Rabu, 04 Januari 2012

Faux Ciel Bab 5 - Takdir Yang Bertautan

Setelah bersusah payah, akhirnya Lambert berhasil mencapai perbatasan antara hutan dan kota Ravena. Padang rumput membentang antara kota itu dan hutan di belakangnya. Di depannya telah terlihat benteng kota Ravena. “Kota itu tidak berubah sama sekali. Semoga mereka masih mengingatku,” kata Lambert. Energinya telah mulai terkuras. Tetapi ia memaksa dirinya untuk terus bertahan. Jarak satu kilometer yang membentang antara dirinya dan benteng kota itu pun bukan masalah besar baginya. Lambert menoleh ke arah gadis yang kini telah ia lepas dari ikatan yang melilit badan mereka berdua. Gadis yang tampak masih remaja itu masih terlelap dari tidurnya. Senyum yang dilihatnya sewaktu gadis itu masih berada di dalam tabung tetap menghiasi wajahnya yang damai. Lambert sedikit iri pada gadis itu. Seandainya saja ia bisa tidur sedamai itu. Tetapi tidur adalah kemewahan bagi pasukan pemberontak yang entah bagaimana caranya selalu saja bisa ditemukan pihak kerajaan Adventa.

Lambert masih ingat betul bagaimana kota Ravena dua belas tahun lalu. Kota itu jauh dari deskripsi kehidupan. Mayat-mayat bergelimpangan di tanah tanpa ada yang bisa mengyuburkan mereka. Bukan karena tidak ada yang mempedulikan mereka, tetapi karena sebagian besar penduduk kota itu juga terkenah wabah yang sama yang telah membunuh mereka. Ia dan Conrad yang sedang menyelidiki Tanah Selatan sempat melewati kota itu dan terkejut. Kala itu Conrad mengatakan wabah itu bukan wabah biasa, tetapi wabah yang sengaja disebarkan oleh Advano, bentuk kehidupan cerdas yang telah membuat Dunia Baru. Mereka lalu mencari sumber air kota itu dan membubuhkan seliter penuh cairan berwarna keemasan di dalamnya. Semua manusia di dalam kota itu berbondong-bondong mendatangi sumber air itu dan meminum air di dalamnya. Secara ajaib, penyakit yang nyaris membunuh mereka lenyap seketika. Namun duka terlanjur menyelimuti kota itu. Tangisan tampaknya tak akan berhenti dari kota itu saat ia dan Conrad meninggalkannya. Tetapi bila kota itu telah berdiri sekokoh itu, dengan tembok-tembok kotanya yang terawat, berarti kota itu berhasil bangkit dari keterpurukannya.

Kota Ravena dikelilingi dinding tinggi yang membuatnya tampak seperti kota benteng. Di tiap lima belas meter terdapat sebuah menara pengawas yang berada sedikit lebih tinggi dari dinding kota itu. Di dalamnya masing-masing terdapat seorang prajurit bersenjata lengkap. Dan mereka sekarang menodongkan senjata-senjata mereka ke arah Lambert dan gadis yang dibawanya. Lambert tidak terkejut. Pastilah ledakan dari arah hutan telah membuat mereka mencurigai siapapun yang datang dari dalam hutan. Itu lumrah, pikirnya.

“Siapa kau!?” seru salah satu prajurit. “Identifikasikan dirimu, Orang Asing!”

“Namaku Lambert. Lambert von Conrad!” jawab Lambert lantang.

Prajurit-prajurit yang menjaga kota itu terkejut. Mereka tampak berbisik-bisik satu sama lain melalui walkie talkie mereka. Pada saat sepertinya mereka telah mencapai sebuah kesepakatan, salah satu prajurit itu bertanya pada Lambert, “Beri kami bukti yang hanya Tuan Conrad dan anak angkatnya, Lambert, yang mengetahuinya.”

“Dua belas tahun lalu kota ini diserang wabah Thanatos. Kota ini nyaris binasa seandainya ayahku tidak lewat di kota ini dan memberikan satu liter Panacea ke sumber airnya. Apakah walikota kalian masih Albertino Han?”

Para prajurit itu saling berpandangan.

“Ya! Walikota kami bernama Albertino Han! Kau mau apa dengan walikota kami!” seru seorang prajurit dengan senjata yang masih mengarah pada Lambert.

“Pertemukan aku padanya. Dari jarak seperti inipun tidak apa-apa. Yang penting dia melihatku. Aku punya bukti fisik yang hanya dia saja yang tahu!” jawab Lambert.

Prajurit itu tampak berbicara pada seseorang melalui walkie talkie yang dipegangnya. Beberapa menit kemudian ia mengangguk. “Walikota bersedia menemuimu! Tetapi kau harus tetap berada di jarak itu! Selangkah lagi kau bergerak kami akan segera menembakmu!” seru prajurit itu.

“Aku mengerti!” balas Lambert. Setidaknya mereka sudah setengah aman sekarang. Lambert menurunkan gadis yang digendongnya dan membaringkannya di pangkuan. Ia merapikan jubah yang membalut tubuh polos gadis itu. Matahari mulai meninggi. Ia menudungi wajah gadis itu dengan tubuhnya sendiri. Panas dari matahari yang menyengat tengkuknya tidak ia pedulikan. Ia hanya ingin menjaga senyuman yang dilindungi ayahnya dengan nyawanya itu.

Setengah jam berlalu. Lambert mulai tidak sabar. Saat itulah seorang pria beruban muncul di salah satu menara. Lambert memandangi pria itu. Wajahnya mungkin sudah tirus mengingat umurnya yang masti sudah setengah baya, namun sorot mata seperti elang dan wajah keras orang itu tidak berubah sama sekali. 
Wajahnya masih sanggup membuat Lambert jengkel setengah mati.

“Kata mereka kau ingin bertemu denganku. Lalu apa buktinya jika kau adalah Lambert?” kata pria setengah baya itu.

Lambert membuka bajunya dan memperlihatkan bekas luka yang menganga di bahu kirinya. Luka itu seperti bekas luka tombak yang menembus bahunya. “Luka ini adalah luka yang ditinggalkan seseorang bernama Albertino Han saat dia mengiraku sebagai yang menyebarkan wabah di kota ini dua belas tahun lalu,” kata Lambert. Ia tersenyum sinis pada pria setengah baya itu. “Panacea pertama digunakan padaku untuk membuktikan kemampuannya. Barulah kau yang picik itu percaya pada ayahku.”

Pria bernama Albertino Han itu terkejut. Buru-buru ia memerintahkan gerbang kota mereka dibuka. Setelah gerbang itu terbuka, orang yang menyambut Lambert adalah Albertino Han sendiri. Pra itu berlari menyongsongnya dan hendak memeluk Lambert, namun dengan sigap Lambert mengarahkan telapak tangan padanya dan memintanya berhenti. Saat itulah Albertino melihat gadis yang terbaring di pangkuan Lambert.
“Maafkan perlakuan kasar kami. Akhir-akhir ini ada kejadian mencurigakan yang terjadi di sekitar kota kami. Beberapa kali kami mendengar ledakan dari arah hutan tempat Anda keluar tadi,” kata Albertino Han.
Lambert kembali mengangkat gadis yang terbaring di pangkuannya itu ke punggungnya dan berdiri. “Bicaranya nanti saja. Tolong bantu gadis ini dulu,” katanya.

“Siapa dia?”

“Seseorang yang dilindungi ayahku dengan nyawanya.”

“Apa? Jadi…”

“Ya. Akan kuceritakan semuanya saat kita sudah di dalam kota. Aku tidak ingin gadis ini mandi keringat di bawah matahari ini. Ya ampun. Matahari di belahan selatan Dunia Baru memang tidak tertandingi,” kata Lambert dengan keringat yang mulai bercucuran.

“Kami akan memberikan pesta sambutan pada Anda, Tuan Lambert.”

“Tidak perlu. Yang kubutuhkan hanya sebuah pesawat kecil atau kapal laut ke Tanah Selatan secepatnya. Ada yang harus kulakukan segera.”

“Saya khawatir itu tidak bisa. Seminggu lagi adalah peringatan datangnya ayah Anda ke kota kami. Tempat ini akan dipadati wisatawan dan semua prajurit militer akan sangat sibuk. Dan…”

“Aku tidak minta pengawalan darimu. Aku hanya minta pesawat atau alat transportasi lainnya.”

“Itulah mengapa saya katakan semua prajurit akan sibuk. Mulai besok, semua sarana transportasi akan dipegang pihak militer untuk mencegah adanya penyusupan orang berbahaya. Semua pengemudi, nahkoda, dan pilot juga akan diliburkan selama seminggu. Dan tidak akan ada hangar yang buka dan memberikan pesawat yang sangat berharga bagi kami, bahkan jika aku yang memintanya.”

Lambert menghela napas. “Kota ini terlalu ketat untuk pemimpinnya sendiri?”

“Ini adalah cara kami melindungi diri. Seperti gadis itu yang dilindungi oleh Tuan Conrad dengan nyawanya, demikian pula kami ingin mempertahankan kota kami selama mungkin sebagai rasa terima kasih kami padanya. Apalagi kudengar Kerajaan Adventa sudah milau melakukan ekspansi ke segala arah. Sebentar lagi kota tanpa perlindungan kerajaan seperti kami juga akan kena dampaknya.”

“Kau ada benarnya, Pak Tua. Baiklah. Aku akan tinggal di sini sampai selesai. Tapi tolong berikan aku tempat yang tidak mencolok. Dan sebisanya jangan membuat kehebohan yang tidak penting di kota.”

“Baiklah. Dan karena Anda adalah Tuan Lambert, saya akan memaafkan Anda.”

“Apa aku melakukan kesalahan?”

“Umur saya masih empat puluh lima tahun. Dan saya menolak disebut tua. Lebih tepatnya lagi saya benci disebut tua!”

Lambert tersenyum sinis. “Dari sudut manapun kau itu tetap pak tua, kan, Kakek Han?”

“Saya menganggap kita impas.”

Mereka pun telah berada di dalam gerbang. Sebuah mobil antipeluru telah siap menunggu sang walikota. Ia mempersilakan Lambert dan gadis itu duduk di belakang, sedangkan ia sendiri duduk di kursi depan. Mereka segera melaju ke pusat kota, tempat di mana rumah jabatan walikota berada.
***

Meski Lambert tidak ingin sebuah pesta penyambutan untuknya, Albertino Han tetap saja mengundang penduduk kota itu ke rumah jabatannya —yang adalah rumahnya sendiri—. Makanan mewah dihidangkan di sebuah ruangan hall yang sangat luas. Pemain alat musik bersiap di sudut ruangan. Nyaris dua ribu orang memadati ruangan itu. Hal yang sangat lumrah jika mengingat luas rumah sang wali kota bisa disamakan dengan delapan buah lapangan bola disatukan. Para penduduk kota yang sebagian besar mengalami sendiri peristiwa dua belas tahun lalu berbondong-bondong mengerumini Lambert dan mencoba bersalaman dengannya. Lambert sebenarnya tidak begitu suka hal yang disebutnya huru-hara ini. Tapi ia tetap menerima perhatian mereka itu dengan sabar. Ia tahu mereka hanya mencoba berterima kasih padanya atas apa yang telah dilakukan oleh ayah angkatnya. Setidaknya ia akan menggantikan sang ayah menerima rasa terima kasih mereka.

“Tuan Lambert, aku tidak menyangka Anda kembali!”

“Tuan Lambert, mampirlah ke penginapan saya. Akan saya berikan pelayanan kelas satu, gratis.”

“Tuan Lambert, apakah Anda sudah menikah?”

Semua pembicaraan sepihak itu mulai mengalir tak terkendali. Untung saja sebelum Lambert kehilangan kesabarannya, Albertino Han mengambil alih pembicaraan. “Sabar, sabar, warga kota yang kucintai. Tuan Lambert mengatakan ia hanya akan di kota ini sampai festival kita selesai. Dan beliau juga tidak ingin ada penyambutan yang berlebihan untuknya,” kata Albertino Han dengan penuh wibawa.
Dan kau sendiri yang membuat pesta penyambutannya. Apa-apaan makanan sebanyak ini? Apa semua orang sekota kau undang, pak tua?

Beberapa penduduk terdengar mengeluh kecewa, tetapi Lambert segera menghibur mereka. “Aku hanya ingin tinggal di tempat sederhana yang sebisa mungkin tidak menarik perhatian. Aku mohon kalian mengerti. Ada sesuatu yang penting yang harus kulakukan. Dan aku tidak ingin orang selain yang berada di ruangan ini tahu aku berada di sini,” kata Lambert.

Semua orang dalam ruangan itu terdiam. Namun mereka semua setuju dengan syarat Lambert.
“Kalau begitu saya menyarankan Anda ke Ciel milik Sierra. Rumah makan mereka selalu ramai dan tampak sederhana. Di lantai duanya ada penginapan. Apakah Sierra ada di sini?” kata sang walikota.

“Saya! Saya di sini!”

Sesosok gadis muda berambut hitam dengan mata penuh semangat berjalan menuju sang walikota dengan menerobos kerumunan yang mengelilinginya. Lambert memandangi gadis itu dengan saksama. Ia seperti pernah melihat gadis itu sebelumnya. “Kau Sierra yang waktu itu?” tanya Lambert.

“Ya. Saya sangat senang dapat melihat Anda lagi, Tuan Lambert,” jawab Sierra sambil tersenyum lebar. Matanya berbinar-binar menatap pria itu.

“Maaf, aku tidak bisa menolong orang tuamu.”

“Tidak apa-apa, Tuan. Aku hidup demi bagian mereka juga.”

Demi bagian mereka. Ucapan yang bagus.

Lambert tersenyum puas. “Baiklah. Aku akan ke Ciel. Itu milikmu, kan?”

“Ya! Saya adalah pemilik sekaligus koki kepala di sana!” kata Sierra dengan senyum bangganya.
Lambert mengangguk-angguk. Dahulu ia yang menolong gadis itu, kini gadis itu yang membantunya. Lambert tersenyum. Ia teringat ayah angkatnya yang mengatakan padanya setiap kebaikan yang seseorang lakukan pasti akan kembali pada orang itu pada akhirnya. “Aku bersyukur, gadis kecil yang diselamatkan ayahku telah tumbuh menjadi gadis yang tangguh sepertimu. Bisakah kau merawat seorang gadis untukku? Dia juga gadis yang dilindungi oleh ayahku.” Dengan nyawanya sendiri.

“Tempatku masih bisa memuat beberapa orang lagi, Tuan. Dan aku terbiasa merawat orang lain dengan telaten. Apalagi saat ini aku juga sedang merawat teman lamaku yang baru kutemui kembali.”

“Aku bersyukur bertemu denganmu, Sierra. Kupercayakan diri kami padamu,” kata Lambert. Wajah Sierra bersemu merah mendengarnya.

Sang walikota memberikan kode pada pemain musik yang berada di ruangan itu. Musik dan tepuk tangan segera menguasai pesta itu. Tarian-tarian dan sorak sorai kegembiraan memenuhi ruangan hall  rumah sang walikota. Lambert bermaksud mengungsi ke sudut ruangan, namun beberapa gadis menahannya dan mengajaknya berdansa. Ia tidak bisa menolak mereka.
***
Pesta berlangsung sampai nyaris tengah malam. Jika bukan karena Lambert yang meminta untuk segera ke penginapan Ciel, mungkin pesta itu baru akan berakhir hingga subuh. Sebuah mobil mengantar Lambert dan Eva, gadis yang dibawanya, ke penginapan itu. Lambert telah meminta agar gadis itu diberikan pakaian yang layak. Mobil yang membawanya tiba di penginapan Ciel di mana Sierra telah menunggu untuk menyambutnya. 

Sierra mengarahkan mereka segera ke lantai dua bangunan itu. Lantai dua terdiri atas sepuluh kamar berukuran sedang yang  saling berhadap-hadapan satu sama lain. Di ujung lorong yang membelah dua lantai itu terdapat sebuah pintu kecil. Sierra dengan tenang – nyaris tanpa suara – membuka pintu itu dan menunjukkan tiga buah kamar lain di balik pintu itu. Kamar Adam berada di paling ujung, berhadapan dengan kamarnya sendiri. Sedangkan kamar kosong yang diberikan Sierra untuk Lambert adalah kamar di sebelah kamar Adam, tepatnya berada antara pintu yang membatasi kelima pasang ruangan di sebelah dengan ketiga ruangan pribadi ini. Kamar itu tepat berhadapan dengan tangga yang menghubungkan ruang pribadinya di dapur dan lantai dua.

“Semoga Anda senang dengan kondisi sederhana di penginapan saya,” kata Sierra sambil mengantar Lambert ke lantai dua bangunan itu. “Dan sesuai permintaan Anda, saya menyiapkan kamar yang paling sepi. Dari sana ada tangga langsung ke ruang pribadi saya di dapur. Jika ada apa-apa, Anda bisa bersembunyi di sana. Tidak akan ada yang berani masuk ke dalam ruangan itu kalau saya tidak izinkan.”

“Terima kasih,” kata Lambert sambil membopong Eva dengan kedua tangannya. Gadis itu masih saja terlelap.

Sierra memberikan sebuah kamar yang tidak jauh dari kamarnya dan kamar Adam. “Jika Anda butuh sesuatu, silakan panggil saya, Tuan. Saya tinggal di kamar di ujung lorong,” kata Sierra.

Sierra sudah menyalakan lentera di dalam kamar itu sebelumnya. Saat Lambert memasuki kamar itu, ia cukup puas dengan suasananya. Tempat tidur yang nyaman berada di samping jendela. Cahaya bulan bisa menembus ruangan itu melalui jendela besar di samping kiri tempat tidur sehingga membuat ruangan itu cukup terang. Lambert membaringkan Eva di tempat tidur itu dan melihat keluar jendela. Tepatnya ia sedang mengamati keadaan kota melalui jendela itu. Tidak ada yang mencurigakan. Tidak ada pesawat mata-mata ataupun benda berbentuk bunga es yang melayang di langit. Ia bernapas lega. Setidaknya kerajaan Adventa maupun para Advano belum mengetahui keberadaan mereka di kota itu.

Lambert menoleh kembali pada Eva, gadis yang tadi dibaringkannya di tempat tidur. Tetapi gadis itu tidak ada di sana! Lambert seketika menjadi panik. Ia melihat ke segala arah, bahkan memeriksa setiap celah di dalam kamar itu. Namun gadis itu tidak ada di manapun. Apa gadis itu seudah terbangun? Bagaimana mungkin aku tidak sadar? pikir Lambert. Ia berlari menuju pintu yang masih tertutup. Pintu itu masih terkunci seperti saat ia menguncinya ketika memasuki kamar itu. “Tidak mungkin!” bisiknya. Sebuah dugaan melintas di kepalanya. Advano. Makhluk cerdas itu dapat melakukan hal semacam ini. Segera Lambert membuka pintu itu, namun sebelum ia sempat melangkah keluar kamar, sebuah cahaya berwarna emas memancar dari kamar Adam. Sinar menyilaukan itu terlihat oleh Lambert, membuat pria tinggi itu gamang, dan akhirnya jatuh pingsan di lantai.
***
Adam menatap tak percaya pada sosok yang dilihatnya. Seorang gadis remaja yang diduganya berusia enam belas tahun berdiri di hadapannya. Gadis yang entah datang dari mana itu memancarkan sinar berwarna keemasan yang menyilaukan. Sinar itu memaksanya menutup matanya. Dan saat ia membuka matanya kembali, yang berada di hadapannya adalah langit biru yang membentang luas sejauh pandangan matanya.
Gadis itu tersenyum. Adam merasa dicekam perasaan tidak nyaman pada sosok yang berada di hadapannya itu. “Siapa kau?” katanya. Matanya menatap tajam pada gadis itu. Namun gadis berambuk emas itu hanya tersenyum.

“hai! Akhirnya kita bertemu, Adam. Namaku Eva,” kata gadis itu riang. Lalu sebuah sinar berwarna putih memancar darinya dan melingkupi mereka berdua.
***
Di suatu tempat di kerajaan Adventa, sekelompok orang tampak panik dan berlarian dalam bingung.
“Laporkan pada Raja! Sang Kunci dan Sang Pembuka Pintu telah bertemu. Tanda pertama kiamat telah terjadi!” seru seseorang.

Pada saat bersamaan, sebuah benda berbentuk seperti bunga salju raksasa tampak di langit kerajaan Adventa. Bagian tengah benda itu berbentuk seperti kaca hitam berbentuk segi enam, sementara sisi-sisinya bagaikan emas murni tuangan. Benda itu menghadap ke arah selatan dan bertahan di atas langit, sementara kepanikan terus terjadi di bawah sana. Setelah beberapa saat, benda itu pun menghilang.

[Jumlah kata: 2541]

1 komentar: