Raja Edward sedang
gelisah. Sudah lebih dari dua hari ia tidak bisa tidur. Makanan dan wanita
tidak dapat menghiburnya sama sekali. Bayangan kengerian dari amarah para
Advano yang pernah dilihatnya berkelebat di kepalanya setiap kali ia memejamkan
matanya. Makhluk yang diagungkannya itu mampu melakukan apapun yang mereka
inginkan, termasuk membunuh orang yang mereka tidak sukai. Ya, semua orang yang
tidak mereka sukai pasti mereka bunuh. Termasuk orang yang gagal melakukan apa
yang mereka perintahkan, seperti dirinya saat ini.
Dua hari telah berlalu
sejak kekalahan armada perang Adventa melawan sosok misterius yang melindungi
kota Ravena. Hanya sedikit dari pasukannya yang dapat kembali untuk melaporkan
sendiri keadaan di medan pertempuran saat itu kepadanya. Ia merasa sangat
dipermalukan. Ia mengirim pasukan untuk membalas kekalahan itu, tetapi saat ini
ia baru saja mendengarkan laporan aneh dari pasukan itu: pulau Arron tempat di
mana kota Ravena berada tidak terlihat di koordinat posisi yang diberikan pada
mereka.
“Itu tidak mungkin!”
teriak Raja Edward.
“Tetapi laporan ini
telah saya pastikan sendiri. Semua armada perang yang dikirim ke perairan
selatan tidak ada yang kembali. Rekaman terakhir menunjukkan sosok makhluk aneh
berbentuk ular yang meledak dan menghancurkan armada kita yang tersisa,” lapor
Klaus, sang jenderal. Ia adalah orang yang sangat membenci kekalahan. Ia telah
lama merasa sang raja tidak memiliki kepemimpinan yang tepat, seolah ada
sesuatu yang mengendalikan keputusannya. Dan apapun yang mengendalikannya,
sesuatu itu telah mengakibatkan armada kebanggaannya hancur. Ia berharap sang
raja menunjukkan rasa menyesal atau sedikitnya simpati pada para prajurit yang
telah gugur karena perang tiba-tiba itu. Tetapi ekspresi sang raja saat ini sangat
jauh dari kata menyesal dan simpati.
Raja Edward terkesiap.
Matanya membelalak. Bukan karena mendengar angkatan bersenjatanya musnah.
Tetapi karena sosok ular yang dilaporkannya meledak itu. Klaus telah mencapai
titik jenuhnya. Ia sudah tidak bisa mematuhi keputusan rajanya lagi.
“Raja, saya takut saya
tidak bisa mempercayai Anda lagi bila Anda tidak memberitahukan pada saya apa
yang terjadi saat ini. Armada terbaik saya musnah dan semua prajuritnya tewas,
tetapi sepertinya Anda tidak terlalu peduli akan hal itu,” kata Klaus dengan
dingin.
Raja Edward menggeram.
“Jadi maksudmu kau ingin melawanku, Klaus?” kata sang raja.
“Saya membela prajurit
saya,” jawab Klaus dengan tegas dan singkat.
“Kau pikir aku siapa,
Hah!? Aku raja Adventa, kerajaan terkuat di dunia ini!!” teriak sang raja.
Klaus membuang
napasnya secara perlahan. “Kalau begitu saya permisi, Raja,” katanya. Ia
berbalik badan dan meninggalkan takhta sang raja. Meninggalkan sang raja yang
berteriak seperti seorang gila di atas takhtanya. Ia akan meninggalkan kerajaan
itu bersama semua yang setia bersamanya.
Jika sang raja tidak
mendengarkan mereka, maka mereka akan mencari selamat mereka sendiri.
***
Dunia para Advano
adalah dimensi yang dipenuhi warna biru. Sejauh mata memandang hanya terdapat
langit berwarna biru. Para Advano dalam rupa makhluk legenda mereka
berterbangan dengan bebas di dalam dunia itu. Di dalam dunia itu terdapat
sebuah benda menyerupai matahari yang berputar perlahan di tengah-tengahnya. Di
dalam benda itu, berbeda dengan penampakannya yang penuh cahaya, hanya ada
hitam dan kegelapan yang sangat kelam. Satu-satunya yang bersinar di dalamnya
hanyalah lima kristal berwarna emas yang berkilauan. Kelima kristal itu
melayang-layang, bergerak perlahan dalam sebuah lingkaran dengan teratur.
Kelimanya bukan kristal biasa, melainkan para Advano. Mereka juga bukan Advano
biasa, tetapi para jenderal, level tertinggi dan terkuat dari Advano.
“Jerez telah
dimusnahkan oleh seorang manusia biasa,” kata salah satu kristal berbentuk
bola.
“Bukan seorang manusia
biasa, Asdaros. Dia adalah seorang Pembuka Pintu,” kata kristal lain yang
berbentuk kotak kepada kristal berbentuk bola itu.
“Dari segi manapun dia
adalah manusia biasa,” kata Asdaros, Advano berbentuk bola itu.
“Asdaros benar, Farros.
Adalah penghinaan bagi kita, Advano, makhluk terkuat di alam raya ini, untuk
dikalahkan begitu saja oleh makhluk rendah seperti mereka!” kata Advano yang
terlihat seperti cincin pada Advano yang berwujud kotak itu.
“Jerez menanggung
kesalahannya sendiri dengan melanggar hukum yang dijanjikan. Manusia berhak
memilih siapa yang akan membuka pintu itu,” kata Farros.
“Dan itu adalah hak
Adventa, budak setia kita,” kata Asdaros. “Jika kita membiarkan Kunci memilih
orang yang diinginkannya, maka semua rencana kita akan gagal. Manusia akan
kembali pada kegilaan mereka dan kembali saling menghancurkan!!”
“Aku menolak untuk
menyalahkan manusia,” kata Farros.
“Kau terlalu lama
mempelajari manusia, Farros. Kau terpengaruh perasaan mereka,” kata Advano
berbentuk cincin.
“Lalu bagaimana dengan
dirimu sendiri, Marr?” kata Asdaros pada Advano berbentuk cincin itu.
Advano berbentuk
cincin itu mengeluarkan sinar yang sangat menyilaukan. Terdengar suara gemuruh
di sekitar cincin itu. “Karena ada hukum di antara kita, aku tidak membunuhmu.
Jika kau manusia, kau pasti akan kubunuh saat ini!” kata Advano berbentuk
cincin itu dengan geram.
“Sekarang kau telah
menunjukkan perkataan Farros itu benar, Marr,” kata kristal lain berbentuk
segitiga pipih. Ia berputar dengan tenang di poros tubuhnya sambil terus bergerak
dalam lingkaran.
“Apa katamu?! Sejak
kapan kau peduli pada permasalahan kita, Darra!?” seru Marr dengan penuh emosi.
“Sejak kapan kau peduli pada masalah manusia?!”
“Aku tidak berbicara
di saat tidak penting, Marr,” kata Darra, Advano dengan kristal berbentuk
segitiga pipih itu.
“Setidaknya sekarang
kau menganggap masalah ini penting,” kata Marr sembari mencibir Darra.
“Mereka berdua memang
berbeda dari kita, Marr. Inilah mengapa kita menolak saran para tetua
mempelajari manusia hina itu,” kata Asdaros.
“Terserah kalian untuk
menolak atau mengikuti langkah kami. Tetapi untuk masalah kali ini, lebih baik
kita putuskan langkah yang kita akan ambil,” kata Darra. “Belum saatnya Kunci
mendekati Pintu. Hukum harus ditegakkan.”
Asdaros tertawa
mencibir. “Kukira kau sudah tidak punya harga diri sebagai Advano,” katanya
pada Darra.
“Kalian tenanglah,”
kata kristal terakhir yang berbentuk seperti angka delapan. Suara yang
dikeluarkan oleh kristal itu menandingi suara gemuruh yang keluar dari Marr.
Seluruh kristal itu bergetar takut. Suara dari kristal terakhir itu bagaikan
suara seribu petir yang menyambar bersamaan. Ia hanya mengucapkan dua kata
saja, namun itu sanggup mendiamkan perdebatan yang mulai berwujud di antara
mereka.
“Asdaros, Farros,
Marr, Darra! Saatnya kita mengambil keputusan!” seru kristal berbentuk angka
delapan itu.
“Baik, Barraza,” jawab
keempat kristal lain dengan sopan pada kristal berbentuk angka delapan itu.
“Siapa yang mendukung
hukuman pada manusia?” tanya kristal bernama Barraza itu.
Asdaros dan Marr memancarkan
sinar yang sangat berkilauan dengan bersamaan. Barraza mengeluarkan sinar
menyilaukan yang sama dengan mereka berdua. Kali ini Marr tertawa sangat keras.
“Bahkan ketua pun membelaku!” katanya. Cahayanya tampak berkelap-kelip.
“Kami mematuhi hukum,”
kata Darra dan Farros bersamaan.
“Aku tidak menentang
pendapat kalian. Tetapi seperti kata Darra, waktunya belum tiba,” kata Barraza
pada Asdaros dan Darra.
“Kami mengerti,” kata Farros
dan Darra kembali.
“Saatnya menuju dunia
buatan kita, Faux Ciel. Pintu harus dijaga,” kata Barraza.
“Lalu bagaimana dengan
nasib raja bodoh itu?” tanya Marr.
“Keinginannya hanyalah
bertahan hidup dengan cara pengecut. Ia tidak layak untuk kita,” jawab Barraza.
Asdaros meraung penuh
kegembiraan. “Saatnya penghakiman!” seru Advano itu. Ia memancarkan sinar
terang yang hanya terlihat sesaat, saat sinar itu hilang, tubuh kristal Advano
itu pun lenyap.
“Dia tidak pernah
sabar menanti,” kata Marr. Ia mengikuti langkah yang dilakukan oleh Farros dan
menghilang.
“Kalian berdua,
ingatlah! Ada saatnya hukum harus berada di atas segalanya, tetapi jika kalian
menganggap hukum itu bisa dibengkokkan demi orang lain, lakukanlah. Untuk
itulah Faux Ciel dibentuk,” kata Barraza pada Farros dan Darra. Ia menunggu
waktu yang tepat hingga Marr dan Farros tidak berada di tempat itu lagi.
“Mengapa Anda
memberitahukan ini pada kami?” tanya Farros.
“Karena aku ingin
menguji seberapa layak manusia itu mendapat bumi kembali,” kata Barraza
singkat.
Sang ketua melepaskan
sinar yang sangat terang. Tetapi hanya dalam sekejap. Setelah itu semuanya
gelap.
“Kita harus menyusul
mereka,” kata Farros.
“Aku setuju. Sudah
saatnya melihat Sang Pembuka Pintu yang terpilih itu,” kata Darra. “Atau
sebaiknya kupanggil sebagai Adam saja?” lanjutnya sambil tertawa renyah.
Tubuh kedua Advano itu
pun bersinar terang. Mereka menghilang dari dunia serba hitam itu dalam
sekejap.
[Jumlah Kata: 1263]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar