Sabtu, 14 Januari 2012

Faux Ciel Bab 10 - Ketenangan Sebelum Badai

Edward sedang kebingungan. Raja itu telah diperintahkan untuk menyiapkan angkatan perangnya. Namun setelah pertemuan dengan sang Advano yang terjadi seminggu yang lalu, tidak ada perintah baru lagi yang diberikan padanya. Selama seminggu itu seluruh pasukannya telah ditempatkan dalam keadaan siaga perang tanpa mengetahui alasannya. Edward memang tidak memberitahukan alasannya, tetapi itu dilakukannya atas perintah sang Advano.

Matahari sore yang dilihatnya di koridor itu selalu bisa membuatnya damai. Setidaknya memandangi sang penguasa siang tenggelam dan kehilangan semaraknya membuatnya gembira. Ia senang melihat sesuatu yang lebih agung dan lebih semarak darinya jatuh dan musnah. Itu memberikannya sensasi kegembiraan tersendiri, melebihi sensasi yang dirasakannya bersama para selir muda yang dimilikinya.

“Raja Edward, para prajurit mulai resah. Mereka mulai kelelahan tanpa tahu mereka harus berperang dengan siapa.”

Sebuah suara mengusik kenikmatan yang sedang dinikmati sang raja. Ia berusaha keras menahan amrahnya karena tahu siapa pemilik suara itu. Edward menoleh dan melihat seorang pria tegap berusia tiga puluhan awal berdiri beberapa langkah di sebelah kanannya. Pria itu memakai pakaian seragam militer berwarna abu-abu lengkap dengan berbagai lambang kemiliteran di dada dan pundakknya. Sebuah luka tampak membekas di dagu pria itu. Mata pria itu menatap tajam ke depan, dengan alis tebal yang nyaris saling bertautan. Rambutnya yang hitam dipotongnya pendek dengan gaya khas militer. Pria itu adalah orang yang sangat menakutkan di medan perang dengan kegilaannya dalam membantai semua lawannya. Edward tersenyum jika mengingat bahwa pria sehebat itu merupakan salah satu bawahannya.

“Jenderal,” kata Edward. Pria itu memberikan hormat padanya. Edward membalas hanya dengan mengangkat tangan kanannya dengan santai.

“Para prajurit mulai menyebarkan desas-desus aneh bahwa sebenarnya kita tidak berperang dengan siapa-siapa dan semua ini hanya main-main saja,” kata Jenderal itu.

“Bukan dengan siapa, Klaus, tetapi dengan apa,” kata Raja Edward. “Dan jika mereka berpikir ini main-main, sebaiknya mereka berhenti dari kemiliteran! Kita sedang berperang!”
 Jenderal bernama Klaus itu mengernyit. “Saya tidak mengerti, Raja,” kata sang jenderal.

“Ada hal yang tidak perlu kau mengerti, Jenderal. Alasan dan tujuan dari semua ini adalah bagianku yang harus kutanggung, sedangkan bagianmu adalah membuat para prajurit itu diam!” kata sang raja tegas.
Ia membungkuk dalam-dalam saat sadar sang raja merasa tersinggung. “Maafkan saya, Yang Mulia Raja. Saya tidak bermaksud melanggar wewenang Yang Mulia,” kata Klaus.

“Aku tahu. Kau hanya memperhatikan prajuritmu saja. Kembalilah berjaga di tempatmu dan tunggu perintahku berikutnya,” kata Edward.

“Siap!” seru Klaus. Ia memberi hormat sebelum berbalik dan meninggalkan sang raja.

***

Pagi menyingsing di istana sang raja. Edward terbangun lebih pagi dari semua orang di istananya. Sesuatu membuatnya tidak bisa tidur dengan tenang semalaman. Baru saja ia memejamkan matanya sejenak, tiba-tiba saja ia mendengarkan sebuah suara keras menyerupai desingan lebah. Suara itu terdengar bergema di seluruh ruangan. Ia menoleh kepada para selir yang tertidur di samping kiri dan kanannya, tetapi tidak ada satupun dari mereka yang terbangun. Suara itu kembali terdengar, dan kali ini Edward menutup telinganya. Tetapi suara itu seakan berada sangat dengan gendang telinganya. Saat itulah ia tahu suara itu adalah suatu tanda. Edward tahu hanya Advano yang mampu melakukan keajaiban-keajaiban seperti itu. Ia segera mengenakan pakaiannya dan berlari ke lapangan istana. Di situlah ia menemukan benda berbentuk menyerupai kristal bunga es yang melayang di udara di atas lapangan itu.
“Maafkan hamba yang terlambat menyadari kedatangan Anda, Yang mulia Makhaina Jerez,” kata sang raja. Ia jatuh tersungkur dengan wajah menyentuh tanah di bawah benda yang melayang itu.

“Angkat kepalamu, Manusia!” seru sebuah suara dari dalam benda itu. Benda itu perlahan-lahan turun hingga beberapa inchi dari atas tanah.

Edward segera mengangkat kepalanya dan berdiri dengan kepala tertunduk. Ia mundur beberapa langkah dengan takut. Ia tidak ingin melakukan sesuatu yang bisa menyinggung sosok wakil para Advano yang kini berada di depannya itu.

Benda berbentuk kristal bunga es itu memancarkan cahaya yang menyilaukan. Edward harus menutupi matanya dengan punggung telapak tangannya karena sinar yang menyakitkan matanya itu. Perlahan-lahan cahaya itu membentuk sosok seorang pria dengan rambut emas dan mata merah. Edward mencoba mengintip dari sela-sela jarinya. Sosok itu baru dilihatnya sekali, tetapi Makhaina Jerez adalah Advano yang terlalu susah untuk bisa dilupakan.

“Kulihat semua pasukanmu sudah siap untuk berperang. Aku sebagai utusan Dewan Agung memberimu pujian,” kata Makhaina Jerez. Tatapan matanya masih melihat sang raja dengan tatapan angkuh meski mulutnya memuji sang raja.

“Hamba berterima kasih pada Yang Mulia. Jika hamba berkenan, apakah alasan Yang Mulia Tuanku turun ke istana hamba yang hina ini?” tanya Edward masih dengan kepala yang menunduk. Ia tidak berani memandang langsung wajah sang Advano.

“Gerakkan pasukanmu ke selatan. Hancurkan Pulau Arron malam ini juga!” perintah sang Advano.

“Hamba mengerti. Hamba akan segera menjalankan titah Yang Mulia,” jawab Edward.

“Aku sendiri akan ikut dalam penghancuran itu. Pastikan kalian tidak mengacaukan segalanya,” kata sang Advano. Ia menjejakkan kakinya ke tanah dan dengan perlahan-lahan tubuhnya kembali melayang di udara. Cahaya kembali memancar dari tubuh Advano bernama Makhaina Jerez itu, dan dalam sekejap tubuhnya berubah kembali membentuk benda berwujud seperti kristal bunga es setinggi manusia. Benda itu kemudian melayang semakin tinggi ke langit hingga akhirnya menjadi seperti sebuah bintang berwarna keemasan. Edward memandangi bintang itu dengan kagum, tetapi benda itu segera menghilang saat ia mengedipkan matanya.

Edward adalah raja yang sangat membenci siapapun yang lebih tinggi dan lebih hebat darinya. Tetapi pengecualian untuk Advano. Ia telah melihat bagaimana mereka memperlakukan manusia seperti kayu bakar. Ia bahkan tidak berpikir untuk melawan mereka. Bagaimanapun ia adalah manusia yang sangat cinta pada nyawanya sendiri.

Setelah sang Advano pergi ia segera berbalik menuju kamarnya. Ia segera mengenakan pakaian kebesarannya dan bergegas menuju singgasananya. Para penjaga pintu ruangan singasana itu tergopoh-gopoh membukakan pintu ruangan itu. Sesaat setelah ia duduk di singgasananya Edward segera mengeluarkan titahnya. “Panggil semua jenderal dan menteri! Umumkan pada seluruh kerajaan, malam ini Adventa akan membumihanguskan Pulai Arron!” seru sang raja.

***

Kota Ravena di pulau Arron sedang diliputi suasana gembira. Semua orang sibuk menghiasi rumah mereka masing-masing dengan obor dan lentera. Anak-anak berkeliaran bebas dengan memakai kain yang mereka tudungkan ke kepala mereka. Makanan dan minuman mulai dihidangkan di lapangan kota yang berada di depan rumah sang walikota. Para penduduk mulai bernanyi-nyanyi gembira dan menari-nari di lapangan itu. Malam itu akan ada pesta besar untuk merayakan kedatangan sang penyelamat yang menolong kota itu dari wabah. Dan tamu kehormatan dalam pesta itu adalah Lambert.

“Tuan Lambert, apa Anda akan datang ke pesta malam ini?” tanya Sierra. Ia meletakkan sepiring pasta lezat di depan pria itu.

“Kakek tua itu memaksaku untuk datang. Aku yakin kalau aku tidak muncul malam ini ia akan segera menyerbu masuk ke tempat ini dan menyeretku keluar. Sebelum itu terjadi sebaiknya aku muncul secepatnya di depan matanya,” jawab Lambert. Kakek Tua adalah sebutannya untuk sang walikota. Ia menggulung pasta di piring di depan matanya itu dengan garpu dan memasukkannya ke dalam mulut. Ia mengangguk-angguk puas merasakan bagaimana lezatnya pasta itu saat menyentuh lidahnya. “Masakanmu hebat, Sierra,” kata pria itu.

Sierra tersenyum lebar. “Terima kasih,” katanya.

“Eva masih belum bangun?”

“Eva masih tertidur saat aku turun ke sini. Aku sebenarnya bingung, sejak seminggu ini Eva sebagian besar menghabiskan waktunya dengan tidur. Jika kuingat kembali Eva hanya bangun tiga kali sepanjang minggu ini. Itupun hanya sebentar untuk minum,” kata Sierra.

“Gadis itu memiliki gen Advano dalam tubuhnya. Dia tidak perlu banyak makan untuk bertahan hidup. Lagipula tubuh gadis itu masih lemah dan belum terbiasa dengan lingkungan ini. Aku belum melihat Adam hari ini,” kata Lambert.

“Adam? Jam seperti ini dia belum bangun. Aku harus membangunkannya dulu baru dia mau makan. Ah! Bagelnya belum kuambil!” kata Sierra. Ia segera meninggalkan ruang kerja pribadinya itu menuju dapur di sebelahnya. Beberapa saat kemudia ia kembali dengan membawa sepiring penuh bagel berukuran besar dengan krim keju di atasnya.

“Maaf, Tuan Lambert. Aku harus membangunkan si tukang tidur itu dulu,” kata Sierra sambil menaiki tangga yang menghubungkan ruangan itu dengan lantai iatas.

Lambert tersenyum melihat hal itu. Sierra tampak seperti istri Adam. Mungkin kalau ini dikatakannya pada Sierra, wajah gadis itu akan memerah lagi.

***

Tidak seperti biasanya, Adam sudah terbangun begitu cahaya matahari baru mengintip di ambang jendela. Badannya pun terasa lebih segar dari biasanya. Ia meregangkan kedua tangannya. Saat itulah ia merasakan sesuatu menyentuh tangan kanannya. Ia mengernyit. Seingatnya ia tidak meletakkan sesuatu di atas kasur. Ia meraba benda yang disentuh tangannya itu. Bentuknya bulat dan lembut, sedikit menumbulkan bunyi bemerisik saat ia memegang bedna itu. Ia mengenali sensasi itu sebagai kepala dan rambut. Rambut? Berarti ada seseorang yang menyelinap tidur di sebelahnya? Adam bergegas bangun dari tidurnya dan menyibakkan selimut yang digunakannya. Di sebelah kanannya ada gadis berambut emas yang tertidur dengan damai. Adam menghela napas. Seandainya ia tidak tahu siapa gadis itu, ia pasti sudah berteriak saat ini dan memanggil Sierra.

“Kupikir siapa. Eva, bangun! Apa lagi yang kau lakukan sampai bisa masuk ke kamar ini?” katanya sambil mengguncang-guncang tubuh gadis yang tertidur di sebelahnya itu. Gadis itu tidak bergerak sama sekali. Ia malah makin menggelung badannya seperti kucing yang tertidur pulas. Adam hanya bisa menggaruk-garuk kepalanya dan memutuskan untuk bangun. Ia berjalan menuju ke pintu yang masih terkunci. Adam tidak kaget mengetahui pintu itu terkunci. Gadis yang sedang tertidur pulas di kasurnya saat ini telah beberapa kali menunjukkan dirinya bukan manusia biasa. Melakukan sesuatu seperti memasuki kamar yang terkunci tentu bukan masalah baginya.

Adam baru saja membuka pintunya saat ia melihat Sierra telah berdiri di depannya. Gadis itu tampak kaget karena pintu itu terbuka sebelum ia sempa mengetuk. “Ah! Kamu sudah bangun rupanya,” kata Sierra yang masih terkejut.

“Begitulah. Tidurku enak, jadi aku bisa bangun lebih cepat dari biasanya,” kata Adam. Seperti menyadari sesuatu, Adam menoleh ke balik pintu. “Oh, ya, Sierra. Bisa urus Eva sejenak? Aku harus ke kamar kecil,” katanya.

“Eva? Terakhir aku lihat dia masih tidur di kamarku,” kata Sierra. Ia baru akan membuka pintu kamarnya yang berada di depan kamar Adam, tetapi Adam menghentikannya.

“Dia tidak ada di kamarmu. Dia di dalam sini,” kata Adam sambil menunjuk bagian dalam kamarnya dengan jempol.

“Eh? Di dalam?” kata Sierra sambil buru-buru melongok ke dalam  kamar Adam. Ia melihat tempat tidur pria itu, tetapi tidak ada siapapun di sana. “Tidak ada siapa-siapa di sana,” kata Sierra pada Adam.

“Apa? Terakhir kali kulihat dia ada di―” Kalimat itu berhenti begitu saja di mulut Adam saat ia menoleh ke dalam kamarnya dan menemukan tidak ada siapapun di atas kamar itu.

Sierra menghela napasnya. Ia menatap Adam sambil menggelengkan kepalanya. “Kamu tidak sedang demam, kan?” tanyanya sambil menyentuh dahi pria itu.

“Aku tidak sedang demam. Entah apa lagi yang dilakukan gadis itu. Lama-lama aku meragukan kalau dia itu manusia dan bukan hantu,” kata Adam sambil memegang tangan Sierra yang menyentuh dahinya. Gadis itu tampak kaget. Wajahnya kembali bersemu merah. Adam melihat perubahan ekspresinya yang sangat nyata itu.

“Aku yang seharusnya bertanya apa kau sedang demam? Sejak seminggu di sini kulihat wajahmu selalu tampak merah. Kau tidak apa-apa?” tanya Adam.

“Eh? Merah?” Sierra segera menarik telapak tangannya yang digenggam oleh Adam. Ia memegang wajahnya. Ia merasakan wajahnya sedikit hangat.

“Demam, kan? Apa perlu kusampaikan pada Karl untuk menangani rumah makanmu untuk hari ini?” tanya Adam.

“Ti―tidak perlu! Aku masih bisa kerja, kok. A―aku kembali ke kamarku dulu untuk memastikan Eva. Kamu langsung ke bawah saja. Bagelmu sudah ada di meja,” kata Sierra sambil bergegas membuka pintu kamarnya. Ia bergegas masuk ke dalam kamar itu dan mengunci pintunya. Detak jantungnya kembali bergemuruh. Adam sudah berada di tempat itu sejak seminggu lalu. Pria itu bahkan sudah saling mengenal semua koki di dapurnya. Tetapi tetap saja ia masih bertingkah aneh saat pria itu berada sangat dekat dengannya atau menyentuhnya.

Setelah mengatur napasnya ia melirik ke tempat tidurnya. Eva masih tidur di sana dengan wajah datar. Sejak seminggu lalu sepertinya gadis ini tidak begitu suka padaku, pikir Sierra. Ia menghela napasnya. Hari ini ia akan mencoba membangunkan gadis itu. Meski gadis itu memiliki gen Advano, tetap saja tubuhnya adalah manusia yang butuh makan.

“Eva, ayo bangun. Lambert menunggumu di bawah,” kata Sierra. Ia tidak terlalu berharap gadis itu meresponnya, karena setelah beberapa hari mencoba membangunkannya gadis itu tetap bergeming. Gadis itu hanya bangun bila ia ingin bangun saja. Tetapi kali ini gadis itu terbangun.

Eva meregangkan badannya sejenak sebelum bangun. Ia duduk dengan rambut emasnya yang berantakan dan menggosok-gosok matanya. Dengan pakaian yang sedikit longgar dan tingkah polosnya gadis itu tampak sangat imut. Bahkan Sierra sendiripun mengakui hal itu. Semua pria pasti suka pada wanita yang polos dan imut seperti Eva, pikir Sierra. Tetapi apakah Adam juga menyukainya?

Eva menguap kecil. Ia menatap Sierra dengan kedua matanya yang bulat. Kedua mata itu menatapnya dengan tatapan seorang anak kecil yang masih polos, seolah ia ingin bertanya, “Ada apa?” pada yang melihatnya. Ugh, bahkan matanya terlihat bagus. Meski warnanya tidak alami, sih.

“Syukurlah kamu mau bangun. Lambert menunggumu di bawah,” kata Sierra sambil tersenyum simpul.

Eva mengangguk pelan. Dengan perlahan ia turun dari tempat tidur itu dan mencoba berdiri. Tetapi kakinya terlalu lemah untuk menopang dirinya sendiri. Sierra segera berlari ke sampingnya dan memapahnya untuk berdiri. Eva hanya tersenyum polos pada Sierra, sedangkan gadis itu merasa jantungnya hampir melompat keluar saat melihat bagaimana lutut gadis itu nyaris tidak bisa menopang tubuh gadis itu.
Apa boleh buat. Aku tidak bisa marah padanya. Apalagi kalau kutinggalkan sendirian bisa-bisa gadis ini tiba di bawah dengan badan penuh luka.

“Kita ke bawah sekarang. Aku akan memberikan makanan yang enak untukmu,” kata Sierra.

Mereka berdua berjalan perlahan-lahan ke ruang kerja pribadi Sierra di lantai bawah. Adam sudah ada di sana dan menikmati rotinya hingga nyaris habis. Sudah kuduga tiga roti tidak akan cukup untukmu, kata Sierra dalam hatinya. Setelah mendudukkan Eva di sebuah bangku, Sierra segera pergi ke dapur di sebelah ruangan itu dan mengambil beberapa roti bagel lagi. Ia juga membawa sepiring pasta untuk Eva.

“Ini adalah pasta terenak di pulau ini. Nikmatilah selagi panas. Dan ini adalah porsi keduamu,” kata Sierra sambil meletakkan sepiring pasta di depan Eva dan sepiring penuh bagel di depan Adam.

“Terima kasih. Nanti saat aku dapat kerja aku akan membayar semua biaya yang kau keluarkan untukku selama aku di sini,” kata Adam.

Sierra senang saat melihat Adam menikmati roti buatannya. Tetapi tampaknya Eva tidak begitu tertarik dengan pastanya. Gadis itu malah menatap roti yang dimakan dengan lahap oleh Adam. Sierra dapat melihat gadis itu mengelan ludahnya sendiri saat melihat bagaimana Adam memakan roti itu dengan lahap. Apa dia mau makan bagel? Ah, aku memang lupa bertanya apa yang disukainya! Bodohnya aku! Tapi… aku tidak pernah mendengarnya bersuara. Bukan salahku juga, kan?

Eva menatap Adam seperti anak kecil yang meminta makanan dari orang tuanya. Bahkan ia makin terlihat seperti anak kecil dengan tangan yang ia letakkan dengan manja di bawah dagunya. Sial, makin lama kulihat gadis ini makin imut! pikir Sierra. Kalau begini terus, bisa-bisa Adam akan ...

Sierra melihat Adam menoleh pada gadis itu. Sepertinya pria itu sadar ada seseorang yang menatapnya. Pria itu bahkan menawarkan roti yang tengah dimakannya pada Eva. Gadis itu tersenyum gembira dan mengambil roti yang ditawarkan pria itu. Ia tampak menikmati roti itu dan tidak henti-hentinya tersenyum. Adam yang melihatnya pun tersenyum. Pria itu bahkan mengelus-elus rambut gadis itu, yang tampak menikmati setiap saat tangan pria itu menyentuh rambutnya yang lembut.

Ugh! Padahal kalau aku pasti diacak-acak. Lagipula kalau makan roti yang sudah digigit oleh Adam bukannya itu berarti dia dan Adam sudah ci… ci…

“Ada apa, Sierra? Kau tampak sedikit pucat?” tanya Lambert.

Sierra terkesiap. “Eh? Ah! Oh! Tidak, saya tidak apa-apa, Tuan Lambert. Saya permisi dulu ke dapur. Tampaknya Eva lebih suka makan roti dari pada pasta,” kata Sierra. Ia  baru saja akan mengambil pasta di depan Eva saat Lambert menghentikannya.

“Tidak baik makanan yang sudah keluar dikembalikan ke dapur. Biar aku saja yang makan,” kata Lambert.
Sierra mengangguk dan bergegas memasuki dapur. Pintu penghubung ruang kerjanya dan dapur itu tanpa sadar dibantingnya. Para koki yang sedang sibuk membuat adonan roti dan memasak pasta tampak sibuk dan tidak mendengarkan suara keras itu. Kecuali Karl yang berdiri di seberang ruangan.

“Kau sedang kesal, Nona? Apa nona manis di depan membuatmu cemburu?” tanya Karl tanpa berhenti menguleni adonan roti di tangannya. Ia tersenyum dan memamerkan sederet gigi yang putih bersih.

“Kau tahu apa, Karl? Fokus saja untuk mengerjakan pekerjaanmu,” kata Sierra dengan ketus.

“Oh, ya ampun. Tampaknya separah itu, ya? Baiklah, aku tidak akan mengganggumu,” kata Karl sambil kembali sibuk menguleni adonan rotinya. Ia tidak mempedulikan Sierra yang masih menatapnya dengan tajam untuk beberapa saat. Setelah gadis itu mengambil beberapa bagel dan meninggalkan dapur barulah karl bisa bernapas lega.

“Aku memilih waktu yang salah untuk mengganggunya. Wanita yang sedang jatuh cinta memang mengerikan,” kata Karl pada dirinya sendiri.

[Jumlah kata: 2729]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar