Bulan purnama nyaris berada
di atas kepala. Sementara kota semarak dengan berbagai kemeriahan khas pesta,
para penjaga di tembok kota malah harus berjaga dalam suasana sepi. Berbeda
dari biasanya, kali ini satu menara penjagaan dijaga tiga orang prajurit.
Bertambah satu orang dari hari biasanya yang hanya dua prajurit. Pada saat
seperti ini penjagaan di tembok kota memang selalu diperketat. Bagi para
penduduk kota dan semua pelancong yang berada di dalam kota itu mengetahui
kenyataan bahwa mereka dilindungi oleh pasukan terbaik kota adalah hal yang
menenangkan. Tetapi untuk para prajurit dalam pasukan itu, melindungi kota di
saat orang lain berpesta tidak begitu menyenangkan.
“Aku iri dengan Paul
yang bertugas menjaga di kota,” kata seorang prajurit. Di tangannya ada segelas
coklat hangat yang sudah nyaris habis diminumnya. Setidaknya hanya itu
kenikmatan yang bisa dinikmati prajurit garis depan sepertinya di hari perayaan
itu.
“Sudahlah, Gram. Tugas
kita adalah menjaga kota ini saja sudah merupakan kebanggaan. Banyak gadis yang
melihat dan mengagumi kita. Mau iri seperti apa lagi?” balas seorang prajurit
lain. Prajurit bertubuh tinggi besar itu sibuk mengelap senapannya.
“Tapi saat ini Paul
dan yang lainnya pasti sibuk berkencan dengan para gadis itu. Dan kita? Kita
dikumpulkan dalam menara sempit ini hanya memandangi bukit gelap yang sepi!
Bahkan suara burung malam hanya sesekali terdengar! Apa kau tidak sedikit
merasa iri dengan ketidakadilan ini?” kata prajurit bernama Gram itu dengan
sedikit kesal. Suara alunan musik masih terdengar sayup-sayup di belakangnya.
Ia hanya bisa menghela napas membayangkan teman-temannya yang bersenang-senang
dengan berkedok sedang bertugas.
Temannya yang lain
tertawa mendengarkan keluh-kesah prajurit itu. Badannya yang kurus kering
berguncang hebat bagaikan seluruh sendinya akan copot. “Gadis yang berkenalan
denganmu kemarin itu lumayan cantik, kan?” tanya prajurit itu. Tangannya menirukan lekuk tubuh gadis yang
dimaksudnya sambil bersiul. Prajurit bernama Gram itu segera memukulnya. Ia
hanya menanggapi pukulan itu dengan tertawa semakin keras.
Gram menghela napas.
“Bersama seorang maniak senjata dan pria yang seumur hidupnya hanya berpikiran
mesum di malam sepi seperti ini sangat menyedihkan,” katanya.
“Senjata adalah hidup tentara.
Jelas saja aku mencintai mereka,” kata temannya yang bertubuh tinggi besar.
“Dan jika kau tidak
mesum, maka kelanjutan keberadaan manusia di dunia ini akan terputus. Itu hanya
bagian dari kewajiban kita sebagai seorang pria,” kata temannya yang bertubuh
kurus dengan bangga.
“Terserah sajalah,”
balas Gram.
Ia kembali memantau
hutan dan pegunungan yang menghampar di depan menaranya melalui teropong yang
tergantung di lehernya. Seminggu lalu ia meneriaki Lambert, pria yang kini
menjadi pusat pesta di belakangnya, karena orang itu tampak mencurigakan. Ia
masih ingat dimarahi oleh sang walikota karena mempersulit orang itu. Padahal
ia hanya menjalankan prosedur standar. Beberapa hari berikutnya ia dan kedua
temannya yang kini bertugas bersamanya diperintahkan untuk memeriksa ke dalam
hutan. Mereka menemukan pesawat berukuran kecil yang telah hancur
berkeping-keping tergantung begitu saja di atas sebuah pohon besar. Saat itu
dilaporkan pada sang walikota, perintah yang diturunkannya adalah pengetatan
penjagaan. Bahkan keadaan saat ini sudah seperti mereka bersiap menerima
serangan dari musuh yang bahkan belum terlihat.
