang ingin kudengar,” kata Damian dengan suara rendah yang berat. Sosoknya
yang tampak tenang kini tampak seperti seekor anjing yang siap menerkam.
Lambert merasa tidak
ada alasan lagi menyembunyikan fakta dari pria itu. Semakin lama ia di tempat
itu, keberadaan rombongannya yang berada di atas kapal akan semakin terancam. “Faux
Ciel,” jawab Lambert singkat.
Mata Damian melebar. Satu
kata itu cukup membuatnya menjadi sangat serius. Ia memajukan badannya semakin
ke depan. “Kau tahu banyak tentang itu?”
tanyanya dengan suara datar yang menekan.
“Ya,” jawab Lambert singkat.
Ia tidak merasa terintimidasi sama sekali.
“Berarti kau tahu
segalanya tentang kerajaan kami?”
“Aku ingin pergi
menuju Pintu,” jawab Lambert.
Damian tertawa. Awalnya
hanya seperti suara gumaman, namun semakin lama semakin besar, hingga akhirnya
ia terdengar seperti berteriak. “Pintu katamu?! Benda itu sudah tidak terlihat
lebih dari tujuh ratus tahun! Bagaimana bisa kau yakin benda itu masih ada di
kerajaan kami?!” kata Damian dengan suara keras.
“Aku membawa Kunci dan
Dia Yang Akan Membuka Pintu,” kata Lambert lagi.
Kali ini Damian
terkesiap. Ia berdiri dari tempat duduknya dengan tiba-tiba sehingga kursinya
terbanting ke belakang. Matanya membelalak, menatap tidak percaya pada pria di
depannya saat ini.
“Kunci? Sang Pembuka
Kunci?” tanya Damian. Suaranya terdengar seperti menggeram.
“Ya. Waktunya sudah
tiba, Tuan Damian,” jawab Lambert.
“Apa kau tahu apa yang
akan terjadi pada dunia ini bila hal itu terjadi, hah?!” teriak Damian sambil
menggebrak meja di depannya.
“Akan lebih buruk lagi
bila Adventa yang memperloeh akses ke pintu itu saat ini. Arron telah
dihancurkan. Bukan masalah sulit untuk kemajuan teknologi mereka untuk
menghancurkan tempat ini dan menyerbu kerajaan kalian, Levitia. Bukan dengan
tanpa tujuan nama kerajaan itu adalah Levitia. Benar, bukan?” kata Lambert.
“Hari Perjanjian masih
belum saatnya! Hari itu masih ada setahun lagi dan kau telah membawa keduanya
ke tempat ini?! Apa kau ingin memancing kekacauan di tempat ini ―ah, bukan! Ke seluruh
dunia ini!” seru Damian.
“Jika bukan aku yang
melakukan, Adventa yang akan melakukannya. Jika pintu itu mereka tarik ke
tempat mereka, maka hanya mereka yang akan selamat. Jika sang Pembuka Pintu
melakukan hal yang tepat, maka semuanya akan selamat,” kata Lambert mantap.
“Dan jika tidak, bukan
hanya dirinya sendiri, tetapi seluruh dunia ini akan terlempar ke batas antardimensi
dan hancur! Apa kau sudah gila!?” teriak Damian.
“Aku siap untuk
melakukannya,” jawab Lambert.
“Lalu bagaimana denga
anak muda yang bersamamu?!”
Lambert diam. Ia hanya
menatap purus ke depan.
Damian menghela
napasnya. Ia sadar telah membiarkan dirinya dikuasai emosi sesaat tadi. “Karena
mengingat siapa kau, aku memutuskan untuk melepaskan kalian. Jika kalian memang
ingin memakai Pintu, datanglah setahun lagi,” katanya.
“Raja Edward dari kerajaan
Adventa telah mengambil langkah pertama tanpa siapapun menyadarinya. Orang gila
itu telah menarik Advano padanya, membuat mereka memilihnya sebagai yang
terpilih untuk diselamatkan. Jika terjadi demikian, dan sang Kunci dibawa
olehnya, maka ia bisa memilih siapapun untuk membuka Pintu. Dan itu bisa kapan
saja dilakukannya,” kata Lambert.
“Bahkan kerajaan itu
tidak akan lolos dari aturan. Advano adalah pengatur dunia ini, dan mereka
pasti akan menghukum mereka!” kata Damian.
“Dan yang
menghancurkan kota yang dipimpin adikmu itu adalah Advano,” kata Lambert.
Damian mengernyit. “Bagaimana
mungkin itu terjadi?” katanya.
“Mereka telah
menetapkan secara sepihak siapa yang akan mendapatkan Kunci itu. Mereka telah
menetapkan sepihak pula sebuah hukum yang menetapkan kematian bagi siapa yang
harusnya menjadi sang Pembuka Kunci yang sejati. Tetapi takdir manusia lebih
dalam dari yang diperhitungkan mereka. Kedua orang tua bocah itu terbunuh,
tetapi dia sendiri selamat. Aku membawanya ke tempat ini,” kata Lambert.
“Bagaimana bisa kau
yakin?” tanya Damian.
“Dia berkata pernah
bertemu dengan sang Kunci, bahkan sebelum sang Kunci sendiri dilahirkan. Sang kunci
memilihnya. Dialah yang akan membuka jalan bagi manusia,” jawab Lambert.
Damian mengelengkan
kepalanya. “Legenda itu masih belum genap, Lambert. Aku tidak bisa mengambil
resiko,” kata Damian.
“Legenda itu berkata
saat sang Kunci dan sang Pembuka Pintu telah menyatu, maka Pintu akan
meresponnya. Dan berkat serangan Advano saat itu, bocah itu telah menyatu
bersama inti dari sang Kunci, meski hanya untuk sesaat. Aku yakin sekarang di Levitia
ada sesuatu yang aneh yang terjadi,” kata Lambert.
Damian masih
mengernyitkan dahinya. Ia ragu dengan pernyataan pria yang berdiri di depannya
saat ini. Tetapi kenyataan bahwa seorang agen mata-matanya yang ia tempatkan di
kota Ravena melihat sosok ular raksasa bersayap yang dikalahkan manusia
berambut emas cukup untuk menggoyang keraguannya itu.
“Tunggu di sini,” kata
damian. Ia bergegas keluar dari ruangan itu dan menguncinya dari luar.
Lambert menunggu
sampai Damian kembali ke ruangan itu. Dan itu terasa seperti berjam-jam!
“Aku tidak tahu
bagaimana harus mengatakannya, tetapi apa yang kau katakan memang benar. Gempa besar
telah terjadi di pegunungan barat laut Levitia. Penduduk setempat melihat
sebuah sinar yang memancar dari dalam gunung itu. Apa kau yakin ini yang terbaik?”
kata Damian.
“Mungkin kau ingin
menunggu hingga raja gila itu memohon agar pintu itu bergerak ke kerajaannya?”
kata Lambert sarkastik.
“Lebih baik untuk
menyerahkan pintu itu kepada sang Kunci secara langsung daripada memberikannya
pada orang itu,” kata Damian. Ia tersenyum. “Selamat datang di Levitia.”
Damian baru akan
meninggalkan ruangan itu saat Lambert tiba-tiba mencegatnya. “Aku lupa
menyampaikan sesuatu. Adikmu mengirimkan salam. Sepertinya dia ingin berdamai,”
kata Lambert.
“Aku meragukan
kesungguhannya, tapi terima kasih telah menyampaikan itu,” kata Damian. Sebuah senyum
lembut tersungging di wajahnya.
***
“Kalian diizinkan
berlabuh!” kata seorang prajurit kepada sang kapten kapal motor. Prajurit itu
segera meninggalkan kapal motor itu begitu menyampaikan pesan yang baru
diterimanya melalui radio panggil kepada sang kapten. Sesaat kemudian semua
kapal yang mengepung kapal itu mulai bergeser dan meninggalkannya. Adam yang
berada dalam kapal itu menghela napas lega. Sepertinya Lambert berhasil
meyakinkan mereka.
“Baiklah! Saatnya berlabuh.
Penumpang sekalian, perhentian berikutnya adalah Klais!” seru sang kapten kapal
dengan gembira.
Adam memaklumi
kegembiraan kapten kapal itu. Pria dengan cambang yang sangat lebat dan
berlengan besar itu pasti sudah nyaris depresi karena ia ditahan di dalam ruang
kemudi dengan keadaan harus terus duduk dan ditodong senapan.
“Akhirnya kita lepas
dari para perompak itu,” kata Adam.
Sang kapten tertawa
terbahak-bahak. “Makanya aku tidak tinggal di tempat ini. Albertino dan Damian adalah
saudara kandung yang sangat berbeda satu sama lain, termasuk kebijakan mereka,”
kata sang kapten.
Kapal motor itu melaju
kencang menuju ke dermaga sebelum akhirnya melambat dan merapat. Tepat saat
mereka turun dari kapal itu, sebuah keanehan terjadi pada diri Eva. Ia tidak
lagi tampak seperti gadis polos seperti biasanya. Bahkan suaranya berubah.
“Aku Kunci. Aku memanggil
sang Pintu!” seru Eva saat ia menjejakkan kakinya ke dermaga.
[Jumlah Kata: 2544 ]
[Jumlah Kata: 2544 ]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar