Senin, 30 Januari 2012

Faux Ciel Bab 20 - Ujian

“Tidak kusangka aku  akhrinya terbiasa dengan sosok seperti ini,” kata Adam. Sosoknya kini tidak lagi berambut hitam pendek, melainkan berambut emas dan memanjang hingga ke pinggangnya. Matanya juga berubah menjadi merah. Di punggungnya kini terdapat sepasang sayap seperti sayap elang yang terbuat dari gumpalan-gumalan cahaya yang menyelimuti dirinya. Sosok seorang Advano yang dulu sangat dibencinya kini menjadi satu-satunya cara untuk menyelamatkan mereka semua dari para Advano yang bergerak cepat ke arah mereka.

“Adam, kau dengar?” Suara sang Kunci kembali didengar Adam. Tetapi berbeda dari sebelumnya, suara itu tidak terdengar di dalam kepalanya, melainkan seperti berada di dekat telinganya.

“Kau Sang Kunci, bukan? Kau tidak bergabung denganku lagi?” tanya Adam.
“Belum saatnya. Tetapi sekarang kau kuakui sebagai sang Pembuka Pintu. Sebelum kau bisa mencapai pintu itu kau harus mengalahkan mereka berlima dulu,” jawab sang Kunci.
“Siapa mereka sebenarnya?” tanya Adam.
“Mereka adalah lima Advano tertinggi. Mereka adalah para Hakim yang akan menguji apakah seseorang yang akan membuka pintu itu adalah memang orang yang layak untuk membukanya,” jawab sang Kunci.
“Jadi ujiannya adalah kekuatan?”
“Kuharap juga seperti itu. Tetapi sepertinya ada yang lain. Maaf, selebihnya aku tidak tahu,” kata sang Kunci.
“Sepertinya ini adalah saat penentuan. Dan sampai sekarang aku tidak tahu kau ini sebenarnya apa. Jadi sekarang kau ingin menjelaskannya?” tanya Adam.

Sang kunci terdengar menghela napas panjang. “Akan kujelaskan secara singkat. Aku dibuat dengan gen dari para Advano yang membuat dunia ini. Aku mewarisi sedikit pikiran mereka, juga kepribadiannya. Aku, meskipun adalah bagian dari mereka, berada di pihak manusia. Aku adalah penjaga keseimbangan. Tetapi para Advano saat ini telah jauh berbeda dengan mereka seribu tahun lalu. Mereka terkotori emosi negatif manusia. Karena itu kali ini aku memutuskan untuk muncul dan memurnikan mereka,” jawab sang Kunci.

“Kali ini? Apa sebelumnya mereka telah mencoba untuk membangkitkan Kunci seperti sekarang?”

“Ya. Dan dengan cara-cara yang sangat tidak manusiawi seperti yang mereka lakukan pada ibu kandung Eva. Bagi manusia busuk itu manusia lain tidak ubahnya binatang yang bisa dipaksa beranak pinak dan dibunuh begitu saja. Belum lagi mereka bersekutu dengan Advano dan membuat mereka yang seharusnya menjadi penjaga dunia ini bergeser menjadi ingin menguasainya,” kata sang Kunci.

“Apa tidak ada lagi yang baik di pihak Advano?”
“Kurasa masih ada satu atau dua. Dan kurasa dia ada di antara tamu yang menyongsong kita saat ini,” kata sang Kunci.
“Bagaimana kau bisa tahu?”
“Aku setua dirinya. Dia adalah salah satu Advano yang masih murni, salah satu yang membentuk dunia ini dengan kekuatan Panacea miliknya.”
“Lalu mengapa dia sekarang memilih untuk menyerang manusia?”
“Bukan manusia, tetapi siapapun yang mendekati Pintu. Lagipula sekarang dia adalah penguji. Jika kau berhasil meyakinkannya, dia mungkin akan mengizinkan kita mendekati sang Pintu.”
“Lalu bagaimana dengan yang lainnya?”
“Aku merasakan amarah dan kebencian yang tidak terhingga dari dua Advano lainnya. Kalau berhasil mengalahkan keduanya, aku kira kita bisa meyakinkan sisanya. Kuharap lawan kita hanya dua Advano itu.”
“Kenapa?” tanya Adam.
“Karena tiga Advano lainnya adalah yang paling kuat di antara semua Advano. Termasuk dia yang menguasai Panacea, sumber kekuatanku,” jawab sang Kunci.
“Sepertinya kau benar. Dua titik cahaya saja yang semakin mendekat kemari. Sedangkan tiga lainnya tetap di tempatnya,” kata Adam.
“Syukurlah. Aku tahu kau bisa melakukannya. Kupinjamkan kekuatanku padamu. Bukalah pintu itu, Adam,” kata sang Kunci.
“Tunggu! Bagainmana dengan Eva dan Sierra? Kalau kita bertarung di atas kota bukankah yang berada di bawah sana akan ikut terlibat?”
“Karena itulah Eva melayang di udara seperti sekarang. Semua serangan tidak akan melewatinya. Dia adalah perisai untuk kota itu.”
“Lalu apa yang akan terjadi padanya jika ia menerima serangan itu?”

“Jangan khawatirkan hal seperti itu. Berbeda dengan penyatuanku denganmu saat itu, aku dan Eva bisa dikatakan sebagai satu kesatuan. Dengannya aku bisa mengeluarkan kemampuan terbaikku. Selesaikan cepat dan bawa Eva bersamamu menuju Pintu itu,” kata sang Kunci.

Adam baru membuka mulutnya untuk kembali bertanya saat tiba-tiba dua berkas cahaya berwarna merah dan hijau memancar seperti ditembakkan ke arahnya. Adam segera menghindari kedua serangan itu, tetapi sinar itu tidak berhenti. Kedua sinar itu terus menuju ke arah kota. Adam terkejut. Ia mengira kota itu akan hancur karena serangan sinar itu. Tetapi kedua berkas cahaya itu lenyap seperti ditelan sesuatu. Adam melihat keduanya seperti mengenai selaput tipis yang beriak seperti air kolam yang ditimpa batu. Di tengah-tengah selaput tipis itulah Eva berada.

“Kau lihat? Kau tidak perlu khawatir melawan mereka. Sekarang keluarkan pedangmu. Kita akan membuat mereka merasakan serangan mereka sendiri,” kata sang Kunci.

“Ide bagus,” kata Adam. Ia mencoba mengingat sensasi pedang dan baju zirah pelindung yang dulu dikenakannya saat bertarung. Tidak sulit untuk kembali mengingatnya. Dengan segera seluruh tubuhnya telah dibalut pakaian zirah itu, dan di tangan kanannya pedang itu pun telah muncul.

Bersamaan dengan munculnya baju zirah dan pedang itu, wujud kedua titik cahaya di langit itu juga mulai tampak. Keduanya kini hanya terpisah dua ratus meter dari Adam. Seperti Advano yang dilawan pria itu dahulu, wujud keduanya adalah raksasa.

“Setelah Quetzalcoatl, sekarang Wyvern dan Daemon rupanya,” kata sang Kunci.

Cahaya yang meliputi kdeua sosok raksasa itu perlahan meredup. Sebagai gantinya kini berdiri makhluk yang menyerupai wujud Quetzalcoatl, namun dengan sayap kelelawar dan bertangan dan berkaki. Kepala makhluk itu terlihat seperti kepala kadal dan seluruh sisiknya berwarna hijau. Sedangkan makhluk di sebelahnya berbentuk seperti kambing yang berdiri dengan dua kakinya. Kaki depannya berubah bentuk menjadi tangan manusia. Tanduknya menjulang tinggi hingga sepanjang lengannya. Matanya hitam, sedangkan semua rambut di tubuhnya berwarna merah.

“Mereka musuhku?” tanya Adam.
“Begitulah,” jawab sang Kunci.

Sosok berwarna hijau meraung. Suaranya jauh lebih keras daripada Quetzalcoatl saat itu, tetapi Adam sudah terbiasa dengan suara seperti itu. 

“Jadi kau manusia itu?” kata sosok berwarna merah. “Kau manusia hina yang berani melawan kami? Hah! Jangan bermimpi! Kau pikir bisa menghadapiku, Asdaros sang Daemon?!” kata sang Advano. Ia tertawa menghina Adam. Suara tawanya memenuhi udara. Seandainya manusia biasa yang menghadapinya saat ini, pastilah manusia itu sudah mati karena suara yang memecahkan gendang telinga itu.

“Jadi namamu Asdaros? Lalu siapa makhluk aneh di sampingmu ini?” tanya Adam pada sosok berwarna hijau di sebelah Asdaros.

Sosok berwarna hijau itu mengamnuk. Ia mengeluarkan cahaya hijau ke arah Adam, namun dengan cepat Adam menangkisnya dengan pedang di tangannya. Sosok itu terkejut, namun kemudian ia tertawa. “Heh! Ternyata kau hebat juga bisa melawan serangan Marr yang hebat ini,” kata sosok itu.

“Todak di manapun kalian semua sombong, ya? Mau merasakan bagaimana kekuatanmu sendiri, Marr sang Wyvern?” kata Adam. Secepat kilat ia menebas udara di depannya. Sebuah sinar berwarna hijau melesat keluar dari pedangnya. Sinar itu sangat cepat hingga sang Advano sendiri tidak melihatnya. Dalam sekejap tubuh makhluk berwarna hijau itu terbelah. Advano berwaran itu sendiri tidak sadar saat tubuhnya terpotong, sampai akhirnya ia terpisah sempurna dan hancur. 

“Apa!?” seru Asdaros. Matanya yang sepernuhnya hitam itu terbelalak. Ia tidak percaya Advano seperti mereka dimusnahkan begitu saja hanya dengan sebuah serangan. Amarahnya memuncak. Ia berteriak sekeras-kerasnya. Dari mulutnya muncul api yang menyala-nyala. Api itu perlahan-lahan berubah bentuk menjadi cahaya, dan dengan sebuah sentakan Advano itu melepaskan seluruh api itu ke arah Adam. 

“Akan kuterima,” kata Adam. Ia menebas api itu sebelum api itu mengenai tubuhnya. Seketika itu pula serangan itu menghilang, terserap ke dalam pedang di tangan kanannya. Ia mengangkat pedang itu dan menebas udara ke arah Asdaros. Tetapi sosok raksasa Advano itu dengan secepat kilat menghindarinya dan telah berada di belakang Adam.

“Apa?!” seru Adam. Sebelum ia sempat menghindar, sebuah pukulan dari Advano itu telah menghantamnya. Tubuhnya bagaikan dihantam sebuah gunung. Baju zirah yang digunakannya retak. Ia berkonsentrasi memperbaiki retakan itu, namun Asdaros sudah kembali menyerangnya dari atas. Dengan sekuat tenaga Advano itu memukul tubuhnya jatuh. Ia seperti tidak berdaya terhempas memasuki laut.

“Hanya seperti itu kemampuanmu, manusia?!” teriak Asdaros. Ia mengarahkan telapak tangannya ke permukaan laut di mana Adam terjatuh. Dalam sekejap sebuah cahaya berwarna merah melesat keluar dari telapak tangannya menuju ke laut itu. Sedetik kemudian laut itu seperti terbelah. Ledakan yang disebabkan cahaya itu telah membuat dasar laut itu terlihat. Tetapi Asdaros tidak berhenti sampai di situ saja. Ia berkali-kali melepaskan sinar itu hingga akhirnya nyaris membuat kota Kalis tenggelam oleh gelombang besar. Seandainya tidak ada tabir dari Eva, maka pastilah itu terjadi.

“Rasakan itu, manusia!” teriak Asdaros. Ia tertawa terbahak-bahak melihat kehancuran yang dilakukannya. Ia sangat yakin ia telah membunuh sang Pembuka Pintu. Dengan demikian, sudah tidak ada lagi yang akan berani melawan para Advano.

Atau setidaknya begitulah yang dipikirkannya.

Sebelum sempat menyadari apa yang terjadi, tubuh Asdaros telah terpotong menjadi enam bagian. Kepalanya yang tertebas terjatuh bersama bagian-bagian tubuhnya yang lain. Di saat itulah ia melihat sosok Adam yang berdiri di belakangnya dengan pedang yang terhunus. Manusia itu selamat dari serangannya dan menyerang balik dirinya, memotongnya  menjadi enam dan mengalahkannya dengan mudah.

“Tidak… mungkin…” kata Asdaros. Sedetik kemudian tubuhnya pun hancur. Ledakan yang ditumbulkannya jauh lebuh besar daripada ledakan saat tubuh Marr, sosok Advano yang bertubuh hijau itu hancur.

“Sisa tiga. Aku harap aku tidak melawan mereka,” kata Adam.
“Aku juga,” kata sang Kunci.

***


Ketiga sosok yang mengawasi pertarungan itu tidak melepaskan pandangan mereka dari Adam. Mereka kagum melihat pertarungan yang disajikan oleh manusia itu, meski pada akhirnya dua rekan mereka terbunuh olehnya.

“Marr dimusnahkan begitu saja,” kata Farros. Cahaya yang melingkupinya perlahan menghilang. Wujudnya tersingkap. Berbeda dengan bentuk kristalnya, kini wujudnya adalah seekor kuda raksasa berwarna putih dengan sebuah tanduk di kepalanya.

“Dia musnah karena kesombongannya,” kata Darra. Seperti halnya Farros, wujudnya perlahan-lahan tersingkap dari cahaya yang melingkupinya. Kini ia tampak seperti singa raksasa berkepala elang dengan sepasang sayap elang di punggungnya.

“Sebentar lagi Asdaros akan menyusulnya. Dengan demikian, giliran  kita untuk menghadapinya,” kata Barazza. Sosoknya kini bukanlah kristal berbentuk angka delapan, tetapi seperti manusia berukuran raksasa dengan delapan tangan. Seluruh tubuhnya dibalut semacam perban, kecuali wajahnya yang terlihat dengan jelas. Kedua matanya yang berwarna merah memandang tubuh Adam yang terhempas dihantam oleh Asdaros. Meski posisinya tampak tidak menguntungkan, ia tahu manusia itulah yang akan memenangkan pertarungan itu.

Dan dugaannya benar. Asdaros yang sombong dan angkuh berakhir seperti Marr, dengan badan yang terpotong menjadi enam bagian dan hancur hanya dengan sebuah serangan dari seorang manusia. Bahkan Jerez yang memiliki posisi lebih rendah dari mereka berlima berjuang lebih keras darinya.

“Saatnya telah tiba. Mari menguji apakah dia layak menjadi seorang Pembuka Pintu,” kata Barazza. “Mari!”
“Mari!” seru kedua Advano lain yang berada di sisi kiri dan kanannya itu.

***

Adam kini berada di antara ketiga Advano berukuran raksasa itu. Seekor kuda raksasa dengan sebuah tanduk besar di sisi kirinya. Seorang manusia raksasa dengan seluruh tubuhnya ―terkecuali kepala dan wajahnya― terbalut kain seperti perban yang dibalutkan Sierra padanya beberapa hari lalu berdiri tepat di depannya. Seekor makhluk aneh yang terlihat seperti gabungan singa dan elang berada di sisi kanannya. Ketiganya hanya memiliki kesamaan pada rambut emas mereka dan mata mereka yang merah.

“Aku tidak menyangka berada di antara tiga makhluk raksasa ini sekarang,” bisik Adam. “Dan aku kagum pada diriku sendiri karena memiliki keberanian untuk tidak melarikan diri, juga kewarasan untuk tidak melawan mereka di saat seperti ini.”

“Baguslah,” kata sang Kunci. Ia terdengar lega. Adam dapat mendengar suara desahan leganya di telinganya. “Setidaknya kau memiliki akal sehat. Lagipula mereka tidak sedang ingin menghancurkanmu. Setidaknya tidak sekarang.”

“Maksudmu ada kemungkinan mereka menghancurkanku saat ini?” tanya Adam.
“Mungkin. Ingat, ini ujian. Kalau kau gagal, kau akan mati diserang mereka. Dan kau tidak akan bisa melarikan diri dari kepungan mereka,” jawab sang Kunci.

“Aku ingin tahu ujiannya seperti apa,” kata Adam bersemangat. Entah darimana semangatnya itu bersal, tetapi ia merasa siap menghadapi apapun saat ini. Ia tidak merasakan keinginan untuk membunuh dari ketiga Advano yang berada di depannya saat ini. Tetapi di saat bersamaan ada sensasi menekan yang dirasakannya.

“Apa kau siap menerima ujianmu, Manusia?” tanya sosok manusia raksasa di depan Adam.

Adam mengangguk mantap. Sosok di depannya tersenyum. “Adam, sang Manusia, keteguhan hatimu akan menentukan nasibmu dan dunia ini. Ujian ini akan menentukan apakah kau layak membuka pintu itu atau tidak. Bila kami menganggapmu tidak layak, kami akan menghancurkanmu karena merusak kesetimbangan alam ini,” kata sosok manusia raksasa itu lagi.

“Lebih baik daripiada membiarkan segelitir manusia saja yang menguasai pintu itu dan menyelamatkan diri mereka,” kata Adam.
“Kau tahu hal itu?” tanya kuda bertanduk di sisi kirinya.

Adam menoleh pada kuda raksasa itu dan menjawab dengan mantap, “Ya. Seseorang menceritakan itu padaku, dan temanku membenarkannya. Aku tahu bagaimana Adventa telah berlaku semena-mena pada semua manusia yang berada di Faux Ciel. Aku tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi bila mereka membuka pintu itu.”

“Sejak kapan kita berteman?” tukas sang Kunci. Tidak ada yang mempedulikan perkataannya itu. Tetapi ia lega karena hal itu. Ia tidak ingin menyela para makhluk raksasa itu dan membuat mereka marah. Bahkan iapun tidak akan selamat bila mereka bertiga murka padanya.

“Mereka adalah perwakilan kami di dunia ini. Kami membuat dunia ini agar manusia mau belajar berdamai dengan sesama mereka. Kami berharap suatu saat nanti sifat buruk manusia yang suka saling menghancurkan sesamanya akan hilang. Tetapi beberapa dari kami menyimpang karena mereka merasakan sifat buruk manusia. Dan mereka menikmatinya. Kau baru membunuh dua di antara mereka,” kata kuda raksasa itu.

“Lalu, apa kalian juga seperti mereka berdua?” tanya Adam.

“Tidak. Kami berbeda. Kami lebih suka membiarkan manusia hidup sebagaimana adanya. Kami lebih suka mengatur dari balik layar, dengan mengizinkan mereka mengembangkan budaya mereka kembali. Barazza yang agung mengizinkan cairan emas yang kalian sebut Panacea itu mengalir dari tubuhnya untuk menjadi kekuatan kalian. Tetapi kalian mengubahnya menjadi senjata!” kata makhluk di sebelah kanan Adam.
Adam menoleh ke sebelah kanan. “Lalu mengapa kalian membiarkan kerajaan lalim seperti itu masih ada? Tidakkah itu membuat kalian terlihat seperti penjahat?” tanyanya pada sosok yang berada di sebelah kanannya.

“Jika kami mengambil tindakan saat itu juga, maka kehadiran kami akan mengacaukan keharmonisan alam di dunia ini. Kami tidak boleh berada di dalamnya, atau dunia ini akan hancur karena tertekan oleh kekuatan kami,” jawab sosok berkepala elang dan bebadan singa itu.

“Lalu bagaimana kau menjelaskan dua orang Advano yang membunuh kedua orang tuaku dan dia yang menyerangku di Ravena?” tanya Adam lagi.

“Kedua Advano itu adalah kesalahan kami. Seharusnya kami tidak mendengarkan permohonan Edward, raja Adventa, saat dia berkata sebuah keluarga sedang berencana menghancurkan dunia ini dengan melakukan hal terlarang di dunia ini. Membangkitkan kembali senjata pemusnah massal yang mampu membunuh semua manusia, seperti yang kalian miliki dulu di dunia lama  kalian. Saat kami menyadari kesalahn kami, semuanya sudah terlambat. Terlebih lagi itu membuatmu bertemu dengan sang Kunci dan memaksamu menjalani takdir seperti ini. Maafkan kami,” kata sosok itu lagi.

“Maafmu tidak akan menghidupkan orang tuaku kembali,” kata Adam. Ia mulai merasa geram kembali. Sang Kunci mengingatkannya untuk tidak memancing kemurkaan ketiga Advano itu, tetapi ia tidak mempedulikannya.

“Kami mengerti. Dan kini kau menemukan seseorang yang berharga, bukan?” kata sosok manusia raksasa di depan Adam.

“Aku tahu,” kata Adam pada sosok itu. “Tetapi tetap saja aku masih membenci kalian karena hal itu.”
“Kau bisa membalasnya pada kami jika kau ingin. Tetapi itu jika kau bisa melewati ujian ini. Bahkan jika kau membunuh kami, kami tidak akan melawan. Aku, Barazza, menjamin itu padamu dengan semua Panacea yang mengalir di dunia ini,” kata sosok manusia di hadapan Adam.

“Akan kuingat itu,” kata Adam.

Ketiga Advano itu mengangkat kepala mereka. Mata merah mereka bersinar. Cahaya berwarna merah memancar keluar dari ketiga pasang mata mereka dan menyorot langit di atas mereka. Seketika itu pula muncul sebuah lingkaran dengan pinggiran berwarna emas yang semakin membesar dan mendekati mereka berempat. Adam menatap mantap saat lingkaran itu akhirnya menelan mereka berempat ke dalam sebuah tempat yang tidak asing untuknya. Dunia yang sering di lihatnya dalam mimpinya sendiri. 

***

Sensasi nikmat berdiri di atas langit memandangi matahari yang mulai naik di sebelah timur tidak pernah membuatnya bosan. Ia bisa menikmati pemandangan itu selama apapun, tetapi tidak kali ini. Ketiga Advano yang bersamanya di luar sana juga berada di dalam dunia mimpinya itu.

“Kami melihat mimpimu. Dan kami melihat kedamaian di dalam mimpimu itu. Ini adalah harapanmu. Dan dengan ini kau telah lulus ujian pertama, ujian dariku, Farros sang Unicorn,” kata sosok kuda raksasa bertanduk di sisi kiri Adam.

“Semudah itu?” tanya Adam.
“Tidak juga. Masih ada dua ujian lain dari mereka,” kata kuda itu.
“Sekarang aku yang mengujimu. Apa yang akan kau lakukan dengan kesetimbangan di dunia ini bila kau masih berniat membuka pintu itu? Apa kau tidak tahu bila membuka pintu itu maka dunia ini akan hancur? Bagaimana kau yakin bila di seberang sana ada kehidupan yang layak?” tanya sosok berkepala elang dan berbadan singa di sisi kanan Adam.

“Aku tidak tahu. Tetapi aku percaya ada sesuatu yang lebih baik dari dunia ini. Kebebasan manusia adalah apa yang membuat mereka menjadi manusia. Tetapi aku tidak menolak pemikiran untuk membatasi kebebasan itu agar manusia tidak saling menghancurkan. Tetapi biar manusia yang mengatur diri mereka sendiri, karena hanya mereka yang tahu diri mereka sendiri. Bukankan dunia lama kami, sebuah tempat bernama Bumi, telah ditinggalkan sekian lama? Mungkin saja dunia itu telah layak kami huni kembali,” jawab Adam.

“Bagaimana kau yakin Bumi masih layak kalian huni? Bagaimana dengan mereka yang lebih suka berada di tempat ini?” tanya sosok itu lagi.
“Aku percaya. Aku tidak melihat pilihan lain untuk tidak percaya saat aku mendengar bahwa dunia ini akan hancur. Panacea telah dikuasai sepihak oleh Adventa dan hanya sedikit yang diterima oleh orang lain. Kesetimbangan yang kau katakan telah hancur sejak awal. Maka dari itu, lebih baik manusia hidup tanpa Panacea dan menjalani hidupnya kembali seperti dahulu,” jawab Adam kembali.

“Kau tetap percaya bahkan saat kau tidak punya landasan untuk itu? Kau tidak takut?”
“Hanya itu yang kami punya, bukan?” balas Adam.
Sosok berkepala elang dan berbadan singa itu mengangguk. “Kepercayaan manusia untuk hidup yang lebih baik memang mengagumkan. Bahkan saat ketidakpastian dan ketakutan menghadang kalian. Kau lolos ujian dariku, Darra sang Griffin,” kata sosok di sebelah kanan Adam itu.

“Berarti sisa satu lagi?” kata Adam sambil menoleh pada sosok manusia raksasa dengan perban di sekujur tubuhnya. Sosok di depannya itu mengangguk.
“Apa yang paling berharga untukmu? Akan kuberikan itu padamu,” kata Barazza, manusia raksasa itu.
“Untuk apa kau memberikannya padaku?” tanya Adam.
“Sebagian dari permintaan maafku, sebagian lagi untuk mengujimu. Bahkan jika kau meminta seluruh dunia ini akan kuberikan padamu,” kata Barazza.
“Apa gunanya menguasai seluruh dunia yang akan hancur sebentar lagi?”
“Kaualu begitu aku tinggal membuat dunia baru dan memindahkan kalian semua ke sana. Aku akan membuatmu ternama dan memerintah mereka. Kau akan dikelilingi para wanita. Kau akan dipuja bagai pahlawan dan bergelimang harta. Sebagai gantinya kau tidak boleh membuka pintu itu. Kau setuju?” tanya Barazza.
Adam menghela napas. “Aku tidak mau menjadi orang sehebat itu. Aku tidak suka menjadi sombong. Aku hanya mau bebas dari tempat ini dan dari kalian,” jawab Adam.
“Kalau kuberikan Sierra padamu?”
Adam tersenyum. “Cinta tidak bisa diberi begitu saja, tetapi diperjuangkan. Aku tidak butuh bantuanmu untuk itu. Aku masih mampu melakukannya sendiri,” katanya.
Barazza tersenyum. “Jadi kau tidak tertarik pada harta, kekuasaan, dan wanita?” tanyanya.
“Tidak. Aku hanya ingin menjalani hidupku sendiri seperti yang kuinginkan. Aku hanya ingin hidup bersama orang yang kusayangi. Aku hanya ingin hidup dari apa yang dihasilkan tanganku,” jawab Adam. “Dan aku ingin bebas dari kalian, itu saja!”

Barazza mengangguk. “Baiklah. Kau tidak seperti raja-raja Adventa yang memilih harta, kekuasaan dan wanita sebagai ganti kebebasannya. Kami menyatakan kau lulus. Sekarang pergilah menuju pintu itu,” katanya sambil mengangkat tangan kanannya. Sebuah lingkaran dengan tepian berwarna emas kembali muncul dan menelan mereka. Dalam sekejap mereka kembali ke tempat asal mereka. Barazza menunjuk ke arah selatan. Sebuah pintu dengan ukiran sulur tanaman yang menghiasinya tampak melayang di langit. Cahaya berwarna keemasan menyinarinya dari bawah. Adam pernah melihatnya sekali di mimpinya. Akhirnya ia sadar apa maksud dari mimpinya saat itu, mimpi sehari sebelum ia bertemu dengan Eva. Ia memang membutuhkan Kunci untuk membukanya. Itulah maksud Eva saat itu.

“Sekarang, apa yang akan kau lakukan pada kami?” tanya Farros.
“Membunuh kalian semua pun tidak akan mengubah masa laluku. Lagipula ada bagian dari masa laluku yang tidak ingin kuubah,” jawab Adam. 

Adam membentangkan sepasang sayap elang di punggungnya. Dengan cepat ia melesat ke arah pintu itu.
“Ini adalah saatnya,” kata sang Kunci. “Sebentar lagi tugasku selesai dan kau akan bebas. Bersama semua manusia di sini tentunya.”
“Bagaimana denganmu?” tanya Adam.
“Takdirku memang adalah untuk hilang saat tugasku selesai. Tetapi tenang saja, Eva akan tetap hidup karena dengan ini perjanjian antara kami telah selesai,” jawab sang Kunci.
“Meski sebentar, kau teman seperjuangan yang menyenangkan,” kata Adam.
“Terima kasih. Hanya kau yang menganggapku sesuatu,” kata sang Kunci.
“Memang kau itu sesuatu, kan?” kata Adam. Ia tersenyum jahil. “Sesuatu yang menyebalkan dan tidak bisa dibenci.”


[Jumlah kata: 3387]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar