Jumat, 06 Januari 2012

Faux Ciel Bab 6 - Advano

Edward membuang pandangannya ke arah matahari yang mulai tenggelam di balik pegunungan. Sinar jingga keemasan dari matahari yang mulai tenggelam itu memberikan nuansa agung pada ruangan di mana ia berada. Sebuah ruangan di dalam bangunan bergaya Basilica yang menjadi istananya. Langit-langit dalam istana itu tinggi dan membentuk lengkungan, dengan ratusan fresco yang menggambarkan ratusan manusia bersayap. Manusia bersayap dan manusia tak bersayap, malaikat dan manusia biasa. Itulah yang dipercaya olehnya dan oleh seluruh kerajaannya sebagai awal dari munculnya Dunia Baru. Semua fresco di dalam istana itu bercerita tentang bagaimana para makhluk bersayap datang dan menyelamatkan manusia dari kehancurannya dan membawa mereka ke sebuah tempat yang lebih baik. Dunia Baru adalah dunia yang dianugerahkan pada mereka oleh para makhluk bersayap itu. Karenanya seluruh kerajaan Adventa yang dipimpinnya memutuskan menyembah para makhluk bersayap itu. Namun sekarang keberlangsungan dunia yang telah dianugerahkan pada mereka terancam. Takdir yang telah diramalkan sejak seribu tahun lalu akhirnya telah tiba.

“Raja Edward, para Pelayan Dewa telah menemukan di mana lokasi Sang Kunci dan Sang Pembuka Pintu. Mereka ada di salah satu pulau di selatan, tepatnya Pulau Arron.” Seorang prajurit datang menghadapnya dan memberikan laporan. Edward menghela napas. Adalah mudah menggempur Kota Ravena, satu-satunya kota yang berada di pulau itu. Ia sangat yakin keduanya berada di kota itu, karena demikianlah yang disebutkan dalam ramalan. Tetapi jika ramalan itu benar, maka semua pasukan yang dikirimnya akan musnah, sebanyak apapun itu.

Hanya ada satu cara yang bisa dilakukannya. Memanggil sang makhluk bersayap, Advano.

***

Memanggil Advano bukan perkara gampang. Mereka adalah makhluk dengan harga diri yang sangat tinggi. Sembarang memanggil mereka dapat diartikan sebagai penghinaan. Edward telah melihat dengan mata kepalanya sendiri apa yang telah dilakukan oleh makhluk agung itu pada ayahnya yang tidak sengaja menyinggung mereka. Tiga puluh tahun lalu, ayahnya hancur menjadi debu hanya karena ia memanggil sang makhluk agung demi menunjukkan pada dunia bahwa kerajaan mereka tidak akan tertandingi oleh siapapun. Sang makluk agung mengangkatnya sebagai pengganti, meski dirinya adalah anak terakhir dari semua anak raja, bahkan ia adalah anak seorang selir dan bukan anak dari permaisuri. Para anak permaisuri dan mereka yang merasa layak sebagai raja bangkit melawaannya. Nyawanya terancam. Namun sang makhluk agung mengirimkan pasukannya dan menghabisi mereka yang menentang dalam sekejap.

Edward bingung apakah ini saat yang tepat untuk memanggil mereka. Seandainya para Advano itu marah padanya, mungkin bukan hanya dirinya saja yang akan dimusnahkan. Mungkin seluruh kerajaan yang telah berdiri tujuh ratus tujuh puluh tujuh tahun itu pun akan turut hancur. Namun ia kembali berpikir, jika ia tidak menyampaikan perkembangan yang diperolehnya dan para Advano mengetahuinya sendiri, maka kemungkinan itu akan jauh lebih besar. Mau tidak mau ia harus mengambil resiko. Demi kerajaannya dan demi semua manusia yang ada di dalam Dunia Baru, ia harus memanggil mereka.

Edward melangkah mantap menuju sebuah pintu raksasa dengan bagian atas yang melengkung. Pintu itu dipenuhi ukiran sulur emas dan tampak kokoh. Tidak ada pegangan atau lubang kunci di pintu itu. Bahkan pintu itu tampak seperti menyatu. Tetapi Edward tidak menghentikan langkahnya. Di tangan kanannya terdapat sebuah tongkat yang terbuat dari emas tuangan seukuran betis orang dewasa. Di ujung atas tongkat itu tampak sebuah kristal biru dengan sebuah benda berbentuk seperti kristal bunga es berwarna emas di dalamnya. Sang raja mengangkat tongkat itu, lambang kekuasaan tertinggi di kerajaan Adventa, dan mengacungkannya ke pintu raksasa. Seketika kristal bunga es di dalam kristal biru itu berputar kencang dan semakin membesar, hingga akhirnya bunga es itu melayang keluar dari kristalnya. Kristal bunga es itu makin besar hingga seolah-olah menutupi pintu raksasa. Saat bunga es keemasan itu menempel di pintu raksasa, sebuah cahaya keemasan memancar dari arah pintu itu dengan sangat menyilaukan. Edward tak dapat melihatnya dengan jelas, tetapi ia tahu sulur-sulur yang tampak menyatu di pintu itu mulai bergerak memisah. Saat sinar keemasan itu tidak lagi memancar barulah Edward melihat apa yang terjadi. Pintu raksasa yang tampak tak dapat terbuka itu telah terbuka lebar. Kini sebuah ruangan hitam tampak menganga dari balik pintu itu.

“Masuklah, Raja Manusia!” Sebuah suara menggelegar terdengar dari dalam ruangan itu. Dengan gemetar Edward mendekati ruangan itu. Kepalanya tidak berani terangkat. Dengan tangan menyilang di depan dada ia melangkah memasuki ruangan itu.

Tepat setelah ia berada di dalam ruangan gelap itu, pintu raksasa di belakang Edward kembali menutup. Sang raja diliputi kegelapan dan ketakutan. Namun tiba-tiba kegelapan itu lenyap tak bersisa. Kini yang dilihatnya adalah sebuah ruangan yang dipenuhi cahaya yang memancar dari sebuah api raksasa berwarna biru langit yang menyala di tengah-tengah ruangan itu. Sang raja menatap terpesona pada api itu, namun segera sadar dan segera bersujud hingga kepalanya menyentuh lantai.

“Aku tahu yang akan kau laporkan padaku, Raja Edward,” seru suara dari dalam api biru itu.
Seketika sekujur tubuh Edward bagaikan tersengat listrik. Keringat dingin mulai mengucur deras dari seluruh tubuhnya. Tidak ada bagian dari tubuhnya yang tidak bergetar mendengarkan kata-kata itu. Tamat sudah, katanya dalam hati. Aku dan kerajaanku akan tamat!

“Kami telah mengamati tanda-tanda ramalan itu. Dan memang, langkah pertama baru saja terjadi kemarin. Tidak ada satupun yang bisa mengira kapan itu terjadi. Dalam hal itu kau tidak bersalah terhadap kami, Raja Edward.”

Kini seluruh tubuh Edward terasa lega, seolah ada kehangatan yang menentramkan sekujur tubuhnya yang mengalir dan menghentikan gemetarnya.

“Tetapi kau tetapi bersalah karena tidak membunuh gadis itu dari awal!!” seru suara dari dalam api biru itu dengan marah.

Napas bagaikan akan terbang keluar dari dalam tubuh Edward saat mendengarkan perkataan itu. Ia tidak berani mengangkat kepalanya, namun jika ia tidak membela diri, maka itulah akhir baginya. “Ampuni hamba, ya engkau yang agung, Advano. Hamba lalai. Conrad dan Lambert, para pengkhianat itu telah membawa lari Panacea dan Glacies. Kami tidak dapat mendeteksi mereka sampai tiga hari lalu, saat Glacies yang mereka bawa akhirnya telah habis terpakai. Hamba mohon ampun,” kata Edward. Badannya yang telah tua itu bergetar hebat, bagaikan anak kecil yang takut ketika petir menggelegar di tengah malam.

“Mengapa kami harus mengampunimu?”

“Hamba telah tahu di mana mereka saat ini. Kami akan segera menyerang mereka tanpa menunggu lagi. Bahkan sebelum pagi esok hari tempat itu telah akan rata dengan tanah.”

“Sang Kunci telah bangkit, bagaimana kau akan menghancurkannya dengan kekuatanmu yang bagaikan serangga itu, Manusia?”

Edward terdiam. Inilah akhirnya.

“Kami tahu kau tidak akan bisa mengalahkan mereka sendirian. Maka dari itu kami mengutus wakil kami untuk membantumu. Terimalah ia sebagai anugerah dari kami. Besok pagi, saat matahari telah terbit di atas cakrawala, utusan itu akan tiba. Sambutlah ia seperti kau seharusnya menyambut kami,” kata suara dari dalam api biru itu.

“Te—terima kasih, Yang Maha Agung! Terima kasih!” seru Edward tanpa henti. Sementara ia berkata demikian, sinar keemasan kembali memancar menyilaukan dan memenuhi mata sang raja. Saat ia sadar, sang raja telah berada di luar pintu raksasa. Sulur-sulur emas yang terukir di pintu itu masih sama seperti sebelumnya, seakan pintu itu tidak pernah terbuka sama sekali.

***

Menunggu matahari terbit tidak membuat Edward mampu memejamkan matanya sedetik pun. Ia berjalan hilir mudik di dalam kamarnya dengan tidak tenang. Bahkan permaisuri yang membujuknya untuk tidur pun tidak mampu membuatnya tenang. Tubuh tuanya tampak semakin kurus. Wajahnya yang telah mulai mengering kini dihiasi kantung mata yang mulai menghitam. Janggut yang yang telah memutih berkali-kali ia elus demi menenangkan dirinya sendiri. Tetapi itupun tidak berguna.

“Siapa yang akan dikirimkan oleh mereka? Apa yang akan dilakukannya?” berkali-kali sang raja mengulangi perkataan itu. Dan akhirnya matahari pun menyingsing. Langit gelap mulai berganti dengan cahaya kemerahan yang mulai naik dari arah laut. Entah mendapat kekuatan dari mana, Edward sang raja berlari kencang meninggalkan kamarnya. Ia tidak tahu harus berlari ke mana, namun kakinya seolah membawanya ke lapangan utama istana. Ia berdiri di tengah lapangan itu, mendongak ke langit, dan melihat sebuah bintang aneh yang tampak tidak berkedip. Bintang berwarna keemasan itu semakin lama semakin besar dan terlihat, hingga akhirnya ia tahu bahwa bintang itu adalah sebuah benda berbentuk seperti kristal bunga es. Edward segera jatuh tersungkur dengan wajahnya hingga ke tanah. Sang utusan yang agung telah datang padanya.
Benda berwarna emas itu turun perlahan hingga nyaris menyentuh tanah lapangan yang ditutupi cobblestone. Bentuknya pipih dan tampak sangat indah, dengan tiap sisinya yang membentuk wujud kristal bunga es terbuat dari emas murni yang berkilauan saat disinari matahari pagi. Bagian tengah benda itu adalah kaca berbentuk segi enam dengan warna biru laut. Kaca itu setinggi manusia biasa, dan di dalamnya tampak siluet seperti sosok seorang manusia yang sedang duduk.

Edward memberanikan mengangkat mukanya. Sosok di dalam kaca di tengah benda di depannya tampak berdiri. Sosok itu melangkah ke depan. Secara perlahan tubuh sosok itu melangkah keluar dari dalam kaca, membuat kaca itu beriak bagaikan tirai air. Dan akhirnya sosok itu berdiri tepat di depan sosok Edward yang terpesona menatapnya.

Sosok itu adalah seorang pria dengan iris mata berwarna merah, rambut pendek berwarna emas, kulit sehalus pualam, dan wajah tampan bagaikan patung pahatan Yunani. Sorot matanya penuh dengan keangkuhan. Ketampanan dan keangkuhan yang sangat khas dari seorang Advano. Pakaian yang digunakan sang Advano adalah jubah berwarna putih. Sekilas sosoknya tak jauh beda dengan manusia biasa, selain ketampanan dan kesempurnaan fisiknya yang di atas manusia rata-rata. Ia juga tidak memiliki sayap di punggung, yang seperti Edward sering lihat di lukisan fresco di dalam istana. Untuk pertama kalinya sang raja melihat seorang Advano tanpa sayap sepertinya.

Sang Advano melirik ke arah sang raja tanpa menggerakkan kepalanya sama sekali. “Sampai berapa lama kau akan seperti itu, Manusia?” kata sang Advano.

Dengan gelagapan Edward kembali berdiri. Ia berkali-kali membungkuk pada sang utusan. “Ma—maafkan hamba, Yang Mulia. Hamba tidak membuat penyambutan yang layak untuk Anda,” jawab sang raja gugup.

“Kau pikir penyambutan oleh manusia sepertimu cukup layak untukku, Manusia? Kau pikir aku ini siapa?” kata sang utusan dengan dingin yang seakan membekukan sumsum tulang belakang yang mendengarnya.

Edward tersentak. Ia menunduk tidak berani melihat pada sang utusan. “Hamba tidak layak, Yang Mulia. Maafkan hamba yang lancang,” kata Edward.

Sang utusan tersenyum puas. “Manusia memang harus seperti itu. Kalian harus ingat mengapa kalian masih bisa bertahan hidup saat ini.”
“Hamba mengerti, Yang Mulia.”
Sang utusan menoleh ke kanan. “Mereka telah ada di selatan? Sangat menarik.”
“Yang Mulia memang luar biasa mengetahui hal itu,” kata Edward kagum.
“Aku tidak bisa mengandalkan manusia sepertimu, karena itu aku mengirim seorang prajurit rendahanku kemarin dan melihat sendiri keadaan Faux Ciel ini,” balas sang Advano dengan dingin.
Edward tak berani berkata-kata lagi. Ia hanya berdiri membungkuk pada sang Advano yang namanya tidak ia ketahui itu.

“Siapkan pasukanmu, Manusia. Saatnya membunuh mereka semua,” kata sang Advano. Seketika di punggungnya tampak sebuah sayap yang terbuat dari cahaya. “Bahkan Sang Kunci tidak akan mampu bertahan melawanku, Makhaina Jerez,” lanjut sang Advano.


***

Apa yang dilihat Adam saat ini terasa tidak asing. Langit biru yang membentang dengan laut dan tanah berada di bawah kakinya. Burung-burung camar yang terbang melayang dalam damai di langit. Angin semilir bertiup lembut di sela-sela rambutnya. Matahari pagi yang mulai beranjak dari timur. Semuanya tidak berbeda dengan mimpi yang sering dilihatnya saat tidur. Semuanya, kecuali sesosok gadis berambut keemasan dan bermata ungu yang berdiri di hadapannya saat ini.

Adam memandangi sosok gadis itu dari kepala hingga ke rambut. Sosoknya tidak berbeda dengan gadis remaja biasa. Rambutnya yang berombak dibiarkan tergerai hingga ke pinggang. Angin yang berhembus memainkan rambutnya. Gadis itu tersenyum sambil memejamkan mata. Ia menikmati aliran angin yang membelai wajahnya yang putih mulus bagaikan pualam. Saat gadis itu membuka kembali matanya, entah mengapa Adam merasakan sebuah kelegaan dalam hatinya. Seakan ia telah bertemu seseorang yang sangat dirindukannya, seseorang yang telah lama tidak dilihatnya. Tapi siapa gadis itu sehingga ia sangat lega pada saat melihatnya?

Tidak seperti biasanya, Adam tidak memasang sikap siaga terhadap gadis berambut keemasan itu. Padahal biasanya ia akan mencurigai siapapun yang mendekatinya, apalagi orang asing yang tidak pernah ia lihat dan kenal sebelumnya. Sikap itu bukanlah sikap yang ia ingini. Kehidupan bagaikan di neraka yang senantiasa berteman cambuk, pecut, dan pisau telah membuatnya terpaksa mengembangkan sikap defensif itu. Namun di hadapan gadis yang senantiasa memancarkan aura kepolosan anak kecil ini segala sikap defensif yang selama ini ia tunjukkan seakan runtuh. Ia bahkan tertarik mengetahui siapa gadis itu.
Seakan tahu apa yang dipikirkan oleh Adam, gadis itu segera memperkenalkan dirinya.“Namaku Eva. Aku adalah Sang Kunci. Saatnya sudah tiba, Adam,” kata gadis itu dengan senyum polosnya.

Adam tidak mengerti. Kunci? Saat apa? “Apa maksudmu?” tanyanya bingung. Gadis di depannya tampak cemberut mendengarkan pertanyaan itu.

“Kamu lupa, ya, pada apa yang kukatakan kemarin?” tanyanya setengah merajuk.

Kemarin? Kapan aku pernah bertemu dengannya?

Seakan mendengarkan suara hati Adam sang gadis yang menyebut dirinya Eva itu menjawab, “Aku telah berbicara dalam mimpimu semalam. Dan jika kamu bertanya apakah aku bisa mendengarkan suara hatimu saat ini, akan kujawab iya. Sebelum kamu bertanya lebih jauh akan kutunjukkan sesuatu,” katanya sambil menunjuk ke arah matahari pagi di sebelah kanannya. Seketika cahaya matahari itu tampak sangat terang dan menyilaukan.

Adam tak sempat bertanya saat cahaya itu melingkupi dirinya dan membutakannya sesaat. Saat penglihatannya telah kembali, yang dilihatnya bukan lagi pemandangan di dalam mimpinya, melainkan sebuah rumah kecil yang nyaman di pinggir sebuah danau. Tanpa sadar dan tanpa ia mengerti air matanya segera mengalir saat melihat rumah itu.

Gadis bernama Eva itu menoleh dan merangkul tangan kanannya. “Adam, inilah masa lalumu yang hilang. Ayom akan kutunjukkan sesuatu padamu,” kata gadis itu sambil menggandeng Adam pergi mendekati rumah itu .

Langkah demi langkah seakan membawa potongan-potongan kenangan yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya. Perlahan tapi pasti pecahan-pecahan itu menutupi kekosongan jiwanya. Adam yang awalnya hanya melangkah karena ditarik oleh gadis itu akhirnya berlari sendiri ke arah rumah itu. Sesuatu dalam dirinya berkata inilah jawaban dari semua pertanyaannya. Ia tidak akan berhenti sampai ia mengetahui semuanya.


[Jumlah kata: 2250]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar