Jumat, 06 Januari 2012

Faux Ciel Bab 7 - Kabut Gelap Yang Tersingkap

Rumah itu tampak sederhana. Dinding bangunannya tersusun dari bilah-bilah papan, dengan atap yang juga dibuat dari papan yang disusun berundak-undak. Rumah itu mengambil gaya Medieval seperti umumnya rumah di Dunia Baru. Hanya beberapa bagian dari rumah itu yang dibuat dari batu. Salah satunya adalah cerobong asap yang mengepul di belakang rumah itu.

Rumah itu berdiri di sisi sebuah danau. Pintu belakangnya berhadapan langsung dengan tepian danau. Sebuah perahu kecil tampak tertambat di belakangnya. Jala dan pancing tersusun rapi di belakang rumah itu, bersebelahan dengan kapak yang tertancap di sebuah batang kayu tua.

Danau itu sendiri cukup luas. Danau itu dikelilingi perbukitan dengan hutan pinus yang hidup di atasnya. Sebuah sungai tampak mengalir menuju danau itu. Dari danau itu terdapat dua buah sungai kecil yang mengalir ke dataran rendah, salah satunya mengalir di dekat rumah bergaya medieval itu.

Adam menyapu seluruhnya dengan matanya. Semua pemandangan itu membangkitkan kerinduan di dalam hati Adam. Ia sendiri tidak tahu apa yang terjadi, tetapi semua yang dilihatnya itu tampak tidak asing. Ia seperti pernah berada di rumah itu, bermain dengan peralatan pancing dan jala itu, dan juga tenggelam saat berada di sungai yang tak jauh dari rumah itu. Ia merasa sangat dekat dengan rumah itu, seakan ia pernah terikat secara emosional dengan bangunan itu. Tetapi sekuat apapun ia berusaha mengingatnya, ia tetap tidak bisa menghubungkan dirinya dengan semua yang dilihatnya.

Saat ia masih berusaha mengingat apa saja yang bisa menghubungkannya dengan semua pemandangan yang dilihatnya sekarang, ia merasakan sebuah tangan merangkul tangan kanannya. Adam tersadar ia tidak sendirian di tempat yang terasa teduh itu. Ia menoleh ke sosok yang merangkul tangannya. Seorang gadis berambut keemasan sedang menatapnya dengan polos dan tersenyum manis. “Adam, inilah masa lalumu yang hilang. Ayo akan kutunjukkan sesuatu padamu,” kata gadis itu.

Ia merasakan tangannya ditarik oleh gadis itu. Awalnya ia merasa terpaksa mengikutinya, tetapi entah mengapa di tiap langkahnya ada sebuah bayangan-bayangan peristiwa yang melintas di dalam kepalanya. Semakin lama semakin banyak bayangan yang melintas hingga akhirnya membentuk sebuah peristiwa yang memicu ingatannya. Meski demikianpun ia masih belum tahu apakah itu adalah ingatannya yang hilang atau sebuah mimpi lain yang terasa nyata. Apapun itu, Adam tahu di setiap langkahnya secara perlahan lubang kosong di dalam hatinya mulai tertutup. Pada akhirnya ia melepaskan tangannya dari rangkulan gadis itu dan berlari menuju rumah di depannya. Ia berlari bagaikan anak kecil yang pulang kembali ke rumahnya setelah lelah bermain.

Perlahan tapi pasti rumah itu makin terasa familiar bagi Adam. Ia mempercepat larinya hingga akhirnya tiba di depan pintu rumah itu. Ia mengetuknya, tanpa peduli tinggi pintu itu kini terlihat lebih tinggi darinya. “Ibu, aku pulang,” katanya. Kata-kata itu seakan keluar begitu saja dari mulutnya tanpa ia sadari. Ia mengetuk sekali lagi. Kali ini ia mendengar seorang wanita yang berbicara dari balik pintu itu. Kerinduan dalam hatinya semakin meluap-luap. Saat pintu itu terbuka, sesosok wanita bermata biru lembut menyambutnya dengan tangan terbuka. Rambutnya yang hitam bergelombang tampak sedikit kumal. Wanita itu tampak sangat anggun di mata Adam, meski ia hanya berpakaian biasa dan memakai celemek yang sudah sedikit usang. Bau roti bagel lezat tercium dari celemek itu. Adam segera menghambur ke dalam pelukannya, menghirup bau roti bagel dan kehangatan yang sepertinya telah sangat lama tidak dirasakannya.

“Ibu kira kamu masih membantu Ayah di sungai, Adam,” kata wanita itu.

Ibu? Apa yang wanita ini katakan?

“Ayah menyuruhku pulang dan menyerahkan ini pada ibu.” Lagi-lagi ia berbicara tanpa sadar. Tangan kanannya memegang sebuah keranjang berisi ikan yang kemudian diberinya pada wanita itu. Wanita itu mengelus rambutnya dan tersenyum.

Apa yang kukatakan? Aku tidak bisa mengendalikan tubuhku sendiri?

“Dengan ini kita bisa membuat makanan yang lezat untuk makan malam nanti,” kata wanita itu. “Malam ini akan menjadi perayaan ulang tahunmu yang kedelapan. Sebentar lagi kamu akan menjadi pemuda yang tampan. Ibu tak sabar menunggu,” lanjut wanita itu sambil mencium lembut keningnya.

Kerinduan dalam hari Adam akhirnya tumpah menjadi air mata. Saat dilihatnya sosok wanita itu kembali memasuki dapur, ia mulai mengerti apa yang sedang terjadi.

“Kamu terlalu bersemangat sampai tidak mendengarkanku, ya? Aku tadi bilang tunggu, kan?”

Suara seorang gadis remaja menyadarkan Adam kembali. Air matanya seketika berhenti, namun rasa rindu itu masih tetap ada. Ia menoleh ke belakang. Gadis berambut emas yang bersamanya tampak kesal karena ditinggalkan. “Apa yang telah kau lakukan padaku?” tanyanya pada gadis itu.

“Sudah kukatakan, bukan? Aku akan menjawab semua pertanyaanmu,” jawab gadis itu.

“Untuk apa? Apa untungnya untukmu menunjukkan masa lalu ini padaku?”

“Percayalah. Apa yang kulakukan ini tidak ada artinya dengan apa yang telah kamu lakukan padaku. Kamu mungkin tidak menyadarinya karena ingatanmu sebelum berusia sepuluh tahun telah hilang. Tetapi setelah ini kamu akan ingat segalanya,” kata gadis itu. Ia menunjuk ke dalam rumah itu. Suasana siang yang tadi berada di sekelilingnya berganti menjadi malam. “Ayo kita masuk,” kata gadis itu.

“Tapi…”

“Sudahlah. Toh ini adalah ingatanmu. Tidak perlu merasa sungkan,” kata gadis itu sambil menarik tangan Adam.

Berada di dalam rumah itu membuat Adam kembali menyadari sesuatu. Ia menyadari sesuatu yang penting akan terjadi sebentar lagi. Namun ia masih belum bisa mengingatnya.

***

Suasana yang dilihatnya kali ini adalah ruang makan yang sederhana. Sebuah meja kecil dan tiga buah kursi yang mengelilinginya terdapat di tengah ruangan itu. Di atas meja itu sudah terhidang beberapa potong roti bagel dan ikan bakar. Seorang pria berusia tiga puluhan tampak duduk berhadapan dengan seorang anak kecil. Rambut mereka sama-sama hitam. Senyum mereka sama. Raut muka mereka pun sama. Pria itu memandangi anak di depannya dengan tatapan sayang, dan anak itu tersenyum gembira. Saat itu seorang wanita, wanita yang dilihat oleh Adam beberapa saat lali, tampak memasuki ruangan itu. Ia membawa sebuah kue tart yang telah dihiasi lilin berbentuk angka delapan di atasnya. Anak kecil itu langsung terlonjak gembira dari kursinya. Tawa hangat memenuhi ruangan itu, membuat ruangan kecil itu terasa sangat hidup.

“Anak itu adalah diriku, bukan?” kata Adam.

“Ya. Kamu waktu itu manis sekali, lho?” kata Eva.

“Manis?”

“Lihat saja lanjutannya,” jawab Eva.

Adam kembali melihat pada tiga orang yang terdapat di tengah ruangan itu. Mereka tampak saling berpegangan dan memejamkan mata. Sang ayah mengucapkan sesuatu dengan khusuk. Sang ibu tampak larut di dalam suasana itu. Sedangkan sang anak merasa gembira saat merasakan kehangatan kedua orang tuanya. Adam merasakan semua yang dirasakan oleh anak itu. Ia seakan berada di sana, menatap hidangan-hidangan lezat itu. Ia pun seakan bisa mendengarkan apa yang dipikirkan oleh anak itu.

Ayah, doanya dipercepat, dong? Aku lapar sekali!

Adam tersenyum. Anak kecil, pikirnya.

“Amin!” kata sang ayah. Ia melepaskan genggaman tangannya dan menepuk kedua belah telapak tangannya sambil berkata, “Sekarang mari kita berlomba menghabiskan makanan ibu yang lezat ini, Adam.”
Adam mengangguk gembira. Dengan cepat ia menyambar sebuah roti bagel dan mengolesinya dengan mentega. Dengan lahap ia memakan roti itu, bahkan sampai tersedak karena terburu-buru. Ibunya dengan sigap menepuk-nepuk punggungnya, sedangkan sang ayah memberikannnya segelas air putih.

“Ini akibatnya kalau kalian makan terburu-buru!” kata sang ibu dengan nada khawatir.

“Yah, maaf, deh. Adam, minum dulu. Kalau tersedak terus seperti ini nanti makanan yang di meja ayah habiskan semua, lho?”

“Ayah!” seru sang ibu sambil melotot pada sang ayah. Sang ayah hanya tertawa menanggapi tatapan istrinya itu.

“Baik, baik. Ayah tidak akan menggoda kalian lebih jauh lagi. Oh, ya! Ayah punya hadiah menarik untuk Adam,” kata sang ayah. Ia segera beranjak dari kursinya dan keluar dari ruangan itu. Adam memandangi sosok sang ayah dengan tatapan berbinar-binar. Ia menunggu dengan tidak sabar apa yang akan diberikan padanya.

Aku berharap akan dapat alat pancingku sendiri. Aku sudah tidak sabar memancing ikan besar di tengah danau!

“Tidak akan terjadi, anak kecil,” kata Adam datar. Ada kesedihan memancar seketika di wajahnya.

“Apa kamu sudah mengingatnya?” tanya Eva.

“Sedikit. Aku hanya tahu sesuatu yang sangat menyedihkan akan terjadi sebentar lagi.”

“Apa kamu masih mau melihatnya? Aku bisa menarikmu kembali ke luar kalau kamu mau.”

“Kau sudah menunjukkan semua ini padaku, kan? Seharusnya kau sudah tahu aku tidak suka mengingat kejadian ini. Dan sekarang kau bertanya setelah sejauh ini?” tanya Adam dingin.

“Ya, maaf, deh. Tapi kupikir aku harus menunjukkan semua ini padamu,” jawab Eva.

“Kalau begitu biarkan semuanya sampai selesai!” kata Adam.

Eva memonyongkan bibirnya ke depan karena kesal dimarahi oleh Adam. “Ya terserah kalau begitu. Aku menonton dari belakang saja,” katanya ketus. Ia melangkah menuju dinding dan bersandar di sana. Adam masih berdiri di tempatnya, tepat di samping anak kecil yang masih menanti-nantikan hadiahnya itu.

“Sudah saatnya,” kata Adam. Air matanya kini kembali mengalir. Ditatapnya wajah wanita yang berada di hadapannya, wajah sang ibu yang sempat ia lupakan. Sebentar lagi ia tidak akan melihat wajah lembut itu. Senyum di matanya akan berganti dengan kengerian. Dan di atas semuanya, Adam tahu segalanya tidak akan sama lagi setelah malam ini.

***

“Ibu, ada bintang jatuh,” kata anak kecil itu.

“Mana, Nak?” tanya sang ibu.

Anak itu menunjuk ke arah jendela. Di luar jendela itu terhampar pemandangan malam yang penuh bintang. Beberapa bintang itu tampak lebih terang dari yang lain. Dan bintang-bintang itu bergerak dengan perlahan turun mendekati perbukitan. Anak kecil itu tampak bersemangat melihat bintang itu, namun sang ibu malah menatap bintang-bintang itu dengan mata yang membelalak. Tangannya segera merangkul anaknya dengan sangat erat sedangkan matanya tak lepas dari bintang-bintang itu.

“Ibu, sesak,” kata anak itu.

Tetapi sang ibu tidak mengendurkan rangkulannya sedikitpun. Sang anak merasa aneh, mengapa ibunya tiba-tiba bersikap seolah-olah ada bahaya yang mendekat. Anak itu melihat mata ibunya. Mata ibunya nyaris tidak berkedip.

“Ibu?” tanya anak laki-laki itu.

“Adam, kamu ingin mendengarkan permintaan ibu yang terakhir kalinya?” tanya sang ibu.

Anak laki-laki itu mengangguk dengan polosnya. Ibunya tersenyum. Ada air mata yang mengalir di mata indahnya. Sang ibu memeluk erat tubuh anaknya, seolah tidak ingin melepaskannya. Saat itulah sang ayah masuk dengan terburu-buru.

“Emilia, mereka datang! Kita harus pergi dari tempat ini!” kata sang ayah. Ia berlari masuk ke dalam ruang itu tanpa membawa apapun selain sebuah tas ransel di punggungnya. Anak kecil itu menatap sang ayah. Ada kepanikan di wajah sang ayah.

“Aku mengerti,” kata sang ibu. Ia menarik tangan anak kecil itu dan menyeretnya mengikuti suaminya yang telah lebih dulu keluar melalui pintu belakang.

“Ibu, ada apa?” tanya anak kecil itu bingung.

“Adam, ibu ingin apapun yang terjadi pada ayah dan ibu nanti, jangan pernah berhenti. Jangan pernah menoleh dan jangan pernah mencari tempat ini lagi! Mengerti?” kata sang ibu tanpa mengendurkan genggaman tangannya.

Tiba-tiba saja sebuah ledakan terjadi di depan mereka. Sang ibu segera merangkul Adam kecil dan melindunginya. Ayahnya dengan sigap meraih sesuatu dari tas ranselnya. Adam tidak pernah melihat benda itu sebelumnya, tetapi dari benda itu Adam melihat sebuah cahaya berwarna putih yang memancar.

“Aku tidak tahu apakah laser gun ini berguna menghadapi mereka! Cepat! Kalian lari ke hutan!” seru sang ayah.

Tanpa menunggu waktu sang ibu segera menggendong Adam kecil dan berlari dari tempat itu. Air matanya mengalir semakin jelas. Ia tahu inilah saat terakhirnya bersama suaminya. Tetapi ia memilih meninggalkan suaminya demi anak mereka.

Adam melihat sang ayah dari balik punggung ibunya. Sang ayah mengarahkan benda aneh itu ke beberapa arah, dan ledakan demi ledakan terus terjadi. Saat itulah Adam melihat sebuah cahaya keemasan yang terpancar dari sebuah benda aneh berbentuk segi enam. Ayahnya berkali-kali menembak benda itu, dan berkali-kali pula benda itu mengelak. Dari dalam benda itu juga keluar cahaya yang sama yang mengarah pada ayahnya. Pria itu berkali-kali menghindari cahaya itu. Semua yang terkena cahaya itu meledak seketika. Saat itulah Adam kecil sadar ayahnya dalam bahaya. “Ayah!!” serunya. “Ibu, ayah dalam bahaya! Kita harus menolong ayah!!” serunya pada sang ibu. Tetapi ibunya tidak memelankan larinya. Malah ia berlari semakin kencang.

Adam kecil menoleh pada ibunya. Ia ingin sekali meminta ibunya untuk berhenti, namun tak satupun kata yang keluar dari mulutnya saat menatap wajah ibunya. Air mata telah mengalir deras dari matanya yang memerah. Ibunya berusaha menahan tangisnya, tetapi kesedihan itu terlalu kuat untuk ditahan.

Emilia terpaksa meninggalkan suaminya demi menyelamatkan anak mereka. Ia terpaksa meninggalkan pria yang sangat dicintainya demi menyelamatkan seorang pria lain yang mewarisi eksistensi mereka. Seandainya mungkin ia ingin membawa mereka semua dalam rangkulannya. Tetapi ia hanya dapat membawa Adam. “Adam, jangan menoleh ke belakang. Kamu lupa apa yang ibu katakan tadi?” katanya pada anak yang berada dalam gendongannya. Ia berusaha tegar dan tegas pada anaknya, tetapi tangisan telah membuat suaranya parau dan bergetar.

“Adam ingat, Bu. Tapi —” Jawaban Adam terputus saat sebuah teriakan terdengar dari balik punggungnya. Teriakan itu terdengar sangat jauh, tetapi Adam masih mengenal jelas suara itu. Ia masih bisa melihat sumber suara itu, ayahnya yang sedang berjuang mengalihkan perhatian benda asing berbentuk segi enam itu dari dirinya dan ibunya. Sesuatu yang merah tampak menyembur dari kaki sang ayah. Adam dapat melihat kaki ayahnya yang terpotong dan badannya yang rubuh seketika. Sesaat kemudian benda asing itu kembali melepaskan sinar ka badan ayahnya. Kali ini sang ayah tidak dapat menghindar. Sinar itu mengenai tubh sang ayah dan meledakkannya hingga tak bersisa.

Mata Adam membelalak tak percaya. Beberapa jam lalu ia masih berada di dalam ruang makan bersama ayah dan ibunya. Ia bahkan belum mencicipi kue tart spesial buatan ibunya. Dan kini di depan matanya ia melihat ayahnya terbunuh dengan mengenaskan. Ia ingin berteriak memanggil ayahnya, tetapi tidak ada satupun kata yang keular dari mulutnya. Tenggorokannya seakan kelu meski mulutnya terbuka lebar. Air mata membanjiri wajahnya. Matanya tak berkedip sekalipun. Ia masih dapat melihat benda asing berbentuk segi enam itu terangkat ke langit seakan tidak ada sesuatu yang terjadi. Ia menatap benda itu dan teringat bahwa benda itu adalah bintang jatuh yang tadi ditunjuknya. Badannya bergetar hebat. Ketakutan, kemarahan, kesedihan, dendam melebur menjadi satu dan meluap-luap dalam dirinya. Ia tidak pernah merasakan perasaan semacam itu sebelumnya. Tetapi ia tahu dengan pasti ia tidak suka hal itu.

“Adam, tenanglah ibu akan melin—” Kalimat itu terputus begitu saja diikuti dengan robohnya sang ibu. Dalam saat-saat terakhirnya sang ibu masih sempat melemparkan Adam ke arah semak-semak. Adam melihat ibunya tertuh dan puluhan sinar berkelebat menerpa tubuh ibunya.  Sedetik kemudian tubuh ibunya meledak dan hancur seperti yang terjadi pada ayahnya. Adam merasakan dadanya menjadi sesak. Ia tidak berani bergerak. Badannya menjadi kaku seketika. Saat itu dilihatnya tiga buah benda berbentuk persegi enam itu turun ke tanah. Cahaya memancar dari benda-benda itu, dan dengan perlahan wujud ketiganya berubah menjadi sosok manusia dengan sayap di punggung mereka.

Adam merasakan bulu kuduknya berdiri. Ketiga sosok di depannya tampak sangat mempesona dan secara bersamaan mengerikan. Mereka menoleh ke berbagai arah. Rambut keemasan mereka berkilauan diterpa cahaya bulan. Sayap mereka tampak transparan seolah terbuat dari cahaya. Mata merah mereka berusaha mengitari sekeliling mereka dengan sorot yang sanggup membuat tulang punggung Adam membeku seketika. Setiap kali mereka mendengar dan melihat sebuah gerakan, sekecil apapun itu, dengan cepat mereka menunjuk ke arah sumber gerakan itu. Dari telunjuk mereka keluar sinar seperti sinar yang telah meledakkan ayah dan ibunya. Sudah nyaris tidak ada tempat untuk bersembunyi. Namun sebuah gerakan kecil saja dapat membuat mereka menyadari keberadaannya.

Sebisa mungkin Adam tidak ingin bergerak dari tempat itu. Ia bahkan menahan napasnya selama mungkin. Ia hanya berharap ketiga sosok bersayap itu segera pergi. Tetapi harapan di hari ulang tahunnya itu tidak terkabul. Satu dari ketiga sosok itu menyadari keberadaannya. Sosok itu mengarahkan telunjuknya ke arah tempat persembunyiannya. Tanpa menunggu sinar memancar dari telunjuk itu Adam segera berlari sekencang-kencangnya. Ledakan demi ledakan terjadi di belakangnya. Semak dan duri, kerikil-kerikil tajam yang berada di jalannya tidak ia pedulikan. Hanya pesan sang ibu yang terus teringat di dalam kepalanya. Jangan berhenti, jangan menoleh!

Semakin lama jalur yang dilaluinya semakin menanjak. Ia terpaksa berlari di pinggir tebing. Jauh di bawah tebing itu mengalir deras sebuah cabang sungai yang berasal dari danau. Jika ia jatuh ke bawah, maka riwayatnya tamat. Namun  jika ia berhasil melewati perbukitan itu ia akan sampai di sebuah bukit batu yang memiliki banyak gua. Ia dan ayahnya telah sering melakukan penjelajahan di dalam gua-gua itu. Ia tahu sebuah jalan tembusan dari bukit itu menuju kota yang berada di hilir sungai. Tapi sebelum sempat melintasi perbukitan itu ia merasakan pijakan kakinya hilang. Sebelum ia sempat sadar, dirinya telah melayang jatuh dari tebing itu.

Adam merasa damai. Ia tahu sebentar lagi ajal akan menjemputnya, tetapi ia tidak peduli. Jika kematian datang padanya, maka berarti ia akan bisa pergi ke tempat kedua orang tuanya. Mungkin mereka akan memarahinya, tetapi ia tidak peduli. Dengan tersenyum ia merelakan dirinya menghantam aliran sungai itu dan terlarut dalam airnya yang dingin. Perlahan-lahan kesadarannya menghilang. Dan akhirnya semua terlihat gelap.


[Jumlah kata: 2709]

2 komentar:

  1. rumah itu, danau itu... sepertinya penggunaan 'itu' yang terlalu banyak malah memberikan penekanan yang tidak perlu. Efeknya, tulisan jadi terasa kaku. Hanya opini saya :)

    BalasHapus
  2. Hahahaha. Memang 'itu' masih jadi penyakit saya, Mas. Susah mencari pengganti lain. Masih pemula. Terima kasih tanggapannya,Mas. Nanti saya kurangi ke depannya.

    Salam :)

    BalasHapus