Sabtu, 14 Januari 2012

Faux Ciel Bab 11 - Serangan Tiba-tiba Di Tengah Pesta

Bulan purnama nyaris berada di atas kepala. Sementara kota semarak dengan berbagai kemeriahan khas pesta, para penjaga di tembok kota malah harus berjaga dalam suasana sepi. Berbeda dari biasanya, kali ini satu menara penjagaan dijaga tiga orang prajurit. Bertambah satu orang dari hari biasanya yang hanya dua prajurit. Pada saat seperti ini penjagaan di tembok kota memang selalu diperketat. Bagi para penduduk kota dan semua pelancong yang berada di dalam kota itu mengetahui kenyataan bahwa mereka dilindungi oleh pasukan terbaik kota adalah hal yang menenangkan. Tetapi untuk para prajurit dalam pasukan itu, melindungi kota di saat orang lain berpesta tidak begitu menyenangkan.

“Aku iri dengan Paul yang bertugas menjaga di kota,” kata seorang prajurit. Di tangannya ada segelas coklat hangat yang sudah nyaris habis diminumnya. Setidaknya hanya itu kenikmatan yang bisa dinikmati prajurit garis depan sepertinya di hari perayaan itu.

“Sudahlah, Gram. Tugas kita adalah menjaga kota ini saja sudah merupakan kebanggaan. Banyak gadis yang melihat dan mengagumi kita. Mau iri seperti apa lagi?” balas seorang prajurit lain. Prajurit bertubuh tinggi besar itu sibuk mengelap senapannya.

“Tapi saat ini Paul dan yang lainnya pasti sibuk berkencan dengan para gadis itu. Dan kita? Kita dikumpulkan dalam menara sempit ini hanya memandangi bukit gelap yang sepi! Bahkan suara burung malam hanya sesekali terdengar! Apa kau tidak sedikit merasa iri dengan ketidakadilan ini?” kata prajurit bernama Gram itu dengan sedikit kesal. Suara alunan musik masih terdengar sayup-sayup di belakangnya. Ia hanya bisa menghela napas membayangkan teman-temannya yang bersenang-senang dengan berkedok sedang bertugas.

Temannya yang lain tertawa mendengarkan keluh-kesah prajurit itu. Badannya yang kurus kering berguncang hebat bagaikan seluruh sendinya akan copot. “Gadis yang berkenalan denganmu kemarin itu lumayan cantik, kan?” tanya prajurit itu.  Tangannya menirukan lekuk tubuh gadis yang dimaksudnya sambil bersiul. Prajurit bernama Gram itu segera memukulnya. Ia hanya menanggapi pukulan itu dengan tertawa semakin keras.
Gram menghela napas. “Bersama seorang maniak senjata dan pria yang seumur hidupnya hanya berpikiran mesum di malam sepi seperti ini sangat menyedihkan,” katanya.

“Senjata adalah hidup tentara. Jelas saja aku mencintai mereka,” kata temannya yang bertubuh tinggi besar.

“Dan jika kau tidak mesum, maka kelanjutan keberadaan manusia di dunia ini akan terputus. Itu hanya bagian dari kewajiban kita sebagai seorang pria,” kata temannya yang bertubuh kurus dengan bangga.

“Terserah sajalah,” balas Gram.

Ia kembali memantau hutan dan pegunungan yang menghampar di depan menaranya melalui teropong yang tergantung di lehernya. Seminggu lalu ia meneriaki Lambert, pria yang kini menjadi pusat pesta di belakangnya, karena orang itu tampak mencurigakan. Ia masih ingat dimarahi oleh sang walikota karena mempersulit orang itu. Padahal ia hanya menjalankan prosedur standar. Beberapa hari berikutnya ia dan kedua temannya yang kini bertugas bersamanya diperintahkan untuk memeriksa ke dalam hutan. Mereka menemukan pesawat berukuran kecil yang telah hancur berkeping-keping tergantung begitu saja di atas sebuah pohon besar. Saat itu dilaporkan pada sang walikota, perintah yang diturunkannya adalah pengetatan penjagaan. Bahkan keadaan saat ini sudah seperti mereka bersiap menerima serangan dari musuh yang bahkan belum terlihat.

“Aku tidak sabar menunggu waktu pergantian piket berikutnya,” kata Gram.

“Sebentar lagi. Bersabarlah,” kata temannya yang bertubuh tinggi besar. Senjatanya telah selesai ia bersihkan. Ia tampak puas melihat cahaya obor yang tampak berkilauan di permukaan senjatanya itu.
Gram yang sibuk mengamati melalui teropongnya menoleh pada kedua temannya. Temannya yang maniak senjata kini sedang mengisi senapan laras panjangnya. Sedangkan temannya yang satu lagi sibuk membolakk-balik majalah bergambar wanita berpakaian minim. Sesekali temannya itu bersiul dan menunjuk-nunjuk gambar di majalah itu. Setidaknya masih ada satu orang tentara lain yang cukup normal di sini, katanya dalam hati. Ia kembali menigintip melalui teropongnya. Semuanya tampak biasa saja, kecuali ―mungkin hanya karena ia terlalu tegang sehingga mempedulikan ini― kanopi hutan yang tampak bergetar.

Gram memperhatikan kanopi-kanopi hutan itu lebih seksama. Gerakan kanopi itu berirama dan berpola. Seolah-olah ada sesuatu yang melompat-lompat di ranting pepohonan yang membentuk kanopi itu. Dari kejauhan terdengar burung-burung hutan yang beterbangan karena terusik sesuatu. Semakin lama gerakan itu semakin mendekati tembok kota. Oke, ini masalah!

“Braggs, apa kau melihat sesuatu yang aneh dengan kanopi hutan itu?” kata gram pada temannya yang bertubuh tinggi besar.

Dengan sigap prajurit bernama Braggs itu mengarahkan senapannya ke arah hutan. Melalui teropong di senapan laras panjangnya ia dapat melihat apa yang dimaksud oleh Gram. “Ya. Itu memang aneh,” katanya. Ia menoleh pada temannya yang duduk santai membaca majalah. “Javier! Berhenti membaca majalah dewasa itu dan bersiaplah!” serunya.

Javier yang bertubuh kurus kering itu berdecak dan mengambil senapan laras panjangnya. Saat ia melihat apa yang dilihat oleh para temannya, barulah sikap samtainya berubah menjadi siaga.

“Markas, di sini pos pinggir hutan! Ada sesuatu yang mencurigakan di hutan. Mohon bantuan!” kata Gram. Ia memutuskan untuk melaporkan ini pada komandannya melalui radio komunikasi. Ia menunggu beberapa saat, namun tidak ada jawaban dari seberang radio itu. Hanya terdengar suara bergemerisik saja. Gram mengernyit. Petugas yang berjaga di ruang radio tidak pernah seperti ini. Biasanya hanya dengan sebuah laporan saja mereka sudah akan mendapat balasan dari seberang. Tetapi bahkan setelah lima menit belum ada satu suarapun yang didengarnya.

“Ini aneh. Ada sesuatu yang terjadi di sini. Gelombang radio sepertinya terganggu oleh sesuatu,” kata Gram.

“Itu tidak mungkin, kan? Apa mungkin petugas radio sedang pergi keluar?” tanya Javier.

“Meninggalkan stasiun penerimaan tanpa pengganti? Aku tahu kedisiplinan mereka. Aku pernah menjadi bagian dari mereka, dan aku tahu itu tidak mungkin. Pasti ada sesuatu yang terjadi,” jawab Gram.

“Apa yang akan kau lakukan sekarang, Gram?” tanya Braggs. Ia masih tidak melepaskan pandangannya dari hutan meski gerakan-gerakan aneh yang dilihatnya tadi sudah tidak ada lagi.

“Aku akan pergi memeriksanya. Kuserahkan pos ini pada kalian. Hubungi pos lain juga untuk menyuruh mereka bersiaga,” jawab Gram.

“Ini bukan alasanmu saja untuk lari dari tugas, kan?” tanya Javier.

“Bukan! Di dalam kota ada keluargaku. Mana mungkin aku pergi meninggalkan tugas dan membahayakan mereka? Aku pergi!” seru Gram.

Javier mengangkat bahunya. “Baiklah kalau begitu. Segera kembali, ya? Di sini membosankan,” katanya sambil melirik pada Braggs. Pria itu tidak tampak mempedulikannya.

“Aku mengerti,” jawab Gram. Ia bergegas menuruni menara itu. Baru tiga ratus meter ia beranjak dari tempat itu, dari arah menara yang ditinggalkannya terdengar suara gaduh. Ia menoleh. Kedua temannya dan beberapa prajurit yang bertugas di sepanjang menara di tembok itu masih berdiri seperti terakhir dilihatnya. Tetapi ia merasakan sesuatu yang janggal. Ia berbalik dan segera berlari ke pusat kota. Apapun yang terjadi harus segera dilaporkannya pada sang komandan tertinggi, Walikota Albertino Han.

***

Sierra sudah cukup dibuat emosi dengan kelakuan Eva yang hanya sibuk melengket pada Adam. Dan kini ia semakin kesal dibuat gadis itu. Sejak siang kelakuan gadis itu semakin aneh. Seluruh badannya bergetar hebat. Lambert yang melihatnya tampak panik. Ia beberapa kali menawarkan Panacea untuk diminum gadis itu, tetapi gadis itu menolaknya. Saat Adam datang untuk melihatnya, gadis itu malah menangis. Tetapi gadis itu tidak menolak saat Adam mencoba menenangkannya. Malam ini ia cukup sibuk melayani para tamu yang memenuhi rumah makannya. Setidaknya itu cukup untuk sedikit mengalihkan kepalanya dari prasangka buruk yang dipikirkannya jika mengingat Adam dan gadis itu berduaan saja.

“Meja sepuluh dan sebelas! Apa pesanan mereka sudah jadi?” kata Sierra saat ia dengan bergegas memasuki dapur. Suaranya yang tegas dan keras membuat para koki di dalam dapur itu mempercepat pekerjaannya.

“Sudah jadi, Sierra,” jawab Karl. Ia menyerahkan nampan yang berisi semangkuk sup makaroni dan sepiring roti panggang pada Sierra. Gadis itu bergegas kembali keluar dari dapur itu. Tetapi sebelum gadis itu sempat keluar, Karl sempat mengingatkannya untuk beristirahat sejenak.

“Aku tahu. Jam sembilan nanti aku beristirahat,” kata Sierra yang segera berlalu sebelum Karl sempat berbicara lagi.

“Ah, sosokmu yang bekerja keras seperti itu memang tampak manis. Tapi setidaknya kau harus ingat jam sembilan nanti tempat ini akan semakin ramai. Mana mungkin kau bersantai kalau itu terjadi?” gumam Karl pada dirinya sendiri.

“Sudahlah, Karl. Menyerah saja. Nona Sierra sudah punya seseorang yang disukainya. Dia tidak akan semarah itu kalau tidak cemburu berat, kan?” kata seorang temannya yang berdiri di sebelahnya.

“Franco, apa kau mau utang birmu kutagih sekarang?” tanya Karl pada temannya itu.

Temannya yang bernama Franco itu tertawa. Perutnya yang buncit tampak sedikit berguncang. “Apa kita bisa minum di dapur? Coba bayangkan apa yang akan dilakukan Sierra kalau melihatmu minum di dapur. Dan, oh, ya! Sepertinya bawang yang kau tumis itu sudah gosong,” katanya sambil berlalu meninggalkan Karl yang panik melihat bagaimana berasapnya bawang yang ditumisnya.

***


“Tuan Lambert, terima kasih telah menerima undanganku,” kata Albertino han sambil mengangkat segelas wine pada tamunya itu.

“Jika aku tidak memenuhi undanganmu tentu kau akan datang dan menyusahkan mereka yang berada di Ciel,” balas Lambert dengan datar.

Albertino tertawa kecil. “Ah, aku tidak separah itu, kan?”

“Ya, kau separah itu. Masih ingat bagaimana kau nyaris membuat ayahku dan aku tidak keluar dari pulau ini setelah seluruh kota kami sembuhkan? Pesta di kota ini sanggup membuat yang dipestakan mati terbunuh tanpa sengaja,” jawab Lambert.

Kali ini Albertino tertawa besar. “Kau masih sesarkastik seperti dulu, ya? Kami hanya ingin memberikan penghargaan saja, kok. Memberikan makanan yang kami miliki pada kalian kupikir masuk akal,” kata walikota itu.

“Bahkan sampai perut kami meletus, maksudmu? Seandainya aku tidak mengatakan dengan tegas kalau aku hanya ingin sendirian sampai puncak pesta tengah malam nanti, pasti kau telah memamerkanku pada mereka yang akan segera menerjangku.”

“Dan aku memenuhi permintaanmu, kan?”

“Apa lima ratus orang yang memadati ruangan kecil ini bisa kau anggap sepi, Walikota?” tanya Lambert dengan suara berbisik. Ia menyapukan pandangannya ke seluruh ruangan yang cuma berukuran lima puluh meter persegi itu. Dengan dua ratus pengawal pribadi sang walikota yang berbaris rapi di sudut dinding dan tiga ratus tamu undangan khusus yang memenuhi ruangan itu, Lambert merasa sebentar lagi dirinya akan mengalami sindrom fobia ruangan sempit.

“Mereka ingin melihat mukamu dari dekat. Kupikir tidak akan masalah memberikan mereka sedikit servis, bukan?”
“Kau ini sebenarnya walikota atau mak comblak, pak tua? Semua yang kau undang adalah wanita berumur dan para gadis! Tidak ada pria satupun?!”
“Para penjagaku pria, kan? Apa kau lebih menyukai mereka?” tanya Albertino sambil memamerkan senyum jual pesonanya. Lambert sangat jengkel melihat senyumnya itu.
“Mau kuhajar, Kakek?”
“Silakan saja. Tapi setelah seluruh acara ini selesai.”
“Aku tidak sabar menunggunya.”
“Kalau begitu tinggallah tiga hari lagi.”
“Apa!?”
“Kau tidak menanyakan kapan pastinya pesta rakyat ini selesai, kan?”

Lambert baru saja mau menanggapi perkataan walikota menyebalkan itu ketika pintu ruangan itu tiba-tiba dibuka dengan keras. Semua orang dalam ruangan itu serentak menoleh. Para pengawal sang walikota telah mencabut senjata api mereka dan mengarahkannya ke arah pintu. Sosok yang berada di depan pintu itu adalah seorang prajurit yang dipapah dua orang prajurit lain. Prajurit yang dipapah itu tampak penuh luka yang masih berdarah. Kedua prajurit yang memapah prajurit itu tampak kaget dan ketakutan saat ditodong senjata oleh para pengawal pribadi sang walikota.

“Jangan tembak! Kami prajurit yang ingin mengantarkan orang ini! Katanya ada sesuatu yang penting yang harus segera dilaporkannya pada Walikota Han,” kata salah satu prajurit dengan cepat.

“Turunkan senjata kalian,” kata Albertino Han yang berjalan melewati kerumunan orang itu menuju pintu. Para pengawal pribadinya mematuhi perintah itu dan kembali menyarungkan senjata mereka. Sang walikota berjalan keluar dari ruangan itu dan menutupnya dari luar. “Sekarang katakan apa yang ingin kau sampaikan, Prajurit!” kata sang walikota.

“Saya adalah Gram. Pasukan… yang berjaga di tembok luar… kota.  Semuanya sudah… mati. Para petugas radio, orang yang berada di menara kota, semuanya mati. Hanya aku yang masih sempat meloloskan diri hingga ke tempat ini,” kata prajurit yang dipapah itu.

“Apa!?” seru sang walikota. Suaranya cukup keras hingga terdengar ke dalam ruangan di belakangnya. Semua undangan di dalam ruangan itu tampak resah. Mereka tahu pasti ada sesuatu yang terjadi. Demikian pula Lambert.

Lambert berjalan melewati kerumunan orang itu menuju pintu depan. Beberapa pengawal mencoba menghalanginya, tetapi tatapan mata darinya cukup mengintimidasi mereka sehingga tidak jadi menghalangi. Lambert membuka pintu itu dan dengan cepat keluar dari ruangan itu. Tidak lupa ia menutup pintu itu dari luar.

Lambert melihat seorang prajurit yang sedang sekarat terbaring di lantai. Darah menggenangi lantai di bawah tubuh prajurit itu. Sang walikota hanya berdiri mematung di tempatnya. Sedangkan dua orang yang sempat dilihatnya memapah prajurit yang kini sekarat itu berusaha menenangkannya. Lambert tidak butuh waktu lebih lama lagi untuk memutuskan untuk mengambil tindakan. Ia segera mengambil sebuah vial kecil yang tersimpan dalam sebuah kotak yang di disimpannya dalam saku. Ia segera membuka vial itu dan meminumkannya pada prajurit yang sedang sekarat itu. Badan prajurit itu yang awalnya sudah mulai kejang perlahan lemas. Napasnya yang tersengal-sengal mulai teratur. Darah yang mengucur dari tubuhnya perlahan berhenti. Demikian pula luka-lukanya yang dengan cepat menutup. Para prajurit lain yang mencoba menenangkan prajurit yang sekarat itu tampak takjub.

“Ini yang dilakukan oleh ayahku dua belas tahun lalu,” kata Lambert pada kedua prajurit itu. “Siapkan angkatan perang kotamu, Walikota Han. Serangan sudah dimulai,” katanya lagi pada sang walikota.

“Tapi bagaimana mungkin melakukan itu saat semua penduduk sedang berpesta?” tanya sang walikota bingung.

“Bunyikan alarm! Apa pesta itu jauh lebih penting daripada nyawa manusia, Kakek Tua!?” seru Lambert. Emosinya memuncak saat mendengarkan sang walikota sibuk memikirkan pestanya daripada nyawa manusia.

Albertino Han menatap tajam pada pria itu. Harus diakuinya, yang dikatakan Lambert ada benarnya. Meski ia tidak begitu suka dengan sikap kurang ajarnya. Albertino Han menghela napas. “Baiklah. Akan kulakukan,” katanya sambil segera beranjak meninggalkan tempat itu menuju ke ruangan lain.

Lambert pun beranjak pergi dari tempat itu. Jika mereka mulai menyerang seperti ini, maka itu berarti kota Ravena sudah tidak aman untuknya dan Eva. Dan juga untuk Adam, orang yang telah dipilih gadis itu sebagai Sang Pembuka Kunci. Ia harus membawa mereka pergi dari kota itu secepatnya, bagaimanapun caranya.

Berjalan menuju kembali ke Ciel sangat sulit di tengah-tengah kerumunan manusia yang memadati lapangan di depan rumah sang walikota. Ia harus menghadapi mereka yang berkerumun ingin menyentuh atau menyalaminya. Tetapi ia harus tetap berjalan maju. Saat ia hampir mencapai tepi luar lapangan itu, tiba-tiba dari langit tampak bola-bola cahaya yang ditembakkan ke langit disertai bunyi berdesing yang memekakkan telinga. Para penduduk dan pelancong yang memadati lapangan itu gembira karena mengira pertunjukan kembang api sudah dimulai. Tetapi Lambert menatap bola-bola itu dengan ngeri.
“Semuanya merunduk!!” seru Lambert sambil segera merunduk.

Di saat bersamaan bola-bola cahaya di langit itu terpecah menjadi ribuan bola cahaya yang berukuran lebih kecil. Dan bagaikan hujan panah, seluruh bola itu melesat secepat kilat ke tanah. Sedetik kemudian ledakan dan kobaran api telah memenuhi seluruh kota Ravena.


(Jumlah kata: 2367)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar