Minggu, 22 Januari 2012

Faux Ciel Bab 15 - Meninggalkan Ravena

Sierra masih berdiri mematung di tempatnya. Kejadian itu terjadi dengan sangat cepat, tetapi ia betul-betul yakin Adam tadi menarik kepalanya dan  menciumnya. Meski yang terakhir itu masih tidak bisa ia percayai. Wajahnya memerah tanpa ia bisa kendalikan. Jantungnya berdetak kencang. Ia terkejut, namun di saat bersamaan ia senang. Ia malu, tetapi di saat bersamaan pikirannya berisi berbagai hal memalukan. Ia gelisah sekaligus merasa tenang karena setidaknya Adam menunjukkan sedikit perhatian yang diharapkannya. Perasaannya yang bercampur aduk membuatnya tidak bisa bergerak. Ia tidak mungkin menatap wajah pria itu sekarang. Tetapi di saat bersamaan ia sangat ingin melihatnya. Ia hanya bisa mematung di tempatnya tanpa menyadari apapun di sekitarnya. Sierra terlalu sibuk dan terlalu asyik dengan pikirannya sendiri saat ini.

Karl yang berada di ruangan yang sama dengan Sierra mendekati gadis itu. Ia melambaikan tangan di depan mata gadis itu, tapi sepertinya gadis itu tidak menyadarinya. Gadis itu malah tersenyum-senyum tidak jelas. Melihatnya seperti itu Karl hanya bisa mengelengkan kepalanya. “Sudahlah. Kubiarkan saja dia seperti ini sekarang,” katanya.

Dari pintu ruang bawah yang terbuka di atasnya, Karl dapat melihat keadaan di luar sudah tenang. Ia memutuskan untuk melihat-lihat situasi di luar. Dengan hati-hati ia menaiki tangga kayu ruang bawah tanah itu. Gudang di atas ruang bawah tanah itu tidak begitu hancur, namun kondisinya sangat gelap. Seandainya ia tidak  membawa lilin dari bawah pasti sekarang ia tidak dapat melangkah sama sekali. Di luar gudang segalanya tidak jauh berbeda. Karl berjalan ke depan bangunan Ciel. Secara ajaib bangunan itu hanya mengalami sedikit kerusakan, sementara sebagian besar bangunan lain telah rata dengan tanah. Api yang menyelimuti nyaris seluruh kota Ravena telah padam. Sebagai gantinya kota itu kini menjadi reruntuhan batu dan kayu yang berasap. Beberapa orang yang masih selamat tampak sibuk mencari orang yang mungkin masih selamat di bawah reruntuhan itu. Karl terdorong untuk membantu mereka.

“Johann, keluargamu tidak apa-apa?” tanya Karl pada seorang pria bertubuh tinggi yang sedang memindahkan balok-balok kayu di seberang jalan.

Pria bernama Johann itu menoleh pada Karl. Wajahnya penuh dengan jelaga. Johann adalah pemilik kedai makanan khusus vegetarian yang berada di seberang kedai Ciel. Pria itu hidup bersama istri dan anaknya. Tetapi yang dilihat Karl saat ini hanya Johann saja.

“Anak dan istriku berada di lapangan kota saat serangan tadi terjadi. Kudengar mereka sudah pergi menyelamatkan diri ke arah hutan bersama yang lain,” kata Johann sambil tersenyum.

Karl kagum pada pria itu. Bahkan di saat seperti ini Johann masih bisa tersenyum seperti biasa. Pria berambut panjang itu berusia tiga puluh tahun. Dua belas tahun lalu ia san Sierra bertemu dengan pria itu pertama kalinya. Di usianya yang masih delapan belas tahun sosok Johann telah terlihat begitu dewasa. Johannlah yang menampung Sierra dan dirinya yang juga kehilangan orang tua dalam wabah yang terjadi pada saat itu. Pria itu memberikan mereka tempat tinggal dan makan sampai mereka siap untuk hidup mandiri.

“Aku yakin Carla dan anak-anakmu aman bersama yang lain. Mungkin malah kau yang mereka khawatirkan sekarang ini,” kata Karl.
“Aku menyesal jika itu terjadi,” kata Johann. Ia berusaha menarik sebuah balok yang tampaknya cukup berat. Balok itu tidak beranjak sedikitpun dari tempatnya karena pecahan-pecahan dinding yang menimpa balok itu.
“Biar kubantu,” kata Karl.
“Maaf merepotkanmu,” kata Johann. Senyumnya kembali tersungging.
“Aku dan Sierra telah merepotkanmu sejak dulu. Yang kulakukan sekarang tidak sebanding dengan apa yang telah kau lakukan bagi kami,” kata Karl sambil tersenyum.

Karl mengangkat pecahan-pecahan dinding yang menghalangi balok yang ditarik Johann. Mengangkat pecahan dinding dengan berat di atas dua puluh kilo bukan masalah bagi pembuat roti seperti Karl. Ia sudah biasa mengangkat karung-karung tepung setiap hari. Tetapi untuk Johann yang terbiasa mengolah sayuran, berat seperti itu tidak mudah diangkatnya.  

“Sebenarnya apa yang sedang kau cari, Johann?” tanya Karl yang sedari tadi penasaran apa yang dilakukan pria itu.

“Barang yang penting untukku. Kalau tidak salah kuletakkan di dapur. Seharusnya di sekitar sini,” jawab Johann sambil menunjuk-nunjuk reruntuhan itu. Ia berusaha menentukan di mana posisi dapurnya berada. Karl berusaha membantunya dengan mengingat-ingat pola bangunan itu dahulu. Bangunan itu dulunya memiliki dua lantai. Ledakan yang terjadi beberapa saat lalu pasti telah menghancurkan sebagian besar lantai atas bangunan itu, karena Karl sekarang hanya berdiri di atas reruntuhan yang tidak terlalu menggunung.

“Sepertinya ada di sini,” tunjuk Karl pada sebuah titik di sisi kanannya. Dari tempat reruntuhan yang ditunjuknya ada pegangan wajan yang sedikit tersembul keluar. Wajan itu sering digunakan oleh Johann dalam mengolah makanan khusus kaum vegetarian yang menjadi keahliannya. Karl harus mengakui kehebatan pandai besi Tanah Timur, tanah leluhur Johann. Bahkan setelah ditimpa oleh ratusan kilogram benda lainnya, wajan buatan Tanah Timur itu tidak rusak sama sekali. Padahal usia wajan itu sudah tiga kali usia Johann.

“Ah! Wajan itu!” seru Johann. Ia bergegas menuju tempat yang ditunjukkan oleh Karl. Ia nyaris terjatuh karena pijakan kakinya bergeser. Karl dengan segera menangkap tangan pria itu agar ia tidak benar-benar terjatuh.

“Hati-hati. Wajan itu tidak rusak sama sekali,” kata Karl. Ia membantu pria itu mendapat keseimbangannya kembali. Setelah pria itu berhasil berdiri dengan stabil, Karl membantunya membongkar reruntuhan di atas wajan itu. tetapi Johann tidak berhenti membongkar reruntuhan di sekitar wajan itu meski wajan itu telah ia temukan.

“Bukan wajan itu yang kau cari, Johann?” tanya Karl.

“Ah, oh, bukan. Aku mencari benda yang lain. Ah, itu dia!” jawab Johann. Ia menunjuk sebuah bingkai foto yang nyaris tidak terlihat di antara potongan-potongan kayu yang berserakan di tempat itu. Johann mengambil bingkai itu dengan hati-hati, berharap foto yang dibingkainya tidak rusak sama sekali.

“Bingkai foto?” tanya Karl.

“Bukan sekedar foto. Ini foto saat anakku yang pertama lahir. Kau tahu, kan, betapa susahnya mendapat sebuah foto? Aku sampai harus mencari kamera itu di kerajaan Levitia,” kata Johann. Ia melihat foto dalam bingkai itu. Kaca yang menutup foto itu sudah pecah, tetapi foto itu sendiri tidak rusak. Ia menghela napas lega. “Syukurlah foto ini tidak rusak sama sekali,” kata Johann.

“Oh, itu foto yang waktu itu? Sewaktu Carla melahirkan Adela waktu itu, kan? Sudah berapa tahun sekarang? Lima tahun, ya?” kata Klaus.

Johann mengangguk. “Hari itu aku tidak pernah merasa sebingung itu. Aku tidak tahu apa yang harus lebih dulu kulakukan,” kata Johann. Ia tertawa kecil saat ia mengingat bagaimana ia membuat seluruh penghuni bangunan di blok itu ikut panik bersamanya. Di saat yang sama, saat bayinya telah lahir seluruh penghuni blok itu memberinya selamat. Ia masih ingat ia menangis karena sangat bahagia saat itu.

“Kau membuat seorang wanita yang bahkan belum menginjak usia dua puluh tahun hamil. Jelas saja proses melahirkannya susah,” kata Karl. Carla yang menjadi istri Johann baru berusia dua puluh tiga tahun. Mereka menikah saat usia Carla masih tujuh belas tahun. Pernikahan mereka mungkin tidak dirayakan besar-besaran, tetapi semua penduduk kota Ravena akan setuju mengatakan pernikahan mereka adalah pernikahan ideal yang diimpikan banyak orang.

“Yah, kau tahu Carla, kan? Dia sangat ingin memiliki bayi saat itu. Setahun setelah kami menikah, kami langsung mendapatkan seorang bayi,” kata Johann.
“Dan sejak saat itu kedai Jovista milikmu menjadi laris,” kata Karl.
“Rezeki dari anakku,” balas Johann sambil tersenyum lebar. Sederet gigi putih kebanggaannya tampak berbaris rapi di rahangnya yang persegi.
“Entah kapan aku bisa sepertimu,” kata Karl. Ia sedikit iri pada kebahagiaan pria itu.
“Lamar saja Sierra. Semua orang juga mengatakan kalian pasti cocok kalau berpasangan,” kata Johann.
Karl menggeleng. “Aku tidak punya kesempatan. Sejak awal yang berada di kepala Sierra hanya sosok pria bernama Adam. Dan pria itu kini ada di sini,” kata Karl lemas.

Mendengarkan itu Johann menghapus senyum lebarnya. “Ah, kalau begitu memang sulit, ya?” katanya.
“Apa boleh buat. Yang pertama datang yang mendapat semuanya, kan?” kata Karl. Senyum kecut tersungging di wajahnya.
“Tapi yang berusaha dapat mengubah segalanya, bukan?” kata Johann.

Karl tahu itu pun sudah mustahil setelah apa yang dilakukan Adam pada gadis itu tadi. “Sebaiknya kau mencari keluargamu sekarang. Jika tidak Carla akan mulai mengganggu orang-orang di sana hanya untuk mencarimu,” katanya. Ia memberikan salam singkat pada Johann sebelum kembali ke gudang.
Entah bagaimana ia akan menatap Sierra setelah ini.

***

Karl menghena napas panjang sebelum ia kembali memasuki gudang. Beberapa langkah dari pintu gudang itu terdapat sebuah lubang yang memancarkan cahaya remang-remang. Ia ternyata lupa menutup kembali ruang bawah tanah di gudang itu.

Karl berjalan menuju pintu ruang bawah tanah itu. Ia menutup hidungnya agar tidak terlalu banyak menghirup debu yang memenuhi gudang itu. Pintu itu harus ditutup, katanya dalam hati. Jika tidak mereka akan sesak napas nantinya.

Karl memasuki ruang bawah tanah itu dan menutupnya dari dalam. Saat ia melangkah menuruni tangga menuju ruang di bawah, ia mendengar suara beberapa orang yang sepertinya sedang berdebat.

“Kau bilang kita harus ke Tanah Selatan? Aku bahkan tidak pernah tahu sejak kapan kau menghitungku dalam kelompokmu,” kata seorang pria yang Karl kenal sebagai Adam. Suaranya sedikit meninggi dari biasanya.

Mendengar kata-kata yang diucapkan Adam, Karl memutuskan untuk berhenti sejenak di tengah-tengah tangga. Sierra sepertinya telah masuk ke dalam ruangan di mana suara itu berasal karena ia tidak menemukannya lagi mematung di depan tangga.

“Kau tentu tahu fungsimu sebagai sang Pembuka Pintu, bukan? Kupikir kau sudah mengerti apa yang telah kuceritakan pada kalian beberapa hari lalu. Kita tidak punya waktu banyak. Hari Penentuan sudah mendekat,” kata seorang pria yang diketahui Karl sebagai Lambert.

Karl menyimak pembicaraan mereka berdua. Tampaknya pembicaraan itu cukup rahasia. Bila ia muncul sekarang maka ia tidak akan mendengarkan semuanya. Ia berharap Sierra atau siapapun dari kedua pria itu tidak menemukannya menguping pembicaraan itu.

“Lalu jika aku yang menjadi Pembuka Pintu, apa akhu harus ikut bersama kalian? Bahkan Kunci itu mengatakan aku sebenarnya tidak cukup layak memegangnya!” seru Adam.
“Lalu bagaimana caranya kau bisa memakai kekuatannya sampai-sampai mengalahkan semua pasukan Adventa yang menyerang tempat ini? Kebetulan?”
“Ya! Kebetulan! Berkat Eva yang memaksaku menggunakan kekuatan itu,” jawab Adam pada Lambert.
“Kalau begitu kau harusnya sudah tahu, Eva tidak mungkin salah menilaimu. Kau adalah sang Pembuka Pintu yang dipilihnya sendiri,” balas Lambert.
“Tapi aku menolak mengikuti kalian mencari Pintu itu dan meninggalkan kota ini. Apalagi dengan tidak adanya kepastian apa yang akan terjadi setelah pintu itu terbuka. Aku suka di sini!” kata Adam dengan suara meninggi.
“Kita memang tidak tahu pasti apa yang terjadi setelah pintu itu terbuka. Tetapi itu pasti jauh lebih baik daripada membiarkan Adventa yang membukanya,” kata Lambert.
“Aku yang memutuskan hidupku! Aku tidak mau meninggalkan tempat ini dengan berhutang budi pada Sierra,” seru Adam.

“Kamu tidak berhutang budi apa-apa padaku, Adam,” kata Sierra. Suaranya yang penuh semangat hidup terdengar pelan saat ini. Karl menduga gadis itu sedang bingung sekarang karena berada di tengah pertengkaran dua orang pria yang dikenalnya baik itu.

“Tapi―”
“Kalau kukatakan lakukan ini semua demi Nona Sierra, apa kau mau melakukannya?” tanya Lambert yang dengan tegas memotong alasan Adam.
“Jangan bawa-bawa Sierra dalam masalahmu, Lambert!” keta Adam. Kali ini ia berteriak.
 “Kau melakukan semua ini demi melindunginya, bukan? Aku hanya mengatakan yang sebenarnya. Adventa hanya akan menyelamatkan keluarga kerajaannya saja. Rakyatnya dan penduduk Faux Ciel akan mereka biarkan musnah bersama dunia ini. Termasuk aku, kau, dan juga Sierra,” kata Lambert dengan tegas.

Karl yang menguping pembicaraan itu semakin bingung. Ia tidak tahu apa itu Kunci, Pembuka Pintu, dan juga Faux Ciel. Semuanya terdengar asing di telinganya. Apalagi pembicaraan itu membawa-bawa nama kerajaan Adventa dan kehancuran dunia.

“A―apa aku sebaiknya keluar saja?” tanya Sierra. Suaranya terdengar kebingungan saat ini. Karl bersiap-siap kembali keluar dari tempat itu kalau-kalau Sierra kembali ke ruangan di bawah tangga itu, namun Lambert menghentikan gadis itu.
“Tetaplah di sini, Nona. Kalau pria ini benar-benar memperhatikan dirimu dan menganggapmu penting, dia akan memilih jalan yang benar,” kata Lambert.
“Dan pilihanku adalah melindunginya di sini dengan apapun yang kupunya!” jawab Adam dengan tegas.
“Melawan semua armada tempur yang tidak tertandingi dari Adventa? Dan lagi mereka dibantu oleh Advano, bukan? Aku tidak mengetahui apa yang terjadi di luar sana, tetapi suara petir yang aneh dan juga ledakan-ledakan itu pasti buatan mereka. Bahkan teknologi tertinggi Adventa tidak bisa memanggil petir yang saling bersahutan seperti itu,” kata Lambert.

Adam terdiam. Ia tidak bisa membantah pria itu sekarang. Lambert mengatakan kenyataannya. Bila saja Eva dan Lambert pergi tanpa dirinya, mereka mungkin akan menemukan pengganti dirinya. Tetapi apa yang bisa dilakukannya bila Adventa malah mengejar dirinya? Apa yang akan terjadi pada kota ravena dan Sierra bila mereka menganggap dirinya adalah sang Pembuka Pintu yang membahayakan mereka? Sedangkan dalam wujud mirip Advano beberapa saat lalu ia sudah kesulitan melawan seorang Advano. Apalagi kalau sampai muncul lebih dari satu Advano di kota itu?

“Kamu tidak perlu memikirkan aku, Adam. Kalau dunia ini bisa selamat, aku tidak apa-apa tinggal di sini. Tapi kalau semuanya sudah selesai, kembalilah ke tempat ini,” kata Sierra.

“Kau tidak mengerti inti masalahnya, Sierra! Kalau pun aku berhasil membuka pintu itu, aku tidak yakin apakah dunia ini tidak akan hancur ataukah aku bisa kembali ke tempat ini. Kekuatan dari Kunci itu sangat besar dan hanya Eva yang bisa menanggungnya. Kalau aku menggunakan kekuatan itu untuk membuka pintu, Eva akan mati dan belum tentu aku pun masih bisa hidup!” seru Adam.

Karl yang mendengar pria itu berbicara keras pada Sierra merasa geram. Ia tidak akan melakukan itu padanya. Gadis itu telah melewati berbagai kesusahan hidup sampai akhirnya bisa hidup bahagia saat ini. Tetapi pria itu seperti menginjak-injak hal itu dengan membuat Sierra tampak bodoh di antara mereka. Hei! Sierra bukan gadis sebodoh itu! seru Karl dalam hatinya. Gadis itu adalah salah satu orang tercerdas yang pernah ia temui sepanjang hidupnya. Ia pasti tahu apa yang dikatakannya. Dan meneriakinya seperti itu pasti membuat Sierra sakit!

Karl sudah tidak tahan lagi untuk segera menyeruak masuk dan membalas perkataan Adam. Tetapi saat ia hampir menginjak anak tangga terakhir, ia mendengarkan suara cukup nyaring dari ruangan sebelah. Sepertinya seseorang telah menampar orang lain di ruangan itu. Dan orang yang menampar adalah Sierra, yang kemudian terdengar sangat marah sampai-sampai ia menangis.

“Aku memang tidak mengerti apa-apa! Aku tidak tahu apa yang terjadi padamu selama dua belas tahun ini dan begitu juga dirimu! Tetapi aku percaya kita bisa bertemu kembali, dan sekarang apa yang kupercaya itu terkabul. Apakah kamu tidak ingin percaya bahwa ada jalan yang lebih baik untuk kita semua?” seru Sierra. Suaranya parau karena ia berbicara di sela-sela tangisannya. “Kalau menyelamatkan dunia dari kekejaman Adventa adalah sesuatu yang bisa kamu lakukan, apa kamu tidak akan melakukannya hanya karena aku ada? Apa aku menjadi pengganggumu? Bagaimana dengan mimpimu yang ingin terbang ke langit dan membawaku bersamamu?” lanjut Sierra. Suaranya terdengar terisak-isak saat ini.

Sudah cukup! Aku akan menghajar pria itu sekarang! Begitulah yang Karl katakan dalam hati. Tetapi kakinya tidak dapat ia gerakkan ke bawah. Ia membayangkan apa yang terjadi bila ia menghajar pria itu di depan Sierra. Ia kembali teringat bagaimana Sierra sangat gembira saat melihat pria itu kembali padanya. Jika ia menghajar pria itu di depan mata Sierra, gadis itu mungkin akan membencinya seumur hidup. Ia pun terpaksa mengurungkan niatnya.

“Maaf,” kata Adam. Suaranya terdengar lebih tenang saat ini. “Tapi aku hanya tidak mau meninggalkan dirimu lagi. Sendirian tidak mengenal siapapun dan hidup sebagai orang asing tidak menyenangkan sama sekali,” lanjutnya.

“Kamu sekarang bisa menyentuh langit. Meski bukan aku yang menjadi sayapmu. Tetapi aku akan menunggumu kembali di sini kalau memang itu adalah yang terbaik. Kalau pintu itu berhasil kamu kuasai, maka Adventa tidak akan membukanya dan melarikan diri sendirian. Jika memang dengan membuka pintu itu kita akan dapat menuju dunia yang lebih baik, maka pastikan kamu datang menjemputku di sini,” kata Sierra. Suaranya masih terdengar serak, tetapi setidaknya ia sudah tenang sekarang.

“Kalau begitu ikut denganku, Sierra,” kata Adam.

Karl terkejut mendengarkan hal itu. Pernyataan itu sama saja seperti melamar Sierra! Seketika ia merasakan badannya lemas. Ia mengingat apa yang dikatakan Sierra tentang Adam. Adam adalah anak laki-laki yang sering mengganggunya sewaktu kecil, namun yang juga melindunginya dari anak-anak lain yang mengganggunya. Adam adalah anak laki-laki yang selalu bisa membuatnya tertawa saat ia menangis. Adam adalah seseorang yang telah dianggapnya penting, bahkan melebihi saudara baginya. Adam telah menunjukkan mimpinya dan mau membagi mimpi itu bersamanya. Adam adalah ini, Adam adalah itu, dan masih banyak lagi sosok Adam yang didengar Karl dari gadis itu. Satu-satunya semangat hidup gadis itu hanyalah janji masa kecilnya bersama pria itu.

“Eh? Aku?” Sierra terdengar kebingungan dan tidak tahu harus menjawab apa. Karl dapat merasakan ada kebingungan dan kebahagiaan yang tersirat dalam suara gadis itu. Tentu saja dia bahagia dan bingung jika mendengar kata-kata seperti itu, kata Karl dalam hati.
“Hanya itu syaratnya. Aku juga tidak bisa memastikan apa yang akan terjadi pada kota ini kalau kutinggalkan. Setidaknya aku dan Eva bisa melakukan sesuatu bila Adventa dan Advano mennyerang kami,” kata Adam dengan mantap.
“Aku tidak keberatan,” kata Lambert.
“Tapi bagaimana dengan tempat ini?” kata Sierra.

Karl mendapat kesempatan untuk masuk ke dalam ruangan itu. “Serahkan tempat ini padaku, Sierra,” katanya sambil tersenyum lebar. “Aku tadi sempat mendengar sedikit tadi saat aku masuk. Kalau kau ingin pergi ke suatu tempat aku akan menjaga tempat ini untukmu,” katanya. Ia berusaha senormal mungkin agar tidak dicurigai menguping pembicaraan mereka.

Mata Sierra masih merah karena tangisan tadi. Melihat itu sebenarnya Karl merasa sangat marah pada Adam. Tetapi melihat wajah menyesal Adam, kemarahannya sedikit mereda.

“Tidak apa-apa kalau aku meninggalkanmu sendirian mengurus tempat ini?” tanya Sierra pada Karl.
“Tenang saja. Lagipula tempat ini baru akan buka setelah diperbaiki. Tempat ini akan sibuk dengan pekerjaan pria,” kata Karl sambil tersenyum lebar.
“Tuan Karl ada benarnya. Hari Penentuan akan terjadi beberapa bulan lagi. Kalau kalian kembali saat semuanya sudah selesai akan lebih baik, bukan?” kata Lambert.
“Maaf, Tuan Lambert. Aku ingin tahu apa itu Hari Penentuan yang Anda katakan tadi,” kata Karl. Sedari tadi ia penasaran pada semua istilah baru yang didengarnya. Tetapi bila ia menanyakan semuanya pasti ia akan diduga menguping pembicaraan serius mereka. Meski bagaimanapun bagi mereka dirinya adalah orang asing.

Lambert tampak ragu untuk menjelaskan istilah itu pada Karl, tetapi ia akhirnya menjelaskannya dengan bahasa yang paling sederhana. “Hari Penentuan adalah hari dimana segalanya ditentukan. Hari dimana legenda dipenuhi. Aku tidak bisa menceritakan secara detil demi keselamatanmu sendiri, Tuan Karl,” jawab Lambert.
“Apakah itu berbahaya?” tanya Karl.
“Kami juga masih belum tahu. Tapi berbahaya atau tidak akan sama saja hasilnya kalau Adventa lebih unggul dari kami,” jawab Lambert.

“Tuan Lambert, lalu tentang Eva―” Karl baru akan bertanya mengenai perubahan yang terjadi pada Eva, namun Lambert segera mengalihkan perhatian pria itu dengan mengajaknya keluar. “Sebaiknya kita bersiap-siap. Ada banyak yang kita harus lakukan saat ini,” kata Lambert sambil merangkul pria itu dan menggiringnya keluar.

***

Hari keberangkatan mereka akhirnya tiba. Sierra menyampaikan salam perpisahan pada Johann dan semua orang di sekitar Ciel. Karl membantunya mempersiapkan bekal perjalanan. Adam dan Eva ikut bersama Lambert menghadap Albertino Han.

“Jadi kau akan pergi sekarang, Anak Muda?” tanya Albertino Han.
“Begitulah. Aku sudah banyak menyusahkanmu sejak aku datang ke tempat ini, Kakek,” jawab Lambert.
Sang walikota tersenyum sinis. “Heh, kau masih berani menyebutku dengan kata itu rupanya,” kata Albertino.
“Aku masih dendam padamu, ingat?”
“Terserahlah.”

Albertino mengalihkan pandangannya pada Adam dan Eva. “Jadi mereka yang bertanggung jawab menghancurkan semua armada Adventa yang bahkan kami tidak tahu keberadaannya itu?” tanya sang walikota pada Lambert.

“Benar. Jika kau sempat memperhatikan langit malam itu, Adam adalah sosok berwarna emas yang bertarung melawan mereka semua,” kata Lambert sambil menepuk punggung Adam.
Adam hanya mengangguk sopan pada sang walikota.
“Anak muda ini lebih tahu sopan santun dari pada dirimu, Lambert,” kata Albertino.
“Tunggu sampai kau melihat dirinya yang asli,” balas Lambert.
“Seandainya kalian mau tinggal sehari lagi, aku akan memberikan pesta perpisahan yang layak untuk pahlawan seperti kalian,” kata Albertino.  
“Pikirkan warga kotamu, Kakek Tua! Kau terlalu banyak  minum sampai lupa lebih dari separuh kotamu rata dengan tanah?” balas Lambert.
Sang walikota tertawa. “Aku hanya bercanda, Lambert. Kalau kau seserius itu, bisa-bisa sepuluh tahun lagi aku akan terlihat lebih muda dari dirimu,” katanya.
“Masih lebih baik daripada harus bercanda di saat yang tidak tepat, kan?” balas Lambert.
Kedua orang itu saling tersenyum mencibir. Tetapi dalam hati keduanya saling menghormati satu sama lain.
“Tujuan kalian adalah Klais, bukan?” tanya Albertino.
“Benar. Kami tidak mungkin pergi dari sini ke Levitia dalam sekali jalan. Lagipula kami tidak ingin menyusahkan kalian lebih jauh,” jawab Lambert.
“Hm, berarti kau akan bertemu dengan Damian di sana,” kata Albertino. Ia menarik-narik dagunya sambil terlihat berpikir.
“Kau masih bertengkar dengan kakakmu itu?” tanya Lambert.
“Aku tidak terlalu nyaman tinggal dengan orang yang terlalu serius seperti orang itu. Tapi kalau kau bertemu dengannya, sampaikan salamku,” kata sang walikota. Ia mengeluarkan selembar amplop kecil dari dalam saku bajunya. Amplop itu diserahkannya pada Lambert.
“Serahkan ini pada penjaga di perbatasan. Mereka akan membiarkanmu memasuki pelabuhan,” kata Albertino.
“Surat jalan?” tanya Lambert sambil mengambil amplop itu.
“Surat jalan. Jangan sampai surat itu hilang. Jika tidak kalian akan jadi pelanggar batas di kerajaan Levitia,” kata Albertino.

Mereka berbincang-bincang sejenak sebelum akhirnya pergi menuju pelabuhan.

Dua hari berlalu setelah pertarungan Adam melawan Advano waktu itu. Bangkai kapal induk Adventa masih tergeletak di tempat itu. Tetapi kapal-kapal yang masih selamat sudah mulai kembali beraktivitas. Sierra telah menunggu di salah satu kapal yang tertambat di pelabuhan. Saat ia melihat mereka, gadis itu melambaikan tangannya.

“Ah! Aku lupa! Ada sesuatu yang harus kuberikan pada kakek tua itu. Kalian berdua naiklah lebih dulu,” kata Lambert.

Tanpa menunggu jawaban dari Adam dan Eva Lambert berlari menuju ke rumah sang walikota. Sang walikota masih berdiri di lapangan kota di depan rumahnya dan mengatur proses renovasi kota Ravena.
“Ada yang tertinggal, Lambert?” tanya Albertino Han saat melihat Lambert berlari ke arahnya.
“Ada yang lupa kuberikan sebagai ucapan terima kasihku pada kota ini,” kata Lambert. Ia segera membuka salah satu kantung ransel yang dikenakannya saat itu dan mengeluarkan sebuah tabung silinder yang terbuat dari baja. Ia menyerahkan benda itu pada sang walikota.
“Benda apa ini?” tanya Albertino.
“Sedikit Panacea untuk menyembuhkan yang luka dan menyembunyikan kota ini dari pantauan Adventa untuk sementara. Kau tahu cara penggunaannya, kan?” kata Lambert.

Albertino tersenyum. “Aku memang sudah mulai tua, tetapi aku tidak mungkin lupa apa yang dikatakan ayah angkatmu tentang benda ini. Akan kutuangkan di sumber air minum kami dan juga di kolam di sekeliling kota ini. Seperti itu, bukan?”
“Ingatanmu memang masih tajam, Pak Tua.”
“Sekarang julukanku turun satu tingkat rupanya. Yah, apapun itu kau tetap menghinaku dengan kata tua itu. Sebaiknya kau cepat pergi sebelum aku berubah pikiran dan menyuruh orang menangkapmu,” kata Albertino dengan nada bercanda.
“Akan kusampaikan salam darimu pada Damian Han,” kata Lambert.
“Terima kasih,” kata Albertino.

Albertino melihat punggung Lambert menjauh menuju ke pelabuhan. Ia menghela napas. “Anak memang tidak jauh beda dengan sang ayah. Bahkan bila mereka tidak sedarah sekalipun. Semoga misimu berhasil, Lambert von Conrad,” katanya.

[Jumlah kata:  3720]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar