Senin, 23 Januari 2012

Faux Ciel Bab 16- Menuju Klais



Perjalanan dengan menggunakan perahu motor dari Pulau Arron menuju Pulau Klais memakan waktu sekitar dua jam. Kesempatan itu digunakan sebaik mungkin oleh Lambert dengan beristirahat di dalam ruang kabin perahu itu. Ya, perahu motor yang dipinjamkan oleh Walikota Albertino Han berukuran cukup besar, sampai-sampai jika ingin mengadakan pesta barbekyu sangat mungkin dilakukan di atas kapal itu. Ruang kemudi dikendalikan oleh seorang kapten kapal. Terdapat tiga ruang kabin untuk penumpang di bagian anjungan. Sebuah tangga yang cukup landai menghubungkan antara lorong kecil di depan kabin dan ruang kabin. Di bawah kabin terdapat ruang makan dan kamar mandi. Di lantai yang sama juga terdapat ruang mesin.

Sementara Lambert tidur di dalam kabin, Adam berdiri di buritan sambil menikmati pemandangan laut yang menyegarkan. Beberapa hari lalu ia juga menaiki kapal sewaktu menuju Pulau Arron. Tetapi saat itu ia sedang melarikan diri dan ia terpaksa menyelinap di antara kargo rempah-rempah dari timur yang dibawa sebuah kapal. Ia terpaksa meringkuk di antara peti-peti besar dengan bau menyengat khas dari rempah-rempah di sekelilingnya. Matanya tidak sekalipun terpejam selama perjalanan itu. Ia mengawasi sekitarnya, kalau-kalau ada orang yang menyadari keberadaannya di tempat itu. Seandainya ada yang mengetahui ia menyelinap di dalam kapal itu, maka pasti ia akan dilempar keluar dari kapal itu.


Adam bersyukur saat itu kapal yang ditumpanginya memiliki keamanan yang sangat longgar. Begitu tiba di kota Ravena, Adam segera menyelinap keluar dari ruang geladak kargo itu dan bersikap seperti penumpang biasa. Begitulah ia selamat keluar dari kapal itu.

Saat Adam sedang menikmati pemandangan dari buritan, ia merasakan seseorang menarik bajunya dari belakang. Adam menoleh ke belakang dan menemukan Eva sedang menarik bajunya. Rambut emasnya tampak berkilau di bawah sinar matahari. Tetapi kulitnya yang putih tampak memerah karena tersengat matahari.

“Kulitmu terbakar. Sebaiknya kau masuk ke dalam,” kata Adam.
Eva menggeleng. Adam mengernyitkan dahinya.
“Aku sedang ingin berdiri di sini. Kau tidak usah menemaniku,” kata Adam.
“Aku bosan,” kata Eva.
Adam menghela napas. “Kau bisa tidur kalau kau bosan,” katanya.
“Aku bosan tidur,” kata Eva merajuk.
“Lalu maumu apa sekarang?”
“Aku hanya mau melihat laut. Angin laut enak,” jawab Eva.
“Tapi kulitmu terbakar. Sebaiknya kau masuk kembali ke kabin atau mengambil sesuatu untuk melindungi kepalamu,” kata Adam.

Eva hanya menanggapinya dengan tatapan bingung. Adam kembali menghela napasnya.
“Kau tidak tahu mau menggunakan apa?” tanya Adam.
Eva membalasnya dengan anggukan.
“Ikut aku!” kata Adam. Ia menarik tangan gadis itu menaiki anjungan. Di salah satu kamar di kabin itu Sierra sedang mengatur barang-barang mereka. Adam memasuki ruangan itu sambil menarik tangan Eva ke dalam ruangan itu.

“Ada apa?” tanya Sierra heran melihat keduanya masuk bersamaan.
“Punya sesuatu untuk menutupi kepala anak ini?” tanya Adam sambil menunjuk pada Eva.
“Untuk apa?” tanya Sierra.
“Dia memaksa ingin menikmati angin di buritan kapal, tetapi kulitnya tidak tahan panas matahari. Kalau dibiarkan bisa-bisa dia pingsan karena sengatan matahari,” jawab Adam.
“Aku tidak membawa topi atau semacamnya. Tapi ada mantel kalau kalian mau. Kupikir tidak akan terlalu panas kalau memakai mantel di buritan yang berangin seperti di luar,” kata Sierra sambil membongkar salah satu ransel. “Ini dia,” katanya saat menemukan mantel yang dimaksudnya.

Mantel itu terbuat dari kain yang tidak terlalu tebal dengan warna tanah. Mantel itu memiliki tudung pelindung kepala. Sangat cocok untuk segala musim. Sierra menyerahkan mantel itu pada Adam, yang menerimanya dengan senang hati.
“Terima kasih,” kata Adam.
“Tidak apa-apa,” balas Sierra.

Adam menyerahkan mantel itu pada Eva, tetapi gadis itu hanya melihatnya dengan tatapan polosnya.
“Jangan katakan kau juga tidak tahu memakai mantel,” kata Adam.

Eva menggelengkan kepalanya dengan takut. Ia takut dimarahi oleh pria itu. Lagi. Tetapi Adam tidak marah. Ia hanya menarik napas dan mambuangnya secara perlahan.
“Baiklah, akan kutunjukkan cara menggunakan benda ini,” kata Adam. Ia membentangkan mantel itu dan mengenakannya ke tubuh Eva. Ia membiarkan mantel itu terbuka agar angin masih bisa masuk ke bagian dalam mantel itu.
“Sudah selesai. Lain kali kau pakai sendiri. Mengerti?” kata Adam.

Eva mengangguk dengan cepat. Adam tersenyum melihat tingkah Eva yang terlihat seperti anak kecil. Ia mencoba mengerti gadis itu. Ia tahu gadis itu banyak tidak tahu hal di dunia ini karena terlalu lama tinggal di dalam tabung silinder berisi Panacea ―sesuatu yang harus dilakukan untuk melindunginya dari kerajaan Adventa. Karena itu ia memutuskan mengajari gadis itu sebaik mungkin.

Adam menaikkan tudung mantel Eva ke kepalanya. “Sekarang kau bisa menikmati angin di buritan sebebas-bebasnya tanpa membuatku khawatir lagi,” kata Adam sambil menepuk-nepuk lembut kepala gadis itu.
Eva tersenyum manis pada Adam sebelum berlari keluar kabin itu. “Hati-hati! Jangan sampai jatuh!” seru Adam mengingatkan gadis itu. Eva mematuhinya dan memelankan langkahnya.

Tingkah Eva membuat siapapun tidak bisa marah padanya. Ia hanya gadis berusia enam belas tahun yang kekanak-kanakan. Keceriaannya mencerahkan dunia di sekitarnya. Termasuk pula dunia Adam. Pria itu tidak menyadari sejak kapan gadis itu menjadi begitu menyenangkan untuk dilihat. Meski terkadang menyebalkan, Adam tidak pernah bisa benar-benar marah pada gadis itu.

“A―anu, Adam, apa ada yang kamu perlukan lagi?”

Pertanyaan Sierra menyadarkan Adam kalau ia sedang berada di dalam kamar gadis itu. Ia menoleh pada gadis itu. Gelagat Sierra tampak aneh. Gadis itu tidak menatapnya sama sekali, meski sesekali Adam melihat gadis itu mencuri-curi pandang padanya. Wajah gadis itu pun tampak bersemu merah.

Beberapa hari lalu Sierra tampak biasa-biasa saja di mata Adam, tetapi entah mengapa sejak dua hari lalu ia melihat Sierra tampak cantik. Ia pun mulai menyadari ada sesuatu yang dirasakannya pada gadis itu. Dan wajahnya yang memerah dan tampak malu-malu itu terlihat menarik di matanya. Juga bibirnya yang mungil dan lembut itu. Oke! Ini pasti karena kejadian waktu itu, kata Adam dalam hatinya. Sierra hanya menciumku karena menganggapku sebagai kakak, dan yang kulakukan juga sama. Jadi seharusnya aku tidak perlu kikuk di depannya.

“Ah, ma―maaf. Aku sudah tidak ada urusan denganmu. Eh, maaf! Maksudku saat ini sudah tidak ada urusan di sini lagi. Ah, maksudku…,” kata-kata yang meluncur dari mulut Adam terdengar kacau. Ia merutuki dirinya sendiri yang menjadi gugup dan kacau di depan Sierra. Silakan tertawakan kegugupanku, Nona. Ini karena kau melakukan hal aneh di penginapanmu makanya aku jadi seperti ini.

Sierra memang menertawakan Adam. Baru kali ini ia melihat kegugupan pria itu, dan ia tidak pernah menyangkan akan terlihat selucu ini. Adam yang selalu tampak berpikir panjang dan serius kini kesulitan menjawabnya. Dan lagi warna wajah pria itu mulai bersemu merah. “Maaf, aku tidak bermaksud menertawakanmu. Tapi baru kali ini aku melihatmu seperti ini,” kata Sierra di sela-sela tawanya. “Dan lagi baru kali ini juga aku melihat wajahmu memerah seperti ini,” lanjutnya.

“Ha?!” seru Adam tidak percaya. Ia berjalan ke depan cermin yang berada beberapa langkah dari pintu kabin itu. Benar saja. Wajahnya sedikit memerah. Dan lagi ia baru merasakan kalau kulitnya terasa agak hangat. Bagus! Sekarang aku bereaksi seperti Sierra. Berarti selama ini Sierra malu-malu karena keberadaanku? Apa alasannya?

Saat itulah perut Adam mulai bersuara. Sempurna! Saat yang tepat untuk menambah hal-hal memalukan yang sudah terjadi hari ini!

Sierra tersenyum lebar. Jam di dinding kapal itu menunjukkan pukul dua belas siang. Memang sudah saatnya makan siang. Untung saja ia sempat menyiapkan bekal mereka semalam kemarin. Ia mengeluarkan sebuah kantung kertas dari dalam salah satu ransel di atas tempat tidurnya dan menyodorkannya pada Adam. “Ini, ambillah. Aku hanya sempat membuat dua kemarin. Berikan pada  Eva juga, ya?” kata Sierra.

Adam membuka kantung kertas itu. Di dalamnya terdapat dua buah roti bagel goreng bertabur wijen. Adam meneguk air liurnya. Ia sebenarnya ingin menghabisi kedua bagel itu sendiri, tetapi Sierra kembali mengingatkannya. “Aku tidak menyiapkan yang lain lagi! Berikan pada Eva atau anak itu akan merajuk di perjalanan kita nantinya,” kata Sierra sambil menggerakkan telunjuknya ke kiri dan ke kanan.

“Iya, iya! Aku tahu! Akan kubawakan roti ini ke Eva. Aku yakin dia masih berada di buritan sekarang,” kata Adam.
“Aku akan membangunkan tuan Lambert juga,” kata Sierra. “Kita sudah harus kenyang sebelum tiba di kota Klais.”
“Apa kita akan mengalami kesulitan di sana sampai-sampai kita tidak bisa makan lagi?” tanya Adam.
“Begitulah. Klais selalu ketat terhadap pendatang yang memasuki kota mereka, berbeda jauh dengan Ravena yang sangat terbuka pada pendatang. Apalagi setelah pulau Arron digempur Adventa seperti kemarin dulu,” jawab Sierra.
“Kudengar walikota Klais dan Ravena bersaudara. Tapi mereka tidak begitu akrab. Benar seperti itu?” tanya Adam lagi.

Sierra mengangguk. “Damian dan Albertino adalah saudara kandung, anak dari Raja Dominus Han, penguasa Levitia. Sejak pertengkaran mereka dua puluh tahun lalu, mereka berdua memutuskan meninggalkan Levitia dan membangun dua kota di dua pulau yang berbeda. Kedua kota itu adalah Ravena dan Klais. Sampai sekarang sang raja membiarkan kedua putranya itu melakukan apapun yang mereka inginkan, sambil mengamati siapa yang layak mewarisi takhtanya,” jelas Sierra.

Adam mengangguk-angguk mendengarkan penjelasan panjang Sierra itu. “Pantas saja kota Ravena tidak diserang oleh kerajaan lain. Selain armada perang Adventa waktu itu  tentunya,” kata Adam.

“Begitulah. Dan karena peraturan ketat itu, Klais di percaya sebagai pintu masuk resmi menuju kerajaan Levitia. Di sana terdapat banyak armada kapal perang yang melintas. Sebentar lagi pasti ada sebuah kapal mereka yang akan menanyai kepentingan kita,” kata Sierra.

“Kalau begitu Lambert memang harus dibangunkan segera. Dia memegang surat jalan kita. Kalau kita terlambat menyelesaikan urusan ini karena dia, aku akan menendang bokongnya!” kata Adam.
“Aku juga ingin semuanya segera selesai. Aku ingin secepatnya kembali ke Ciel,” kata Sierra. Ia melirik pada Adam. “Kamu sendiri mau melakukan apa setelah urusan dengan Kunci dan Pembuka Pintu ini selesai?”
“Aku tidak tahu. Dulu aku hanya berpikir hanya ingin melarikan diri dari perbudakan saja. Aku tidak pernah berpikir apa yang akan kulakukan setelahnya,” jawab Adam.
“Mau tinggal bersamaku di kota Ravena? Pasti ada orang yang membutuhkan tenagamu di kota itu,” ajak Sierra.
“Akan kupikirkan,” jawab Adam. Senyum lebar menyungging di wajahnya.

Tanpa sadar mereka berbicara sambil terus bertatapan mata sejak awal. Saat mereka menyadarinya, keduanya segera memalingkan wajah masing-masing dengan kikuk.
“A―aku harus membawa ini ke Eva sekarang,” kata Adam dengan gugup.
“A―aku juga harus membangunkan tuan Lambert,” kata Sierra dengan kikuk.
Keduanya melangkah bersamaan keluar dari pintu kabin itu. Tetapi pintu kabin itu terlalu kecil untuk dilewati dua orang. “Kau duluan,” kata Adam.
“Aku permisi,” kata Sierra. Ia menunduk, sebisa mungkin tidak melihat wajah pria itu.

Adam segera meninggalkan anjungan itu menuju ke buritan. Ia menghela napas panjang dan menarik napas dalam-dalam, berusaha agar detak jantungnya kembali normal. Ia baru menyadari kalau ia menyukai Sierra. Tapi apakah ia menyadarinya setelah gadis itu menciumnya atau sejak dulu? Lalu mengapa ia membalas ciuman gadis itu? Hanya sekedar ‘mengembalikan’ bibir gadis itu? Seberapa penting gadis itu untuknya?
“Akhirnya kamu menyadari perasaanmu, Adam,” kata Eva yang kini berdiri di depannya. Adam terlalu sibuk berpikir sampai-sampai tidak sadar gadis itu sedari tadi mengendap-endap ke depannya. Ia menepuk kedua telapak tangannya dan tersenyum lebar. “Kalau seperti ini, kamu sudah tahu jawaban semuanya. Kamu sudah lengkap sekarang.”
“Maksudmu selama ini Sierra cemburu padamu? Dan apa lagi itu, mengebutku saat ini sudah lengkap? Memangnya sebelum ini aku tidak lengkap?” tanya Adam.

Eva mengangguk kuat. “Meski aku seperti ini, aku tetap seorang gadis, lho. Kalau gadis lain mendekati orang yang kusukai, pasti aku akan marah besar. Sekarang kamu sudah punya seseorang yang penting untuk kamu lindungi. Kamu sudah punya alasan untuk membuka Pintu itu sekarang,” katanya dengan wajah polos.
“Aku tidak bisa membayangkan kau marah karena cemburu. Dan lagi darimana kau tahu semua itu? Selama ini kau hidup di dalam tabung, kan?” tanya Adam.
“Aku merasakan semuanya dan mempelajari semuanya dari dalam tabung itu. Panacea yang berada di dalam tabung itu yang membuatku bisa mengetahui semuanya,” jawab Eva.
“Aku sebenarnya penasaran dengan yang kau sebut Panacea itu. Sebenarnya benda apa itu?”
“Panacea adalah cairan berwarna emas, persisi seperti warna rambutku sekarang,” kata Eva sambil memainkan ujung rambutnya seperti anak kecil. “Dengan Panacea, semua hal bisa dilakukan. Membuat obat penyembuh segala penyakit, membuat pelindung sehingga yang berniat jahat tidak bisa melihat, bahkan dunia ini juga dibuat dengan Panacea sebagai intinya,” kata Eva.

“Dunia ini terbentuk dari Panacea?”

Eva mengangguk dengan semangat. “Selain makhluk hidup di dunia ini, bebatuan, laut, bahkan langit di dunia ini bergerak dan ada karena Panacea. Panacea sangat hebat! Kamu bisa memindahkan gunung atau mengeringkan laut kalau memiliki sejumlah besar Panacea,” katanya sambil mengepalkan kedua tangannya dengan semangat di depan badannya. Tetapi sesaat kemudian ia melemaskan kepalannya. Matanya yang penuh semangat berubah menjadi sedikit sendu. “Tapi kalau memakai Panacea sebanyak itu, dunia ini akan hancur. Untuk mendapatkannya juga harus menunggu gunung meletus atau menghancurkan sebuah pulau dulu,” katanya dengan ekspresi sedih.
“Maka dari itu Lambert mengatakan kalau dunia ini tidak akan tahan lama?” tanya Adam.
Eva mengangguk lemah. “Dunia ini bukan tempat yang layak bagi manusia. Sudah saatnya manusia kembali ke dunia asalnya, Bumi,” kata gadis itu.
“Bumi?”
“Dunia di balik pintu itu,” jawab Eva.
“Bagaimana kau tahu ada dunia seperti itu di sana?”
“Kunci di dalam diriku memberitahukan semuanya kepadaku,” jawab Eva sambil tersenyum.

Adam menghela napasnya. Sebagian dari yang dijelaskan Adam tidak dapat ia pahami, tetapi tentang kekuatan Panacea dapat ia mengerti. “Kau mau bagel? Sierra sempat menyiapkan ini sebelum berangkat,” kata Adam sambil menyodorkan kantung kertas yang ia pegang sejak tadi.

Eva mengangguk dengan semangat. Adam mengambil sebuah bagel dan menyerahkannya pada gadis itu . ia menerimanya dengan senang dan memakannya dengan lahap. Beberapa taburan wijen di atas bagel itu menempel ke pipinya bersama beberapa remah dari roti itu. Adam tersenyum melihat tingkah kekanakan gadis itu. Ia membersihkan pipi gadis itu dengan tangannya. “Kalau makan jangan terlalu terburu-buru seperti itu. Jangan berantakan seperti ini,” kata Adam sambil tersenyum.

Eva tertawa kecil saat pipinya dibersihkan oleh Adam. “Terima kasih,” kata Eva. “Adam memang orang yang baik.”
“Apa kau yakin aku orang yang baik?” kata Adam. “Apa orang yang baik akan melakukan ini? Hehehehe.” Adam mengangkat kedua tangannya di udara dengan jari-jari yang ditekuk. Kantung kertas berisi bagel di tangannya ia letakkan di lantai buritan. Wajahnya ia buat seram dengan maksud menakut-nakuti. Eva menjerit kecil dan lari melihat wajahnya, tetapi gadis itu tidak tampak ketakutan sama sekali ― Eva malah tampak menikmatinya. Adam mengejarnya dengan tawa yang dibuat-buat. “Anak nakal akan dimakan serigala,” kata Adam.
“Eva bukan anak nakal,” kata Eva.
“Anak baik tidak cengeng,” kata Adam. Ia mempercepat larinya hingga mendahului Eva dan segera menangkap gadis itu. “Tertangkap!” serunya. Eva menjerit kecil dan Adam tertawa seperti penjahat. Ia mulai mengelitik gadis itu. “Ini hukumannya bagi anak nakal,” katanya. Eva tertawa geli hingga terjatuh.

Saat itulah Sierra keluar dan melihat mereka berdua. Wajahnya menunjukkan ia tidak begitu suka. Seketika Eva dan Adam berhenti. Adam salah tingkah di depan Sierra. Sedangkan Eva masih berusaha mengendalikan tawanya.
“Kalian sepertinya senang, ya?” kata Sierra dingin.
“Aku hanya bercanda dengan Eva saja, kok. Bukan macam-macam,” kata Adam. Ia berusaha tidak membuat emosi Sierra naik kembali.
“Oh, begitu, ya? Sepertinya enak, ya?” kata Sierra tanpa ekspresi. Matanya menatap Adam dengan tatapan dingin.

Pria itu merasakan rasa dingin menjalar sepanjang tulang belakangnya. Badannya merasa kaku seketika. “Ada apa, Sierra?” tanya Adam canggung. Ia berusaha mengalihkan perhatian gadis itu.
“Kalian dipanggil Tuan Lambert. Kita sudah memasuki perairan Klais,” jawab Sierra. Ia melihat kantung kertas berisi bagel yang diletakkan Adam di lantai buritan itu. Kantung itu masih berisi, sedangkan Eva sedang menikmati roti bagelnya saat ini. “Kalau kamu tidak mau makan lebih baik katakan sejak awal,” katanya sambil mengambil kantung kertas itu.

Adam berusaha mencegah Sierra, tetapi gadis itu telah lebih dulu membawa kantung kertas itu masuk kembali ke dalam kabin. Perutnya berontak karena ia belum memasukkan apa-apa ke dalamnya sejak mereka berangkat dari pulau Arron. Tetapi Adam merasa ia tidak mungkin meminta kembali makanan yang telah diambil Sierra.

Eva merasa kasihan pada Adam. Suara perutnya terdengar cukup keras, bahkan suaranya mengalahkan deburan ombak di sisi kapal itu. Ia membagi dua roti bagel yang dipegangnya dan menyerahkannya pada Adam. Pria itu tersenyum. “Terima kasih, tapi itu bagianmu,” kata Adam. Sierra merengut mendengar kata-kata pria itu. Ia terus menyodorkan sebagian roti itu dengan sedikit memaksa. “Tapi kalau itu kau berikan padaku kau tidak akan kenyang, kan?” kata Adam lagi. Eva terus menyodorkan roti itu pada Adam. Kali ini ia menghentak-hentak kakinya karena kesal. Adam akhirnya menyerah juga. Dengan menghela napas ia menerima roti itu. “Terima kasih,” kata Adam dengan lemas.

“Sama-sama,” jawab Eva sambil tersenyum.
“Aku membuatnya marah lagi, ya? Aku memang tidak pandai berurusan dengan kaum kalian,” kata Adam pada Eva. Ia melayangkan pandangannya jauh ke batas cakrawala.
“Sierra cemburu. Adam membuat Sierra cemburu,” kata Eva. Kata-kata sederhana yang entah mengapa begitu menusuk ke dalam hati Adam.

“Artinya aku tidak boleh terlalu akrab dengan gadis manapun lagi hanya karena Sierra menyukaiku?”

“Begitulah,” jawab Eva sambil kembali memakan roti di tangannya. Ia masih memegang roti itu dengan kedua tangannya. Remah roti dan beberapa biji wijen masih menempel di pipinya ―roti itu cukup besar sehingga pipinya selalu tenggelam dalamroti itu setiap kali ia menggigit. Tapi kali ini ia membersihkan sendiri remah roti yang lagi-lagi menempel di pipinya itu. “Mulai sekarang aku harus lebih mandiri. Aku tidak boleh menyusahkan siapa-siapa lagi. Harus!” kata Eva. Ia mengepalkan tangannya di depan dadanya dengan semangat. Matanya penuh kesungguhan. Ia mengatupkan bibir mungilnya dan ia mengangguk mantap.
Bukannya menanggapi Eva serius, Adam malah lucu melihat gaya Eva. Ia tidak tahan mengacak-acak rambut gadis itu. “Oh, jadi anak manja sudah mau jadi gadis manis, ya?” tanya Adam sambil mengacak-acak rambut gadis itu.

“Aah, rambutku berantakan! Adam jahat,” teriak Eva. Gadis itu menatapnya dengan kesal. Matanya mulai berkaca-kaca.

Adam tertawa. Reaksi gadis itu mirip dengan reaksi Sierra. Ia menghentikan aksinya itu sebelum gadis itu betul-betul menangis. “Ah, aku ingin sekali kembali ke masa lalu. Masa empat tahun itu adalah waktu berharga yang tidak tergantikan oleh apapun,” kata Adam setelah puas tertawa.
“Tidak ada yang bisa kembali ke masa lalu,” kata Eva. Ia merapikan rambutnya yang tadi diacak-acak tangan Adam. Ia masih kesal pada Adam. “Tapi kalau waktu yang berharga bisa dibuat kapan saja, kan? Asalkan kamu mau,” lanjutnya.

Adam mengangkat alisnya. Kata-kata Eva terdengar bagus. Ia senang mendengarkan nasihat dari gadis manis itu. Ia mengulurkan kembali tangannya ke kepala Eva. Gadis itu menutup matanya, bersiap menerima rambutnya kembali diacak-acak. Tetapi tangan Adam cuma mengelus kepalanya dengan lembut.
“Terima kasih. Kau memang gadis yang baik,” kata Adam sambil tersenyum.
“Eva memang anak yang baik, kan?” kata Eva. “Tidak seperti Adam yang membuat Sierra marah-marah,” lanjutnya. Ia menjulurkan lidahnya pada pria itu sebelum berlari masuk ke dalam anjungan.

Adam menghela napas panjang. “Aku memang orang yang tidak baik,” katanya pada dirinya sendiri. “Aku memang orang jahat yang membuat gadis yang kusukai menangis.” Ia menyandarkan punggungnya di pagar buritan itu. Tatapannya menerawang ke langit luas. Beberapa ekor camar terbang dengan bebas sambil saling bersahutan. Bebas. Adam tersenyum kecut. Ia hanya bisa merasa sebebas mereka dalam mimpinya saja.

Ia terpenjara dalam kenyataan, dan berharap mimpi itu kembali menyapanya bersama kebebasan. Sebebas burung camar yang terbang bebas di langit siang itu.

[Jumlah kata: 3095]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar