Minggu, 01 Januari 2012

Faux Ciel Bab 2 - Reuni

Adam berjalan menyusuri jalan kota Revena dengan memegangi perutnya yang terus menerus berbunyi. Sudah seminggu berlalu sejak ia tiba di kota itu setelah melarikan diri dari perbudakan di tempat penambangan. Ia menjual apa saja yang dimilikinya —beberapa relik langka yang ia ambil tanpa izin dari tempat penggaliannya— untuk menyewa kapal menuju ke kota itu hingga yang tersisa padanya hanya overall biru dan sepatu yang dikenakannya. Dan kini ia tidak punya uang lagi untuk membeli makanan. Ia melirik ke kiri dan ke kanan. Bau harum makanan dari rumah-rumah makan di sepanjang pinggiran jalan membuat kakinya berjalan gontai ke arah mereka. Namun saat ia menyadari tidak punya apa-apa untuk membeli makanan langkah kakinya berhenti dan menjauhi rumah-rumah makan itu dengan gontai dan kepala menunduk.

Aku harus mencari kerja secepatnya, katanya dalam hati. Tapi apakah akan ada yang mau mengambil pelarian sepertiku?


“Hei, kau Adam, kan?” Sebuah suara yang terdengar tidak asing membuatnya menegakkan kepala kembali. Ia menoleh ke arah sumber suara itu dan menemukan sesosok gadis berambut hitam berdiri di depan sebuah rumah makan. Wajah yang samar-sama dikenalnya. Ia seperti pernah melihat gadis itu dahulu. Tetapi saat itu gadis itu tidak sedewasa dan secantik ini. Rambut yang dipotong pendek hingga ke tengkuk, celemek berwarna merah muda, bandana kain berwana senada, dan sosok mungil gadis itu yang menatapnya dengan tatapan penuh semangat. Bertahun-tahun telah berlalu dan tatapan itu tetap sama seperti yang diingatnya terakhir kali.

“Sierra? Kau ada di kota ini?” tanya Adam tak percaya. Ia menatap gembira pada gadis itu, teman masa kecilnya yang telah terpisah darinya bertahun-tahun. Setelah kota tempat mereka hancur akibat perang, mereka terpisah dan tidak pernah bertemu lagi. Meskipun telah lama berlalu, gadis itu masih saja sesemangat dulu. Bahkan perang tidak dapat mengalahkan tatapan matanya yang penuh semangat itu. Sangat jauh berbeda dengan dirinya saat ini.

“Ya! Astaga! Sudah berapa lama kita terpisah?” kata Sierra gembira. Ia melompat kegirangan, namun dengan segera menguasai dirinya kembali. “Aku berusaha di sini. Pengungsi dari kota Javen telah menyebar ke berbagai kerajaan. Aku dan beberapa orang dari kota kita menjalani hidup dengan baik di sii. Rumah makan ini milikku, lho,” katanya sambil membanggakan rumah makan yang berada di belakangnya.

Adam memandangi rumah makan itu. Bangunan itu berlantai dua dengan gaya arsitektur Medieval, arsitektur yang manusia bawa dari Dunia Lama mereka. Rangka kayu yang menyusun bangunan itu tampak kokoh membingkai batu-batu yang dijadikan temboknya. Sebuah cerobong asap kecil tampak mengepul di atas atapnya. Tampaknya rumah makan itu cukup ramai karena dari dalam terdengar suara manusia yang beragam. Seketika Adam memegangi tangan kirinya, seolah ada sesuatu yang ia sembunyikan di dalam lengannya.

Adam kembali mengalihkan pandangannya pada Sierra. “Kau membangun rumah makan ini?” 

“Bukan aku yang membangunnya. Bangunan ini telah ada saat aku ke kota ini. Awalnya aku bekerja di tempat ini, namun saat pemiliknya sudah tua ia menjualnya. Aku yang pertama kali ditawarinya,” kata Sierra sambil tersenyum lebar.

“Hebat…,” kata Adam penuh kekaguman.

“Oh, ya! Apa kau lapar? Rumah makanku punya banyak menu menarik yang pasti kau sukai. Aku yang traktir,” ajak Sierra.

Tidak perlu waktu untuk Adam segera mengiyakan ajakan Sierra itu. Perutnya yang telah dua hari tidak diisi menuntut segera mendapat makanan. Ia bergegas mengikuti gadis itu memasuki rumah makan. Tangan kanannya masih menggenggam lengan kiri overall-nya. Sekilas Adam melihat papan nama rumah makan itu. Ciel. Ia tersenyum. Gadis itu memang tidak berubah sama sekali.

***

Sepiring pizza berukuran besar dan onion ring juga segelas jus jeruk sukses dihabiskan Adam dengan sekejap. Ia puas. Rasa laparnya yang ia tahan nyaris dua hari kini telah terpuaskan. Kekuatannya telah pulih. Saat itu barulah ia menyadari sosok Sierra yang menatapnya lekat-lekat sambil tersenyum.

“Ah, maaf. Aku sudah tidak makan sejak dua hari lalu.,” kata Adam. Ia menunduk malu.

“Tidak apa-apa. Jika kau mau menambah aku bisa membawakan makanan yang lain,” kata Sierra tersenyum.

“Ah, tidak usah repot-repot! Aku sudah kenyang. Terima kasih banyak,” kata Adam buru-buru.

“Benarkah? Karena Adam yang kukenal tidak akan kenyang hanya dengan porsi makanan biasa seperti ini.”
Tampaknya yang tidak berubah bukan hanya Sierra. Ia pun tidak banyak berubah. Adam menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal sambil menyengir. “Aku berusaha untuk mengurangi nafsu makanku yang memalukan itu,” katanya.

“Anak laki-laki memang perlu banyak makan, kan? Bukannya sejak dulu aku sudah katakan, aku akan membuatkan makanan sebanyak apapun untukmu?” Sierra menatapnya dengan tatapan lembut. Ia menopang dagunya di atas tangannya. Di mata Adam sosok gadis itu terlihat begitu bersinar. Jauh berbeda dengannya yang telah kehilangan cahayanya.

“Kau… masih mengingatnya?”

“Tentu saja masih. Bagaimana bisa kulupakan janjiku pada orang yang kusayangi?”

Adam merasa canggung. Ia tidak tahu apa yang harus dikatakannya dalam situasi seperti ini. Dahulu, semasa mereka masih anak kecil di kota Javen, keduanya adalah teman akrab yang sering menghabiskan waktu bersama. Sierra adalah anak seorang pembuat pizza ternama di kota itu, sedangkan Adam adalah anak yatim piatu yang bekerja di tempat ayah Sierra. Sebagai anak kecil, mereka sering bermain bersama, baik saat di rumah makan milik Sierra, di dapur, atau saat mereka telah selesai bekerja. Tidak jarang ayah Sierra memarahi mereka karena bermain di dalam dapur, namun ayah Sierra tidak pernah membenci Adam. Ia bahkan menyediakan sebuah kamar berukuran kecil untuk ditinggali Adam.

Tetapi semuanya berubah ketika kerajaan Adventa menyerang kota mereka. Saat itu Adam kecil tidak tahu apa alasannya mereka diserang. Namun kini ia tahu alasannya. Kota Javen tidak menganut paham yang sama dengan kerajaan Adventa. Mereka tidak mau mengikuti kepercayaan kerajaan itu. Mereka memilih menganut apa yang disebut sebagai Kepercayaan Dunia Lama. Adventa menganggap mereka sesat dan mulai menyerang kota Javen. Mereka mencoba mempertahankan kota itu, namun akhirnya kota itu luluh lantak. Banyak yang terbunuh di tangan prajurit kerajaan itu dan teknologi yang mereka miliki. Mereka yang bertahan hidup melarikan diri ke berbagai tempat di seluruh Dunia Baru. Hidup semua orang berubah, termasuk dirinya. Tetapi Adam bersyukur, setidaknya Sierra tidak mengalami hidup yang sama sepertinya.

“Bagaimana kedua orang tuamu?” tanya Adam berusaha menghilangkan kecanggungannya sendiri. 

“Mereka telah meninggal tak lama kami tiba di tempat ini. Tahun pertama kami berada di sini, kota ini dipenuhi wabah penyakit. Kami bertahan hidup dengan susah payah, namun hidup kami berubah drastis saat seorang kakek datang ke kota ini dan membawakan obat untuk menyembuhkan wabah itu,” jawab Sierra. Untuk sesaat ada kesedihan di dalam suaranya. 

Adam melihat mata gadis itu berkaca-kaca. “Maaf. Aku tidak tahu.”

“Tidak apa-apa. Aku sudah menerimanya. Lagipula ada pengungsi lain dari kota kita yang bersamaku di sini. Aku tidak kesepian sama sekali,” kata Sierra berusaha tabah. Ia menyeka air matanya yang menggenang di matanya dan kemudian kembali tersenyum. Bahkan di saat seperti itupun wajah gadis itu terlihat sangat manis dan bersinar.

“Syukurlah,” kata Adam singkat. Ia terdiam. Sierra terdiam. Keheningan hadir di antara mereka. 

“Aneh, ya? Seharusnya kita yang sudah lama tidak bertemu akan bercerita banyak hal. Tentang apa yang telah kita lewati bersama,” kata Sierra.

Adam tertawa kecil. “Benar juga.”

“Apa kau tidak ingin mendengarkan ceritaku?”

“Kisah perjalananku jauh lebih buruk darimu, Sierra. Percayalah. Aku bahkan tidak ingin mengingatnya lagi,” kata Adam sambil memegangi tengkuknya dengan tangan kiri. Di saat itulah tanpa sengaja punggung tangan kirinya itu terlihat menyembul dari balik lengan overall-nya. Sebuah tattoo berbentuk sulur berduri tampak memanjang di sepanjang tangan itu. Seketika mata Sierra membelalak. Adam yang menyadari perubahan ekspresi gadis itu segera mengikuti arah pandangannya, dan saat ia tahu dengan segera ia merapikan kembali lengan overall itu.

“Adam… simbol di tanganmu itu…”

“Ya. Simbol budak. Makanya aku tidak ingin kau mengetahuinya,” kata Adam pelan. Ia menunduk malu. Ia tidak ingin menatap mata gadis itu, khawatir mendapati dirinya seketika menjadi orang yang hina di mata gadis itu. Tetapi bukan itu yang dilihatnya saat ia mencuri pandang ke arah mata Sierra. 

Gadis itu menangis. Air matanya mengalir di pipinya yang mulus. Adam merasa menyesal keberadaannya membuat gadis itu menangis sekali lagi.

“Maaf. Padahal aku telah berjanji tidak lagi membuatmu menangis,” kata Adam. Ia ingin menyeka air mata yang mengalir di pipi gadis itu, seperti yang sering dilakukannya sewaktu mereka masih kecil. Tetapi tangannya tidak mau mematuhinya.

“Tidak. Kau tidak perlu meminta maaf. Ini bukan salahmu. Kemalangan kita karena Adventia. Sama sekali bukan karena kesalahan kita,” kata Sierra di sela-sela tangisnya. 

Meski tersirat, ada kebencian yang nyata pada kerajaan di Tanah Tengah itu dalam perkataan Sierra. Gadis yang polos itu pun dipaksa mengenal kebencian dan dendam oleh Adventia. Kebencian Adam semakin menjadi-jadi pada kerajaan itu, namun jika ia menunjukkan kebencian itu di hadapan Sierra saat ini maka kebencian gadis itu pun semakin bertambah. Ia memutuskan mengendurkan kepalan tangannya yang telah menegang dan menyentuh tangan gadis itu.

“Setidaknya kau tidak mengalami hal yang sama sepertiku. Revena sepertinya juga tidak terlalu mempermasalahkan keyakinan penduduknya di sini. Dan yang pasti kita jauh dari Kerajaan Adventia. Jadi tenanglah, Sierra,” kata Adam berusaha menenangkan gadis itu. “Aku tidak apa-apa. Aku sudah bebas.”

“Kau bohong, kan? Selama seseorang masih memiliki tatto itu selamanya mereka adalah budak. Dan mereka akan bisa menemukanmu di manapun kau bersembunyi,” kata Sierra dengan suara parau.

“Mereka mungkin memperbudak diriku, tapi mereka hanya memakaikan simbol ini di dagingku. Jiwaku tetap merdeka. Dan jika mereka berusaha mencariku, aku akan pergi ke tempat di mana mereka tidak akan menemukanku.”

Sierra menatap penasaran pada Adam. Tatapan yang sangat dikenalnya saat gadis itu ingin mengetahui sesuatu. “Kau tahu mimpi yang selalu kuceritakan padamu, Sierra?” tanya Adam.

“Tentang dirimu yang terbang di atas langit bersama ratusan burung camar?”

“Ya. Mimpi itu masih tetap kuingat meski aku mengalami siksaan setiap hari. Mimpi itu satu-satunya yang membuatku bertahan hidup. Bahwa suatu saat nanti aku akan dapat mencapai Gerbang dan mendorongnya. Saat itu aku akan membebaskanmu dan semua orang dari kota kita dari Dunia Baru ini, seperti yang dikatakan dalam legenda yang kita dengar sewaktu kita masih kecil,” kata Adam. Membicarakan mimpi semasa kecilnya selalu membuatnya bersemangat. Namun di saat bersamaan mimpi itu pulalah yang menjadi sebab semua siksaannya selama ia masih dalam penjara para budak. Menatap wajah Sierra yang mulai kembali bersinar membuat Adam tidak peduli lagi pada penderitaan dan trauma siksaan yang dirasakannya akibat mimpi itu.

“Kau memang tidak berubah, ya? Tapi aku senang karena kau tidak melupakan mimpi itu,” kata Sierra. Ia masih sesengukan, namun senyum cerah sudah mulai menghiasi wajahnya yang manis kembali. “Dan tidak kusangka kau masih ingat janjimu waktu itu.”

“Tapi aku melanggarnya. Aku membuatmu menangis.”

“Memang.” Sierra terdiam sesaat. Ia melirik ke arah pria itu dan berpura-pura cemberut. “Dan kau masih ingat apa hukumannya jika kau membuatku menangis lagi, kan?”

Adam tiba-tiba merasakan wajahnya terasa hangat. “Itu kata yang kuucapkan tanpa tahu apa artinya sewaktu masih kecil. Sekarang kita sudah—”

“Sudah terlambat dan aku tidak peduli,” potong Sierra. Ia segera berdiri dari kursinya dan mencondongkan tubuhnya ke arah Adam. Dengan cepat ia menyarangkan sebuah ciuman ke pipi pria itu sebelum akhirnya meninggalkan ruangan tempat mereka berada dengan langkah riang.

[Jumlah kata: 1779]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar