Kamis, 26 Januari 2012

Faux Ciel Bab 17 - Ketenangan Menjelang Badai

Raja Edward sedang gelisah. Sudah lebih dari dua hari ia tidak bisa tidur. Makanan dan wanita tidak dapat menghiburnya sama sekali. Bayangan kengerian dari amarah para Advano yang pernah dilihatnya berkelebat di kepalanya setiap kali ia memejamkan matanya. Makhluk yang diagungkannya itu mampu melakukan apapun yang mereka inginkan, termasuk membunuh orang yang mereka tidak sukai. Ya, semua orang yang tidak mereka sukai pasti mereka bunuh. Termasuk orang yang gagal melakukan apa yang mereka perintahkan, seperti dirinya saat ini.

Dua hari telah berlalu sejak kekalahan armada perang Adventa melawan sosok misterius yang melindungi kota Ravena. Hanya sedikit dari pasukannya yang dapat kembali untuk melaporkan sendiri keadaan di medan pertempuran saat itu kepadanya. Ia merasa sangat dipermalukan. Ia mengirim pasukan untuk membalas kekalahan itu, tetapi saat ini ia baru saja mendengarkan laporan aneh dari pasukan itu: pulau Arron tempat di mana kota Ravena berada tidak terlihat di koordinat posisi yang diberikan pada mereka.

“Itu tidak mungkin!” teriak Raja Edward.

“Tetapi laporan ini telah saya pastikan sendiri. Semua armada perang yang dikirim ke perairan selatan tidak ada yang kembali. Rekaman terakhir menunjukkan sosok makhluk aneh berbentuk ular yang meledak dan menghancurkan armada kita yang tersisa,” lapor Klaus, sang jenderal. Ia adalah orang yang sangat membenci kekalahan. Ia telah lama merasa sang raja tidak memiliki kepemimpinan yang tepat, seolah ada sesuatu yang mengendalikan keputusannya. Dan apapun yang mengendalikannya, sesuatu itu telah mengakibatkan armada kebanggaannya hancur. Ia berharap sang raja menunjukkan rasa menyesal atau sedikitnya simpati pada para prajurit yang telah gugur karena perang tiba-tiba itu. Tetapi ekspresi sang raja saat ini sangat jauh dari kata menyesal dan simpati.

Raja Edward terkesiap. Matanya membelalak. Bukan karena mendengar angkatan bersenjatanya musnah. Tetapi karena sosok ular yang dilaporkannya meledak itu. Klaus telah mencapai titik jenuhnya. Ia sudah tidak bisa mematuhi keputusan rajanya lagi.

“Raja, saya takut saya tidak bisa mempercayai Anda lagi bila Anda tidak memberitahukan pada saya apa yang terjadi saat ini. Armada terbaik saya musnah dan semua prajuritnya tewas, tetapi sepertinya Anda tidak terlalu peduli akan hal itu,” kata Klaus dengan dingin.

Raja Edward menggeram. “Jadi maksudmu kau ingin melawanku, Klaus?” kata sang raja.
“Saya membela prajurit saya,” jawab Klaus dengan tegas dan singkat.
“Kau pikir aku siapa, Hah!? Aku raja Adventa, kerajaan terkuat di dunia ini!!” teriak sang raja.

Klaus membuang napasnya secara perlahan. “Kalau begitu saya permisi, Raja,” katanya. Ia berbalik badan dan meninggalkan takhta sang raja. Meninggalkan sang raja yang berteriak seperti seorang gila di atas takhtanya. Ia akan meninggalkan kerajaan itu bersama semua yang setia bersamanya. 

Jika sang raja tidak mendengarkan mereka, maka mereka akan mencari selamat mereka sendiri.
***
Dunia para Advano adalah dimensi yang dipenuhi warna biru. Sejauh mata memandang hanya terdapat langit berwarna biru. Para Advano dalam rupa makhluk legenda mereka berterbangan dengan bebas di dalam dunia itu. Di dalam dunia itu terdapat sebuah benda menyerupai matahari yang berputar perlahan di tengah-tengahnya. Di dalam benda itu, berbeda dengan penampakannya yang penuh cahaya, hanya ada hitam dan kegelapan yang sangat kelam. Satu-satunya yang bersinar di dalamnya hanyalah lima kristal berwarna emas yang berkilauan. Kelima kristal itu melayang-layang, bergerak perlahan dalam sebuah lingkaran dengan teratur. Kelimanya bukan kristal biasa, melainkan para Advano. Mereka juga bukan Advano biasa, tetapi para jenderal, level tertinggi dan terkuat dari Advano.

“Jerez telah dimusnahkan oleh seorang manusia biasa,” kata salah satu kristal berbentuk bola.
“Bukan seorang manusia biasa, Asdaros. Dia adalah seorang Pembuka Pintu,” kata kristal lain yang berbentuk kotak kepada kristal berbentuk bola itu.
“Dari segi manapun dia adalah manusia biasa,” kata Asdaros, Advano berbentuk bola itu.
“Asdaros benar, Farros. Adalah penghinaan bagi kita, Advano, makhluk terkuat di alam raya ini, untuk dikalahkan begitu saja oleh makhluk rendah seperti mereka!” kata Advano yang terlihat seperti cincin pada Advano yang berwujud kotak itu.
“Jerez menanggung kesalahannya sendiri dengan melanggar hukum yang dijanjikan. Manusia berhak memilih siapa yang akan membuka pintu itu,” kata Farros.
“Dan itu adalah hak Adventa, budak setia kita,” kata Asdaros. “Jika kita membiarkan Kunci memilih orang yang diinginkannya, maka semua rencana kita akan gagal. Manusia akan kembali pada kegilaan mereka dan kembali saling menghancurkan!!”
“Aku menolak untuk menyalahkan manusia,” kata Farros.
“Kau terlalu lama mempelajari manusia, Farros. Kau terpengaruh perasaan mereka,” kata Advano berbentuk cincin.
“Lalu bagaimana dengan dirimu sendiri, Marr?” kata Asdaros pada Advano berbentuk cincin itu.

Advano berbentuk cincin itu mengeluarkan sinar yang sangat menyilaukan. Terdengar suara gemuruh di sekitar cincin itu. “Karena ada hukum di antara kita, aku tidak membunuhmu. Jika kau manusia, kau pasti akan kubunuh saat ini!” kata Advano berbentuk cincin itu dengan geram.

“Sekarang kau telah menunjukkan perkataan Farros itu benar, Marr,” kata kristal lain berbentuk segitiga pipih. Ia berputar dengan tenang di poros tubuhnya sambil terus bergerak dalam lingkaran.
“Apa katamu?! Sejak kapan kau peduli pada permasalahan kita, Darra!?” seru Marr dengan penuh emosi. “Sejak kapan kau peduli pada masalah manusia?!”
“Aku tidak berbicara di saat tidak penting, Marr,” kata Darra, Advano dengan kristal berbentuk segitiga pipih itu.
“Setidaknya sekarang kau menganggap masalah ini penting,” kata Marr sembari mencibir Darra.
“Mereka berdua memang berbeda dari kita, Marr. Inilah mengapa kita menolak saran para tetua mempelajari manusia hina itu,” kata Asdaros.
“Terserah kalian untuk menolak atau mengikuti langkah kami. Tetapi untuk masalah kali ini, lebih baik kita putuskan langkah yang kita akan ambil,” kata Darra. “Belum saatnya Kunci mendekati Pintu. Hukum harus ditegakkan.”

Asdaros tertawa mencibir. “Kukira kau sudah tidak punya harga diri sebagai Advano,” katanya pada Darra.
“Kalian tenanglah,” kata kristal terakhir yang berbentuk seperti angka delapan. Suara yang dikeluarkan oleh kristal itu menandingi suara gemuruh yang keluar dari Marr. Seluruh kristal itu bergetar takut. Suara dari kristal terakhir itu bagaikan suara seribu petir yang menyambar bersamaan. Ia hanya mengucapkan dua kata saja, namun itu sanggup mendiamkan perdebatan yang mulai berwujud di antara mereka.

“Asdaros, Farros, Marr, Darra! Saatnya kita mengambil keputusan!” seru kristal berbentuk angka delapan itu.
“Baik, Barraza,” jawab keempat kristal lain dengan sopan pada kristal berbentuk angka delapan itu.
“Siapa yang mendukung hukuman pada manusia?” tanya kristal bernama Barraza itu.

Asdaros dan Marr memancarkan sinar yang sangat berkilauan dengan bersamaan. Barraza mengeluarkan sinar menyilaukan yang sama dengan mereka berdua. Kali ini Marr tertawa sangat keras. “Bahkan ketua pun membelaku!” katanya. Cahayanya tampak berkelap-kelip.

“Kami mematuhi hukum,” kata Darra dan Farros bersamaan.
“Aku tidak menentang pendapat kalian. Tetapi seperti kata Darra, waktunya belum tiba,” kata Barraza pada Asdaros dan Darra.
“Kami mengerti,” kata Farros dan Darra kembali.
“Saatnya menuju dunia buatan kita, Faux Ciel. Pintu harus dijaga,” kata Barraza.
“Lalu bagaimana dengan nasib raja bodoh itu?” tanya Marr.
“Keinginannya hanyalah bertahan hidup dengan cara pengecut. Ia tidak layak untuk kita,” jawab Barraza.
Asdaros meraung penuh kegembiraan. “Saatnya penghakiman!” seru Advano itu. Ia memancarkan sinar terang yang hanya terlihat sesaat, saat sinar itu hilang, tubuh kristal Advano itu pun lenyap.
“Dia tidak pernah sabar menanti,” kata Marr. Ia mengikuti langkah yang dilakukan oleh Farros dan menghilang.
“Kalian berdua, ingatlah! Ada saatnya hukum harus berada di atas segalanya, tetapi jika kalian menganggap hukum itu bisa dibengkokkan demi orang lain, lakukanlah. Untuk itulah Faux Ciel dibentuk,” kata Barraza pada Farros dan Darra. Ia menunggu waktu yang tepat hingga Marr dan Farros tidak berada di tempat itu lagi.
“Mengapa Anda memberitahukan ini pada kami?” tanya Farros.
“Karena aku ingin menguji seberapa layak manusia itu mendapat bumi kembali,” kata Barraza singkat.
Sang ketua melepaskan sinar yang sangat terang. Tetapi hanya dalam sekejap. Setelah itu semuanya gelap.
“Kita harus menyusul mereka,” kata Farros.
“Aku setuju. Sudah saatnya melihat Sang Pembuka Pintu yang terpilih itu,” kata Darra. “Atau sebaiknya kupanggil sebagai Adam saja?” lanjutnya sambil tertawa renyah.
Tubuh kedua Advano itu pun bersinar terang. Mereka menghilang dari dunia serba hitam itu dalam sekejap.


[Jumlah Kata: 1263]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar