Sierra masih berdiri
mematung di tempatnya. Kejadian itu terjadi dengan sangat cepat, tetapi ia
betul-betul yakin Adam tadi menarik kepalanya dan menciumnya. Meski yang terakhir itu masih
tidak bisa ia percayai. Wajahnya memerah tanpa ia bisa kendalikan. Jantungnya
berdetak kencang. Ia terkejut, namun di saat bersamaan ia senang. Ia malu,
tetapi di saat bersamaan pikirannya berisi berbagai hal memalukan. Ia gelisah
sekaligus merasa tenang karena setidaknya Adam menunjukkan sedikit perhatian
yang diharapkannya. Perasaannya yang bercampur aduk membuatnya tidak bisa
bergerak. Ia tidak mungkin menatap wajah pria itu sekarang. Tetapi di saat
bersamaan ia sangat ingin melihatnya. Ia hanya bisa mematung di tempatnya tanpa
menyadari apapun di sekitarnya. Sierra terlalu sibuk dan terlalu asyik dengan
pikirannya sendiri saat ini.
Karl yang berada di
ruangan yang sama dengan Sierra mendekati gadis itu. Ia melambaikan tangan di
depan mata gadis itu, tapi sepertinya gadis itu tidak menyadarinya. Gadis itu
malah tersenyum-senyum tidak jelas. Melihatnya seperti itu Karl hanya bisa
mengelengkan kepalanya. “Sudahlah. Kubiarkan saja dia seperti ini sekarang,”
katanya.
Dari pintu ruang bawah
yang terbuka di atasnya, Karl dapat melihat keadaan di luar sudah tenang. Ia
memutuskan untuk melihat-lihat situasi di luar. Dengan hati-hati ia menaiki
tangga kayu ruang bawah tanah itu. Gudang di atas ruang bawah tanah itu tidak
begitu hancur, namun kondisinya sangat gelap. Seandainya ia tidak membawa lilin dari bawah pasti sekarang ia
tidak dapat melangkah sama sekali. Di luar gudang segalanya tidak jauh berbeda.
Karl berjalan ke depan bangunan Ciel. Secara ajaib bangunan itu hanya mengalami
sedikit kerusakan, sementara sebagian besar bangunan lain telah rata dengan
tanah. Api yang menyelimuti nyaris seluruh kota Ravena telah padam. Sebagai
gantinya kota itu kini menjadi reruntuhan batu dan kayu yang berasap. Beberapa
orang yang masih selamat tampak sibuk mencari orang yang mungkin masih selamat
di bawah reruntuhan itu. Karl terdorong untuk membantu mereka.
“Johann, keluargamu
tidak apa-apa?” tanya Karl pada seorang pria bertubuh tinggi yang sedang
memindahkan balok-balok kayu di seberang jalan.
Pria bernama Johann
itu menoleh pada Karl. Wajahnya penuh dengan jelaga. Johann adalah pemilik kedai
makanan khusus vegetarian yang berada di seberang kedai Ciel. Pria itu hidup
bersama istri dan anaknya. Tetapi yang dilihat Karl saat ini hanya Johann saja.
“Anak dan istriku
berada di lapangan kota saat serangan tadi terjadi. Kudengar mereka sudah pergi
menyelamatkan diri ke arah hutan bersama yang lain,” kata Johann sambil
tersenyum.
Karl kagum pada pria
itu. Bahkan di saat seperti ini Johann masih bisa tersenyum seperti biasa. Pria
berambut panjang itu berusia tiga puluh tahun. Dua belas tahun lalu ia san
Sierra bertemu dengan pria itu pertama kalinya. Di usianya yang masih delapan
belas tahun sosok Johann telah terlihat begitu dewasa. Johannlah yang menampung
Sierra dan dirinya yang juga kehilangan orang tua dalam wabah yang terjadi pada
saat itu. Pria itu memberikan mereka tempat tinggal dan makan sampai mereka
siap untuk hidup mandiri.
“Aku yakin Carla dan
anak-anakmu aman bersama yang lain. Mungkin malah kau yang mereka khawatirkan
sekarang ini,” kata Karl.
“Aku menyesal jika itu
terjadi,” kata Johann. Ia berusaha menarik sebuah balok yang tampaknya cukup
berat. Balok itu tidak beranjak sedikitpun dari tempatnya karena pecahan-pecahan
dinding yang menimpa balok itu.
“Biar kubantu,” kata
Karl.
“Maaf merepotkanmu,”
kata Johann. Senyumnya kembali tersungging.
“Aku dan Sierra telah
merepotkanmu sejak dulu. Yang kulakukan sekarang tidak sebanding dengan apa
yang telah kau lakukan bagi kami,” kata Karl sambil tersenyum.
Karl mengangkat
pecahan-pecahan dinding yang menghalangi balok yang ditarik Johann. Mengangkat
pecahan dinding dengan berat di atas dua puluh kilo bukan masalah bagi pembuat
roti seperti Karl. Ia sudah biasa mengangkat karung-karung tepung setiap hari.
Tetapi untuk Johann yang terbiasa mengolah sayuran, berat seperti itu tidak
mudah diangkatnya.
“Sebenarnya apa yang
sedang kau cari, Johann?” tanya Karl yang sedari tadi penasaran apa yang
dilakukan pria itu.
“Barang yang penting
untukku. Kalau tidak salah kuletakkan di dapur. Seharusnya di sekitar sini,” jawab
Johann sambil menunjuk-nunjuk reruntuhan itu. Ia berusaha menentukan di mana
posisi dapurnya berada. Karl berusaha membantunya dengan mengingat-ingat pola
bangunan itu dahulu. Bangunan itu dulunya memiliki dua lantai. Ledakan yang
terjadi beberapa saat lalu pasti telah menghancurkan sebagian besar lantai atas
bangunan itu, karena Karl sekarang hanya berdiri di atas reruntuhan yang tidak
terlalu menggunung.
“Sepertinya ada di
sini,” tunjuk Karl pada sebuah titik di sisi kanannya. Dari tempat reruntuhan
yang ditunjuknya ada pegangan wajan yang sedikit tersembul keluar. Wajan itu
sering digunakan oleh Johann dalam mengolah makanan khusus kaum vegetarian yang
menjadi keahliannya. Karl harus mengakui kehebatan pandai besi Tanah Timur,
tanah leluhur Johann. Bahkan setelah ditimpa oleh ratusan kilogram benda
lainnya, wajan buatan Tanah Timur itu tidak rusak sama sekali. Padahal usia
wajan itu sudah tiga kali usia Johann.
“Ah! Wajan itu!” seru
Johann. Ia bergegas menuju tempat yang ditunjukkan oleh Karl. Ia nyaris
terjatuh karena pijakan kakinya bergeser. Karl dengan segera menangkap tangan
pria itu agar ia tidak benar-benar terjatuh.
“Hati-hati. Wajan itu
tidak rusak sama sekali,” kata Karl. Ia membantu pria itu mendapat
keseimbangannya kembali. Setelah pria itu berhasil berdiri dengan stabil, Karl membantunya
membongkar reruntuhan di atas wajan itu. tetapi Johann tidak berhenti
membongkar reruntuhan di sekitar wajan itu meski wajan itu telah ia temukan.
“Bukan wajan itu yang
kau cari, Johann?” tanya Karl.
“Ah, oh, bukan. Aku mencari
benda yang lain. Ah, itu dia!” jawab Johann. Ia menunjuk sebuah bingkai foto
yang nyaris tidak terlihat di antara potongan-potongan kayu yang berserakan di
tempat itu. Johann mengambil bingkai itu dengan hati-hati, berharap foto yang
dibingkainya tidak rusak sama sekali.
“Bingkai foto?” tanya
Karl.
“Bukan sekedar foto.
Ini foto saat anakku yang pertama lahir. Kau tahu, kan, betapa susahnya
mendapat sebuah foto? Aku sampai harus mencari kamera itu di kerajaan Levitia,”
kata Johann. Ia melihat foto dalam bingkai itu. Kaca yang menutup foto itu
sudah pecah, tetapi foto itu sendiri tidak rusak. Ia menghela napas lega.
“Syukurlah foto ini tidak rusak sama sekali,” kata Johann.
“Oh, itu foto yang
waktu itu? Sewaktu Carla melahirkan Adela waktu itu, kan? Sudah berapa tahun
sekarang? Lima tahun, ya?” kata Klaus.
Johann mengangguk. “Hari
itu aku tidak pernah merasa sebingung itu. Aku tidak tahu apa yang harus lebih
dulu kulakukan,” kata Johann. Ia tertawa kecil saat ia mengingat bagaimana ia
membuat seluruh penghuni bangunan di blok itu ikut panik bersamanya. Di saat
yang sama, saat bayinya telah lahir seluruh penghuni blok itu memberinya
selamat. Ia masih ingat ia menangis karena sangat bahagia saat itu.
“Kau membuat seorang
wanita yang bahkan belum menginjak usia dua puluh tahun hamil. Jelas saja
proses melahirkannya susah,” kata Karl. Carla yang menjadi istri Johann baru
berusia dua puluh tiga tahun. Mereka menikah saat usia Carla masih tujuh belas
tahun. Pernikahan mereka mungkin tidak dirayakan besar-besaran, tetapi semua
penduduk kota Ravena akan setuju mengatakan pernikahan mereka adalah pernikahan
ideal yang diimpikan banyak orang.
“Yah, kau tahu Carla,
kan? Dia sangat ingin memiliki bayi saat itu. Setahun setelah kami menikah,
kami langsung mendapatkan seorang bayi,” kata Johann.
“Dan sejak saat itu
kedai Jovista milikmu menjadi laris,” kata Karl.
“Rezeki dari anakku,”
balas Johann sambil tersenyum lebar. Sederet gigi putih kebanggaannya tampak
berbaris rapi di rahangnya yang persegi.
“Entah kapan aku bisa
sepertimu,” kata Karl. Ia sedikit iri pada kebahagiaan pria itu.
“Lamar saja Sierra.
Semua orang juga mengatakan kalian pasti cocok kalau berpasangan,” kata Johann.
Karl menggeleng. “Aku tidak
punya kesempatan. Sejak awal yang berada di kepala Sierra hanya sosok pria
bernama Adam. Dan pria itu kini ada di sini,” kata Karl lemas.
Mendengarkan itu
Johann menghapus senyum lebarnya. “Ah, kalau begitu memang sulit, ya?” katanya.
“Apa boleh buat. Yang
pertama datang yang mendapat semuanya, kan?” kata Karl. Senyum kecut
tersungging di wajahnya.
“Tapi yang berusaha
dapat mengubah segalanya, bukan?” kata Johann.
Karl tahu itu pun
sudah mustahil setelah apa yang dilakukan Adam pada gadis itu tadi. “Sebaiknya
kau mencari keluargamu sekarang. Jika tidak Carla akan mulai mengganggu
orang-orang di sana hanya untuk mencarimu,” katanya. Ia memberikan salam
singkat pada Johann sebelum kembali ke gudang.
Entah bagaimana ia
akan menatap Sierra setelah ini.
***
Karl menghena napas
panjang sebelum ia kembali memasuki gudang. Beberapa langkah dari pintu gudang
itu terdapat sebuah lubang yang memancarkan cahaya remang-remang. Ia ternyata
lupa menutup kembali ruang bawah tanah di gudang itu.
Karl berjalan menuju pintu
ruang bawah tanah itu. Ia menutup hidungnya agar tidak terlalu banyak menghirup
debu yang memenuhi gudang itu. Pintu itu
harus ditutup, katanya dalam hati. Jika
tidak mereka akan sesak napas nantinya.
Karl memasuki ruang
bawah tanah itu dan menutupnya dari dalam. Saat ia melangkah menuruni tangga
menuju ruang di bawah, ia mendengar suara beberapa orang yang sepertinya sedang
berdebat.
“Kau bilang kita harus
ke Tanah Selatan? Aku bahkan tidak pernah tahu sejak kapan kau menghitungku
dalam kelompokmu,” kata seorang pria yang Karl kenal sebagai Adam. Suaranya
sedikit meninggi dari biasanya.
Mendengar kata-kata
yang diucapkan Adam, Karl memutuskan untuk berhenti sejenak di tengah-tengah
tangga. Sierra sepertinya telah masuk ke dalam ruangan di mana suara itu
berasal karena ia tidak menemukannya lagi mematung di depan tangga.
“Kau tentu tahu
fungsimu sebagai sang Pembuka Pintu, bukan? Kupikir kau sudah mengerti apa yang
telah kuceritakan pada kalian beberapa hari lalu. Kita tidak punya waktu
banyak. Hari Penentuan sudah mendekat,” kata seorang pria yang diketahui Karl
sebagai Lambert.
Karl menyimak
pembicaraan mereka berdua. Tampaknya pembicaraan itu cukup rahasia. Bila ia
muncul sekarang maka ia tidak akan mendengarkan semuanya. Ia berharap Sierra
atau siapapun dari kedua pria itu tidak menemukannya menguping pembicaraan itu.
“Lalu jika aku yang
menjadi Pembuka Pintu, apa akhu harus ikut bersama kalian? Bahkan Kunci itu
mengatakan aku sebenarnya tidak cukup layak memegangnya!” seru Adam.
“Lalu bagaimana caranya
kau bisa memakai kekuatannya sampai-sampai mengalahkan semua pasukan Adventa
yang menyerang tempat ini? Kebetulan?”
“Ya! Kebetulan! Berkat
Eva yang memaksaku menggunakan kekuatan itu,” jawab Adam pada Lambert.
“Kalau begitu kau
harusnya sudah tahu, Eva tidak mungkin salah menilaimu. Kau adalah sang Pembuka
Pintu yang dipilihnya sendiri,” balas Lambert.
“Tapi aku menolak
mengikuti kalian mencari Pintu itu dan meninggalkan kota ini. Apalagi dengan
tidak adanya kepastian apa yang akan terjadi setelah pintu itu terbuka. Aku
suka di sini!” kata Adam dengan suara meninggi.
“Kita memang tidak
tahu pasti apa yang terjadi setelah pintu itu terbuka. Tetapi itu pasti jauh
lebih baik daripada membiarkan Adventa yang membukanya,” kata Lambert.
“Aku yang memutuskan
hidupku! Aku tidak mau meninggalkan tempat ini dengan berhutang budi pada
Sierra,” seru Adam.
“Kamu tidak berhutang
budi apa-apa padaku, Adam,” kata Sierra. Suaranya yang penuh semangat hidup
terdengar pelan saat ini. Karl menduga gadis itu sedang bingung sekarang karena
berada di tengah pertengkaran dua orang pria yang dikenalnya baik itu.
“Tapi―”
“Kalau kukatakan
lakukan ini semua demi Nona Sierra, apa kau mau melakukannya?” tanya Lambert
yang dengan tegas memotong alasan Adam.
“Jangan bawa-bawa
Sierra dalam masalahmu, Lambert!” keta Adam. Kali ini ia berteriak.
“Kau melakukan semua ini demi melindunginya,
bukan? Aku hanya mengatakan yang sebenarnya. Adventa hanya akan menyelamatkan
keluarga kerajaannya saja. Rakyatnya dan penduduk Faux Ciel akan mereka biarkan
musnah bersama dunia ini. Termasuk aku, kau, dan juga Sierra,” kata Lambert
dengan tegas.
Karl yang menguping
pembicaraan itu semakin bingung. Ia tidak tahu apa itu Kunci, Pembuka Pintu,
dan juga Faux Ciel. Semuanya terdengar asing di telinganya. Apalagi pembicaraan
itu membawa-bawa nama kerajaan Adventa dan kehancuran dunia.
“A―apa aku sebaiknya
keluar saja?” tanya Sierra. Suaranya terdengar kebingungan saat ini. Karl
bersiap-siap kembali keluar dari tempat itu kalau-kalau Sierra kembali ke
ruangan di bawah tangga itu, namun Lambert menghentikan gadis itu.
“Tetaplah di sini,
Nona. Kalau pria ini benar-benar memperhatikan dirimu dan menganggapmu penting,
dia akan memilih jalan yang benar,” kata Lambert.
“Dan pilihanku adalah
melindunginya di sini dengan apapun yang kupunya!” jawab Adam dengan tegas.
“Melawan semua armada
tempur yang tidak tertandingi dari Adventa? Dan lagi mereka dibantu oleh
Advano, bukan? Aku tidak mengetahui apa yang terjadi di luar sana, tetapi suara
petir yang aneh dan juga ledakan-ledakan itu pasti buatan mereka. Bahkan
teknologi tertinggi Adventa tidak bisa memanggil petir yang saling bersahutan
seperti itu,” kata Lambert.
Adam terdiam. Ia tidak
bisa membantah pria itu sekarang. Lambert mengatakan kenyataannya. Bila saja
Eva dan Lambert pergi tanpa dirinya, mereka mungkin akan menemukan pengganti
dirinya. Tetapi apa yang bisa dilakukannya bila Adventa malah mengejar dirinya?
Apa yang akan terjadi pada kota ravena dan Sierra bila mereka menganggap
dirinya adalah sang Pembuka Pintu yang membahayakan mereka? Sedangkan dalam
wujud mirip Advano beberapa saat lalu ia sudah kesulitan melawan seorang
Advano. Apalagi kalau sampai muncul lebih dari satu Advano di kota itu?
“Kamu tidak perlu
memikirkan aku, Adam. Kalau dunia ini bisa selamat, aku tidak apa-apa tinggal
di sini. Tapi kalau semuanya sudah selesai, kembalilah ke tempat ini,” kata
Sierra.
“Kau tidak mengerti
inti masalahnya, Sierra! Kalau pun aku berhasil membuka pintu itu, aku tidak
yakin apakah dunia ini tidak akan hancur ataukah aku bisa kembali ke tempat
ini. Kekuatan dari Kunci itu sangat besar dan hanya Eva yang bisa
menanggungnya. Kalau aku menggunakan kekuatan itu untuk membuka pintu, Eva akan
mati dan belum tentu aku pun masih bisa hidup!” seru Adam.
Karl yang mendengar
pria itu berbicara keras pada Sierra merasa geram. Ia tidak akan melakukan itu
padanya. Gadis itu telah melewati berbagai kesusahan hidup sampai akhirnya bisa
hidup bahagia saat ini. Tetapi pria itu seperti menginjak-injak hal itu dengan membuat
Sierra tampak bodoh di antara mereka. Hei!
Sierra bukan gadis sebodoh itu! seru Karl dalam hatinya. Gadis itu adalah
salah satu orang tercerdas yang pernah ia temui sepanjang hidupnya. Ia pasti
tahu apa yang dikatakannya. Dan meneriakinya seperti itu pasti membuat Sierra
sakit!
Karl sudah tidak tahan
lagi untuk segera menyeruak masuk dan membalas perkataan Adam. Tetapi saat ia
hampir menginjak anak tangga terakhir, ia mendengarkan suara cukup nyaring dari
ruangan sebelah. Sepertinya seseorang telah menampar orang lain di ruangan itu.
Dan orang yang menampar adalah Sierra, yang kemudian terdengar sangat marah
sampai-sampai ia menangis.
“Aku memang tidak
mengerti apa-apa! Aku tidak tahu apa yang terjadi padamu selama dua belas tahun
ini dan begitu juga dirimu! Tetapi aku percaya kita bisa bertemu kembali, dan
sekarang apa yang kupercaya itu terkabul. Apakah kamu tidak ingin percaya bahwa
ada jalan yang lebih baik untuk kita semua?” seru Sierra. Suaranya parau karena
ia berbicara di sela-sela tangisannya. “Kalau menyelamatkan dunia dari
kekejaman Adventa adalah sesuatu yang bisa kamu lakukan, apa kamu tidak akan
melakukannya hanya karena aku ada? Apa aku menjadi pengganggumu? Bagaimana
dengan mimpimu yang ingin terbang ke langit dan membawaku bersamamu?” lanjut
Sierra. Suaranya terdengar terisak-isak saat ini.
Sudah cukup! Aku akan menghajar pria itu
sekarang! Begitulah yang Karl
katakan dalam hati. Tetapi kakinya tidak dapat ia gerakkan ke bawah. Ia membayangkan
apa yang terjadi bila ia menghajar pria itu di depan Sierra. Ia kembali
teringat bagaimana Sierra sangat gembira saat melihat pria itu kembali padanya.
Jika ia menghajar pria itu di depan mata Sierra, gadis itu mungkin akan
membencinya seumur hidup. Ia pun terpaksa mengurungkan niatnya.
“Maaf,” kata Adam.
Suaranya terdengar lebih tenang saat ini. “Tapi aku hanya tidak mau
meninggalkan dirimu lagi. Sendirian tidak mengenal siapapun dan hidup sebagai
orang asing tidak menyenangkan sama sekali,” lanjutnya.
“Kamu sekarang bisa
menyentuh langit. Meski bukan aku yang menjadi sayapmu. Tetapi aku akan
menunggumu kembali di sini kalau memang itu adalah yang terbaik. Kalau pintu
itu berhasil kamu kuasai, maka Adventa tidak akan membukanya dan melarikan diri
sendirian. Jika memang dengan membuka pintu itu kita akan dapat menuju dunia
yang lebih baik, maka pastikan kamu datang menjemputku di sini,” kata Sierra.
Suaranya masih terdengar serak, tetapi setidaknya ia sudah tenang sekarang.
“Kalau begitu ikut
denganku, Sierra,” kata Adam.
Karl terkejut
mendengarkan hal itu. Pernyataan itu sama saja seperti melamar Sierra! Seketika
ia merasakan badannya lemas. Ia mengingat apa yang dikatakan Sierra tentang
Adam. Adam adalah anak laki-laki yang sering mengganggunya sewaktu kecil, namun
yang juga melindunginya dari anak-anak lain yang mengganggunya. Adam adalah
anak laki-laki yang selalu bisa membuatnya tertawa saat ia menangis. Adam
adalah seseorang yang telah dianggapnya penting, bahkan melebihi saudara
baginya. Adam telah menunjukkan mimpinya dan mau membagi mimpi itu bersamanya.
Adam adalah ini, Adam adalah itu, dan masih banyak lagi sosok Adam yang
didengar Karl dari gadis itu. Satu-satunya semangat hidup gadis itu hanyalah
janji masa kecilnya bersama pria itu.
“Eh? Aku?” Sierra
terdengar kebingungan dan tidak tahu harus menjawab apa. Karl dapat merasakan
ada kebingungan dan kebahagiaan yang tersirat dalam suara gadis itu. Tentu saja dia bahagia dan bingung jika
mendengar kata-kata seperti itu, kata Karl dalam hati.
“Hanya itu syaratnya.
Aku juga tidak bisa memastikan apa yang akan terjadi pada kota ini kalau
kutinggalkan. Setidaknya aku dan Eva bisa melakukan sesuatu bila Adventa dan
Advano mennyerang kami,” kata Adam dengan mantap.
“Aku tidak keberatan,”
kata Lambert.
“Tapi bagaimana dengan
tempat ini?” kata Sierra.
Karl mendapat
kesempatan untuk masuk ke dalam ruangan itu. “Serahkan tempat ini padaku,
Sierra,” katanya sambil tersenyum lebar. “Aku tadi sempat mendengar sedikit
tadi saat aku masuk. Kalau kau ingin pergi ke suatu tempat aku akan menjaga
tempat ini untukmu,” katanya. Ia berusaha senormal mungkin agar tidak dicurigai
menguping pembicaraan mereka.
Mata Sierra masih
merah karena tangisan tadi. Melihat itu sebenarnya Karl merasa sangat marah
pada Adam. Tetapi melihat wajah menyesal Adam, kemarahannya sedikit mereda.
“Tidak apa-apa kalau
aku meninggalkanmu sendirian mengurus tempat ini?” tanya Sierra pada Karl.
“Tenang saja. Lagipula
tempat ini baru akan buka setelah diperbaiki. Tempat ini akan sibuk dengan
pekerjaan pria,” kata Karl sambil tersenyum lebar.
“Tuan Karl ada
benarnya. Hari Penentuan akan terjadi beberapa bulan lagi. Kalau kalian kembali
saat semuanya sudah selesai akan lebih baik, bukan?” kata Lambert.
“Maaf, Tuan Lambert. Aku
ingin tahu apa itu Hari Penentuan yang Anda katakan tadi,” kata Karl. Sedari
tadi ia penasaran pada semua istilah baru yang didengarnya. Tetapi bila ia
menanyakan semuanya pasti ia akan diduga menguping pembicaraan serius mereka.
Meski bagaimanapun bagi mereka dirinya adalah orang asing.
Lambert tampak ragu
untuk menjelaskan istilah itu pada Karl, tetapi ia akhirnya menjelaskannya
dengan bahasa yang paling sederhana. “Hari Penentuan adalah hari dimana
segalanya ditentukan. Hari dimana legenda dipenuhi. Aku tidak bisa menceritakan
secara detil demi keselamatanmu sendiri, Tuan Karl,” jawab Lambert.
“Apakah itu
berbahaya?” tanya Karl.
“Kami juga masih belum
tahu. Tapi berbahaya atau tidak akan sama saja hasilnya kalau Adventa lebih
unggul dari kami,” jawab Lambert.
“Tuan Lambert, lalu
tentang Eva―” Karl baru akan bertanya mengenai perubahan yang terjadi pada Eva,
namun Lambert segera mengalihkan perhatian pria itu dengan mengajaknya keluar. “Sebaiknya
kita bersiap-siap. Ada banyak yang kita harus lakukan saat ini,” kata Lambert sambil
merangkul pria itu dan menggiringnya keluar.
***
Hari keberangkatan mereka
akhirnya tiba. Sierra menyampaikan salam perpisahan pada Johann dan semua orang
di sekitar Ciel. Karl membantunya mempersiapkan bekal perjalanan. Adam dan Eva ikut
bersama Lambert menghadap Albertino Han.
“Jadi kau akan pergi
sekarang, Anak Muda?” tanya Albertino Han.
“Begitulah. Aku sudah
banyak menyusahkanmu sejak aku datang ke tempat ini, Kakek,” jawab Lambert.
Sang walikota
tersenyum sinis. “Heh, kau masih berani menyebutku dengan kata itu rupanya,”
kata Albertino.
“Aku masih dendam
padamu, ingat?”
“Terserahlah.”
Albertino mengalihkan
pandangannya pada Adam dan Eva. “Jadi mereka yang bertanggung jawab menghancurkan
semua armada Adventa yang bahkan kami tidak tahu keberadaannya itu?” tanya sang
walikota pada Lambert.
“Benar. Jika kau
sempat memperhatikan langit malam itu, Adam adalah sosok berwarna emas yang
bertarung melawan mereka semua,” kata Lambert sambil menepuk punggung Adam.
Adam hanya mengangguk
sopan pada sang walikota.
“Anak muda ini lebih
tahu sopan santun dari pada dirimu, Lambert,” kata Albertino.
“Tunggu sampai kau
melihat dirinya yang asli,” balas Lambert.
“Seandainya kalian mau
tinggal sehari lagi, aku akan memberikan pesta perpisahan yang layak untuk
pahlawan seperti kalian,” kata Albertino.
“Pikirkan warga kotamu,
Kakek Tua! Kau terlalu banyak minum
sampai lupa lebih dari separuh kotamu rata dengan tanah?” balas Lambert.
Sang walikota tertawa.
“Aku hanya bercanda, Lambert. Kalau kau seserius itu, bisa-bisa sepuluh tahun
lagi aku akan terlihat lebih muda dari dirimu,” katanya.
“Masih lebih baik
daripada harus bercanda di saat yang tidak tepat, kan?” balas Lambert.
Kedua orang itu saling
tersenyum mencibir. Tetapi dalam hati keduanya saling menghormati satu sama lain.
“Tujuan kalian adalah
Klais, bukan?” tanya Albertino.
“Benar. Kami tidak
mungkin pergi dari sini ke Levitia dalam sekali jalan. Lagipula kami tidak
ingin menyusahkan kalian lebih jauh,” jawab Lambert.
“Hm, berarti kau akan
bertemu dengan Damian di sana,” kata Albertino. Ia menarik-narik dagunya sambil
terlihat berpikir.
“Kau masih bertengkar
dengan kakakmu itu?” tanya Lambert.
“Aku tidak terlalu
nyaman tinggal dengan orang yang terlalu serius seperti orang itu. Tapi kalau
kau bertemu dengannya, sampaikan salamku,” kata sang walikota. Ia mengeluarkan
selembar amplop kecil dari dalam saku bajunya. Amplop itu diserahkannya pada Lambert.
“Serahkan ini pada
penjaga di perbatasan. Mereka akan membiarkanmu memasuki pelabuhan,” kata Albertino.
“Surat jalan?” tanya Lambert
sambil mengambil amplop itu.
“Surat jalan. Jangan sampai
surat itu hilang. Jika tidak kalian akan jadi pelanggar batas di kerajaan
Levitia,” kata Albertino.
Mereka berbincang-bincang
sejenak sebelum akhirnya pergi menuju pelabuhan.
Dua hari berlalu
setelah pertarungan Adam melawan Advano waktu itu. Bangkai kapal induk Adventa
masih tergeletak di tempat itu. Tetapi kapal-kapal yang masih selamat sudah
mulai kembali beraktivitas. Sierra telah menunggu di salah satu kapal yang
tertambat di pelabuhan. Saat ia melihat mereka, gadis itu melambaikan
tangannya.
“Ah! Aku lupa! Ada sesuatu
yang harus kuberikan pada kakek tua itu. Kalian berdua naiklah lebih dulu,”
kata Lambert.
Tanpa menunggu jawaban
dari Adam dan Eva Lambert berlari menuju ke rumah sang walikota. Sang walikota
masih berdiri di lapangan kota di depan rumahnya dan mengatur proses renovasi
kota Ravena.
“Ada yang tertinggal, Lambert?”
tanya Albertino Han saat melihat Lambert berlari ke arahnya.
“Ada yang lupa
kuberikan sebagai ucapan terima kasihku pada kota ini,” kata Lambert. Ia segera
membuka salah satu kantung ransel yang dikenakannya saat itu dan mengeluarkan
sebuah tabung silinder yang terbuat dari baja. Ia menyerahkan benda itu pada
sang walikota.
“Benda apa ini?” tanya
Albertino.
“Sedikit Panacea untuk
menyembuhkan yang luka dan menyembunyikan kota ini dari pantauan Adventa untuk
sementara. Kau tahu cara penggunaannya, kan?” kata Lambert.
Albertino tersenyum. “Aku
memang sudah mulai tua, tetapi aku tidak mungkin lupa apa yang dikatakan ayah
angkatmu tentang benda ini. Akan kutuangkan di sumber air minum kami dan juga
di kolam di sekeliling kota ini. Seperti itu, bukan?”
“Ingatanmu memang
masih tajam, Pak Tua.”
“Sekarang julukanku
turun satu tingkat rupanya. Yah, apapun itu kau tetap menghinaku dengan kata
tua itu. Sebaiknya kau cepat pergi sebelum aku berubah pikiran dan menyuruh
orang menangkapmu,” kata Albertino dengan nada bercanda.
“Akan kusampaikan
salam darimu pada Damian Han,” kata Lambert.
“Terima kasih,” kata
Albertino.
Albertino melihat
punggung Lambert menjauh menuju ke pelabuhan. Ia menghela napas. “Anak memang tidak
jauh beda dengan sang ayah. Bahkan bila mereka tidak sedarah sekalipun. Semoga misimu
berhasil, Lambert von Conrad,” katanya.
[Jumlah kata: 3720]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar