Kamis, 12 Januari 2012

Faux Ciel Bab 9 - Sang Kunci

“Darimana kau tahu tentang Sang Kunci?”

Sorot mata Lambert menatap tajam pada Adam yang duduk di depannya. Ia telah menyarungkan kembali pistolnya. Awalnya ia tidak mempercayai Adam, namun Sierra yang ikut mendatangi kamar pria itu karena kegaduhan yang dibuatnya meyakinkan dirinya bahwa Adam adalah orang yang tidak berbahaya. Dan kini mereka bertiga berada dalam ruangan itu, dengan Sierra yang berdiri di samping Eva yang tertidur di ranjang Adam, dan kedua pria itu yang duduk saling berhadapan.

“Eva sendiri yang menyebut dirinya seperti itu. Gadis itu mendatangiku tiba-tiba dan menunjukan padaku penglihatan tentang masa laluku sendiri. Katanya aku yang memberikan nama Eva padanya enam belas tahun lalu,” kata Adam.


Lambert terkesiap. Tatapannya semakin tajam pada Adam. “Kau berbohong! Eva tidak pernah terbangun sebelumnya! Dia bahkan tidak pernah keluar dari tabung tempatnya berada sejak lahir. Bagaimana mungkin kau pernah bertemu dengannya!” seru Lambert. Pria itu menghentakkan kakinya dengan keras ke lantai kayu. Suara hentakan itu sampai membuat Sierra kaget. 

Adam mendehem pelan. “Kumohon kita jangan mengganggu tuan rumah di sini,” katanya dengan suara pelan.

Lambert menghela napas dan menatap Sierra yang terlihat sedikit takut karena mendengarkan suara keras yang ditimbulkannya. “Maaf, Nona Sierra. Aku tidak bermaksud mengganggumu,” katanya setelah tenang.

“Ah, tidak apa-apa. Aku hanya sedikit kaget tadi,” kata Sierra sungkan. Ia tidak tahu apa yang sedang terjadi saat ini, tetapi ia merasa apapun itu pastilah sesuatu yang penting atau mungkin rahasia. Lambert bahkan memintanya masuk ke dalam ruangan itu dan menguncinya dari dalam.

“Baiklah. Akan kuperlihatkan sesuatu padamu sebagai bukti gadis itu tadi berada di sini,” kata Adam. Ia mengulurkan lengan kirinya yang tersibak pada Lambert. Lambert melihatnya dengan tatapan bingung. Ia tidak tahu apa yang ingin disampaikan pria di hadapannya itu.

“Lenganmu tampak normal dan berotot. Itukah yang ingin kau tunjukkan?” kata Lambert dengan alis kanan terangkat.

“Sierra, apa yang ada di tangan kiriku?” tanya Adam pada Sierra yang berada di belakangnya.

 Gadis itu berjalan ke arahnya. “Eh? Bukannya di tangan kirimu ada simbol itu? Eh?!” kata Sierra Ia tidak percaya saat melihat tangan kiri Adam. Ia masih ingat kemarin terbangun karena Adam mengerang kesakitan. Ia juga masih ingat dengan sangat bagamana ngerinya simbol sulur hitam di tangan kiri Adam membuat luka parah tangan itu. Ia ingat betapa ia harus berhati-hati membersihkan luka-luka itu agar tidak membuatnya lebih menderita. Tetapi yang dilihatnya sekarang adalah sebuah lengan kiri yang bersih tanpa luka dan tanpa sulur apapun. Segalanya tampak normal, seolah memang tidak pernah ada apa-apa di lengan itu.

Lambert melihat ekspresi gadis itu dengan heran. “Ada apa, Nona Sierra?” tanya Lambert.

“Eh…,” Sierra menoleh sejenak pada Adam. Ia ragu apakah harus memberitahukan tentang lambang budak itu pada Lambert. Tetapi Adam mengangguk padanya dengan mantap. Sierra menghela napasnya. “Baiklah jika itu maumu, Adam. Tuan Lambert, di tangan Adam seharusnya ada simbol berupa sulur hitam yang menjalar hingga nyaris menyentuh pundaknya. Saya masih ingat benar bentuknya karena simbol itu membuatnya terluka parah kemarin. Saya sendiri yang merawat luka-luka itu,” jelas Sierra.

Lambert melipat kedua tangannya. Ia tahu simbol itu, karena dulu ia juga pernah memiliki simbol yang sama. Simbol yang dikatakan oleh Sierra adalah simbol seorang budak. Pantas saja gadis itu merasa ragu untuk mengatakannya. Siapapun akan malu bila statusnya sebagai budak diungkap begitu saja. Ia memutuskan untuk mencoba mempercayai pria itu. “Kalau benar kau dulu memiliki simbol itu, berarti kau pernah berurusan dengan Adventa. Aku menganggap kau bukan bagian dari mereka. Benar?” tanyanya memastikan.

“Aku tidak akan pernah berpihak pada orang-orang yang menghancurkan hidupku!” seru Adam dengan keras. Secara spontan Sierra menyentuh punggungnya untuk menenangkan kemarahannya. Adam menaggapinya dengan menundukkan kepalanya. Ia menurunkan tangan kirinya secara perlahan. Tetapi tangan itu masih terkepal dengan keras.

“Tenanglah, Adam. Semuanya sudah aman sekarang,” bisik Sierra sambil meremas pelan pundak pria itu. Ia tidak tahu bagaimana bisa tanda kutukan di tangan kiri Adam menghilang begitu saja, tetapi ia tetap gembira mengetahui pria itu telah bebas dari tanda itu.

“Musuh dari musuh adalah teman. Begitulah yang dikatakan oleh ayahku. Jika kau membenci Adventa, berarti kau sama denganku,” kata Lambert. Ia melihat Adam dan Sierra bergantian. Semakin lama keduanya tampak seperti sepasang kekasih. “Lagipula Nona Sierra mempercayaimu seperti ini. Aku tidak bisa mengatakan apa-apa lagi,” katanya sambil tersenyum pada Sierra. Gadis itu segera sadar apa yang berada dalam pikiran pria itu. Ia segera melepaskan tangannya dari pundak Adam. Tetapi wajahnya sudah terlanjur memerah karena malu.

Lambert tersenyum simpul. “Maafkan aku, Adam. Aku harus selalu mencurigai siapapun yang berada di sekitarku. Di manapun di Dunia Baru ini selalu saja ada anjing-anjing dari kerajaan Adventa yang mengejarku,” katanya.

“Asalkan kau tidak menodongku dengan senjata lagi!” kata Adam.

“Aku tidak akan menodongkan senjata lagi,” kata Lambert. “Dan aku akan menjelaskan segalanya padamu. Tapi sebelumnya aku ingin bertanya padamu, apakah Eva menyebut sesuatu tentang Sang Pembuka Pintu?”

“Seingatku tidak. Dia hanya mengatakan aku harus bertanya padamu jika ingin tahu siapa dirinya. Jadi sekarang jelaskan padaku,” jawab Adam.

Lambert terdiam sesaat. “Baiklah. Tetapi setelah ini kalian akan tidak akan menganggap dunia ini sama seperti sebelumnya. Semua yang kalian ketahui akan terguncang dan hancur. Apa kalian masih ingin mendengarnya?” tanya Lambert serius.

“Duniaku sudah sejak dulu terguncang dan hancur. Goyangan kecil tidak akan membuatku lebih hancur lagi,” kata Adam mantap.

“Aku penasaran. Lagipula aku sudah terlibat sejak awal, bukan?” kata Sierra.

Lambert mengangguk-angguk. Ia cukup senang pada kemantapan hati keduanya. Sekarang gilirannya membuka mata keduanya untuk melihat kebenaran dunia yang mereka diami itu.

***

Adam dan Sierra masih menunggu Lambert berbicara. Dan secara tiba-tiba pria itu berbicara dengan cepat dan panjang, menjelaskan semua yang diketahuinya.

“Kalian mungkin pernah mendengar tentang asal usul Dunia Baru ini. Bahwa dunia ini adalah hadiah dari para makhluk suci pada manusia yang nyaris binasa dalam keputusasaan mereka. Bahwa semua yang berada di dalam dunia ini akan terus mereka lindungi, karena mereka adalah wakil dari Sang Pencipta. Dan mereka melindungi manusia dalam naungan mereka.

“Tetapi tahukah kalian apa yang sebenarnya terjadi? Dunia ini bukan sebuah dunia ideal seperti yang dibayangkan manusia. Ini bahkan bukan surga! Awalnya manusia tidak masalah dengan ditempatkan dalam dunia buatan ini. Tetapi lama kelamaan maksud dan tujuan para makhluk itu terungkap juga. Mereka hanya ingin mengendalikan kebebasan manusia. Bagi mereka, manusia adalah makhluk berbahaya yang bisa menghancurkan apapun bila diberikan kebebasan. Karena itu mereka mengurung kebebasan itu di dalam dunia ini. Manusia pun akhirnya menyebut dunia ini dengan nama Faux Ciel. Surga Palsu.

“Manusia melawan dengan teknologi mereka yang sangat kalah jauh dengan apa yang dimiliki oleh makhluk-makhluk penipu itu. Dan tujuh ratus tujuh puluh tujuh tahun lalu manusia akhirnya kalah telak. Semua teknologi mereka yang dianggap berbahaya dihancurkan. Manusia dilarang membuat dan mengembangkan teknologi mereka kembali. Yang melanggar akan dihukum mati dengan petir dari langit. Saat itulah Kerajaan Adventa mulai berdiri. Mereka menyatakan diri sebagai manusia yang tunduk pada makhluk-makhluk itu, yang mereka panggil dengan nama Advano. Mereka memuja para Advano, dan sebagai gantinya mereka diberikan teknologi di atas bangsa lain. Hanya mereka yang boleh memakai teknologi maju itu. Sejak saat itu pula kerajaan itu mulai melakukan penaklukannya ke berbagai wilayah di dunia ini,” kata Lambert. Ia menatap sejenak pada Adam dan Sierra. Tatapan mereka menunjukkan dengan jelas mereka lebih pada kebingungan daripada terkejut.

“Ceritaku terlalu panjang?” tanya Lambert.

Sierra mengangguk pelan. Adam melipat tangannya. “Kau bahkan belum menjelaskan tentang Eva,” kata pria itu dengan nada sangsi.

“Aku baru saja mulai. Asal kau tahu saja, Faux Ciel bukanlah dunia yang stabil. Dunia ini hanya tempat persinggahan. Dan manusia di masa lalu telah mengetahuinya. Dunia ini hanya akan bertahan selama seribu tahun. Apa kalian tahu apa yang akan terjadi setelah lewat seribu tahun di dunia ini?”

Adam dan Sierra hanya terdiam. Mereka menunggu kelanjutan kata-kata dari pria di depan mereka itu.

“Setelah seribu tahun, dunia ini akan hancur dan musnah. Demikian pula dengan semua isinya. Seluruh dunia akan direkonstruksi menjadi dunia baru. Hanya sedikit manusia yang akan diselamatkan untuk masuk ke dunia yang baru itu. Para Advano sengaja menempatkan manusia di dalam dunia sementara ini dengan tujuan memilah-milah siapa yang sepenuhnya patuh pada mereka. Itu semua demi menghilangkan apa yang mereka anggap berbahaya pada manusia: kebebasan berpikirnya.

“Ayahku dahulu adalah orang yang berasal dari Adventa. Ayah mengetahui masa seribu tahun akan segera tiba. Awalnya ia tidak masalah akan hal itu. Ia berpikir akan lebih baik lagi kalau manusia bisa pergi ke dunia yang lebih baik. Namun suatu waktu ia mendengarkan para pelayan di kuil Advano berkata bahwa hanya para pelayan di kuil Advano dan keluarga kerajaan Adventa saja yang akan diselamatkan. Sedangkan semua manusia yang lain akan dibiarkan hancur begitu saja. Sejak saat itu ayahku mulai mempelajari sejarah Dunia Baru ini dengan diam-diam. Ayahku akhirnya mengetahui apa itu Faux Ciel dan juga tentang Sang Kunci dan Pintu Dunia Baru. Siapapun yang memegang Kunci akan memegang kendali terhadap Pintu. Siapa yang mengendalikan Pintu bisa memutuskan untuk menyelamatkan siapapun yang diingininya. Dan siapapun yang dipilih oleh Kunci itu sendiri akan menjadi Pembuka Pintu, orang yang mengendalikan Pintu Dunia Baru.” kata Lambert.

“Dan Eva adalah Sang Kunci? Bagaimana bisa gadis biasa sepertinya menjadi kunci pembuka dunia ini?” tanya Adam.

“Eva sebenarnya bukan gadis biasa. Apakah kau pernah bertemu dengan para Advano? Mereka adalah makhluk dengan sayap dari cahaya, berambut keemasan, dan mata merah seperti batu rubi. Mereka adalah gabungan dari keanggunan patung-patung pahatan dari pualam sekaligus perwujudan kengerian yang dapat dibayangkan oleh manusia. Aku menganggap kau telah melihat wajah Eva, maka seharusnya kau bisa menemukan ciri-ciri itu padanya,” kata Lambert.

Adam terkesiap. Ia teringat kembali pada makhluk yang muncul dari benda asing yang telah membunuh kedua orang tuanya. Ia masih mengingat kengerian yang dirasakannya saat sepasang mata merah menatapnya dengan dingin. Badannya bergetar ketakutan.

“Eva adalah bagian dari mereka katamu?” kata Adam.

Lambert terdiam sesaat. “Bisa dikatakan demikian, tapi bisa dikatakan juga tidak. Dia terlahir dari seorang wanita biasa yang mengandung seorang anak yang memiliki gen Advano. Tetapi Advano sendiri terlalu angkuh untuk menyentuh manusia. Mereka mengambil wanita itu dan menyuntikkan gen mereka ke dalam rahimnya. Di dalam gen itulah terdapat Kunci yang bisa membuka Pintu Dunia. Wanita itu pun hamil dan akhirnya meninggal saat melahirkan. Ayahku segera membawanya lari dan menyembunyikannya di dalam sebuah tabung yang berisi Panacea. Hanya dengan cara inilah gadis itu tidak akan dideteksi oleh Advano ataupun pihak Adventa,” katanya.

“Panacea? Maksud Anda cairan berwarna emas yang Anda tuangkan ke sumber air kota ini waktu itu?” tanya Sierra.

“Ya. Panacea adalah cairan yang bisa menyembuhkan luka atau sakit macam apapun. Tetapi jika ada sesuatu dimasukkan ke dalamnya, bahkan para Advano dan kehebatannya sekalipun tidak akan mampu mendeteksinya. Dan lagi manusia tidak akan mati bila masuk ke dalam cairan itu,” jelas Lambert.

“Kalau begitu sebenarnya Eva bukan seorang Advano sejati, tetapi manusia yang dijadikan sama seperti Advano? Apa alasannya?” tanya Sierra.

“Pintu Dunia adalah kunci dari rekonstruksi dunia ini. Menurut yang dibaca oleh ayahku, kode pembuka pintu itu adalah gen yang dimiliki oleh seorang Advano tua saat itu – sang pencipta Faux Ciel sendiri – dan juga gen dari tujuh orang terpilih yang merupakan wakil dari manusia. Enam dari tujuh wakil manusia itu dimiliki oleh keluarga Adventa secara turun temurun, karena merekalah keturunan langsung kelima orang itu. Sedangkan wanita yang mengandung Eva merupakan keturunan wakil yang tersisa. Gen dari Advano yang ditanamkan ke dalam rahim wanita itu berasal dari satu-satunya Advano yang melakukan sumpah saat itu,” jawab Lambert.

“Apa yang akan terjadi bila Advano mendapatkan Eva? Apa yang akan terjadi padanya bila pintu itu telah terbuka?” tanya Adam. Mengetahui Eva bukanlah Advano murni membuatnya sedikit lega. Setidaknya ia tidak perlu membenci gadis itu.

“Aku sendiri tidak bisa membayangkan apa yang terjadi pada saat mereka menguasai Eva. Juga setelah pintu itu terbuka. Tetapi ayahku yakin Advano tidak bisa membuka pintu itu meski mereka memiliki Eva. Di dalam diri gadis itu terdapat gen Advano yang terlalu kuat. Untuk itu dibutuhkan manusia lain yang memiliki gen manusia yang diwakili oleh seseorang. Kerajaan Adventa menyebutnya sebagai Sang Pembuka Pintu. Awalnya orang itu direncanakan berasal dari pihak kerajaan, tetapi dengan tindakan ayahku yang membawa lari Eva, tidak ada satupun yang tahu siapa yang akan menjadi Sang Pembuka Pintu. Siapapun yang dipilihnya akan menjadi Sang Pembuka Pintu. Dan sepertinya orang itu adalah dirimu,” kata Lambert pada Adam.

“Jika aku menolak membuka pintu itu?”

“Itu hakmu. Kaulah yang bisa mengendalikan gadis itu. Oh, ya! Aku ingat sekarang. Saat anak itu lahir, ayahku berkata nama gadis itu adalah Eva. Katanya itu adalah nama yang disampaikan gadis itu sendiri. Aku tidak tahu apa itu membantumu atau tidak,” jawab Lambert.

“Aku bertemu pertama kali dengan Eva enam belas tahun lalu. Dan saat itu dia terlihat seperti sudah berusia enam tahun. Bagaimana mungkin umurnya baru berusia enam belas tahun?” tanya Adam.

“Ada banyak hal yang kami sendiri belum tahu. Dunia ini sendiri memiliki banyak misteri yang belum terungkap. Apa yang kau lihat mungkin adalah wujud Eva yang sebenarnya. Sosok Sang Kunci itu sendiri. Dan kenyataan kaulah orang yang dipilihnya untuk melihat sosok itu membuktikan kau adalah Sang Pembuka Pintu,” jawab Lambert.

Adam memegangi kepalanya yang terasa pusing. Terlalu banyak informasi yang memenuhi kepalanya. “Jangan harapkan aku untuk langsung mempercayai hal ini. Maaf, kepalaku sakit. Aku mau kembali istirahat,” kata Adam.

Lambert beranjak dari kursinya. “Baiklah. Aku akan membawanya sekarang,” kata Lambert. Ia baru saja akan mengangkat gadis itu saat ia melihat wajah gadis itu tiba-tiba merengut dalam tidurnya. Ia seperti anak kecil yang tidak suka bila tidurnya terganggu.

“Eh? Eva sepertinya tidak mau dipindahkan dari ranjangmu ini,” kata Lambert.

Adam mendecak. Ia berjalan menuju gadis itu dan mengangkatnya. Wajah tidur gadis itu tampak terkejut, namun hanya orang yang benar-benar memperhatikan saja yang bisa melihat itu. “Eva, ini kamarku. Kau tidur saja di sebelah,” katanya. Ia melihat pada Sierra. “Bisa menjaga anak ini? Mungkin dia tidak suka tinggal dengan orang menyeramkan ini,” katanya sambir melirik pada Lambert.

Lambert yang mengerti dirinya disinggung hanya bisa mendehem. Meski demikian Adam tidak peduli. Ia memang bertujuan menyinggung pria itu dengan terang-terangan. Sierra yang melihat hal itu hanya bisa menghela napas. “Baiklah, baiklah. Eva bisa tidur di kamarku,” kata Sierra sambil tersenyum.

***

Adam mengikuti Sierra. Memasuki kamar gadis itu mengingatkannya dengan rumah gadis itu dahulu. Udara di dalam kamar itu dipenuhi bau ragi harum. Ia mengitarkan pandangannya ke seluruh ruangan itu. Celemek disusun dengan rapi di dinding. Berbagai gambar roti dan juga foto-fotonya dengan para pelanggan memenuhi sisi dinding lainnya. Tetapi sebuah foto di meja kecil di samping ranjang itu adalah yang paling menarik perhatiannya.

“Kau masih menyimpan foto ini?” tanya Adam. Di dalam foto yang dibingkai dengan pigura kayu itu terdapat sepasang suami istri dengan dua orang anak kecil di depan mereka. Seorang anak laki-laki berambut hitam dan gadis kecil berambut ekor kuda yang memegangi tangan anak laki-laki itu dari belakang. “Jika melihatmu di dalam foto ini aku masih tidak bisa percaya kau mampu menggerakkan seluruh tempat ini,” kata Adam. Sebuah senyuman usil menghiasi wajahnya. “Si Tukang Menangis sekarang sudah jadi Nona Besar, ya?”

Stella yang tahu dirinya sedang digoda segera memasang muka cemberutnya. “Iya, iya! Aku anak yang cengeng dan manja!” katanya.

Adam tertawa kecil. Ia menjulurkan tangannya ke kepala Sierra dan mengacak-acak rambut gadis itu. Sierra yang kesal mencoba melepaskan diri dari kejahilan tangannya, tetapi tangan Adam terlalu lincah dan kuat untuk dilawan. Setelah cukup puas mengacak-acak rambut gadis itu barulah Adam berhenti.

“Adam jahat!” seru Sierra sambil merapikan rambutnya kembali. Wajahnya kembali memerah karena kesal bercampur malu.

“Kalau semua anak buahmu mendengarmu sekarang mereka akan segera menertawakanmu,” kata Adam. Kata-kata itu memang sering dikatakan Sierra bila ia diganggu oleh Adam sewaktu ia masih kecil. Tetapi bila itu dikatakan oleh seorang gadis berusia dua puluh satu tahun, maka itu pasti terdengar sangat lucu.

“Berisik!” seru Sierra. Ia mendorong punggung Adam keluar dari kamarnya. Adam hanya pasrah ‘diusir’ keluar dari kamar itu.

“Selamat malam, Sierra,” kata Adam.

“Kamu masih ingat kebiasaan ayahku rupanya,” kata Sierra sambil tersenyum. Dahulu ayahnyalah yang sering menyapanya seperti itu sebelum ia tidur.

“Aku hidup di rumah kalian selama empat tahun. Mana mungkin aku melupakan kebiasaan kalian?” kata Adam.

“Terima kasih,” kata Sierra.

“Aku juga,” kata Adam. Ia menutup pintunya dan segera menjatuhkan dirinya ke kasur. Kepalanya terlalu berat dengan banyaknya hal yang diungkapkan. Tetapi apapun itu, sulur-sulur yang menjadi kutukan untuknya itu telah hilang. Adam mengangkat tangan kirinya dan tersenyum. Bagaimanapun ia tidak bisa membenci orang yang telah menolongnya itu.

Setelah Adam mengunci pintunya barulah Sierra menutup pintu kamarnya. Ia melihat gadis yang tertidur di ranjangnya. “Kamu adalah gadis pertama yang ditemuinya, ya?” tanya Sierra dengan berbisik. Ia tidak berharap untuk mendapatkan jawaban dari gadis itu, tetapi entah mengapa ia seperti mendengar suara gadis itu yang berkata, “Tetapi yang dipilihnya adalah dirimu.”

Sierra menggelengkan kepalanya. “Mana mungkin gadis ini berbicara tanpa menggerakkan bibirnya? Lagipula dia, kan, sedang tertidur. Aku pasti sudah terlalu lelah sampai mengkhayalkan hal seperti itu,” katanya. Ia berganti pakaian ke pakaian tidur dan beranjak ke ranjang itu. Gadis bernama Eva itu tidur berdekatan dengan dinding, sedangkan dirinya tidur di sisi luarnya. Ia menghela napasnya dan berusaha meredam berbagai pikiran, juga perasaan-perasaannya. Termasuk kecemburuan yang mulai muncul di dalam hatinya.


[Jumlah kata: 2806]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar