Setelah bersusah
payah, akhirnya Lambert berhasil mencapai perbatasan antara hutan dan kota
Ravena. Padang rumput membentang antara kota itu dan hutan di belakangnya. Di
depannya telah terlihat benteng kota Ravena. “Kota itu tidak berubah sama
sekali. Semoga mereka masih mengingatku,” kata Lambert. Energinya telah mulai
terkuras. Tetapi ia memaksa dirinya untuk terus bertahan. Jarak satu kilometer yang
membentang antara dirinya dan benteng kota itu pun bukan masalah besar baginya.
Lambert menoleh ke arah gadis yang kini telah ia lepas dari ikatan yang melilit
badan mereka berdua. Gadis yang tampak masih remaja itu masih terlelap dari
tidurnya. Senyum yang dilihatnya sewaktu gadis itu masih berada di dalam tabung
tetap menghiasi wajahnya yang damai. Lambert sedikit iri pada gadis itu.
Seandainya saja ia bisa tidur sedamai itu. Tetapi tidur adalah kemewahan bagi
pasukan pemberontak yang entah bagaimana caranya selalu saja bisa ditemukan
pihak kerajaan Adventa.
Lambert masih ingat
betul bagaimana kota Ravena dua belas tahun lalu. Kota itu jauh dari deskripsi
kehidupan. Mayat-mayat bergelimpangan di tanah tanpa ada yang bisa mengyuburkan
mereka. Bukan karena tidak ada yang mempedulikan mereka, tetapi karena sebagian
besar penduduk kota itu juga terkenah wabah yang sama yang telah membunuh
mereka. Ia dan Conrad yang sedang menyelidiki Tanah Selatan sempat melewati
kota itu dan terkejut. Kala itu Conrad mengatakan wabah itu bukan wabah biasa,
tetapi wabah yang sengaja disebarkan oleh Advano, bentuk kehidupan cerdas yang
telah membuat Dunia Baru. Mereka lalu mencari sumber air kota itu dan
membubuhkan seliter penuh cairan berwarna keemasan di dalamnya. Semua manusia
di dalam kota itu berbondong-bondong mendatangi sumber air itu dan meminum air
di dalamnya. Secara ajaib, penyakit yang nyaris membunuh mereka lenyap
seketika. Namun duka terlanjur menyelimuti kota itu. Tangisan tampaknya tak
akan berhenti dari kota itu saat ia dan Conrad meninggalkannya. Tetapi bila
kota itu telah berdiri sekokoh itu, dengan tembok-tembok kotanya yang terawat,
berarti kota itu berhasil bangkit dari keterpurukannya.
Kota Ravena
dikelilingi dinding tinggi yang membuatnya tampak seperti kota benteng. Di tiap
lima belas meter terdapat sebuah menara pengawas yang berada sedikit lebih
tinggi dari dinding kota itu. Di dalamnya masing-masing terdapat seorang
prajurit bersenjata lengkap. Dan mereka sekarang menodongkan senjata-senjata
mereka ke arah Lambert dan gadis yang dibawanya. Lambert tidak terkejut.
Pastilah ledakan dari arah hutan telah membuat mereka mencurigai siapapun yang
datang dari dalam hutan. Itu lumrah, pikirnya.
“Siapa kau!?” seru
salah satu prajurit. “Identifikasikan dirimu, Orang Asing!”
“Namaku Lambert.
Lambert von Conrad!” jawab Lambert lantang.
Prajurit-prajurit yang
menjaga kota itu terkejut. Mereka tampak berbisik-bisik satu sama lain melalui walkie talkie mereka. Pada saat
sepertinya mereka telah mencapai sebuah kesepakatan, salah satu prajurit itu
bertanya pada Lambert, “Beri kami bukti yang hanya Tuan Conrad dan anak
angkatnya, Lambert, yang mengetahuinya.”
“Dua belas tahun lalu
kota ini diserang wabah Thanatos. Kota ini nyaris binasa seandainya ayahku
tidak lewat di kota ini dan memberikan satu liter Panacea ke sumber airnya.
Apakah walikota kalian masih Albertino Han?”
Para prajurit itu
saling berpandangan.
“Ya! Walikota kami
bernama Albertino Han! Kau mau apa dengan walikota kami!” seru seorang prajurit
dengan senjata yang masih mengarah pada Lambert.
“Pertemukan aku
padanya. Dari jarak seperti inipun tidak apa-apa. Yang penting dia melihatku.
Aku punya bukti fisik yang hanya dia saja yang tahu!” jawab Lambert.
Prajurit itu tampak
berbicara pada seseorang melalui walkie
talkie yang dipegangnya. Beberapa menit kemudian ia mengangguk. “Walikota
bersedia menemuimu! Tetapi kau harus tetap berada di jarak itu! Selangkah lagi
kau bergerak kami akan segera menembakmu!” seru prajurit itu.
“Aku mengerti!” balas
Lambert. Setidaknya mereka sudah setengah aman sekarang. Lambert menurunkan
gadis yang digendongnya dan membaringkannya di pangkuan. Ia merapikan jubah
yang membalut tubuh polos gadis itu. Matahari mulai meninggi. Ia menudungi
wajah gadis itu dengan tubuhnya sendiri. Panas dari matahari yang menyengat
tengkuknya tidak ia pedulikan. Ia hanya ingin menjaga senyuman yang dilindungi
ayahnya dengan nyawanya itu.
Setengah jam berlalu.
Lambert mulai tidak sabar. Saat itulah seorang pria beruban muncul di salah
satu menara. Lambert memandangi pria itu. Wajahnya mungkin sudah tirus
mengingat umurnya yang masti sudah setengah baya, namun sorot mata seperti
elang dan wajah keras orang itu tidak berubah sama sekali.
Wajahnya masih
sanggup membuat Lambert jengkel setengah mati.
“Kata mereka kau ingin
bertemu denganku. Lalu apa buktinya jika kau adalah Lambert?” kata pria
setengah baya itu.
Lambert membuka
bajunya dan memperlihatkan bekas luka yang menganga di bahu kirinya. Luka itu
seperti bekas luka tombak yang menembus bahunya. “Luka ini adalah luka yang
ditinggalkan seseorang bernama Albertino Han saat dia mengiraku sebagai yang
menyebarkan wabah di kota ini dua belas tahun lalu,” kata Lambert. Ia tersenyum
sinis pada pria setengah baya itu. “Panacea pertama digunakan padaku untuk
membuktikan kemampuannya. Barulah kau yang picik itu percaya pada ayahku.”
Pria bernama Albertino
Han itu terkejut. Buru-buru ia memerintahkan gerbang kota mereka dibuka.
Setelah gerbang itu terbuka, orang yang menyambut Lambert adalah Albertino Han
sendiri. Pra itu berlari menyongsongnya dan hendak memeluk Lambert, namun
dengan sigap Lambert mengarahkan telapak tangan padanya dan memintanya
berhenti. Saat itulah Albertino melihat gadis yang terbaring di pangkuan
Lambert.
“Maafkan perlakuan
kasar kami. Akhir-akhir ini ada kejadian mencurigakan yang terjadi di sekitar
kota kami. Beberapa kali kami mendengar ledakan dari arah hutan tempat Anda
keluar tadi,” kata Albertino Han.
Lambert kembali
mengangkat gadis yang terbaring di pangkuannya itu ke punggungnya dan berdiri.
“Bicaranya nanti saja. Tolong bantu gadis ini dulu,” katanya.
“Siapa dia?”
“Seseorang yang dilindungi
ayahku dengan nyawanya.”
“Apa? Jadi…”
“Ya. Akan kuceritakan
semuanya saat kita sudah di dalam kota. Aku tidak ingin gadis ini mandi
keringat di bawah matahari ini. Ya ampun. Matahari di belahan selatan Dunia
Baru memang tidak tertandingi,” kata Lambert dengan keringat yang mulai
bercucuran.
“Kami akan memberikan
pesta sambutan pada Anda, Tuan Lambert.”
“Tidak perlu. Yang
kubutuhkan hanya sebuah pesawat kecil atau kapal laut ke Tanah Selatan
secepatnya. Ada yang harus kulakukan segera.”
“Saya khawatir itu
tidak bisa. Seminggu lagi adalah peringatan datangnya ayah Anda ke kota kami.
Tempat ini akan dipadati wisatawan dan semua prajurit militer akan sangat
sibuk. Dan…”
“Aku tidak minta
pengawalan darimu. Aku hanya minta pesawat atau alat transportasi lainnya.”
“Itulah mengapa saya
katakan semua prajurit akan sibuk. Mulai besok, semua sarana transportasi akan
dipegang pihak militer untuk mencegah adanya penyusupan orang berbahaya. Semua
pengemudi, nahkoda, dan pilot juga akan diliburkan selama seminggu. Dan tidak
akan ada hangar yang buka dan memberikan pesawat yang sangat berharga bagi
kami, bahkan jika aku yang memintanya.”
Lambert menghela
napas. “Kota ini terlalu ketat untuk pemimpinnya sendiri?”
“Ini adalah cara kami
melindungi diri. Seperti gadis itu yang dilindungi oleh Tuan Conrad dengan
nyawanya, demikian pula kami ingin mempertahankan kota kami selama mungkin
sebagai rasa terima kasih kami padanya. Apalagi kudengar Kerajaan Adventa sudah
milau melakukan ekspansi ke segala arah. Sebentar lagi kota tanpa perlindungan
kerajaan seperti kami juga akan kena dampaknya.”
“Kau ada benarnya, Pak
Tua. Baiklah. Aku akan tinggal di sini sampai selesai. Tapi tolong berikan aku
tempat yang tidak mencolok. Dan sebisanya jangan membuat kehebohan yang tidak
penting di kota.”
“Baiklah. Dan karena
Anda adalah Tuan Lambert, saya akan memaafkan Anda.”
“Apa aku melakukan
kesalahan?”
“Umur saya masih empat
puluh lima tahun. Dan saya menolak disebut tua. Lebih tepatnya lagi saya benci disebut tua!”
Lambert tersenyum
sinis. “Dari sudut manapun kau itu tetap pak tua, kan, Kakek Han?”
“Saya menganggap kita
impas.”
Mereka pun telah
berada di dalam gerbang. Sebuah mobil antipeluru telah siap menunggu sang
walikota. Ia mempersilakan Lambert dan gadis itu duduk di belakang, sedangkan
ia sendiri duduk di kursi depan. Mereka segera melaju ke pusat kota, tempat di
mana rumah jabatan walikota berada.
***
Meski Lambert tidak
ingin sebuah pesta penyambutan untuknya, Albertino Han tetap saja mengundang
penduduk kota itu ke rumah jabatannya —yang adalah rumahnya sendiri—. Makanan
mewah dihidangkan di sebuah ruangan hall yang
sangat luas. Pemain alat musik bersiap di sudut ruangan. Nyaris dua ribu orang
memadati ruangan itu. Hal yang sangat lumrah jika mengingat luas rumah sang
wali kota bisa disamakan dengan delapan buah lapangan bola disatukan. Para
penduduk kota yang sebagian besar mengalami sendiri peristiwa dua belas tahun
lalu berbondong-bondong mengerumini Lambert dan mencoba bersalaman dengannya.
Lambert sebenarnya tidak begitu suka hal yang disebutnya huru-hara ini. Tapi ia
tetap menerima perhatian mereka itu dengan sabar. Ia tahu mereka hanya mencoba
berterima kasih padanya atas apa yang telah dilakukan oleh ayah angkatnya.
Setidaknya ia akan menggantikan sang ayah menerima rasa terima kasih mereka.
“Tuan Lambert, aku
tidak menyangka Anda kembali!”
“Tuan Lambert,
mampirlah ke penginapan saya. Akan saya berikan pelayanan kelas satu, gratis.”
“Tuan Lambert, apakah
Anda sudah menikah?”
Semua pembicaraan
sepihak itu mulai mengalir tak terkendali. Untung saja sebelum Lambert kehilangan
kesabarannya, Albertino Han mengambil alih pembicaraan. “Sabar, sabar, warga
kota yang kucintai. Tuan Lambert mengatakan ia hanya akan di kota ini sampai
festival kita selesai. Dan beliau juga tidak ingin ada penyambutan yang
berlebihan untuknya,” kata Albertino Han dengan penuh wibawa.
Dan kau sendiri yang membuat pesta
penyambutannya. Apa-apaan makanan sebanyak ini? Apa semua orang sekota kau
undang, pak tua?
Beberapa penduduk
terdengar mengeluh kecewa, tetapi Lambert segera menghibur mereka. “Aku hanya
ingin tinggal di tempat sederhana yang sebisa mungkin tidak menarik perhatian.
Aku mohon kalian mengerti. Ada sesuatu yang penting yang harus kulakukan. Dan
aku tidak ingin orang selain yang berada di ruangan ini tahu aku berada di
sini,” kata Lambert.
Semua orang dalam
ruangan itu terdiam. Namun mereka semua setuju dengan syarat Lambert.
“Kalau begitu saya
menyarankan Anda ke Ciel milik Sierra. Rumah makan mereka selalu ramai dan
tampak sederhana. Di lantai duanya ada penginapan. Apakah Sierra ada di sini?”
kata sang walikota.
“Saya! Saya di sini!”
Sesosok gadis muda
berambut hitam dengan mata penuh semangat berjalan menuju sang walikota dengan
menerobos kerumunan yang mengelilinginya. Lambert memandangi gadis itu dengan
saksama. Ia seperti pernah melihat gadis itu sebelumnya. “Kau Sierra yang waktu
itu?” tanya Lambert.
“Ya. Saya sangat
senang dapat melihat Anda lagi, Tuan Lambert,” jawab Sierra sambil tersenyum
lebar. Matanya berbinar-binar menatap pria itu.
“Maaf, aku tidak bisa
menolong orang tuamu.”
“Tidak apa-apa, Tuan.
Aku hidup demi bagian mereka juga.”
Demi bagian mereka. Ucapan yang bagus.
Lambert tersenyum
puas. “Baiklah. Aku akan ke Ciel. Itu milikmu, kan?”
“Ya! Saya adalah
pemilik sekaligus koki kepala di sana!” kata Sierra dengan senyum bangganya.
Lambert
mengangguk-angguk. Dahulu ia yang menolong gadis itu, kini gadis itu yang
membantunya. Lambert tersenyum. Ia teringat ayah angkatnya yang mengatakan
padanya setiap kebaikan yang seseorang lakukan pasti akan kembali pada orang
itu pada akhirnya. “Aku bersyukur, gadis kecil yang diselamatkan ayahku telah
tumbuh menjadi gadis yang tangguh sepertimu. Bisakah kau merawat seorang gadis
untukku? Dia juga gadis yang dilindungi oleh ayahku.” Dengan nyawanya sendiri.
“Tempatku masih bisa
memuat beberapa orang lagi, Tuan. Dan aku terbiasa merawat orang lain dengan
telaten. Apalagi saat ini aku juga sedang merawat teman lamaku yang baru
kutemui kembali.”
“Aku bersyukur bertemu denganmu, Sierra. Kupercayakan diri kami padamu,” kata Lambert. Wajah Sierra bersemu merah mendengarnya.
Sang walikota
memberikan kode pada pemain musik yang berada di ruangan itu. Musik dan tepuk
tangan segera menguasai pesta itu. Tarian-tarian dan sorak sorai kegembiraan
memenuhi ruangan hall rumah sang walikota. Lambert bermaksud
mengungsi ke sudut ruangan, namun beberapa gadis menahannya dan mengajaknya
berdansa. Ia tidak bisa menolak mereka.
***
Pesta berlangsung
sampai nyaris tengah malam. Jika bukan karena Lambert yang meminta untuk segera
ke penginapan Ciel, mungkin pesta itu baru akan berakhir hingga subuh. Sebuah
mobil mengantar Lambert dan Eva, gadis yang dibawanya, ke penginapan itu.
Lambert telah meminta agar gadis itu diberikan pakaian yang layak. Mobil yang
membawanya tiba di penginapan Ciel di mana Sierra telah menunggu untuk
menyambutnya.
Sierra mengarahkan
mereka segera ke lantai dua bangunan itu. Lantai dua terdiri atas sepuluh kamar
berukuran sedang yang saling berhadap-hadapan
satu sama lain. Di ujung lorong yang membelah dua lantai itu terdapat sebuah
pintu kecil. Sierra dengan tenang – nyaris tanpa suara – membuka pintu itu dan
menunjukkan tiga buah kamar lain di balik pintu itu. Kamar Adam berada di paling
ujung, berhadapan dengan kamarnya sendiri. Sedangkan kamar kosong yang
diberikan Sierra untuk Lambert adalah kamar di sebelah kamar Adam, tepatnya berada
antara pintu yang membatasi kelima pasang ruangan di sebelah dengan ketiga
ruangan pribadi ini. Kamar itu tepat berhadapan dengan tangga yang
menghubungkan ruang pribadinya di dapur dan lantai dua.
“Semoga Anda senang
dengan kondisi sederhana di penginapan saya,” kata Sierra sambil mengantar
Lambert ke lantai dua bangunan itu. “Dan sesuai permintaan Anda, saya
menyiapkan kamar yang paling sepi. Dari sana ada tangga langsung ke ruang
pribadi saya di dapur. Jika ada apa-apa, Anda bisa bersembunyi di sana. Tidak akan
ada yang berani masuk ke dalam ruangan itu kalau saya tidak izinkan.”
“Terima kasih,” kata
Lambert sambil membopong Eva dengan kedua tangannya. Gadis itu masih saja
terlelap.
Sierra memberikan
sebuah kamar yang tidak jauh dari kamarnya dan kamar Adam. “Jika Anda butuh
sesuatu, silakan panggil saya, Tuan. Saya tinggal di kamar di ujung lorong,”
kata Sierra.
Sierra sudah
menyalakan lentera di dalam kamar itu sebelumnya. Saat Lambert memasuki kamar
itu, ia cukup puas dengan suasananya. Tempat tidur yang nyaman berada di
samping jendela. Cahaya bulan bisa menembus ruangan itu melalui jendela besar
di samping kiri tempat tidur sehingga membuat ruangan itu cukup terang. Lambert
membaringkan Eva di tempat tidur itu dan melihat keluar jendela. Tepatnya ia
sedang mengamati keadaan kota melalui jendela itu. Tidak ada yang mencurigakan.
Tidak ada pesawat mata-mata ataupun benda berbentuk bunga es yang melayang di
langit. Ia bernapas lega. Setidaknya kerajaan Adventa maupun para Advano belum
mengetahui keberadaan mereka di kota itu.
Lambert menoleh kembali
pada Eva, gadis yang tadi dibaringkannya di tempat tidur. Tetapi gadis itu
tidak ada di sana! Lambert seketika menjadi panik. Ia melihat ke segala arah,
bahkan memeriksa setiap celah di dalam kamar itu. Namun gadis itu tidak ada di
manapun. Apa gadis itu seudah terbangun? Bagaimana
mungkin aku tidak sadar? pikir Lambert. Ia berlari menuju pintu yang masih
tertutup. Pintu itu masih terkunci seperti saat ia menguncinya ketika memasuki
kamar itu. “Tidak mungkin!” bisiknya. Sebuah dugaan melintas di kepalanya. Advano.
Makhluk cerdas itu dapat melakukan hal semacam ini. Segera Lambert membuka
pintu itu, namun sebelum ia sempat melangkah keluar kamar, sebuah cahaya berwarna
emas memancar dari kamar Adam. Sinar menyilaukan itu terlihat oleh Lambert,
membuat pria tinggi itu gamang, dan akhirnya jatuh pingsan di lantai.
***
Adam menatap tak percaya
pada sosok yang dilihatnya. Seorang gadis remaja yang diduganya berusia enam
belas tahun berdiri di hadapannya. Gadis yang entah datang dari mana itu memancarkan
sinar berwarna keemasan yang menyilaukan. Sinar itu memaksanya menutup matanya.
Dan saat ia membuka matanya kembali, yang berada di hadapannya adalah langit
biru yang membentang luas sejauh pandangan matanya.
Gadis itu tersenyum. Adam
merasa dicekam perasaan tidak nyaman pada sosok yang berada di hadapannya itu. “Siapa
kau?” katanya. Matanya menatap tajam pada gadis itu. Namun gadis berambuk emas
itu hanya tersenyum.
“hai! Akhirnya kita bertemu, Adam. Namaku
Eva,” kata gadis itu riang. Lalu sebuah sinar berwarna putih memancar darinya
dan melingkupi mereka berdua.
***
Di suatu tempat di
kerajaan Adventa, sekelompok orang tampak panik dan berlarian dalam bingung.
“Laporkan pada Raja!
Sang Kunci dan Sang Pembuka Pintu telah bertemu. Tanda pertama kiamat telah
terjadi!” seru seseorang.
Pada saat bersamaan,
sebuah benda berbentuk seperti bunga salju raksasa tampak di langit kerajaan
Adventa. Bagian tengah benda itu berbentuk seperti kaca hitam berbentuk segi
enam, sementara sisi-sisinya bagaikan emas murni tuangan. Benda itu menghadap
ke arah selatan dan bertahan di atas langit, sementara kepanikan terus terjadi
di bawah sana. Setelah beberapa saat, benda itu pun menghilang.
[Jumlah kata: 2541]
[Jumlah kata: 2541]
weh~
BalasHapusngga baca....
tapi panjang benerrr