Minggu, 15 Januari 2012

Faux Ciel Bab 12 - "Kembalikan Setelah Kamu Kembali"

Sudah lebih dari tiga jam Eva terus menangis tanpa henti. Sudah selama itu pula Adam berada di sebelahnya, memeluk gadis itu untuk membuatnya tenang. Tetapi gadis itu masih menangis, meski kini sudah tidak sekeras sebelumnya. Tiga jam ini adalah waktu yang menyiksa bagi Adam. Bukan karena ia membenci kemanjaan Eva ― ia mulai terbiasa dengan hal itu. Tetapi selama tiga jam ini semua kenangan sedih yang dulu ditekannya hingga terlupakan kembali bangkit. Dimulai dari saat ia bertemu dengan gadis kecil berambut keemasan ― yang dinamainya Eva ― di dalam gua waktu itu. Ingatannya berjalan mundur ke saat-saat terakhir kedua orang tuanya. Juga bagaimana ngerinya kekejaman para Advano yang dilihatnya. Seharusnya semua itu sanggup membuat seorang pria menangis, tetapi air mata sudah lama tidak mengalir dari mata Adam. Cairan itu sudah lama mengering dan ia sudah kehilangan alasan untuk menangis. 

Eva terus menangis, sesekali sesengukan, sesekali menangis dengan keras dan memilukan. Tiap kali Adam mengingat hal-hal yang buruk di dalam hidupnya, tiap kali pula Eva menangis dengan pilu. Seakan-akan gadis itu menggantikan dirinya yang sudah tidak bisa lagi menangisi kesedihan dan kepedihan.
“Apa kau menangis untukku lagi?” tanya Adam.

Eva menatapnya dengan mata yang nanar. Ia mengangguk pelan menjawab pertanyaannya. Adam menghela napas. Gadis itu memang tidak berubah sama sekali.

“Sudah kukatakan dahulu, bukan? Jangan lakukan sesuatu yang menyusahkanmu hanya untuk orang lain sepertiku,” kata Adam.
“Tapi kamu bukan orang lain. Kamu Adam,” kata Eva.
Adam terkejut. Ia menoleh dengan tatapan heran pada Eva. Baru kali ini ia mendengar suara gadis itu.
“Kau bisa berbicara normal?”
“Iya,” jawab gadis itu dengan polosnya.

Adam menepuk dahinya dengan keras. “Ya ampun. Kau tahu betapa inginnya Sierra mendengarmu bicara? Dia tidak tahu harus melakukan apa saat bersamamu karena kau tidak mau bicara!” katanya.

Eva terkejut mendengar suara keras pria itu. Seperti anak kecil yang dimarahi, gadis itu mulai terisak-isak kembali. “Tapi… tapi…” Hanya itu yang diucapkannya sebelum gadis itu mulai menangis lagi.

Adam yang sudah berada di batas kesabarannya mengacak-acak rambutnya sendiri. Sifat Eva bagi beberapa orang mungkin bisa dikatakan imut atau lucu dengan segala kepolosannya. Tetapi melihat gadis itu yang menangis nyaris tanpa henti selama tiga jam ini semua orang pasti akan setuju dengan Adam: Eva adalah gadis yang terlalu kekanak-kanakan dan cengeng. “Ya, ya, aku salah. Jangan menangis setiap kali ada yang berteriak keras padamu,” katanya.

Tetapi gadis itu tidak mau berhenti menangis. Adam berdecak. Ia kembali memeluk gadis itu dan mengelus kepalanya. “Sekarang kau mau tenang, kan?”

Cara itu berhasil membuat Eva sedikit tenang. Adam menghela napas lega. Tapi baru saat itulah ia merasakan badan gadis itu bergetar. “Badanmu kenapa? Sepertinya kau kurang makan ya?” kata Adam sambil mendorong gadis itu keluar dari pelukannya. Ia memegang kedua pundak gadis itu dan menatapnya dengan khawatir.

Eva mengeleng dengan kuat. Adam bisa melihat gadis itu berusaha untuk tampak tegar. Dalam keadaan seperti ini, sosok Eva malah mengingatkannya pada sosok Sierra kecil yang menangis.

“Jika seperti ini terus, Sierra tidak akan berhenti marah-marah. Aku tidak tahu apa alasannya, tetapi setiap kali melihatmu bermanja-manja padaku kulihat dia kesal. Sebaiknya kau membantuku supaya dia tidak marah lagi, atau kita semua bisa diusirnya dari sini. Kau mengerti, Eva?” kata Adam dengan suara selembut mungkin seperti berbicara pada anak kecil. Ia tidak mau gadis di depannya itu menangis lagi.

“Sierra tidak marah padamu. Sierra marah padaku,” jawab Eva.
Adam mengernyit. “Maksudnya?”
“Ada Adam belum menyadarinya?” tanya Eva polos.
“Menyadari apa?”
“Kalau begitu aku tidak akan mengatakannya. Hal ini adalah hal yang harus kamu sadari sendiri. Aku tidak boleh ikut campur,” jawab Eva.
“Kau tidak mau mengatakannya padaku?”

Eva menggeleng dengan sungguh-sungguh. Rambut emasnya yang lembut ikut bergoyang. “Tidak boleh. Tapi kalau Adam tidak menyadarinya dengan segera nanti bisa terlambat,” kata gadis itu.

“Kau mau membuatku penasaran, ya? Tadi kau menangis tanpa sebab. Tidak mau ditemani siapapun kecuali aku. Dan kini kau tidak mau memberitahukan sesuatu yang berhubungan denganku?”

“Itu adalah dua hal yang berbeda,” jawab Eva.

“Lalu apa alasanmu menangis kalau bukan ingin mencari perhatian?”

Eva membenarkan posisi duduknya. Kali ini ia menatap serius pada Adam. Tanpa bicara ia mengarahkan tangan kanannya dan menyentuh dada pria itu. Dari ujung jarinya muncul cahaya berwarna putih. Adam tampak tidak terlalu terkejut melihat itu, karena selama ini banyak hal yang tergolong ajaib telah dilakukan oleh gadis itu.

“Apa lagi sekarang?” tanya Adam. Ia tenang-tenang saja melihat Eva melakukan sesuatu seperti itu.

“Lihatlah,” jawab Eva singkat.

Seketika suasana kamar Adam berganti dengan langit malam. Ia dan Eva melayang di langit, sedangkan ribuan bintang terbentang di atas kepalanya. Di bawah sana terhampar lautan luas. Tetapi ada yang aneh di permukaan laut saat ini. Puluhan cahaya berkelap-kelip tampak berjajar rapi dengan kecepatan yang stabil. Adam memicingkan matanya untuk mengenali cahaya-cahaya itu. Namun saat ia tahu darimana cahaya itu, mata pria itu membelalak.
“Kapal induk?!”

“Bukan kapal induk biasa. Itu kapal induk dari Adventa. Dan tujuannya adalah ke tempat ini. Mereka ingin menghancurkan tempat ini karena mereka tahu aku di sini. Aku menangis karena sedih, aku membawa masalah ke pulau ini,” jawab Eva.

“Kupikir kota ini mampu mempertahankan dirinya. Lagipula ada atau tidaknya dirimu di sini mereka suatu saat nanti akan menyereng tempat ini.”

Eva mengeleng lemah. “Lihat bintang aneh berwarna emas di atas mereka?” tanyanya sambil menunjuk ribuan bintang yang terhampar di atas mereka.

Adam kembali melihat ke atas. Ia baru menyadari ada bintang aneh yang bergerak perlahan di atas iring-iringan kapal itu. Perasaannya seketika menjadi tidak enak.

“Itu Advano. Mereka mengejarku,” kata Eva mempertegas kecurigaan Adam.
Adam menoleh pada gadis itu. “Ulangi sekali lagi?”

“Itu Advano, Adam. Manusia biasa tidak bisa melawannya. Aku juga tidak bisa melawannya secara langsung karena kekuatanku tidak stabil dan hanya separuh. Tetapi kalau kita bersatu, semuanya bisa terjadi,” jawab Eva.

“Aku tidak mengerti,” kata Adam tegas.
“Kumohon, Adam. Kita harus bersatu,” kata Eva.
“Bersatu bagaimana? Mana mungkin manusia bisa bersatu selain…” Kata-kata Adam berhenti. Ia tidak mau mengatakannya, tetapi sepertinya gadis itu mengerti. Wajahnya yang putih tampak bersemu merah.
“Bu―bukan bersatu seperti itu! Pikiranmu memangnya hanya itu saja, ya?” kata Eva.
“Lalu bagaimana lagi menyatukan manusia selain menikah dan beranak pinak?”

“Ambil saja kekuatanku! Itu maksudku!” seru Eva dengan suara berteriak yang malah terdengar lucu mengingat wajahnya sudah semerah udang rebus.

Adam menghela napas dan kembali fokus. “Baiklah. Kita harus bersatu, kalau itu istilahmu.”

“Bukan dengan cara seperti itu!” potong Eva.

“Iya, iya, aku mengerti! Sekarang bagaimana? Mengambil kekuatanmu bagaimana?”

Eva menarik napas perlahan. “Lihat rambut emas yang kumiliki dan mata merahku? Hanya itu yang terlihat seperti Advano. Tetapi aku sepenuhnya manusia biasa. Jika kekuatan Advano ini kuberikan padamu yang kupilih, maka kamu akan mampu mengalahkan Advano sekalipun. Bahkan membuka pintu yang kamu lihat di dalam mimpimu itu pun bisa kamu lakukan,” kata Eva dalam satu helaan napas.
“Jadi aku harus menjadi seperti Advano untuk mengalahkan Advano?”

Eva mengangguk dengan mantap.

Adam tertawa kecil. “Aku harus menjadi seperti musuhku untuk mengalahkan musuhku. Ironis sekali.”

“Tidak ada jalan lain, Adam. Hanya itu caranya. Kumohon kamu mengerti.”
Adam masih ragu. Dalam hatinya ada pertentangan hebat. Apapun yang terjadi ia sangat tidak ingin melakukan yang dikatakan Eva. Berusaha keras tidak menganggap gadis itu sebagai Advano saja sudah sangat susah. Apalagi jika menjadi sama dengan mereka yang dibencinya?

“Jika kukatakan ini demi Sierra, apa kamu mau menerimanya, Adam?” desak Eva.

“Sekarang kau membawa-bawa nama Sierra. Apa kita tidak bisa mengandalkan tentara dan Lambert saja?”
Eva menghela napas panjang. Ia menjentikkan jarinya. Kini mereka berada di sebuah tempat yang gelap. Batu-batu tersusun rapi di sekitar mereka. Satu-satunya penerangan di tempat itu adalah beberapa obor yang terpisah berjauhan. Adam memandang sekelilingnya dan akhirnya tahu tempat apa itu. “Ini benteng, bukan? Aku pernah melihat benteng kota ini. Lalu ada apa dengan benteng ini?”

“Apakah tidak aneh melihat tempat ini sangat sepi?” tanya Eva. “Seharusnya tempat ini dipenuhi tentara, tetapi kini yang terlihat hanya tembok yang sepi.”

“Apa mungkin mereka kembali ke barak?”

Eva menjentikkan jarinya lagi. Kini pemandangan di sekitar mereka berganti menjadi sederet tenda yang sepi. “Tempat ini juga sepi,” kata Eva.

“Mungkin mereka pergi ke kota?”

Eva berjalan salah satu tenda dan menunjukkan apa yang ada di dalamnya. “Ini yang terjadi,” katanya. Adam melihat apa yang ditunjukkan oleh gadis itu.

Adam terkejut. “Mayat?!”

“Bukan cuma di sini, tapi nyaris di semua tempat. Satu persatu mereka dibunuh malam ini. Jika tidak bertindak segera semuanya akan terlambat!” kata Eva nyaris menangis.

Tepat di saat itu di langit mulai tampak cahaya-cahaya berbentuk bola yang melayang di langit. Eva memandang langit dan tersenyum kecut. “Sudah saatnya,” kata gadis itu. Ruangan di sekitar mereka seketika berubah kembali ke ruangan kamar Adam.

“Lalu apa yang harus kulakukan untuk melawan mereka?” tanya Adam.

Eva memejamkan matanya. Ia mengangkat tangan kanannya. Di dalam telapak tangannya terbentuk sebuah bola cahaya kecil berwarna emas. Semakin lama bola itu semakin besar hingga sebesar kepalan tangannya.

“Ini adalah kekuatanku,” kata Eva. Ia membuka matanya. Tetapi ada yang beda dengan mata Eva saat ia membuka matanya.

“Eva, matamu berubah,” kata Adam. Mata merah Eva yang dilihatnya kini berubah menjadi hitam kelam.

“Tidak usah pedulikan hal seperti itu sekarang. Ambil bola cahaya ini dan letakkan di dadamu,” kata Eva.

Tiba-tiba terdengar desingan seperti desingan peluru dalam jumlah banyak. Adam dan Eva terkejut. Namun belum selesai keterkejutan mereka, ledakan demi ledakan silih berganti terjadi menyusul desingan peluru itu.
“Tidak ada waktu lagi! Selama cahaya ini tidak padam kita akan menang!” kata Eva. Ia mendorong bola di tangannya ke dada Adam dengan paksa. Setelah bola itu masuk ke dalam dada pria itu ia tersenyum. “Bertahan hiduplah dan kembalikan itu padaku.”

Adam merasakan seluruh tubuhnya seperti dialiri kehangatan yang menyenangkan. Kehangatan itu mengalir perlahan dari dadanya ke seluruh tubuhnya. Bersamaan dengan itu, cahaya berwarna keemasan tampak memancar dari dadanya dan melingkupi seluruh tubuhnya. Baju yang dikenakannya hancur seperti terbakar, tetapi kulitnya tidak terbakar sama sekali. Adam merasakan kegembiraan menjalar ke seluruh tubuhnya. Ia tidak pernah menyangka kekuatan Advano bisa membuatnya segembira ini.

“Apapun yang terjadi, jangan sampai terjatuh dalam kesombongan, Adam,” kata Eva. Rambut emasnya perlahan berubah menjadi hitam. Saat seluruh rambutnya telah berganti warna, gadis itu mulai menjadi oleh dan akhirnya jatuh pingsan. Adam bergegas menangkap gadis itu dan membaringkannya di tempat tidurnya.

“Aku mengerti, Eva. Aku akan segera mengalahkan mereka,” kata Adam. Ia berbalik hendak menuju ke pintu kamarnya. Saat itulah ia melihat sosok Sierra yang telah berdiri mematung di depan pintunya.

“Si, siapa kau?!” teriak Sierra ketakutan.
“Kau bicara apa, Sierra? Ini aku, Adam!”
“Adam bukan Advano sepertimu!”

Adam mengernyit. Ia mengingat ada sebuah cermin kecil di dalam kamar itu yang tergeletak di meja. Selama ini ia biasa menelungkupkan cermin itu karena tidak suka melihat sosoknya yang penuh luka. Tetapi kini ia membalik cermin itu. Ia memandangi cermin itu dengan tidak percaya. Yang dilihatnya bukan sosok dirinya yang penuh luka, tetapi sesosok pria tampan berhambut emas hingga sepinggang. Matanya berwarna merah. Semua lukanya sembuh. Kulitnya bercahaya.

 “Aku… menjadi Advano?”

Sierra tidak mengerti apa yang dikatakan sosok asing itu. Yang pasti sosok itu bukanlah Adam. Lalu di mana Adam? “Kau apakan Adamku!?” seru Sierra. Ia mengambil sebuah kursi kayu dan menyerang sosok asing di depannya. Kursi itu hancur, namun tampaknya sosok itu tidak merasakan apapun. Sierra terkejut. Ia merasa takut dan gemetar. Di saat itulah ia melihat sesosok gadis berambut hitam di atas tempat tidur Adam. Rambutnya mungkin berwarna hitam, tetapi Sierra mengingat betul wajah kekanak-kanakan dari gadis itu.

“Eva?” tanya Sierra bingung.

“Sekarang kau sudah tenang, Sierra? Aku pun sebenarnya tidak tahu apa yang terjadi, tetapi jika kita tidak melakukan sesuatu, maka seluruh kota ini akan musnah. Adventa menyerang tempat ini untuk merebut Eva, dan Eva menyerahkan kekuatannya padaku,” kata Adam.

“Buktikan jika kamu Adam!” seru Sierra masih tidak percaya.

“Apa menu yang kau siapkan malam ini?”

“Pasta dan roti bagel seperti biasa! Roti bagel dengan taburan biji wijen dan krim keju!” jawab Sierra.

Mendengarkan menu yang lezat itu perut Adam bergemuruh keras. Sierra terkejut. Reaksi itu hanya Adam yang punya. Hanya pria itu yang sangat tergila-gila pada bagel buatannya hingga sanggup makan roti itu dengan jumlah di atas sepuluh. Bahkan dengan menyebut nama roti itu saja sanggup membuat perutnya bergemuruh.

“A… Adam?” tanya Sierra tidak percaya.

“Kau percaya padaku setelah mendengar suara perutku?”

“Hanya Adam yang akan kelaparan setiap kali mendengar kata bagel,” kata Sierra tersenyum.

Saat itu ledakan kembali terjadi. Kali ini ledakan itu terjadi sangat dekat dengan tempat mereka. Kaca jendela kamar itu hancur akibat ledakan. Dengan secepat kilat Adam memakai punggungnya sendiri untuk mencegah pecahan kaca dari jendela itu menyentuh Sierra dan Eva. Namun tak urung beberapa serpihan kayu yang menyusun langit-langit kamar itu jatuh dan mengenai mereka.

“Sebaiknya kalian segera pergi dari tempat ini. Tempat ini sudah berbahaya,” kata Adam.

Sierra mengangguk. Ia berdiri dan memeluk Adam erat-erat. “Kembalilah dengan selamat setelah melakukan apa yang harus kamu lakukan. Ada kami yang menunggumu pulang,” katanya.

“Aku mengerti,” kata Adam.

Sierra menatap wajah pria itu. Matanya yang kini berwarna merah masih tampak menawan. Ia sudah lupa kemarahannya tadi. Sosok di depannya kini adalah pria yang sejak dulu disukainya, bukan seorang Advano yang dibencinya.

“Ada apa?” tanya Adam.

Tanpa diduga-duga Sierra mendekatkan bibirnya ke bibir pria itu. Dengan sangat cepat ia memberikan sebuah ciuman singkat padanya. “Anggap saja aku menitipkan sesuatu padamu. Kembalikan saat kamu kembali dengan selamat,” kata Sierra sambil tersenyum manis. Ia bergegas mengangkat Eva dan berjalan menuju lantai bawah tanpa menoleh lagi dan mengatakan apapun pada Adam.

Adam hanya bisa membisu. Ia berusaha mencerna apa yang terjadi. Ia melindungi Sierra dan Eva, Sierra memeluknya, dan kemudian menciumnya. Nyaris tidak bisa dipercaya. Dan lagi sepertinya gadis itu memintanya “mengembalikan” itu padanya? Tunggu! Apa maksudnya Sierra menitipkan bibirnya? Adam menggeleng-geleng dengan kuat. Bukan saatnya berpikir seperti itu, Adam! Musuh ada di luar! Tetapi ia tidak kuasa menahan senyum sumringah yang tersungging di wajahnya. Ia teringat sesuatu yang dikatakan Eva. Sedikit demi sedikit ia mulai mengerti. Tetapi diam di tempat dan merangkai semuanya akan membuang waktu untuk menyelamatkan kota itu dari serangan. 

“Akan kupikirkan nanti. Saat ini yang penting menghentikan serangan musuh dulu,” kata Adam sambil melompat keluar melalui jendela kecil kamar itu yang telah rusak akibat ledakan. Tanpa ia sadari sebuah sayap berwarna emas muncul di punggungnya. Adam melihat kedua sayap itu, dan saat menyadarinya ia mengepakkan sepasang sayap itu dan terbang ke langit. 


[Jumlah kata: 2349]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar