Jumat, 27 Januari 2012

Faux Ciel Bab 18 - Klais

Nyaris setengah hari dihabiskan oleh rombongan Adam di atas kapal mereka. Sejak siang kapal penjaga perbatasan Klais yang bersenjata lengkap telah mengelilingi mereka dan menahan mereka maju lebih jauh. Lambert telah turun dari kapal itu dan menaiki kapal penjaga yang membawanya menuju ke pulau Klais. Adam, Eva, Sierra dan kapten kapal mereka harus tinggal di perairan. Secara teknis mereka adalah sandera yang siap dibunuh kapan saja bila dianggap berbahaya. Secara teknis pula, nasib mereka tergantung sepenuhnya di mulut Lambert. Sekali saja pria itu salah bicara, maka mereka semua akan mati.

Adam bersandar di pembatas buritan kapal itu sambil menatap bulan purnama yang tampak bersinar terang. Angin malam yang dingin berhembus ke arahnya. Orang lain mungkin akan mengigil kedinginan dalam keadaan seperti itu, tetapi tidak untuk Adam. Lantai dingin penjara bawah tanah yang sering ditempatinya jauh lebih dingin dari angin malam kali ini.

Di depan pria itu, tepat di belakang kapal yang membawanya dari pulau Arron, terdapat sebuah kapal penjaga perbatasan yang mengacungkan senapan mesin ke arahnya. Prajurit di belakang senapan itu menatap padanya dengan tajam, seolah ia tidak akan melewatkan satupun gerakan mencurigakan yang dilakukannya dan segera menembakkan isi senapan itu. Adam dapat melihat tubuh prajurit itu menggigil, tetapi pria itu menahannya dengan baik. Ia menghela napas panjang. Sejak ia melarikan diri dari Tanah Timur, tempat ia dijual sebagai budak oleh pedagang budak dari Adventa, entah sudah berapa kali nyawanya terancam seperti ini. Selama ini ia memang sering menghadapi bahaya yang mengancam nyawanya, tetapi tidak pernah sampai membuatnya nyaris mati mengenaskan. Nyaris menjadi serpihan karena serangan makhluk aneh yang disebut Advano dan juga tatapan yang membekukan dari Sierra dianggapnya mengancam nyawanya ―berbeda, namun memiliki efek mematikan yang sama baginya.

Adam kembali menghela napas panjang saat mengingat Sierra tidak berbicara dengannya sejak siang. Gadis itu hanya melihatnya sesaat lalu membuang mukanya. Saat mereka berpapasan di anjungan pun gadis itu hanya menatap lurus ke depan, seolah dirinya tidak ada di depannya. Gadis itu juga mendengus setiap kali mereka berpapasan. Adam makin tidak mengerti gadis itu. Ia mencoba untuk menjelaskan kesalahpahaman yang terjadi di antara mereka, tetapi gadis itu tidak memberikannya kesempatan sedikitpun. 

Adam disadarkan dari lamunannya sendiri oleh sebuah sentakan di bajunya. Ia sudah mulai terbiasa dengan sentakan-sentakan seperti itu. Dan rasanya ia sudah tahu siapa yang melakukannya. Ia berbalik tanpa mempedulikan prajurit di belakang senapan yang segera melepas kunci senapan mesinnya.

“Ada apa, Eva?” tanya Adam.
“Sierra marah,” jawab Eva.
Adam mengangkat alisnya. “Kepadamu?”
Eva mengangguk pelan. Wajahnya tampak murung.
“Sierra memarahimu secara langsung?”
Eva segera menggeleng dengan kuat.
“Lalu?”

Eva tampak ragu sesaat sebelum ia menjawab dengan perlahan, “Aku merasakannya. Sierra tidak marah secara langsung, kok.”
“Kau melindunginya?”

Eva kembali menggeleng dengan kuat. Jika itu jawabannya, maka memang ia mengatakan hal yang sesungguhnya. 
 
“Maaf telah membuatmu seperti ini. Tolong maafkan dia,” kata Adam.

Kali ini Eva mengangguk dengan kuat. Wajahnya yang murung perlahan berubah kembali ceria. Adam sampai bingung bagaimana caranya gadis itu bisa mengganti-ganti ekspresinya secepat itu. Tetapi yang pasti senyum gadis itu bisa membuatnya juga tersenyum.  

Adam mengulurkan tangannya ke arah kepala Eva, tetapi gadis itu dengan cepat menghindarinya. Gadis itu tersenyum dan menjulurkan lidah padanya sebelum kembali berlari ke dalam anjungan. Adam tidak mengejarnya. Ia hanya mengikuti gadis itu masuk ke dalam anjungan itu dengan tersenyum.

Setelah gadis itu menghilang di dalam anjungan itu, Adam kembali berbalik. Prajurit di belakang senapan mesin itu masih dalam keadaan siaga. Ini sudah mulai menyebalkan! kata Adam dalam hati. “Turunkan saja senjatamu. Aku tidak sedang merencanakan apapun,” sahutnya pada prajurit itu. Tetapi prajurit itu bergeming di tempatnya.

Adam menarik napas panjang dan menghembeskannya dengan perlahan. “Prajurit,” bisiknya pada dirinya sendiri, “di manapun sama saja.”

***

“Anda dari Arron?”

Lambert menarik bibirnya ke kiri. Sudah lebih dari sepuluh kali ia ditanya dengan pertanyaan yang sama. Setiap kali dengan pertanyaan lanjutan yang sama: Tujuan Anda ke sini? Apa hubungan Anda dengan kekacauan semalam? Apa alasan Anda menuju pulau ini? Setelah ketiga pertanyaan itu, maka sang penanya ―orang yang sama yang menginterogasinya sejak ia dimasukkan ke dalam ruang interogasi di mana ia berada saat ini― akan keluar dan kembali setengah jam kemudian. Tentu saja dengan pertanyaan yang sama.

“Ya,” jawab Lambert dengan bosan.

Sang penanya, seorang interogator berperawakan tinggi gemuk, tampak tidak begitu terpengaruh. Ia kembali mengulangi pertanyaannya seperti sebuah ritual. 

“Berapa lama lagi aku harus berada di sini? Pertemukan aku dengan Damian Han sekarang!” seru Lambert yang sudah berada di batas kesabarannya.

Tanpa diduga-duga interogator itu menggebrak meja di depannya dengan sangat keras. Lambert terkejut, namun ia masih bisa menyembunyikan emosinya itu. “Kau pikir aku tidak bosan, hah?! Jika kau mengatakan sesuatu yang benar di sini, akan kupastikan semuanya akan berakhir dengan cepat!” teriak interogator itu. 

“Sesuatu yang benar? Bukan sesuatu yang ingin kau dengar?” tanya Lambert dengan mencibir.

Pria bertubuh tinggi gemuk itu tampak geram. Ia baru saja akan melayangkan tinjunya ke arah Lambert saat tiba-tiba pintu ruangan gelap tempatnya berada dibuka dengan keras. Bahkan mungkin tidak berlebihan jika mengatakan pintu itu dibanting dengan keras. Pria itu berhenti. Kini ia tampak seperti ketakutan. Dengan cepat pria itu berdiri tegak dan memberi hormat pada sosok di anggang pintu ruangan itu. Lambert tidak dapat melihatnya dengan jelas karena pria itu membelakangi ruangan yang sangat terang, sedangkan ia sudah terbiasa dengan keadaan temaram di dalam ruangan itu.

“Hentikan, Jig,” kata sosok itu. 

Pria bertubuh tinggi gemuk itu tampak bergetar di tempatnya. “Sa―saya minta maaf, Tuan Damian,” kata pria bernama Jig itu.

Sosok yang berdiri di ambang pintu itu melangkah masuk. Ia menepuk tangannya dua kali. Cahaya temaram yang menerangi ruangan itu perlahan makin terang. Perlahan-lahan sosok yang masuk ke dalam ruangan itu mulai terlihat.

“Namaku Damian Han,” kata sosok itu, yang kini tampak sebagai seorang pria yang berperawakan tinggi ramping. Sosok itu memakai setelan jas resmi. Rambutnya telah putih seluruhnya. Tidak ada cambang, janggut atau kumis di wajah pria itu. Beberapa kerutan menghiasi wajah yang tampak keras itu. Sorot matanya menatap tajam ―nyaris terlihat angkuh― pada Lambert. Ia melihat Lambert dari ujung kaki ke ujung kepalanya, dan kembali ke ujung kakinya.

“Anda Damian? Pimpinan kota ini?” tanya Lambert.

“Sopan berbicara padanya!” seru Jig pada Lambert dengan emosi, tetapi emosi itu segera terhapus begitu saja begitu ia melihat Damian mengangkat tangannya dan menyuruhnya keluar.

Damian menunggu hingga Jig meninggalkan ruangan itu dan menutupnya dari luar. “Jadi, kata Anda ada surat dari Albert untukku?” tanya pria itu.

Lambert mengangguk. Ia mengambil sebuah amplop dari dalam jaketnya. “Aku berusaha keras agar surat ini tidak diambil anak buahmu. Masih tersegel seperti sedia kala,” kata Lambert. Ia berdiri dan menyerahkan amplop itu pada Damian. 

Damian menerima amplop itu dan melihatnya sekilas. Ia tahu simbol segel lilin yang terdapat di surat itu. “Ini memang surat dari anak bodoh itu. Dan surat ini memang masih tersegel. Setidaknya aku bisa mempercayai itu untuk saat ini,” kata Damian. Ia menarik sebuah kursi lain di dalam ruangan itu menuju meja yang digebrak oleh Jig tadi. Ia kemudian duduk di kursi itu dan mulai membuka surat yang diserahkan Lambert dengan santai. Ia mengambil sebuah kotak berisi kacamata dari dalam saku celananya dan mulai memakainya.

Lambert belum kembali beranjak ke kursinya. Ia menatap sosok pria yang sekilas tadi terlihat angkuh itu. Saat ini ia tampak tidak jauh berbeda dengan adiknya. 

Damian memiliki intuisi yang cukup tajam. Ia merasa benar kalau ada sesuatu yang dipikirkan oleh pria di depannya saat ini. Ia melirik Lambert dari sela-sela kacamatanya. “Ada masalah?” tanyanya.

“Tidak. Aku hanya melihat Anda sangat tidak berbeda dengan adik Anda,” jawab Lambert.

Damian tertawa terbahak-bahak begitu ia mendengar kata-kata Lambert. “Kalau orang biasa berani mengatakan itu padaku, maka aku pasti akan menghajarnya saat ini juga hingga menjadi bubur. Tetapi karena adik kurang ajar itu berani mengirim surat ini dan juga orang sepertimu sebagai kurirnya, kuanggap kau orang yang di luar kebiasaan,” kata Damian.

“Untuk kata-kata itu juga Anda tidak jauh berbeda dengan adik Anda,” kata Lambert lagi.

Damian tersenyum. “Kami berasal dari kandungan yang sama. Jelas saja kami sama,” katanya sambil kembali mengalihkan pandangannya ke surat yang kini telah terbuka di tangannya.

Beberapa menit berlalu dalam hening. Surat yang dikirimkan oleh Albertino Han ternyata tidak hanya satu lembar saja. Kali ini Damian sedang membaca lembar ke empat. Dan sepertinya masih ada tiga lembar lagi yang belum dibacanya. 

Seakan mengetahui pria di depannya sudah merasa bosan, Damian menurunkan surat yang dibacanya dan menatap pada pria itu. “Tuan Lambert, bukan? Aku telah membaca sebagian besar penjelasan tentang Anda melalui surat ini. Maaf kalau ini membuat Anda bosan, ini adalah sebuah keharusan yang harus kami lakukan untuk menjaga keselamatan kerajaan kami,” kata Damian. Ia berhenti sejenak dan memperbaiki posisi duduknya. “Baiklah. Panacea? Anda tahu benda itu tidak seharusnya diketahui orang yang tidak berkepentingan bukan?”

Tidak berkepentingan, ulang Lambert dalam hatinya.”Aku mengetahuinya dari ayah angkatku, Conrad von Hermann,” jawabnya singkat.

Seperti teringat sesuatu, Damian menjentikkan jarinya. “Ah! Aku ingat. Jenderal besar Adventa yang mengkhianati bangsanya sendiri. Aku menolongnya saat itu,” kata Damian. Ia memajukan badannya ke depan dan meletakkan tangannya ke depan meja. “Tapi itu bukan yang ingin kudengar,” kata Damian dengan suara rendah yang berat. Sosoknya yang tampak tenang kini tampak seperti seekor anjing yang siap menerkam.

Lambert merasa tidak ada alasan lagi menyembunyikan fakta dari pria itu. Semakin lama ia di tempat itu, keberadaan rombongannya yang berada di atas kapal akan semakin terancam. “Faux Ciel,” jawab Lambert singkat.

Mata Damian melebar. Satu kata itu cukup membuatnya menjadi sangat serius. Ia memajukan badannya semakin ke depan. “Kau tahu banyak tentang itu?” tanyanya dengan suara datar yang menekan.

“Ya,” jawab Lambert singkat. Ia tidak merasa terintimidasi sama sekali.

“Berarti kau tahu segalanya tentang kerajaan kami?”

“Aku ingin pergi menuju Pintu,” jawab Lambert.

Damian tertawa. Awalnya hanya seperti suara gumaman, namun semakin lama semakin besar, hingga akhirnya ia terdengar seperti berteriak. “Pintu katamu?! Benda itu sudah tidak terlihat lebih dari tujuh ratus tahun! Bagaimana bisa kau yakin benda itu masih ada di kerajaan kami?!” kata Damian dengan suara keras.
“Aku membawa Kunci dan Dia Yang Akan Membuka Pintu,” kata Lambert lagi.

Kali ini Damian terkesiap. Ia berdiri dari tempat duduknya dengan tiba-tiba sehingga kursinya terbanting ke belakang. Matanya membelalak, menatap tidak percaya pada pria di depannya saat ini.

“Kunci? Sang Pembuka Kunci?” tanya Damian. Suaranya terdengar seperti menggeram.

“Ya. Waktunya sudah tiba, Tuan Damian,” jawab Lambert.

“Apa kau tahu apa yang akan terjadi pada dunia ini bila hal itu terjadi, hah?!” teriak Damian sambil menggebrak meja di depannya.

“Akan lebih buruk lagi bila Adventa yang memperloeh akses ke pintu itu saat ini. Arron telah dihancurkan. Bukan masalah sulit untuk kemajuan teknologi mereka untuk menghancurkan tempat ini dan menyerbu kerajaan kalian, Levitia. Bukan dengan tanpa tujuan nama kerajaan itu adalah Levitia. Benar, bukan?” kata Lambert.

“Hari Perjanjian masih belum saatnya! Hari itu masih ada setahun lagi dan kau telah membawa keduanya ke tempat ini?! Apa kau ingin memancing kekacauan di tempat ini ―ah, bukan! Ke seluruh dunia ini!” seru Damian.

“Jika bukan aku yang melakukan, Adventa yang akan melakukannya. Jika pintu itu mereka tarik ke tempat mereka, maka hanya mereka yang akan selamat. Jika sang Pembuka Pintu melakukan hal yang tepat, maka semuanya akan selamat,” kata Lambert mantap.

“Dan jika tidak, bukan hanya dirinya sendiri, tetapi seluruh dunia ini akan terlempar ke batas antardimensi dan hancur! Apa kau sudah gila!?” teriak Damian.

“Aku siap untuk melakukannya,” jawab Lambert.

“Lalu bagaimana denga anak muda yang bersamamu?!”

Lambert diam. Ia hanya menatap purus ke depan.

Damian menghela napasnya. Ia sadar telah membiarkan dirinya dikuasai emosi sesaat tadi. “Karena mengingat siapa kau, aku memutuskan untuk melepaskan kalian. Jika kalian memang ingin memakai Pintu, datanglah setahun lagi,” katanya.

“Raja Edward dari kerajaan Adventa telah mengambil langkah pertama tanpa siapapun menyadarinya. Orang gila itu telah menarik Advano padanya, membuat mereka memilihnya sebagai yang terpilih untuk diselamatkan. Jika terjadi demikian, dan sang Kunci dibawa olehnya, maka ia bisa memilih siapapun untuk membuka Pintu. Dan itu bisa kapan saja dilakukannya,” kata Lambert.

“Bahkan kerajaan itu tidak akan lolos dari aturan. Advano adalah pengatur dunia ini, dan mereka pasti akan menghukum mereka!” kata Damian.

“Dan yang menghancurkan kota yang dipimpin adikmu itu adalah Advano,” kata Lambert.

Damian mengernyit. “Bagaimana mungkin itu terjadi?” katanya.

“Mereka telah menetapkan secara sepihak siapa yang akan mendapatkan Kunci itu. Mereka telah menetapkan sepihak pula sebuah hukum yang menetapkan kematian bagi siapa yang harusnya menjadi sang Pembuka Kunci yang sejati. Tetapi takdir manusia lebih dalam dari yang diperhitungkan mereka. Kedua orang tua bocah itu terbunuh, tetapi dia sendiri selamat. Aku membawanya ke tempat ini,” kata Lambert.

“Bagaimana bisa kau yakin?” tanya Damian.

“Dia berkata pernah bertemu dengan sang Kunci, bahkan sebelum sang Kunci sendiri dilahirkan. Sang kunci memilihnya. Dialah yang akan membuka jalan bagi manusia,” jawab Lambert.

Damian mengelengkan kepalanya. “Legenda itu masih belum genap, Lambert. Aku tidak bisa mengambil resiko,” kata Damian.

“Legenda itu berkata saat sang Kunci dan sang Pembuka Pintu telah menyatu, maka Pintu akan meresponnya. Dan berkat serangan Advano saat itu, bocah itu telah menyatu bersama inti dari sang Kunci, meski hanya untuk sesaat. Aku yakin sekarang di Levitia ada sesuatu yang aneh yang terjadi,” kata Lambert.
Damian masih mengernyitkan dahinya. Ia ragu dengan pernyataan pria yang berdiri di depannya saat ini. Tetapi kenyataan bahwa seorang agen mata-matanya yang ia tempatkan di kota Ravena melihat sosok ular raksasa bersayap yang dikalahkan manusia berambut emas cukup untuk menggoyang keraguannya itu. 

“Tunggu di sini,” kata damian. Ia bergegas keluar dari ruangan itu dan menguncinya dari luar.

Lambert menunggu sampai Damian kembali ke ruangan itu. Dan itu terasa seperti berjam-jam!

“Aku tidak tahu bagaimana harus mengatakannya, tetapi apa yang kau katakan memang benar. Gempa besar telah terjadi di pegunungan barat laut Levitia. Penduduk setempat melihat sebuah sinar yang memancar dari dalam gunung itu. Apa kau yakin ini yang terbaik?” kata Damian.

“Mungkin kau ingin menunggu hingga raja gila itu memohon agar pintu itu bergerak ke kerajaannya?” kata Lambert sarkastik.

“Lebih baik untuk menyerahkan pintu itu kepada sang Kunci secara langsung daripada memberikannya pada orang itu,” kata Damian. Ia tersenyum. “Selamat datang di Levitia.”

Damian baru akan meninggalkan ruangan itu saat Lambert tiba-tiba mencegatnya. “Aku lupa menyampaikan sesuatu. Adikmu mengirimkan salam. Sepertinya dia ingin berdamai,” kata Lambert.

“Aku meragukan kesungguhannya, tapi terima kasih telah menyampaikan itu,” kata Damian. Sebuah senyum lembut tersungging di wajahnya.

***

“Kalian diizinkan berlabuh!” kata seorang prajurit kepada sang kapten kapal motor. Prajurit itu segera meninggalkan kapal motor itu begitu menyampaikan pesan yang baru diterimanya melalui radio panggil kepada sang kapten. Sesaat kemudian semua kapal yang mengepung kapal itu mulai bergeser dan meninggalkannya. Adam yang berada dalam kapal itu menghela napas lega. Sepertinya Lambert berhasil meyakinkan mereka. 

“Baiklah! Saatnya berlabuh. Penumpang sekalian, perhentian berikutnya adalah Klais!” seru sang kapten kapal dengan gembira.

Adam memaklumi kegembiraan kapten kapal itu. Pria dengan cambang yang sangat lebat dan berlengan besar itu pasti sudah nyaris depresi karena ia ditahan di dalam ruang kemudi dengan keadaan harus terus duduk dan ditodong senapan.

“Akhirnya kita lepas dari para perompak itu,” kata Adam.

Sang kapten tertawa terbahak-bahak. “Makanya aku tidak tinggal di tempat ini. Albertino dan Damian adalah saudara kandung yang sangat berbeda satu sama lain, termasuk kebijakan mereka,” kata sang kapten.

Kapal motor itu melaju kencang menuju ke dermaga sebelum akhirnya melambat dan merapat. Tepat saat mereka turun dari kapal itu, sebuah keanehan terjadi pada diri Eva. Ia tidak lagi tampak seperti gadis polos seperti biasanya. Bahkan suaranya berubah.

“Aku Kunci. Aku memanggil sang Pintu!” seru Eva saat ia menjejakkan kakinya ke dermaga.

[Jumlah Kata: 2544 ]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar