Rabu, 18 Januari 2012

Faux Ciel bab 13 - Pertempuran Pertama

Ledakan demi ledakan yang menghujani kota Ravena telah berhenti. Api berkobar di mana-mana. Malam itu berubah seperti siang karena semua tempat di kota itu disinari lidah-lidah api. Teriakan panik memenuhi kota itu. Beberapa orang bahkan terinjak-injak oleh yang lainnya. Ledakan yang terjadi tak pelak membunuh beberapa warga kota itu. Suasana pesta yang sesaat lalu meriah kini berubah menjadi neraka. Tetapi Lambert tahu ini bukan akhir dari penderitaan. Sebaliknya, ini adalah awal dari serangan yang sebenarnya.
Lambert berusaha menerobos kerumunan manusia yang berlari dengan panik. Ia berusaha untuk tidak terjatuh, karena terjatuh di dalam kekacauan ini sama saja dengan mati. Tetapi tak urung ia nyaris terjatuh saat kakinya terantuk sesuatu. Ia mencoba melihat apa yang mengenai kakinya dan menemukan seorang wanita yang luka-luka karena terinjak. Dengan cepat Lambert mengangkat wanita itu dan menyuruhnya pergi.

Jarak antara rumah makan Ciel dan lapangan yang menjadi pusat kota itu hanya satu kilometer. Dengan keadaan normal, jarak itu bisa ditempuh Lambert hanya dalam waktu kurang dari dua puluh menit. Tetapi dengan kekacauan ini segalanya tidak bisa diprediksi. Ia bahkan tidak yakin bisa mencapai tempat itu. Tetapi saat ia mengingat Eva, ia merasa ada sebuah tenaga baru yang mendorongnya maju lebih cepat menuju tempat itu.

Dan pada saat itulah ia melihat cahaya emas yang berkelebat di langit. Langkah Lambert sempat terhenti, namun kerumunan manusia yang panik itu mendesaknya untuk maju.  Ia merasa mengenali cahaya berwarna emas itu, namun ia tidak yakin. Lagipula ia tidak punya waktu dan kesempatan untuk memastikan hal itu.

Dengan susah payah lambert mencapai bangunan rumah makan dan penginapan Ciel. Pintu depan dan jendela-jendela bangunan itu tampak hancur, namun bangunan kayu itu sendiri secara ajaib tidak terbakar. Bahkan sepertinya ledakan yang membabi buta sebelumnya luput mengenai bangunan itu. Lambert bersyukur dalam hati. Setidaknya dengan begitu semua orang di dalam bangunan itu masih bisa selamat.

“Tuan Lambert, di sebelah sini,” kata Sierra dari arah pintu gudang di samping kiri bangunan itu.

Lambert melihat gadis itu melambaikan tangannya padanya. Dengan cepat Lambert mengikuti gadis itu memasuki gudang. Di dalam gudang itu terdapat sebuah pintu kecil di lantai menuju ruangan bawah tanah. Ruangan itu sendiri terhubung menuju ke dapur dan ruangan pribadi Sierra. Seorang koki bertubuh besar dan tegap tampak mengangkat beberapa baskom logam dengan rolling pin serta beberapa pisau dari dapur ke dalam gudang itu. Pria itu tampak terburu-buru mengangkat semua peralatan itu.

“Apa semuanya sudah terangkat, Karl?” kata Sierra pada pria bertubuh tegap itu.

“Kita tidak bisa membawa semuanya dengan keadaan seperti ini. Tetapi setidaknya peralatan penting sudah diamankan,” jawab Karl tanpa menghentikan langkahnya. Pria itu segera membawa peralatan itu ke ruang bawah tanah.

Sierra menyusul Karl begitu pria itu tiba di bawah. “Jika demikian kita bisa bernapas lega sekarang,” kata Sierra saat ia telah tiba di ruangan bawah tanah itu. Ia melihat ke atas. Lambert masih berdiri di sana dengan tatapan bertanya-tanya. Sierra sepertinya tahu apa yang dipikirkan pria itu. “Eva telah kuamankan di sini. Anda tidak perlu khawatir,” kata Sierra sambil tersenyum.

Mendengar itu Lambert merasa lega. Dengan cepat ia menutup pintu gudang itu dan menyusul Sierra ke dalam ruang bawah tanah itu. Ruang bawah tanah itu cukup luas. Tepat di bawah tangga terdapat sebuah ruangan dengan banyak rak penyimpanan. Tampaknya ruangan itu berfungsi sebagai gudang tambahan bila gudang di atas sudah penuh. Dari ruangan itu terdapat sebuah pintu kecil. Lambert menduga ruangan di sebelah pintu itu adalah ruang tempat tinggal darurat.

 “Aku sebenarnya tidak yakin apakah cara ini efektif melawan Adventa. Tetapi setidaknya kita bisa bertahan hingga pertolongan datang,” kata Lambert sambil menutup pintu ruangan bawah tanah itu dari dalam.

“Jadi benar serangan ini dilakukan Adventa?” kata Sierra. Gadis itu mendesah. Siapa lagi yang mempunyai persenjataan semematikan Adventa?

“Apa yang membuat kerajaan itu menyerang kami? Kami adalah kota yang bebas dan tidak punya masalah dengan negara atau kerajaan manapun!” kata Karl.

“Tidak perlu alasan untuk Adventa menyerang sebuah wilayah. Mereka menyerang saat mereka ingin menyerang. Mereka tidak akan berhenti sampai seluruh dunia ini mereka kuasai,” kata Lambert. Ia mendelik pada Karl. “Kau pasti berasal dari negeri yang tidak pernah diserang oleh Adventa, kan?” tanyanya pada pria itu.

“Memang benar. Aku berasal dari Levitia di Tanah Selatan. Kami tidak pernah perang dengan bangsa manapun,” jawab Karl mantap.

Lambert tersenyum. “Jadi Tanah Selatan masih belum disentuh oleh kerajaan itu? Baguslah,” kata Lambert dengan suara pelan.

“Maaf?” kata Karl.

“Ah, tidak. Tidak ada apa-apa. Oh, ya! Katamu Eva ada di sini, Sierra?” kata Lambert berusaha mengalihkan perhatian.

“Dia ada di ruangan sebelah. Mari ikut saya,” jawab Sierra. Ia membuka pintu yang berada di sebelahnya dan mempersilakan Lambert memasuki ruangan di balik pintu itu.

Ruangan di balik pintu itu ternyata menyerupai sebuah rumah kecil. Di balik pintu itu terdapat sebuah ruang tamu, tiga kamar tidur yang berjajar, sebuah toilet, dan dapur. Cahaya temaram dari lentera menerangi ruangan-ruangan itu.

“Eva tertidur di kamar tengah,” kata Sierra.

“Terima kasih,” kata Lambert. Ia membuka pintu kamar tidur kedua yang berada tepat di depan pintu masuk. Cahaya temaram lampu gantung menyambutnya. Di dalam keremangan cahaya itu seorang gadis tampak tertidur dalam damai, seakan kekacauan di luar sana tidak pernah ada. Tetapi gadis itu bukan Eva.

“Sierra, di mana Eva?” tanya Lambert. Pria itu mulai panik.

“Ia tidur di kamar kedua,” balas Sierra dari dapur.

“Ini bukan Eva. Eva tidak berambut hitam!”

“Ah! Saya lupa mengatakan sesuatu. Eva kutemukan di kamar Adam dalam keadaan seperti itu, sedangkan sosok Adam berganti menyerupai Eva. Sepertinya mereka mengalami pertukaran. Kupikir Eva mampu melakukan hal seperti itu, mengingat dia juga melepaskan segel kutukan di tangan kiri Adam,” jelas Sierra.

“Apa?!”

“Saya juga tidak tahu pastinya, tetapi ini kenyataannya. Adam yang kukenal kini bersosok seperti Advano. Katanya Adam akan melakukan sesuatu untuk menghentikan serangan ini,” kata Sierra.

Lambert mengernyit. Ia bukannya tidak tahu apa yang terjadi. Tetapi ia tidak menyangka proses penyatuan antara Sang Kunci dan Sang Pembuka Pintu akan terjadi secepat ini.

***

Adam masih merasa ganjil dengan semua yang dialaminya saat ini. Beberapa menit lalu ia masih berada di kamarnya menghibur Eva yang menangis. Lalu kemudian terjadi ledakan demi ledakan yang menghancurkan kota Ravena. Setelah itu Eva melakukan sesuatu yang membuat dirinya berubah menyerupai Advano dengan rambut berwarna emas, sedangkan Eva berubah menjadi seperti anak gadis biasa. Dan kini ia sudah berada di angkasa, dengan dua sayap dari cahaya yang membentang. Angin malam berhembus ke arahnya dan menggoyangkan rambut panjangnya. Seperti ini tidak buruk juga, pikir Adam. Dan sekarang bagaimana caranya menghentikan serangan ini? Aku bahkan tidak tahu serangan ini datang dari mana.

Seperti ada yang membisikkan padanya, Adam melihat ke arah pelabuhan. Tetapi tidak ada apapun di sana. Lagi-lagi seperti diberitahu oleh seseorang, Adam memejamkan matanya sesaat. Saat ia membuka matanya, pelabuhan yang tadinya terlihat sepi kini tampak ramai dijejali kapal perang berwarna hitam dengan simbol khas kerajaan Adventa, dua segi enam emas yang saling tumpang tindih dan dibingkai oleh dua tangkai bulir gandum. Keagungan dan kemakmuran bagi yang bernaung di bawah bendera Adventa. Ironis, pikir Adam.
Kapal-kapal perang kerajaan Adventa tampaknya menyadari keberadaannya. Meriam-meriam mereka kini mengarah kepadanya. Mulut-mulut meriam itu mulai bercahaya. Sebentar lagi serangan seperti sebelumnya akan terjadi. Adam merasa harus berpindah ke arah laut dengan segera. Ia hanya memikirkan hal itu, dan ia telah berada di atas laut sekarang. Tepatnya berada di atas kapal-kapal perang itu.

Adam mengernyit. Ia merasa ada yang aneh di sini. Mengapa ia seakan-akan tahu semua yang harus dilakukannya? Mengapa ia merasa semua tindakannya dikendalikan oleh seseorang? Atau mungkin oleh sesuatu? Ia tidak mengerti. 

“Nanti saja mengertinya, Adam. Sekarang bersiaplah menerima serangan. Terbang ke atas!”

Suara yang lagi-lagi didengarnya di dalam kepala kembali memberinya instruksi. Ia melihat ke bawah. Meriam-meriam dari semua kapal perang di bawahnya tampaknya cukup lincah mengikuti perpindahannya. Kini isi meriam itu telah melayang ke arahnya. Tetapi seolah dalam gerakan lambat, peluru-peluru yang dimuntahkan oleh meriam itu terlihat jelas oleh Adam. Bentuk peluru itu ternyata seperti bola biasa, namun dari dalam bola itu terpancar sebuah cahaya berwarna putih. Ia mengepakkan sayapnya dan melesat semakin tinggi di angkasa. Peluru-peluru meriam itu meledak di tempatnya berada sebelumnya. Beberapa pecahannya terjatuh dan menimbulkan rentetan ledakan pada kapal-kapal perang yang menenmbakkan mereka.

“Siapa yang berbicara ini?” tanya Adam. Ia merasa sudah cukup gila dengan semua yang ditunjukkan Eva padanya. Menambahnya sedikit dengan suara tanpa wujud tidak akan mengubah apa-apa.

“Apa itu penting untuk sekarang?” balas suara misterius itu. Suara itu terasa dekat dengan Adam. Sangat dekat sehingga Adam merasa suara itu langsung terdengar di dalam gendang telinganya.

“Ya. Aku tidak mau diperintah, apalagi oleh sesuatu yang tidak kulihat!”

“Bahkan dalam keadaan seperti sekarang? Lihat ke atas!”

Adam mengikuti saran suara misterius itu. Di atas kepalanya tampak sinar putih yang semakin lama semakin terang. Berbeda dengan peluru-peluru sebelumnya. Sinar itu bergerak sangat cepat sehingga nyaris tak dapat dihindarinya. Tetapi tepat sebelum mengenainya, tubuh Adam seperti bergerak sendiri menghindari serangan itu. Sianr itu menghantam laut dan membuat laut seperti terbelah. Sebuah kapal perang yang terjebak di lintasan sinar itu hancur tak bersisa saat sinar itu mengenainya.

Adam terkejut. Seandainya ia tidak menghindar, mungkin tubuhnya akan sama seperti itu. Dan suara misterius yang didengarnya kini terdengar seperti tertawa mengejek.

“Kalau tidak kutolong, Sang Pembuka Pintu akan mati oleh serangan Advano rendahan seperti itu,” kata suara misterius itu.
“Jadi kau tahu tentang Sang Pembuka Pintu?”
“Jelas saja! Aku ini Kunci. Jelas aku tahu siapa yang harus membuka pintunya. Ya ampun! Dari semua orang yang ada Eva memilih orang ini?”
“Kau Sang Kunci? Kau Eva?”
“Bukan! Tapi aku tidak akan menjelaskannya. Setidaknya bukan sekarang. Menghindar!” seru suara misterius itu.

Adam mengikutinya. Ia membiarkan tubuhnya bergerak dengan refleks. Sinar putih yang sama seperti sebelumnya kembali melesat ke arahnya. Kali ini ia sudah terbiasa menghindarinya. Tetapi sinar seperti itu terus menerus melesat dari langit seolah-olah ada sesuatu yang menembakkannya.

“Sial! Kalau seperti ini terus kota Ravena akan tenggelam oleh air laut!” seru Adam yang sudah mulai bosan menghindar.
“Setidaknya mereka tidak terjebak dalam api, kan?” balas suara misterius.
“Haha, lucu! Bagaimanapun mereka akan binasa kalau seperti ini dan aku tidak mau itu terjadi!”
“Oh? Maksudmu kau tidak mau membiarkan gadis yang menciummu itu mati, begitu?”
“Apa itu penting sekarang?”
“Tidak. Itu memang tidak penting. Hei, kau membalasku dengan kata-kataku sendiri!”
“Kau tahu jawabannya, kan?”
“Ya. Ini memang tidak penting. Yang penting sekarang adalah memancing turun Advano yang bersembunyi di langit itu. Bersiaplah!” kata suara misterius.

Suara itu memerintahkan Adam mengangkat tangan kanannya. Seluruh tubuhnya kini diliputi cahaya berwarna putih. “Lapaskan!” seru suara misterius itu.

“Bagaimana caranya?” tanya Adam. Ia merasa seluruh tubuhnya terasa panas.

“Pikirkan cahaya yang melingkupimu sekarang melesat seperti cahaya yang menyerangmu tadi. Akan kubantu mengarahkan sasarannya!” jawab suara misterius itu. Tangan Adam bergerak sendiri menunjuk sebuah bintang berwarna emas yang tampak berbeda dari bintang-bintang lainnya.

“Sekarang!” seru suara misterius itu lagi.

Adam memikirkan bila semua panas di tubuhnya yang ia rasakan kini berpindah ke bintang yang ditunjuknya. Seperti merespon pikirannya, seluruh cahaya yang melingkupi dirinya mulai berkumpul ke tangan kanannya. Dan dalam sekejap cahaya berwarna putih melesat meninggalkan tangannya menuju bintang itu. Adam melihat cahaya itu mengenai bintang, dan bintang itu tampak oleng.

“Sudah kuduga! Itu bukan bintang, kan? Lihat, dia datang kemari,” kata suara misterius.
“Advano?”
“Ya. Itu Advano. Kau takut?”
Adam tersenyum. “Tidak sama sekali. Aku malah ingin menghancurkannya sekarang!”
“Bagus. Itu yang kuharapkan. Sekarang, ayo sambut dia!”
“Ayo!”

Adam mangepakkan sayapnya. Ia melesat ke arah bintang berwarna emas yang dengan cepat menukik ke arahnya. Tubrukan sudah tidak terhindarkan lagi. Tetapi Adam tidak peduli! Ia akan melakukan apapun untuk melindungi kota itu!

[Jumlah kata: 1895]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar