Selasa, 03 Januari 2012

Faux Ciel Bab 4 - Mimpi Dan Takdir Yang Mendekat

Mimpi itu kembali dilihatnya. Mimpi yang entah berapa lama tidak pernah lagi menyapanya dalam tidur. Tetapi kini mimpi itu kembali padanya, kembali menunjukkan padanya sebuah langit biru jernih dan laut biru di bawah kakinya. Ia berdiri menatap matahari pagi yang mulai naik dari arah batas dunia. Angin yang lembut bertiup di sela-sela rambut hitamnya membuatnya nyaman. Dari kejauhan terdengar puluhan burung camar yang terbang bebas di langit. Ia pun ingin merasakan bagaimana rasanya terbang seperti mereka. Ia mencondongkan badannya ke depan. Ia tidak terjatuh, bahkan ia semakin lama semakin tinggi. Di pundaknya kini muncul sepasang sayap camar yang bergerak-gerak mengikuti angin yang membawanya ke atas. Ia merasa bebas. Ia tertawa lepas. Seandainya Sierra berada bersamaku saat ini, pikirnya.

Namun tiba-tiba ia berhenti saat ia berpikir akan menyentuh langit. Tidak seperti mimpinya dahulu, tiba-tiba di depannya kini terdapat sebuah pintu berukuran raksasa yang terbingkai sulur-sulur tanaman berwarna keemasan. Pintu itu tampak kokoh dengan warna hitam kelamnya.  Sedangkan sulur tanaman yang membingkai pintu itu tampak seperti pelindung yang menghalangi siapapun mendekatinya. Ia penasaran pada pintu itu dan mendekatinya. Namun saat ia hampir saja menyentuh daun dari sulur-sulur itu, tiba-tiba terdengar suatu suara yang bergema di seluruh penjuru langit. Bahkan para burung camar sampai terkejut dan terbang berpencar mendengar suara itu.

“Jangan membukanya sendiri. Kamu butuh aku untuk membukanya,” kata suara itu. Suara gadis kecil yang entah mengapa membuatnya teringat pada sosok kecil Sierra semasa masih di Javen.

“Sierra?” tanyanya.

“Bukan. Aku hanya meminjam suara gadis itu yang terekam di kepalamu,” jawab suara gadis itu.

Mendengar apa yang dikatakan suara itu Adam segera memasang sikap siaga. Jika suara itu bisa memasuki kepalanya, entah apa lagi yang bisa dilakukannya. “Siapa kau?! Apa maumu?!” serunya.

“Tenanglah, Adam. Kita akan segera bertemu. Semua jawaban pertanyaanmu akan kamu temukan nanti. Ini hanya permulaan dari takdir kita,” jawab suara itu lagi.

Adam semakin tidak mengerti. Namun saat ia baru saja akan bertanya kembali, sinar matahari tiba-tiba tampak menyilaukan sehingga langit biru di sekitarnya seakan tenggelam dalam sinar itu. Adam menutup matanya, namun cahaya itu seakan tidak dapat dibendung. 

“…dam, Adam….” Sayup-sayup sebuah suara terdengar memanggilnya. Sialan! pikir Adam. Sekarang dia meniru suara Sierra lagi!

“Bangunlah…. Adam….” Suara itu kembali terdengar. Kali ini suara itu semakin mirip dengan suara Sierra. Apa itu benar-benar Sierra?

Adam mencoba membuka matanya. Kedua matanya segera disambut cahaya matahari yang menerangi seluruh ruang kamarnya. Cahaya menyilaukan itu memaksanya kembali memejamkan mata.

“Syukurlah, kupikir kamu tidak akan bangun-bangun lagi,” kata Sierra. Gadis itu berdiri tepat di samping kanan pria itu sambil bertolak pinggang. Ia menghela napas lega begitu melihat Adam membuka matanya.

Adam menoleh ke arahnya. Sierra telah memakai celemek merah mudanya. Berarti rumah makan di bawah kamarnya telah ramai dipenuhi orang. Ia menoleh ke kiri. Matahari sudah nyaris berada di puncak langit.

“Jam berapa sekarang?” tanya Adam sambil meregangkan badannya. Tanpa sengaja tangan kirinya mengenai sudut tempat tidur. Rasa sakit kembali menjalari tangannya. “Aduh!”

“Lukamu masih basah. Sebaiknya jangan menggerakkan tanganmu dengan berlebihan dulu,” kata Sierra yang bergegas berpindah ke sisi kiri pria itu. Darah telah membuat perban yang dipasangnya semalam kemarin menjadi mengeras. Ia perlu menggantinya lagi nanti. “Sekarang baru jam sepuluh pagi. Kalau kamu mau nanti kusiapkan air hangat untuk mandi. Lukamu juga perlu dibersihkan.”

“Terima kasih,” kata Adam.

Sierra tersenyum. “Terima kasihmu kuterima kalau kamu mau segera mandi. Badanmu mulai berbau, lho,” katanya.

Adam mengendus badannya sendiri dan segera menarik wajahnya sendiri menjauh. Entah sudah berapa lama ia tidak bersentuhan dengan air, yang pasti baunya sudah membuat dirinya sendiri muak. “Maaf jika bau badanku mengganggu,” katanya.

Sierra tertawa kecil. “Tidak masalah. Aku sudah pernah mencium yang lebih buruk dari itu, kok,” kata gadis itu ringan. Ia mengambil baju baru yang diletakkannya di meja. Baju itu berlengan panjang, beda dengan baju yang kemarin diberikannya. “Ini. Baju kemarin tidak usah kamu pakai. Yang ini lebih bisa menutupi lenganmu,” lanjutnya sambil memberikan baju itu pada Adam.

Adam meraihnya dan meletakkannya di atas selimutnya. Noda darah di selimut itu mulai menjadi coklat dan mengeras. “Terima kasih. Selimut ini akan kucuci nanti,” kata pria itu.

“Tidak usah memikirkan hal remeh seperti itu. Kalau kamu sudah mandi, segeralah turun ke bawah. Akan kusiapkan sarapanmu,” kata Sierra. Gadis itu bergegas keluar dari kamar itu. Namun sebelum ia menghilang di balik pintu ia berbalik kembali dan berkata, “Kalau kamu tidak segera turun, porsimu akan kupotong setengah.” Perut Adam seketika bergemuruh.

***

Roti bagel diolesi mentega dan diberi taburan keju telah habis disantapnya. Adam selalu kagum pada kehebatan Sierra dalam membuat berbagai jenis roti. Semua roti yang dibuatnya pasti menjadi sangat lezat. Mungkin itu yang disebut orang sebagai bakat turunan. Kedua orang tuanya adalah pembuat roti dan pizza. Pizza sendiripun termasuk roti, bukan? Jadilah Sierra menjadi anak yang lebih sering bergaul dengan roti daripada dengan anak-anak seusianya. Mungkin karena itulah ia seringkali dijahili dan diganggu mereka saat ia harus ke kota karena disuruh membeli bahan yang habis. Mungkin karena itu pulalah ia sangat gembira saat Adam masuk ke kehidupannya. Usia mereka terpaut tiga tahun, membuat Adam seperti sosok kakak laki-laki yang tidak pernah dimilikinya. Setiap saat ia selalu bergantung padanya. Awalnya Adam merasa jengah, namun lama kelamaan ia menyerah. Ia siap meladeni setiap kali Sierra mengajaknya bermain atau sekedar mendengarkan racauannya. Bahkan akhirnya ia menikmati hal itu. Setidaknya pada saat ia telah dewasa dan melewati semua hal-hal buruk, ia merindukan masa-masa itu.

“Sudah habis? Masih mau kuambilkan yang lain?” tanya Sierra yang muncul dari arah dapur. Adam menatapnya kagum. Ia persis ayahnya, mampu mengendalikan belasan pria berotot di dalam dapur itu untuk bekerja membakar roti tanpa kehilangan pesona menawannya. Matanya yang penuh semangat berwarna sama seperti ibunya, warna karamel lembut yang selalu meneduhkan hati yang melihatnya. Rambut hitam dan pesonanya adalah warisan dari sang ayah. Seandainya kedua orang tuanya melihat dirinya dari surga, pastilah mereka akan menangis bahagia melihat putri mereka telah menjadi seorang gadis yang disayangi banyak orang.

“A—ada apa? Me—mengapa melihatku seperti itu, sih?” tanya Sierra gugup. Sorot mata coklat Adam tampak lembut sekaligus penuh ketegasan. Berbeda jauh dengan tatapannya saat mereka baru bertemu. Ia bukannya tidak suka ditatap oleh Adam, tetapi ia merasa canggung bila harus ditatap selama itu olehnya. Belum lagi detak jantungnya yang tiba-tiba semakin cepat dan panas yang mulai merambat naik ke wajahnya saat kedua mata mereka saling beradu dengan matanya dalam waktu lama. Seakan mata itu mampu masuk ke dalam hatinya dan melihat seluruh isinya.

“Ah, maaf. Aku hanya mengagumi kehebatanmu. Kau persis seperti paman. Kau seperi ratu di dalam dapurmu itu,” kata Adam sambil tersenyum.

Kali ini Sierra tidak mampu lagi menahan panas yang mulai menjalari wajahnya. Ia berlalu kembali ke dalam dapurnya dengan hanya berkata, “Akan kuambilkan bagel lagi.” Tetapi ia tidak serta merta mengambil bagel. Ia hanya berdiri bersandar di pintu masuk sambil mengatur napasnya. Meski demikian detak jantungnya msih saja bergejolak.

“Wah, wah. Baru kali ini aku melihat wajah Nona Sierra semerah ini,” kata salah satu kokinya saat melihatnya yang hanya mematung di pintu itu dengan wajah memerah.

“Be—berisik! Karl kerja saja sana!” seru Sierra seperti gadis kecil yang diusili kakaknya.

Karl, salah satu koki kepercayaannya, adalah pria bertubuh kekar dengan wajah persegi. Ia sanggup mengangkat talam berisi adonan roti yang bagi orang biasa cukup berat seakan benda itu hanya seringan beberapa helai kertas. Pria itu adalah orang yang membangkitkan semangat di dalam dapur Sierra sejak gadis itu pertama kali membuka tokonya. Ialah orang kepercayaan gadis itu, tangan kanannya yang ia percayai.
“Ah, sudah lama tidak bertemu kakak yang kau sayangi rasanya memang heboh, ya? Apa lagi sekarang dia terlihat seperti pria sejati sekarang dengan dada bidangnya. Wajar saja kalau jantung jadi berdetak kencang, wajah juga ikut bersemu merah. Yah, asal jangan sampai kau pingsan saja di depannya,” kata Karl sambil menyengir memamerkan sederet gigi putih gading yang tersusun rapi.

Sierra tidak pernah bisa membalas godaan Karl. Sebenarnya bisa, seandainya tidak ada dua belas orang lain di dalam ruangan itu. Sebenarnya ia bisa saja melemparkan beberapa rolling pin ke arah pria kekar itu. Toh ia hanya akan tertawa keras dan menangkapi benda-benda itu. Tetapi melakukan itu bisa menjatuhkan citra dirinya sebagai koki kepala yang tegas. “Sudah! Siapkan beberapa bagel lagi untuk Adam!” serunya mencoba mengembalikan wibawanya.

“Baik, Nona. Akan saya siapkan bagi Adam yang spesial itu,” kata Karl sambil tertawa keras yang disambut lemparan sarung tangan oleh Sierra. Dengan sigap Karl menangkap sarung tangan itu dan berlalu ke arah sebuah oven. Ia memakai sarung tangan yang dilemparkan Sierra dan dengan sigap mengeluarkan sebuah talam besar dari dalam oven itu. “Bagel lezat dari Rumah Makan Ciel siap!” seru Karl sambil mengambil tiga buah bagel dan menyusunnya di piring.

“Biar aku yang memberi tambahannya,” kata Sierra.

“Hoo? Memang sebaiknya nona yang menambahi, sih. Toh yang tahu selera Adam yang Spesial itu adalah Nona Sierra sendiri, kan?” kata Karl mencoba menggoda Sierra. Kali ini Sierra menatapnya dengan mata yang seakan siap menangis kapan saja. Ia mengangkat tangannya dan mundur. Lebih dari ini entah benda apa yang akan dilemparkan sang Nona padanya.

Setelah mengatur napasnya dan emosinya, Sierra segera mengolesi bagel itu dengan mentega yang segera mencair di atas kulit hangatnya dan memberikan keju sebagai taburan di atasnya. Tak lupaia memberikan beberapa batang keju di samping bagel itu. Adam sejak dulu tergila-gila dengan keju. Ia suka dengan tekstur lembut dan rasa asin nan legit dari benda itu. Itu pulalah yang membuat Sierra mencintai keju dan membuatnya ahli dalam segala jenis masakan berbahan dasar keju. Bagel dengan ekstra keju telah selesai disiapkan. Sierra kembali menghela napas. Setelah memastikan kendali jantungnya telah kembali ke otaknya, ia melangkah keluar dari dapur itu menuju ruangan khusus yang sebenarnya adalah ruang pribadi koki kepala. Hanya orang-orang tertentu yang diizinkannya masuk ke tempat itu.

“Maaf lama. Para koki itu terlalu banyak membuat keributan hanya untuk menghidangkan sebuah bagel,” kata Sierra berusaha sewajar mungkin. Dasar Karl! Gara-gara dia aku jadi berpikiran yang aneh-aneh sekarang!

”Tidak apa-apa. Tampaknya kau sangat akrab dengan mereka, ya? Menilai dari interaksimu dengan mereka.”
Sierra terlonjak. “Eh? A—apa kamu dengar, ya?”
“Aku hanya mendengarkan suaramu yang sepertinya sedang bertengkar dengan seorang pria bersuara berat, dan pria itu tertawa mendengarmu. Itu saja.”
“Itu saja?”
“Itu saja. Memangnya ada yang lain?”
“Eh? Ah! Tidak ada, tidak ada yang lain! Hahaha,” jawab Sierra kikuk. “Nikmati saja bagelmu, jika butuh apa-apa, minta saja pada Karl di luar. Dia orang yang paling tinggi di dalam dapur,” lanjutnya sambil bergegas kembali ke dapur. 

Adam dapat mendengar suara seoranga pria yang kembali terdengar keras dan suara Sierra yang mendengus kesal. Setelah itu sebuah pintu lain terdengar terbuka dan lalu dibanting dengan keras. Tawa pria itu pun berakhir, dan berganti suaranya yang dengan lantang mengatakan sesuatu. Mungkin saja itu orang yang disebut Karl oleh Sierra tadi. Sepertinya orang itu sedang sibuk memberikan instruksi pada koki lainnya sementara Sierra keluar mengunjungi pelanggannya. Adam sebenarnya ingin melihat bagaimana sosok Karl, tetapi ia berpikir sebaiknya ia tidak muncul begitu saja. Ia tidak ingin mengganggu pekerjaan Sierra, ia juga tidak ingin kutukan di tangannya diketahui orang lain selain Sierra.

Tiga bagel yang diberikan Sierra cukup untuk menenangkan perutnya. Kini ia punya banyak waktu berpikir sementara menunggu Sierra kembali ke ruangan itu. 

“Sekarang bagaimana baiknya?” tanya Adam pada dirinya sendiri. “Apakah aku harus tinggal di sini dan mencari kebebasanku sendiri? Tapi bagaimana bisa meraih kebebasanku selama ini masih ada di tangan kiriku? Selama kutukan ini masih ada, selamanya aku akan disiksa dan dipaksa tunduk pada mereka. Tidak! Aku tidak akan mau tunduk pada mereka! Aku juga tidak ingin membuatnya menangis lagi! Tapi…”

Berbagai pertanyaan terasa berputar-putar di kepalanya. Setiap kali ia bertanya dan mendapatkan jawabannya, setiap kali juga ia mendapati dirinya dalam sebuah pertanyaan baru. Saat itulah ia kembali mengingat apa yang diucapkan suara yang didengarnya dalam mimpi. “Takdir apa yang akan kujalani?”

Pada saat itu, di sebuah sudut kota Ravena, dari dalam hutan yang berbatasan dengan kota itu muncul seorang pria yang menggendong seorang gadis yang tampak pingsan. Para penduduk awalnya menatap pria itu dengan curiga, karena sebelumnya mereka mendengar sebuah ledakan besar dari arah hutan. Namun setelah pria itu memperkenalkan dirinya, kecurigaan itu berganti dengan sorak sorai dari penduduk kota itu. Mereka mengerubungi pria itu dan menyanjungnya bak pahlawan. Tidak ada yang tahu bahwa kedatangan pria itu akan menjadi akhir dari kota Ravena.


[Jumlah kata: 2020]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar