Raja Edward sudah
menyadari suatu saat hari seperti ini akan kembali terulang. Jenderal besarnya
telah pergi meninggalkan dirinya. Tetapi berbeda dari dahulu saat Conrad
―jenderal besarnya terdahulu, ayah angkat dari Lambert― membelot darinya dan melarikan sang Kunci
bersamanya, kepergian Klaus kali ini bukan sebuah kerugian besar untuknya.
Meski bersama sang jenderal besar ikut keluar sepertiga dari jumlah tentaranya.
“Selama aku punya
Glacies di tanganku, berapapun jumlah makhluk hina itu akan mudah kutaklukkan!”
katanya sambil mengangkat tongkat kerajaannya.
Malam itu sang raja
pergi seorang diri menuju ke pegunungan tempat di mana pasukannya yang membelot
bersembunyi. Ia berdiri di atas puncak salah satu gunung dan melihat perkemahan
para pembelot itu di lembah di antara pegunungan itu. Dari kejauhan api-api
unggun yang mereka nyalakan tampak seperti lilin yang dengan sekali tiup dapat
padam kapan saja. Sang raja tersenyum mengejek.
Pemandangan itu
sepadan dengan keberadaan mereka di matanya.
Sang raja mengangkat
tongkat kerajaannya. Di dalam batu permata di ujung tongkat itu terdapat sebuah
benda berbentuk kristal bunga es bertangan enam. Benda itu berputar pada
porosnya. Semakin lama putaran benda itu semakin cepat. Senyum raja Edward semakin
mengembang.
“Glacies, kristal suci
dari sang maha agung Advano, karuniakanlah kiranya aku angin puting beliung
untuk memadamkan nyawa dari musuh-musuhku. Oh, Glacies, penuhilah
permohonanku!” seru raja Edward.
Seketika itu pula
kristal bunga es di dalam batu permata itu bersinar terang. Sinar itu sangat
terang sampai-sampai para tentara pembelot di lembah itu menyadarinya. Mereka
bergegas mengangkat senjata mereka dan mengarahkannya ke arah sinar itu, tempat
di mana sang raja berdiri saat ini. Tetapi raja Edward tidak peduli. Ia tertawa
gembira karena tahu sebentar lagi mereka tidak akan ada lagi.
“Jenderal, ada cahaya
aneh di atas gunung!” seru seorang prajurit pada Klaus. Mendengar hal itu sang
jenderal bergegas keluar dari tendanya dan melihat ke puncak gunung itu.
Matanya membelalak. Meski puncak gunung itu sangat tinggi, sosok sang raja yang
sangat dikenalnya terlihat dengan jelas.
“Mundur! Kita pergi
dari sini!” serunya pada para tentara itu.
Para tentara yang
sudah bersiap menyerang itu bingung mendengarkan perintah mundur dari pimpinan
mereka. Tetapi perintah itu tetap mereka patuhi. Mereka menurunkan senjata
mereka dan dengan segera menuju tenda mereka masing-masing. Di saat itulah
tanpa diduga-duga sebuah angin puting beliung bertiup ke lembah itu dan
menerbangkan semua yang ada dalam lintasannya. Semua tenda, para tentara,
bebatuan di sekitar mereka, semuanya diterbangkan angin puting beliung itu
tanpa sisa. Hanya dalam beberapa menit, Klaus dan seluruh tentara yang
melarikan diri dari sang raja tewas tercabik di dalam angin liar itu.
Raja Edward tertawa
terbahak-bahak. Sang jenderal yang ditakuti banyak orang di medan pertempuran
tewas tak berdaya di tangannya. Sebuah sensasi kenikmatan mengalir di sekujur
tubuhnya. Seorang matahari baru saja ia tenggelamkan dengan tangannya sendiri.
Setelah puas menatap
kehancuran yang ia hasilkan, raja Edward berjalan meninggalkan puncak gunung
itu kembali ke istananya. Satu masalahnya telah teratasi.
***
“Sierra, aku ingin
mengatakan sesuatu,” kata Adam. Ia mencegat gadis itu sebelum masuk ke kamarnya.
Mereka baru saja mendarat di pulau Klais. Saat ini mereka bermalam di sebuah penginapan
yang diberikan oleh Damian, sang penguasa seluruh pulau itu. Lambert baru saja menemui
mereka dan mengatakan mereka akan segera berangkat keesokan harinya. Eva sudah
tertidur setelah ia sempat menarik perhatian dengan tiba-tiba berganti
kepribadian dengan sang Kunci yang terdapat di dalam dirinya ―Lambert
membuatnya tertidur dengan paksa agar tidak menarik perhatian lebih banyak
dengan menekan syaraf gadis itu. Hanya saat inilah ia bisa menemui Sierra dan
berbicara padanya.
Sierra tampaknya tidak
begitu suka melihat pria itu. Ia menghela napas panjang. “Apa yang kamu mau bicarakan?”
tanyanya ketus.
“Maaf,” kata Adam.
Sierra mengira Adam
akan menjelaskan sesuatu atau setidaknya menenangkan hatinya yang marah saat
ini. Tetapi yang dikatakan pria itu hanya satu kata maaf saja. “Hanya itu?”
kata Sierra. Ia mendengus kesal. “Kamu mengambil waktu tidurku yang berharga
hanya untuk mangatakan itu?”
“Ya,” jawab Adam. Ia
menatap Eva langsung ke matanya. Ia berharap gadis itu mengetahui ia menyesal
membuatnya merasa tidak nyaman.
“Aku tidak merasa kau
melakukan sesuatu yang salah padaku,” kata Eva dengan dingin.
“Aku tahu kau merasa
tidak nyaman setelah melihatku dan Eva bercanda siang tadi. Jika itu membuatmu
marah, aku minta maaf,” kata Adam.
“Untuk apa minta maaf?
Aku tidak punya alasan untuk marah hanya karena melihatmu nyaris memeluk Eva,
kan?” kata Sierra dengan suara meninggi.
“Lalu mengapa kau diam
dan tidak mau melihatku sejak siang tadi?” tanya Adam dengan suara yang juga
meninggi.
“Kamu tidak mengerti!
Kamu selalu tidak mengerti perasaanku selama ini! Untuk apa sekarang kamu peduli!?”
teriak Sierra. Mukanya memerah. Matanya mulai berkaca-kaca.
Melihat mata Sierra
yang mulai berkaca-kaca, hati kecil Adam merasa tertusuk. Ia sekali lagi
melanggar janjinya untuk tidak membuat gadis itu menangis. Bahkan ia selalu
membuatnya menangis setiap kali mereka bersama. Tetapi baru kali ini ia
merasakan hatinya tertusuk seperti saat ini.
“Aku terus melanggar
janjiku. Maaf. Aku memang tidak mengerti perasaanmu selama ini,” kata Adam. Ia
menghela napas panjang. “Aku merasa sesuatu yang berbahaya akan terjadi besok. Kuharap
kau tidak ikut kami ke Levitia. Aku tidak mau ada sesuatu yang terjadi padamu.
Aku tahu aku yang membuatmu berada di sini. Dan aku menyesal menyeretmu ke
dalam masalah ini,” lanjutnya.
Sierra membuka
mulutnya. Ia menatap pria di depan pintu kamarnya itu dengan tatapan tidak
percaya. “Apa kamu sadar yang kamu katakan? Setelah kita sejauh ini kini kau
ingin mengusirku pergi, begitu?” tanyanya.
“Bukan maksudku
mengusirmu. Aku cuma―”
“Aku mengerti! Silakan
menikmati petualangan serumu bersama Eva. Aku memang tidak pernah ada di dalam
hidupmu sejak dulu, kan?!” teriak Sierra. Air mata yang menggenang di matanya
kini akhirnya tumpah. Semua emosi yang dirasakannya meluap bagaikan banjir
besar yang tidak terbendung.
“Sierra!”
“Aku bukan
siapa-siapa! Aku hanya gadis biasa yang berharap suatu hari nanti bisa
memenangkan hati seorang pria yang tidak pernah melihatku! Aku hanya orang
bodoh yang menikmati bermimpi bersamanya! Aku orang yang―”
Kata-kata penuh emosi
yang keluar dari mulut gadis itu tiba-tiba terhenti. Bukan karena ia telah
merasa lega, tetapi karena mulutnya ditutup paksa oleh sesuatu. Sierra tidak
mengingat apa yang terjadi. Semuanya terasa begitu cepat, dan kini wajah Adam
sudah tidak berjarak lagi dengan wajahnya. Matanya yang menatapnya dalam-dalam
kini terpejam. Sesuatu yang hangat menempel di bibirnya. Tubuhnya terasa
dibelit sesuatu, yang akhirnya ia tahu sebagai lengan pria itu.
Akhirnya Sierra
menyadari apa yang terjadi. Adam, sekali lagi, telah mencuri bibirnya. Tetapi
kali ini tidak sesaat. Pria itu memeluknya dengan erat, seakan tidak ingin
melepasnya pergi. Ia merasakan panas tubuh pria itu. Juga detak jantungnya yang
bergemuruh. Ia seakan merasakan seluruh tubuh pria itu saat ini. Ia merasa
sensasi menyenangkan yang menjalar di seluruh tubuhnya. Berada di dalam pelukan
pria itu sangat menyenangkan, sampai-sampai ia merasa nyaris melayang. Tetapi
ia segera mengendalikan dirinya. Ia segera mendorong pria itu menjauhinya,
membuat Adam tampak merasa bersalah.
“M―maaf, aku tidak
bermaksud…” Adam tidak melanjutkan perkataannya. Ia merasakan mukanya panas
saat ini. Ia mulai salah tingkah di depan Sierra.
“Kamu tidak bermaksud
menciumku, begitu?” tanya Sierra.
“Ah! Bu―bukan itu
maksudku! Aku, eh, aku…” Adam makin salah tingkah di depan gadis itu. Ia tidak
berani menatap wajah gadis itu saat ini. Ia ingin menjelaskan maksud
tindakannya yang tiba-tiba mencium gadis itu, tetapi ia tidak mampu mengatakan
apa yang ingin dijelaskannya. Tetapi di saat bersamaan, ia juga tidak ingin
diam saja.
“Uhmp!”
Adam terkejut. Ia
mengangkat wajahnya dan melihat Sierra sedang menahan tawanya. Tertawa? Padahal sesaat lalu dia berteriak
padaku, kata Adam dalam hatinya.
“Ma―maaf. Aku tidak
tahu harus mengatakan apa padamu saat ini,” kata Adam setelah setengah mati
mengendalikan perasaannya sendiri.
Sierra akhirnya
tertawa lepas. Air matanya yang tadi mengalir karena kesal kini mengalir karena
ia merasa bahagia. Melihat pria itu kikuk dan salah tingkah selalu membuatnya
gembira. Ia tidak tahan untuk tidak tertawa melihat pria tegap dan selalu serius
itu kini seperti tidak tahu harus melakukan apa di depannya.
“Harusnya aku sudah
tahu kamu memang tidak peka untuk hal seperti ini. Maaf kalau aku membuatmu
bingung,” kata Sierra. Ia melangkah ke arah Adam dan tersenyum seperti anak
kecil. Ia meletakkan tangannya di belakang punggungnya. Dengan cepat ia
menjinjit di depan pria itu, dan dengan cepat ia mencium bibir pria itu. “Itu
hukumannya kalau membuatku menangis. Kamu ingat?” katanya sambil tersenyum.
“Ingat,” kata Adam. Ia
menyapukan tangannya di kepala gadis itu. Gadis itu tidak melawan seperti
biasanya. Ia membiarkan pria itu bermain dengan rambutnya. Bahkan ia
menikmatinya.
“Sekarang kamu mau
mengizinkan aku tidur? Besok kita akan ke Levitia, kan?” kata Sierra gembira.
“Apa kau yakin? Kita
tidak tahu apa yang akan terjadi mulai dari sini,” kata Adam.
Sierra menggeleng.
“Aku tidak peduli apa yang akan terjadi. Aku ingin bersama dirimu selama
mungkin. Sehari tanpa gangguan darimu rasanya tidak lengkap. Lagipula harus ada
yang mengawasimu agar tidak melakukan pelecehan pada gadis-gadis lain di
Levitia,” kata Sierra. Gadis itu tersenyum lebar.
“Hei, jangan membuatku
terdengar seperti penjahat seperti itu,” kata Adam.
Sierra kembali maju
mendekati Adam dan memeluk pria itu. “Lalu yang kamu lakukan tadi bukan
kejahatan?” tanya Sierra manja.
“Melakukan itu pada
orang yang disayangi adalah kejahatan, ya? Lagipula sepertinya kau
menikmatinya?” balas Adam.
Sierra membalasnya
dengan pukulan pelan di dada pria itu. “Sudah, ah. Aku mengantuk,” katanya.
Adam mengangkat
bahunya dan bergeser. Ia membuka pintu di belakangnya dan mempersilakan Sierra
masuk. “Selamat tidur, Sierra. Semmoga mimpi indah,” katanya sambil tersenyum.
“Terima kasih,” kata
Sierra.
Adam meninggalkan
kamar Sierra dengan hati gembira. Masalah dengan gadis itu telah selesai.
***
Lambert duduk di sisi
tempat tidur Eva. Beberapa jam lalu ia dibuat terkejut oleh apa yang tiba-tiba
dikatakan gadis itu. Ia terpaksa membuat gadis itu tertidur agar tidak
menimbulkan kecurigaan dari orang di sekitar mereka.
“Maaf, Eva. Aku janji,
ini yang terakhir. Setelah ini hari yang baru akan kita sambut. Di masa depan
pasti akan ada yang baik yang terjadi padamu. Tapi untuk sekarang kuharap kau
mau bersabar,” kata Lambert.
Ia mengeluarkan sebuah
botol kaca sebesar telapak tangan orang dewasa. Botol itu berisi cairan
berwarna emas. “Ini adalah Panacea paling terakhir yang kumiliki. Kuharap ini
bisa menolongmu untuk beberapa jam ke depan,” katanya Lambert sambil menuangkan
seluruh isi botol itu ke atas kepala gadis itu.
Cairan emas yang
dituangkan Lambert ke atas kepala Eva itu segera terserap ke dalam rambutnya.
Rambut gadis itu bersinar sesaat sebelum kembali seperti semula.
“Dengan ini kau akan
aman, meski sang Kunci keluar dari dirimu. Mimpi indah, Eva,” kata Lambert. Ia
mencium lembut kening gadis itu sebelum meninggalkannya.
***
Damian Han berpikir
keras di dalam kantornya yang gelap. Bulan purnama menyinari ruangan yang
sengaja ia biarkan gelap itu melalui sebuah jendela besar di belakang tempat
duduknya. Semenit lalu ia menerima laporan dari Tanah Utara, benua tempat
Levitia berada. Gempa bumi yang terjadi di pegunungan kerajaan ini semakin lama
semakin parah. Beberapa keanehan juga terjadi selama gempa itu. Beberapa saksi
mata melihat gunung-gunung di pegunungan itu terbelah dan mengeluarkan cahaya
terang ke angkasa. Pihak militer telah mengungsikan para penduduk di sekitar
tempat itu dan telah bersiap untuk berbagai masalah yang mungkin akan terjadi.
Tugasnya sebagai
seorang penjaga membuatnya harus bersiaga setiap saat. Saat semua mata
tertidur, ia masih berjaga. Menjelang semua orang terbangun, ia baru akan
tertidur. Untuk sementara. Saat ayam pertama berkokok, Damian telah siap kembali
menjalankan tugasnya.
Damian tidak hanya
mengurus kota Klais dan seluruh kota pednukung di sekitarnya. Ia juga adalah
seorang kepala pasukan. Dan kini pasukannya dikirim untuk berjaga di Levitia,
tempat di mana gempa bumi aneh itu terjadi saat ini. Ia memerintahkan
pasukannya untuk melaporkan semua yang terjadi di tempat itu langsung padanya.
Ia berharap untuk mendengarkan beberapa informasi dari mereka sebelum membawa
tamunya ke kerajaannya.
“Kunci dan Pembuka
Pintu telah ada di sini. Apa yang akan terjadi bila mereka sampai di Levitia?”
tanya Damian pada dirinya sendiri. “Apa yang harus kulakukan?”
Tiba-tiba pesawat
radio di atas mejanya berbunyi. Sebuah laporan baru saja masuk. Ia bergegas
mengangkat pesawat radio itu. “Di sini Damian, ganti!” kata Damian.
“Keadaan gawat! Lima
benda aneh tampak muncul di langit sekarang, ganti!” seru seorang prajurit dari
seberang radio itu. Suara-suara yang berada di belakang suara prajurit itu
adalah ledakan dan tembakan peluru. Prajurit yang melapor itu juga melaporkan
dengan panik.
“Jelaskan bentuk
mereka, Prajurit! Ganti!” seru Damian.
Suara ledakan dan
tembakan masih terdengar dari ujung seberang radio. Setelah itu semuanya
hening. Damian menunggu dengan tidak sabar. Beberapa detik yang berlalu seperti
berjam-jam untuknya. “Jean, jawablah!” seru Damian saat kesabarannya sudah
habis.
“Maaf, kapten Damian… tugas
kami gagal,” jawab prajurit bernama Jean itu lemah. Ia terbatuk dan napasnya
berbunyi. “Tiga monster menghancurkan semua pasukan kami… dan dua lainnya masih
berada di tempatnya…,” terdengar suara tarikan napas berat dari seberang, dan
kemudian suara napas yang dihembuskan hingga habis.
Damian mengerti apa
yang terjadi. Tetapi seperti menegaskan apa yang terjadi, sebuah ledakan keras
terdengar di seberang sana. Lalu kemudian yang terdengar dari pesawat radio itu
hanyalah suara berisik. Seluruh pasukannya telah mati oleh sesuatu yang tidak
ia ketahui.
“Membawa mereka bukan
keputusan terbaik,” kata Damian. “Mereka tidak boleh menginjakkan kaki di
Levitia!”
***
Seharusnya mereka
sudah naik kapal yang akan membawa mereka menuju Levitia, tetapi ada, Sierra,
Eva yang masih tertidur di punggung Lambert dan Lambert sendiri belum menaiki
kapal itu. Lebih tepatnya tidak bisa menaiki kapal itu. Di depan mereka kini
berdiri sepasukan tentara bersenjata lengkap, menghadang mereka agar tidak
menaiki kapal itu. Di antara rombongan itu dan pasukan yang menghalangi mereka
berdiri Damian dengan seragam militernya yang berwarna hitam. Dalam pakaian itu
ia tidak terlihat seperti seseorang yang berusia lima puluh tahun. Tubuhnya
masih tegap dengan otot-otot yang masih terjaga. Matanya menatap tajam pada
Lambert.
“Apa maksudnya ini,
Damian? Bukannya kita telah sepakat kemarin?” tanya Lambert.
“Ada perubahan
rencana. Situasi Levitia tidak memungkinkan untuk dikunjungi saat ini,” jawab
Damian datar.
“Kami yang akan tahu
apa yang terjadi di sana berbahaya bagi kami atau tidak. Biarkan kami menaiki
kapal itu sekarang,” kata Lambert lagi.
“Aku tidak akan
mengizinkan kalian melangkahkan kaki kalian ke kerajaanku. Sebagai penjaga
gerbang kerajaan Levitia, aku memerintahkan penangkapan atas diri kalian. Kalian
akan tetap berada di tempat ini hingga bulan purnama lewat,” kata Damian. Ia
memberi kode pada pasukan di belakangnya untuk maju dan mengepung rombongan
itu. Dengan sigap pasukan itu maju dan mengelilingi mereka dengan senjata
terarah pada mereka.
Rombongan itu tidak
dapat melakukan apa-apa. Adam dan Sierra mengangkat tangan mereka ke udara.
“Sepertinya kita tidak punya pilihan,” kata Adam.
“Pasti ada, Adam. Hari
Penentuan akan terjadi segera. Kita akan tiba di pintu itu sekarang,” kata
Lambert.
“Tidak akan kubiarkan.
Kalian akan diberikan ruangan penjara yang nyaman, tetapi penjagaannya akan
kami naikkan. Bahkan seekor semut pun tidak akan mampu masuk tanpa sepengetahuan
kami,” kata Damian. Ia memberi kode pada pasukannya untuk membawa rombongan itu
menuju mobil yang akan membawa mereka menuju penjara.
Namun sesuatu yang
aneh terjadi. Tubuh Eva bersinar terang, membutakan semua orang di sekitarnya
kecuali Adam, Sierra, dan Lambert. Tubh gadis itu melayang ke atas. Lambert
yang berusaha meraihnya terkejut saat tangannya menembus tubuh gadis itu.
Eva terbangun. Ia
membuka matanya yang berwarna merah dan menatap ke arah selatan. “Aku memanggil
para Hakim untuk memulai pengadilan. Saatnya Hari Penentuan. Aku adalah Kunci,
memanggil mereka yang menjaga Pintu,” kata Eva. Adam terkejut. Suara yang
keluar dari mulut Eva bukanlah suara kekanak-kanakan gadis itu, melainak suara
sang Kunci yang didengarnya saat ia melawan Advano di atas kota Ravena dua hari
sebelumnya.
“Apa yang akan
terjadi, Lambert?” tanya Adam bingung.
“Aku tidak tahu,”
jawab Lambert. “Apapun yang terjadi berikutnya tidak pernah tercatat dalam
legenda. Aku tidak tahu apa lagi yang akan terjadi setelah ini.”
Dari arah selatan
tampak lima titik cahaya yang terlihat seperti bintang. Meski saat itu matahari
sudah bersinar, kelima titik cahaya itu masih terlihat dengan jelas. Kelimanya
tampak bergerak ke arah mereka. Dan makin lama Adam merasa makin mengenal
kelimanya.
“Itu Advano!” seru
Adam sambil menunjuk ke arah kelima titik cahaya itu. Keputusasaan mulai
melandanya. Dengan kemampuan sang Kunci dia mampu mengalahkan seorang Advano
dengan susah payah. Menghadapi lima Advano lain seperti Jerez adalah tidak
mungkin untuknya.
“Sang Pembuka Pintu,
bangkitlah! Bukitkan dirimu!” seru Eva.
Seketika itu pula
seluruh tubuh Adam bercahaya terang. Adam kembali merasakan sensasi kekuatan
yang mengalir di tubuhnya. Cahaya itu semakin terang, seakan-akan menelan
seluruh tubuh pria itu. Dan saat cahaya itu meredup. Sosok yang dilihat Sierra
waktu itu kembali muncul di depan
matanya.
“Advano? Adam, kamu
kembali berubah menjadi Advano?” tanya Sierra.
“Sepertinya begitu,”
kata Adam. “Aku akan kembali. Tunggulah,” lanjutnya. Ia telah terbiasa dengan
sosok itu. Dengan mudah ia memunculkan sepasang sayap di punggungnya, dan
dengan sekali kepakan ia meninggalkan tanah dan terbang menuju ke arah kelima
titik cahaya yang semakin mendekat itu.
[Jumlah Kata: 2716]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar