Selasa, 31 Januari 2012

Faux Ciel Bab 21 - Pintu Terbuka


Edward berjalan dengan gembira di sepanjang lorong istananya sejak pagi. Ia sengaja memamerkan tongkat kerajaannya agar semua orang menunduk padanya. Ia sangat senang melihat tidak ada lagi yang berani mengangkat wajahnya dan menatapnya dengan keangkuhan. Secepatnya ia harus mencari jenderal baru menggantikan jenderal yang telah dibunuhnya semalam.

Aku harus mencari pengganti orang itu secepatnya, pikir Edward. Seseorang yang patuh dan kuat. Kunci itu harus ku rebut kembali!


Pada saat itulah sesuatu di langit sebelah selatan menarik perhatiannya. Cahaya berwarna emas yang bahkan mengalahkan cahaya matahari bersinar ke langit. Perlahan-lahan cahaya itu membentuk sebuah pintu yang cukup besar untuk terlihat dari tempatnya. Matanya seketika membelalak. Meski jarak benda itu dengannya cukup jauh dan sulit melihat dengan jelas pintu itu, tetapi Edward mengenalinya dengan baik. Pintu itu adalah Pintu Faux Ciel. Pintu yang pernah ditunjukkan oleh para Advano padanya. Pintu yang seharusnya muncul setahun lagi dan menjadi miliknya sendiri. Dan kini pintu itu muncul di langit sebelah selatan tanpa kehadirannya.

Raja Edward segera berlari menuju ke ruangan di mana ia sering berkomunikasi dengan para Advano. Ia mengacungkan tongkat kerajaannya ke pintu itu, tetapi tidak terjadi apapun. Batu di ujung tongkat itu tidak bereaksi, demikian juga pintu itu. Ia kembali mengacungkan tongkat itu dengan emosi. Ia berteriak keras. Pada akhirnya tongkat itu menunjukkan perubahan. Tetapi berbeda dari biasanya, batu di ujung tongkat itu kini mengeluarkan sinar berwarna merah separti darah. Pintu di depan sang raja juga menunjukkan reaksi yang sama. Raja Edward bingung karena tidak pernah melihat reaksi seperti itu. Dan tiba-tiba saja batu itu meledak. Pecahannya melukai wajah sang raja. Tetapi sang raja tidak punya waktu untuk terkejut. Kini pintu di depannya meledak dan menghempaskannya di sepanjang lorong menuju pintu itu. Ia terjungkal dan berguling-guling. Saat ia telah terungkur, ia mengangkat wajahnya dan melitah ke dalam ruangan di balik pintu itu. Di dalam sana hanya ada kegelapan. Namun berbeda dari sebelumnya, di dalam sana tidak ada lagi kristal besar seperti yang sering dilihatnya.

Raja Edward segera berdiri dan berlari menuju ruangan itu. Ia memasukinya dengan tergesa-gesa tanpa merasa takut. Ia memiliki firasat buruk. Dan firasatnya benar. Meski kini ia berada di tengah ruangan besar itu, tidak ada tanda-tanda kristal penghubung antara dirinya dan kaum Advano. Mereka telah meninggalkannya.

Ia berteriak dengan marah. Ia berlari keluar dan kembali melihat pintu raksasa yang kini membuka. Ia berteriak semakin keras, sampai-sampai para pengawalnya memeganginya untuk mencegahnya merobek pakaiannya sendiri.

“Masukkan raja ke dalam penjara! Raja kita sudah gila!” kata seorang pemuda pada para pengawal yang memegangi sang raja.

Edward berbalik ke asal suara itu. Seorang pemuda yang yang tidak pernah ia lihat sebelumnya berdiri dengan lambang kekuasaan militer tertinggi di kerajaan itu, lambang seorang jenderal.
“Siapa yang menunjukmu menjari jenderal, anak muda?! Apa kau mau melangkahiku?!” seru Edward marah.

“Kami pihak militer telah melihat banyak keputusan yang tidak benar yang kau perbuat. Dengan ini kami mengambil alih kerajaan ini. Mulai hari ini, rakyat dan militer bersatu untuk menolakmu sebagai pemimpin mereka! Kami tidak ingin dipimpin oleh orang gila! Kerajaan Adventa berakhir saat ini!” kata pemuda itu. Ia melambaikan tangan untuk menyuruh pengawal-pengawal yang memegangi sang raja untuk segera membawanya pergi.

Edward meronta, namun tubuh tuanya tidak mampu mengimbangi kekuatan para pengawal itu. Ia berteriak di sepanjang lorong saat para pengawal itu menyeretnya menuju penjara. Para pengawal itu menariknya dengan susah payah, karena meski mereka lebih kuat dari sang raja, pria tua itu masih menimbulkan kesulitan dengan tendangannya yang mengganggu. “Kau tidak bisa memasukkan aku ke dalam penjara! Kalian tidak bisa melakukan ini padaku! Aku raja Edward, pemimpin tertinggi di Faux Ciel! Para Advano menjadi sekutuku. Aku―” Teriakannya terhenti oleh sebuah pukulan telah ke ulu hatinya. Seorang pengawal yang sangat marah mendengar teriakannya telah membuatnya pingsan dengan satu pukulan.

“Kami tidak mau lagi mendengar ocehanmu, raja gila!” kata pengawal yang memukul sang raja. Ia dan temannya kembali menyeret sang raja menuju ke penjara. Kali ini lebih mudah dari sebelumnya.

***
Pintu itu telah sangat dekat dengan Adam. Namun pria itu tiba-tiba berhenti. Ia terdiam sesaat dan berbalik.
“Ada apa? Apa kau ragu di saat-saat terakhir?” tanya sang Kunci dengan panik. Ketiga Advano yang berada di belakang mereka masih menatapnya. Sang Kunci berharap mereka tidak marah dan mengubah keputusan mereka. Jika itu terjadi, maka bahkan iapun tidak dapat menghadapinya.

“Bukan. Ada seseorang yang ingin kuajak bersamaku saat ini,” kata Adam. Matanya menatap pulau Klais dan kota yang dilindungi oleh Eva dengan perisainya.

Sang Kinci akhirnya mengerti. Ia mendengus. “Kukira kau berubah pikiran. Kalau begitu, cepatlah! Pergi dan jemput dia!” kata sang Kunci.

Dengan cepat Adam melesat ke arah kota itu, melewati ketiga Advano yang menatapnya dengan keheranan.
“Dia tidak membuka pintu itu?” tanya Farros.

“Apa dia berubah pikiran di saat terakhir dan memilih diam di dunia ini? Kalau benar, maka dia menghina kita!” kata Darra.

“Bukan,” kata Barazza. “Dia menjempit gadisnya. Lihatlah!” katanya sambil menunjuk ke arah kota di bawah mereka.

Kedua Advano lainnya akhirnya mengerti. “Ah, cinta rupanya,” kata Farros. “Benar juga. Itu adalah kekuatan terbesar manusia.”

“Dia tidak akan bisa membuka pintu itu tanpa kekuatan terbesarnya. Pilihan bagus, Manusia,” kata Darra.

***

Sierra masih tidak mengerti apa yang terjadi. Ia memandang segalanya dengan bingung. Tetapi hati kecilnya berkata segalanya telah berakhir.

“Sepertinya Adam berhasil,” kata Sierra.

“Bagaimana kau yakin?” tanya Lambert. Mata pria itu masih menatap pada ketiga Advano di kejauhan dan Eva yang masih melayang di langit. Tiba-tiba saja tubh Eva kembali bersinar. Dengan perlahan tubuh gadis itu kembali turun ke tanah.

“Aku hanya tahu. Aku mempercayainya,” kata Sierra sambil tersenyum lebar.

Lambert menatap wajah Sierra. Gadis itu tampak sangat segar dan cerah. Iapun ikut tersenyum. “Cinta, ya?” katanya. Sesaat kemudian Eva telah berdiri di depannya. Ia segera merangkul gadis yang tertidur itu sebelum ia terjatuh. Wajah Sierra tampak merona merah. Ia salah tingkah.

“Eh? Ke―kenapa Anda bepikir seperti itu?” tanya Sierra gugup.

Lambert tertawa.

“Aku ini bukan orang yang tidak peka sepertinya. Aku tahu itu sejak awal. Dan sepertinya diapun sama. Lihat, dia datang menjemputmu,” kata Lambert sambil menunjuk ke langit.

Sierra mengikuti arah yang ditunjuk oleh pria itu. Sosok Adam dengan sayap elang berwarna emas tampak gagah. Dengan perlahan pria itu turun. Tangannya terulur padanya. Ia tersenyum. Sierra pun tersenyum. Tanpa ragu ia menyambut tangan pria itu. Dengan sebuah sentakan lembut Adam menariknya. Sedetik kemudian ia terangkat dari tanah.

Sierra merasa takut karena ia tidak memijak apapun, tetapi Adam memegang erat tanganya. “Jangan takut. Kau masih ingat janjiku untuk membawamu terbang bersamaku?” kata Adam. Ia menatap lembut pada gadis itu.

“Ku―kupikir bukan secara nyata seperti ini,” kata Sierra. Suaranya terbata-bata. Setengah karena takut, setengah lagi karena gugup bersentuhan dengan pria yang dicintainya sejak kecil itu.

“Yah, kupikir juga dulu bukan secara nyata. Tetapi terbang bersamaku tidak buruk juga, kan?”
Sierra tersenyum. “Kau benar,” katanya sambil memegang erat tangan Adam.

Adam menarik tangannya. Dengan segera Sierra berpindah ke dalam pelukannya. Gadis itu terkejut, namun ia tidak punya pilihan lain selain pasrah.

“Begini lebih aman. Sebaiknya kau juga memelukku dengan erat. Kita berada di ketinggian, lho?” kata Adam. Matanya menatap lurus ke arah pintu besar di depan sana.

Sierra semakin terpesona memandang wajah pria yang memeluknya itu. Cahaya matahari lembut dan cahaya yang terpancar dari dirinya membuat wajahnya tampak sangat hidup. Rambutnya yang terkibar karena angin tampak begitu gagah. Otot-otot yang merangkulnya saat ini terasa sangat kokoh dan di saat bersamaan sangat lembut mendekapnya. Sierra semakin mencintai pria itu. Iapun merangkulkan tangannya pada pria itu.
“Akan kubalas kau karena membuatku melakukan ini,” kata Sierra dengan nada bercanda.

“Balas saja saat kita kembali ke Bumi,” balas Adam.

Keduanya tersenyum saat mereka melesat menuju ke pintu itu. Seluruh tubuh Adam bersinar semakin terang. Pintu di depanya menanggapi dengan cara yang sama. Dan akhirnya Adam menembus pintu itu seolah pintu itu tidak berada di sana. Sesaat setelahnya seluruh langit yang terlihat di Faux Ciel berubah. Kini di seluruh penjuru dunia itu langit berganti dengan sebuah pemandangan baru. Di atas sana terdapat tanah yang lebih hijau dari dunia di bawahnya. Laut yang luas  da juga burung-burung yang terbang dengan bebas. Di seluruh penjuru dunia semua manusia mulai terangkat dari tanah menuju tanah baru di atas kepala mereka itu. Beberapa terkejut, beberapa gembira. Tetapi satu yang pasti: mereka menuju ke tempat yang lebih baik.

Lambert menatap dunia itu untuk terakhir kalinya saat ia terangkat. Baru kali itulah ia melihat bahwa sebenarnya Fauz Ciel adalah sebuah piringan raksasa yang terdiri dari lima buah benua dan pulau-pulau kecil. Laut tampak bergelora di pinggiran piringan itu, tetapi tidak tertumpah keluar dari piringan itu sedikitpun. Ia mengingat ayahnya. Air matanya tanpa sadar mengalir.

“Ayah, aku pergi. Terima kasih atas semua yang telah kau lakukan padaku,” kata Lambert. Ia menatap tanah baru yang semakin terlihat dekat itu dengan air mata yang berurai.

Kehidupan manusia yang baru akan mereka songsong di tempat yang semestinya, Bumi yang baru.


[Jumlah kata: 1452]



TAMAT



Tidak ada komentar:

Posting Komentar