“Aku tidak sabar
menunggu waktu pergantian piket berikutnya,” kata Gram.
“Sebentar lagi.
Bersabarlah,” kata temannya yang bertubuh tinggi besar. Senjatanya telah
selesai ia bersihkan. Ia tampak puas melihat cahaya obor yang tampak berkilauan
di permukaan senjatanya itu.
Gram yang sibuk
mengamati melalui teropongnya menoleh pada kedua temannya. Temannya yang maniak
senjata kini sedang mengisi senapan laras panjangnya. Sedangkan temannya yang
satu lagi sibuk membolakk-balik majalah bergambar wanita berpakaian minim.
Sesekali temannya itu bersiul dan menunjuk-nunjuk gambar di majalah itu. Setidaknya masih ada satu orang tentara lain
yang cukup normal di sini, katanya dalam hati. Ia kembali menigintip
melalui teropongnya. Semuanya tampak biasa saja, kecuali ―mungkin hanya karena
ia terlalu tegang sehingga mempedulikan ini― kanopi hutan yang tampak bergetar.
Gram memperhatikan
kanopi-kanopi hutan itu lebih seksama. Gerakan kanopi itu berirama dan berpola.
Seolah-olah ada sesuatu yang melompat-lompat di ranting pepohonan yang
membentuk kanopi itu. Dari kejauhan terdengar burung-burung hutan yang
beterbangan karena terusik sesuatu. Semakin lama gerakan itu semakin mendekati
tembok kota. Oke, ini masalah!
“Braggs, apa kau
melihat sesuatu yang aneh dengan kanopi hutan itu?” kata gram pada temannya
yang bertubuh tinggi besar.
Dengan sigap prajurit
bernama Braggs itu mengarahkan senapannya ke arah hutan. Melalui teropong di
senapan laras panjangnya ia dapat melihat apa yang dimaksud oleh Gram. “Ya. Itu
memang aneh,” katanya. Ia menoleh pada temannya yang duduk santai membaca
majalah. “Javier! Berhenti membaca majalah dewasa itu dan bersiaplah!” serunya.
Javier yang bertubuh
kurus kering itu berdecak dan mengambil senapan laras panjangnya. Saat ia
melihat apa yang dilihat oleh para temannya, barulah sikap samtainya berubah
menjadi siaga.
“Markas, di sini pos
pinggir hutan! Ada sesuatu yang mencurigakan di hutan. Mohon bantuan!” kata
Gram. Ia memutuskan untuk melaporkan ini pada komandannya melalui radio
komunikasi. Ia menunggu beberapa saat, namun tidak ada jawaban dari seberang
radio itu. Hanya terdengar suara bergemerisik saja. Gram mengernyit. Petugas yang
berjaga di ruang radio tidak pernah seperti ini. Biasanya hanya dengan sebuah
laporan saja mereka sudah akan mendapat balasan dari seberang. Tetapi bahkan
setelah lima menit belum ada satu suarapun yang didengarnya.
“Ini aneh. Ada sesuatu
yang terjadi di sini. Gelombang radio sepertinya terganggu oleh sesuatu,” kata
Gram.
“Itu tidak mungkin,
kan? Apa mungkin petugas radio sedang pergi keluar?” tanya Javier.
“Meninggalkan stasiun
penerimaan tanpa pengganti? Aku tahu kedisiplinan mereka. Aku pernah menjadi
bagian dari mereka, dan aku tahu itu tidak mungkin. Pasti ada sesuatu yang
terjadi,” jawab Gram.
“Apa yang akan kau
lakukan sekarang, Gram?” tanya Braggs. Ia masih tidak melepaskan pandangannya
dari hutan meski gerakan-gerakan aneh yang dilihatnya tadi sudah tidak ada
lagi.
“Aku akan pergi
memeriksanya. Kuserahkan pos ini pada kalian. Hubungi pos lain juga untuk
menyuruh mereka bersiaga,” jawab Gram.
“Ini bukan alasanmu
saja untuk lari dari tugas, kan?” tanya Javier.
“Bukan! Di dalam kota
ada keluargaku. Mana mungkin aku pergi meninggalkan tugas dan membahayakan
mereka? Aku pergi!” seru Gram.
Javier mengangkat
bahunya. “Baiklah kalau begitu. Segera kembali, ya? Di sini membosankan,”
katanya sambil melirik pada Braggs. Pria itu tidak tampak mempedulikannya.
“Aku mengerti,” jawab
Gram. Ia bergegas menuruni menara itu. Baru tiga ratus meter ia beranjak dari
tempat itu, dari arah menara yang ditinggalkannya terdengar suara gaduh. Ia
menoleh. Kedua temannya dan beberapa prajurit yang bertugas di sepanjang menara
di tembok itu masih berdiri seperti terakhir dilihatnya. Tetapi ia merasakan
sesuatu yang janggal. Ia berbalik dan segera berlari ke pusat kota. Apapun yang
terjadi harus segera dilaporkannya pada sang komandan tertinggi, Walikota
Albertino Han.
***
Sierra sudah cukup
dibuat emosi dengan kelakuan Eva yang hanya sibuk melengket pada Adam. Dan kini
ia semakin kesal dibuat gadis itu. Sejak siang kelakuan gadis itu semakin aneh.
Seluruh badannya bergetar hebat. Lambert yang melihatnya tampak panik. Ia beberapa
kali menawarkan Panacea untuk diminum gadis itu, tetapi gadis itu menolaknya.
Saat Adam datang untuk melihatnya, gadis itu malah menangis. Tetapi gadis itu
tidak menolak saat Adam mencoba menenangkannya. Malam ini ia cukup sibuk
melayani para tamu yang memenuhi rumah makannya. Setidaknya itu cukup untuk
sedikit mengalihkan kepalanya dari prasangka buruk yang dipikirkannya jika
mengingat Adam dan gadis itu berduaan saja.
“Meja sepuluh dan
sebelas! Apa pesanan mereka sudah jadi?” kata Sierra saat ia dengan bergegas
memasuki dapur. Suaranya yang tegas dan keras membuat para koki di dalam dapur
itu mempercepat pekerjaannya.
“Sudah jadi, Sierra,”
jawab Karl. Ia menyerahkan nampan yang berisi semangkuk sup makaroni dan
sepiring roti panggang pada Sierra. Gadis itu bergegas kembali keluar dari
dapur itu. Tetapi sebelum gadis itu sempat keluar, Karl sempat mengingatkannya
untuk beristirahat sejenak.
“Aku tahu. Jam
sembilan nanti aku beristirahat,” kata Sierra yang segera berlalu sebelum Karl
sempat berbicara lagi.
“Ah, sosokmu yang
bekerja keras seperti itu memang tampak manis. Tapi setidaknya kau harus ingat
jam sembilan nanti tempat ini akan semakin ramai. Mana mungkin kau bersantai
kalau itu terjadi?” gumam Karl pada dirinya sendiri.
“Sudahlah, Karl.
Menyerah saja. Nona Sierra sudah punya seseorang yang disukainya. Dia tidak
akan semarah itu kalau tidak cemburu berat, kan?” kata seorang temannya yang
berdiri di sebelahnya.
“Franco, apa kau mau
utang birmu kutagih sekarang?” tanya Karl pada temannya itu.
Temannya yang bernama
Franco itu tertawa. Perutnya yang buncit tampak sedikit berguncang. “Apa kita
bisa minum di dapur? Coba bayangkan apa yang akan dilakukan Sierra kalau
melihatmu minum di dapur. Dan, oh, ya! Sepertinya bawang yang kau tumis itu
sudah gosong,” katanya sambil berlalu meninggalkan Karl yang panik melihat
bagaimana berasapnya bawang yang ditumisnya.
***
“Tuan Lambert, terima
kasih telah menerima undanganku,” kata Albertino han sambil mengangkat segelas wine pada tamunya itu.
“Jika aku tidak memenuhi
undanganmu tentu kau akan datang dan menyusahkan mereka yang berada di Ciel,”
balas Lambert dengan datar.
Albertino tertawa
kecil. “Ah, aku tidak separah itu, kan?”
“Ya, kau separah itu.
Masih ingat bagaimana kau nyaris membuat ayahku dan aku tidak keluar dari pulau
ini setelah seluruh kota kami sembuhkan? Pesta di kota ini sanggup membuat yang
dipestakan mati terbunuh tanpa sengaja,” jawab Lambert.
Kali ini Albertino
tertawa besar. “Kau masih sesarkastik seperti dulu, ya? Kami hanya ingin
memberikan penghargaan saja, kok. Memberikan makanan yang kami miliki pada
kalian kupikir masuk akal,” kata walikota itu.
“Bahkan sampai perut
kami meletus, maksudmu? Seandainya aku tidak mengatakan dengan tegas kalau aku
hanya ingin sendirian sampai puncak pesta tengah malam nanti, pasti kau telah
memamerkanku pada mereka yang akan segera menerjangku.”
“Dan aku memenuhi
permintaanmu, kan?”
“Apa lima ratus orang
yang memadati ruangan kecil ini bisa kau anggap sepi, Walikota?” tanya Lambert
dengan suara berbisik. Ia menyapukan pandangannya ke seluruh ruangan yang cuma berukuran
lima puluh meter persegi itu. Dengan dua ratus pengawal pribadi sang walikota
yang berbaris rapi di sudut dinding dan tiga ratus tamu undangan khusus yang
memenuhi ruangan itu, Lambert merasa sebentar lagi dirinya akan mengalami
sindrom fobia ruangan sempit.
“Mereka ingin melihat
mukamu dari dekat. Kupikir tidak akan masalah memberikan mereka sedikit servis,
bukan?”
“Kau ini sebenarnya
walikota atau mak comblak, pak tua? Semua yang kau undang adalah wanita berumur
dan para gadis! Tidak ada pria satupun?!”
“Para penjagaku pria,
kan? Apa kau lebih menyukai mereka?” tanya Albertino sambil memamerkan senyum
jual pesonanya. Lambert sangat jengkel melihat senyumnya itu.
“Mau kuhajar, Kakek?”
“Silakan saja. Tapi
setelah seluruh acara ini selesai.”
“Aku tidak sabar
menunggunya.”
“Kalau begitu
tinggallah tiga hari lagi.”
“Apa!?”
“Kau tidak menanyakan
kapan pastinya pesta rakyat ini selesai, kan?”
Lambert baru saja mau
menanggapi perkataan walikota menyebalkan itu ketika pintu ruangan itu
tiba-tiba dibuka dengan keras. Semua orang dalam ruangan itu serentak menoleh.
Para pengawal sang walikota telah mencabut senjata api mereka dan
mengarahkannya ke arah pintu. Sosok yang berada di depan pintu itu adalah seorang
prajurit yang dipapah dua orang prajurit lain. Prajurit yang dipapah itu tampak
penuh luka yang masih berdarah. Kedua prajurit yang memapah prajurit itu tampak
kaget dan ketakutan saat ditodong senjata oleh para pengawal pribadi sang
walikota.
“Jangan tembak! Kami
prajurit yang ingin mengantarkan orang ini! Katanya ada sesuatu yang penting
yang harus segera dilaporkannya pada Walikota Han,” kata salah satu prajurit
dengan cepat.
“Turunkan senjata
kalian,” kata Albertino Han yang berjalan melewati kerumunan orang itu menuju
pintu. Para pengawal pribadinya mematuhi perintah itu dan kembali menyarungkan
senjata mereka. Sang walikota berjalan keluar dari ruangan itu dan menutupnya
dari luar. “Sekarang katakan apa yang ingin kau sampaikan, Prajurit!” kata sang
walikota.
“Saya adalah Gram.
Pasukan… yang berjaga di tembok luar… kota. Semuanya sudah… mati. Para petugas radio,
orang yang berada di menara kota, semuanya mati. Hanya aku yang masih sempat
meloloskan diri hingga ke tempat ini,” kata prajurit yang dipapah itu.
“Apa!?” seru sang
walikota. Suaranya cukup keras hingga terdengar ke dalam ruangan di
belakangnya. Semua undangan di dalam ruangan itu tampak resah. Mereka tahu
pasti ada sesuatu yang terjadi. Demikian pula Lambert.
Lambert berjalan
melewati kerumunan orang itu menuju pintu depan. Beberapa pengawal mencoba
menghalanginya, tetapi tatapan mata darinya cukup mengintimidasi mereka
sehingga tidak jadi menghalangi. Lambert membuka pintu itu dan dengan cepat
keluar dari ruangan itu. Tidak lupa ia menutup pintu itu dari luar.
Lambert melihat
seorang prajurit yang sedang sekarat terbaring di lantai. Darah menggenangi
lantai di bawah tubuh prajurit itu. Sang walikota hanya berdiri mematung di
tempatnya. Sedangkan dua orang yang sempat dilihatnya memapah prajurit yang
kini sekarat itu berusaha menenangkannya. Lambert tidak butuh waktu lebih lama
lagi untuk memutuskan untuk mengambil tindakan. Ia segera mengambil sebuah vial
kecil yang tersimpan dalam sebuah kotak yang di disimpannya dalam saku. Ia
segera membuka vial itu dan meminumkannya pada prajurit yang sedang sekarat
itu. Badan prajurit itu yang awalnya sudah mulai kejang perlahan lemas.
Napasnya yang tersengal-sengal mulai teratur. Darah yang mengucur dari tubuhnya
perlahan berhenti. Demikian pula luka-lukanya yang dengan cepat menutup. Para
prajurit lain yang mencoba menenangkan prajurit yang sekarat itu tampak takjub.
“Ini yang dilakukan
oleh ayahku dua belas tahun lalu,” kata Lambert pada kedua prajurit itu.
“Siapkan angkatan perang kotamu, Walikota Han. Serangan sudah dimulai,” katanya
lagi pada sang walikota.
“Tapi bagaimana
mungkin melakukan itu saat semua penduduk sedang berpesta?” tanya sang walikota
bingung.
“Bunyikan alarm! Apa
pesta itu jauh lebih penting daripada nyawa manusia, Kakek Tua!?” seru Lambert.
Emosinya memuncak saat mendengarkan sang walikota sibuk memikirkan pestanya
daripada nyawa manusia.
Albertino Han menatap
tajam pada pria itu. Harus diakuinya, yang dikatakan Lambert ada benarnya. Meski
ia tidak begitu suka dengan sikap kurang ajarnya. Albertino Han menghela napas.
“Baiklah. Akan kulakukan,” katanya sambil segera beranjak meninggalkan tempat
itu menuju ke ruangan lain.
Lambert pun beranjak
pergi dari tempat itu. Jika mereka mulai menyerang seperti ini, maka itu
berarti kota Ravena sudah tidak aman untuknya dan Eva. Dan juga untuk Adam,
orang yang telah dipilih gadis itu sebagai Sang Pembuka Kunci. Ia harus membawa
mereka pergi dari kota itu secepatnya, bagaimanapun caranya.
Berjalan menuju
kembali ke Ciel sangat sulit di tengah-tengah kerumunan manusia yang memadati
lapangan di depan rumah sang walikota. Ia harus menghadapi mereka yang
berkerumun ingin menyentuh atau menyalaminya. Tetapi ia harus tetap berjalan
maju. Saat ia hampir mencapai tepi luar lapangan itu, tiba-tiba dari langit
tampak bola-bola cahaya yang ditembakkan ke langit disertai bunyi berdesing
yang memekakkan telinga. Para penduduk dan pelancong yang memadati lapangan itu
gembira karena mengira pertunjukan kembang api sudah dimulai. Tetapi Lambert
menatap bola-bola itu dengan ngeri.
“Semuanya merunduk!!”
seru Lambert sambil segera merunduk.
Di saat bersamaan
bola-bola cahaya di langit itu terpecah menjadi ribuan bola cahaya yang
berukuran lebih kecil. Dan bagaikan hujan panah, seluruh bola itu melesat
secepat kilat ke tanah. Sedetik kemudian ledakan dan kobaran api telah memenuhi
seluruh kota Ravena.
(Jumlah kata: 2367)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar