Sabtu, 21 Januari 2012

Faux Ciel Bab 14 - Satu Jam

Adam mengepakkan kedua sayapnya. Dengan sangat cepat ia melesat menuju langit, dimana sebuah benda pipih berwarna emas menukik tajam ke arahnya. Tepat sesaat sebelum keduanya bertabrakan, benda berwarna emas itu tiba-tiba terbelah menjadi dua seperti aliran air terjun yang tersibak. Benda itu melewati Adam begitu saja. Melihat itu Adam berhenti dan berbalik. 

Benda berwarna emas itu kembali menyatu, namun kali ini ia membentuk sebuah bola. Atau lebih tepatnya seperti sebuah kepompong serangga.

“Ini buruk,” kata suara misterius di dalam kepalanya.
“Apa yang buruk?”
“Advano memiliki tiga bentuk. Bentuk pertama adalah bentuk yang menyerupai manusia sepertimu sekarang. Bentuk kedua adalah benda pipih yang dulu kau pernah lihat sewaktu masih kecil. Dan bentuk ketiga adalah bentuk asli mereka,” jawab suara itu.
“Kau tahu banyak tentang mereka, ya? Apa kau bagian dari mereka?” tanya Adam.
“Jangan memikirkan hal kecil seperti itu sekarang. Lihat benda itu!” jawab suara misterius itu.

Adam melihat benda berwarna emas di bawahnya. Pada benda itu tampak seperti robekan kecil yang menjalar cepat ke seluruh kepompong itu. Sebelum Adam sempat berkedip, kepompong itu telah hancur seperti kain yang dirobek hingga semua benangnya putus. Yang tampak dari dalam kepompong itu adalah seekor naga raksasa berwarna emas. Naga itu memiliki sayap abu-abu seperti sayap burung hantu dengan tubuh seperti ular. Bentangan sayapnya nyaris sepanjang tubuhnya sendiri. Leher naga itu ditumbuhi rambut-rambut halus seperti surai singa.

“Quetzalcoatl,” bisik suara misterius di dalam kepala Adam.
“Quetzalcoatl?”
“Dahulu dalam legenda manusia di Dunia Lama ada makhluk berbentuk naga bernama Quetzalcoatl. Konon naga itu bahkan selevel dengan dewa. Kalau memang dia Quetzalcoatl, maka kita dalam masalah,” jawab suara misterius itu.
“Apa yang bisa dilakukan naga ini?”
“Salah satu legenda menyebutkan Quetzalcoatl menciptakan manusia. Ada yang menyebutkan dari dirinyalah bintang senja lahir. Tetapi Quetzalcoatl ini mampu melakukan menghancurkan keduanya dengan mudah,” jawab suara misterius itu lagi.

Naga di bawah Adam meraung. Suaranya seperti merobek langit. Adam menutup telinganya yang terasa sakit karena raungan itu.

“Bodoh! Itu hanya pengalihan!” seru suara misterius.

Saat Adam sadar, naga itu telah melesat ke arahnya dengan mulut yang terbuka. Ia mencoba menghindar, tetapi kelenturan dan kegesitan naga itu tak tertandingi. Adam kini seperti seekor burung yang tertangkap dalam mulut ular.

Naga itu mendorong Adam dengan kecepatan tinggi menuju langit. Adam merasakan kulitnya mulai terbakar karena gesekan antara tubuhnya dengan udara. Gigi-gigi naga itu mencengkeram tubuhnya dengan kuat. Kulitnya seperti ditusuk ribuan tombak, namun tidak ada darah yang keluar. Seakan-akan kulitnya menjadi sangat elastis sehingga tidak mampu ditusuk oleh apapun. Seandainya ia berada dalam wujud manusia biasa, pastilah tubuhnya sudah terbelah dua sekarang. Tetapi bahkan saat ia sudah menjadi seperti Advano rasa sakit dari cengkeraman gigi dan gesekan dengan udara itu masih terasa sangat menyiksa.

“Pikirkan sebuah tameng perlindungan atau apa saja! Aku tidak bisa melakukan apapun kalau kau tidak berpikir!” seru suara itu lagi.

Adam mencoba tidak mempedulikan sakit yang dirasakan punggungnya yang terbakar. Ia memikirkan sebuah baju zirah yang tidak bisa ditembus apapun. Baju zirah yang cukup ringan namun kuat, yang membungkus tubuhnya dengan nyaman dan tidak menghalangi gerakannya.

“Keinginanmu kukabulkan!” seru suara misterius di dalam kepala Adam.

Cahaya berwarna putih tampak memancar dari dada Adam. Cahaya itu melingkupi seluruh tubuhnya. Saat ia sadar apa yang terjadi, seluruh tubuhnya telah ditutupi sebuah baju zirah berwarna emas yang sangat ringan namun sangat kuat. Bahkan gigi naga yang menggigitnya kini tidak dapat menembus kulitnya lagi. Baju zirah itu melekat di tubuhnya dengan nyaman tanpa membatasi gerakannya sama sekali.

“Wah! Ini bagus!” seru Adam.
“Bukan saatnya untuk itu! Sekarang keluar dari sini!”

Adam mendorong rahang naga itu. Rahang nagai itu terbuka dengan mudah. Saat celah yang diperolehnya sudah cukup untuk meloloskan diri, sayap di punggung Adam yang sebelumnya hancur karena gigitan naga itu kembali muncul. Adam mengepakkan sayap itu dan menghindar dari jalur terbang sang naga.

“Setidaknya ini memberikan kita posisi tarung yang lebih baik melawannya,” kata suara misterius di dalam kepala Adam.

“Hei, sebutkan siapa namamu,” kata Adam pada suara itu.
“Untuk sekarang sebut saja aku Kunci,” kata suara misterius itu.
“Kunci, kau bisa menciptakan pedang?” tanya Adam.
“Selama kau bisa memikirkannya,” jawab Sang Kunci.

Adam mengangkat tangan kanannya ke arah naga yang kini telah berbalik dan menukik ke arahnya. Telapak tangannya dalam posisi menggenggam sesuatu. Dalam pikirannya ia membayangkan sebentuk pedang yang sangat tajam, kokoh, namun ringan. Seperti merespon pikirannya, dalam genggamannya cahaya putih muncul dan mulai membentuk sebuah pedang seperti pikirannya. Saat naga itu nyaris menyerangnya lagi, pedang itu telah sepenuhnya terbentuk.

Adam melesat ke arah naga itu, namun ia tidak menyerang secara langsung. Ia melesat ke samping, dan dengan sekali tebas ia memotong sayap naga itu dengan pedangnya. Naga itu kembali meraung, namun kali ini dalam kesakitan. Adam tidak lagi menutup telinganya. Baju zirah yang dikenakannya sekarang juga dilengkapi pelindung kepala yang melindungi telinganya.

“Bagus! Kau punya daya pikir yang hebat juga!” seru Sang Kunci gembira.
“Tetapi ini belum selesai, kan?” kata Adam.
“Ya, kau benar. Dia masih hidup,” balas sang Kunci.

Naga itu akhirnya berhenti meraung. Ia kini menggeram. Tatapan matanya yang merah menatap tajam pada sosok Adam dengan keinginan membunuh yang sangat besar.

“Sang Kunci dan Sang Pembuka Pintu telah menyatu rupanya. Tapi kalian berdua tidak akan bisa mengalahkanku, Makhaina Jerez yang hebat ini!” seru sang naga. Setelah mengatakan hal itu naga itu kembali meraung dengan penuh kemarahan.

“Dia tadi bicara?” tanya Adam.

“Meski wujudnya naga, dia tetap Advano. Dalam ruma manusia mereka bisa bicara dalam bahasa manusia, kan?” balas sang Kunci. “Sebaiknya kau memutuskan sayapnya yang satu lagi sekarang sebelum dia menyerang.”

“Ide bagus!” seru Adam dengan semangat. Ia melesat maju ke arah naga itu. Ia mengayunkan pedangnya hendak menebas sebelah lagi sayap naga itu, namun tiba-tiba sayap itu memancarkan cahaya yang sangat menyilaukan. Adam terkejut namun tak dapat menghindar. Cahaya itu mendorong tubuhnya mundur, bahkan sangat kuat sampai-sampai tubuhnya nyaris terpental. Kedua sayap di punggungnya membentang lebar untuk menahan agar tubuhnya tidak terdorong semakin mundur.

Cahaya yang terpancar dari sebelah sayap naga yang tersisa itu terlihat seperti sebuah bola yang terus mendorong tubuh Adam. Naga itu tertawa melihat bagaimana Adam berusaha keras melawan agar dirinya tidak terlempar. Suara tawanya bagaikan guntur yang menggelegar. “Sekarang kau bisa apa, Manusia!? Kau tidak pantas memiliki kekuatan seperti kami, para Advano!” seru sang naga. Cahaya yang terpancar dari sayapnya semakin menyilaukan dan semakin besar. Adam terpaksa menahannya dengan nyaris semua kekuatannya. Baju zirah yang digunakannya pun mulai mengalami keretakan.

“Sial! Hanya dengan satu sayap dia bisa melakukan ini?!” seru Adam yang mati-matian melindungi dirinya dari energi besar yang dilepaskan oleh naga yang berada di depannya.
“Heh, bagaimanapun dia adalah Quetzalcoatl. Salah satu makhluk legenda. Jika Advano sampai mengirim utusan seperti dia, berarti mereka sudah menyadari keberadaanku,” kata sang Kunci.
“Kau punya ide? Kalau tidak kita akan terlempar sekarang.”
“Kalau begitu menghindarlah. Ada jalan memutar dalam menyerang. Cahaya ini hanya ada di depan badan naga itu saja. Bagian belakangnya tidak terlindung,” balas sang Kunci.

Adam mengepakkan sayapnya ke depan. Ia membiarkan dirinya terdorong oleh cahaya itu. Ia berkonsentrasi pada pertahanan baju zirahnya. Ia merasakan retakan-retakan pada baju zirahnya itu. Ia membayangkan retakan-retakan itu menutup. Baju zirahnya merespon pikiran itu, membuat semua retakan padanya menutup kembali.

Adam memutuskan menjatuhkan diri ke bawah. Ia menghilangkan kedua sayapnya dan membiarkan gravitasi menariknya ke bawah. Tepat sebelum ia menyentuh laut ia kembali memunculkan sayapnya. Dengan sekali kepakan dirinya kembali melesat menuju langit dengan kecepatan yang tidak berkurang sama sekali. Naga yang dihadapinya berada tepat di atasnya. Ia menghunus kembali pedangnya. Kali ini sayap naga itu pasti akan ia tebas!

“Taktik kuno. Sang Kunci bukan tandingan Advano yang telah berkembang seperti kami,” kata naga itu dengan tenang.
“Bicara apa kau, Naga sialan!?” seru Adam. Ia mengayunkan tangannya ke arah sayap naga itu. Ia yakin sayap itu tertebas. Namun pedangnya tidak menyentuh apapun. Ia hanya menebas udara. Adam terkejut. Tempat di mana naga raksasa itu berada sedetik lalu kini hanya menyisakan udara kosong.
“Menebas udara, Anak Muda?” tanya sang naga dengan nada mengejek.

Adam kaget mendengar suara itu. Suara itu berasal dari belakangnya. Naga sebesar itu dengan mudahnya berpindah tempat tanpa terlihat dan tanpa terdengar. Ia membalik badannya dan menemukan naga itu dengan mulut terbuka dan sebentuk bola cahaya yang perlahan-lahan membesar di dalamnya. Langit malam di sekitar mereka berubah menjadi seperti siang hari dengan bola cahaya di mulut sang naga sebagai mataharinya. Tubuh naga itu sendiri nyaris tidak tampak karena cahaya itu sangat menyilaukan. Meski demikian Adam masih sempat melihat sososk sang naga.

Tetapi ada sesuatu yang membuatnya terkejut: naga itu memiliki sepasang sayap… utuh!

“Apa?!” seru Adam.
“Jadi dia juga punya kemampuan meregenerasi tubuhnya?” kata sang Kunci pada dirinya sendiri.
“Jangan bicara seolah ini bukan masalahmu! Sekarang apa yang harus kita lakukan?!” teriak Adam.
“Kalau menghindar kita akan selamat. Tetapi kota di bawah akan terkena,” kata sang Kunci.

Adam mendelik. Di bawah sana ada kota Ravena yang kini tampak seperti tumpukan arang. Serangan pertama Advano telah mendorong air laut ke kota itu dan membuat api yang berkobar di kota itu padam. Sebuah bangkai kapal induk tampak terdorong hingga ke pelabuhan. Beberapa penduduk berusaha menyelamatkan orang yang terjebak dalam reruntuhan bangunan yang rubuh. Jika ia menghindari serangan naga itu, belum tentu naga itu akan mengikutinya. Ia tidak bisa membahayakan warga kota Ravena dengan bergerak dari tempatnya.

“Jadi maksudmu aku harus menjadi perisai untuk kota ini?” tanya Adam. Meski jarak antara dirinya dan naga itu cukup jauh, Adam dapat merasakan panas yang sangat tinggi terpancar dari arah bola di mulut sang naga. Bila bola itu jatuh ke kota Ravena, kota itu pasti hancur berkeping-keping. Itu berarti kematian bagi semua orang di kota itu, termasuk Sierra.
“Begitupun kita tidak bisa memastikan kota itu tidak akan terkena dampaknya, bukan?” balas sang Kunci.
“Kau punya ide?” tanya Adam.
“Sudah ada banyak ide yang kuberikan padamu, kan? Kau sudah punya kunci untuk mengalahkan musuh seperti ini,” jawab sang Kunci.
“Kalau aku berpikir melawan naga dengan naga, apa kau pikir itu mungkin terjadi?” tanya Adam.
“Kalau kau percaya apapun bisa terjadi,” jawab sang Kunci.
“Ah, tapi itupun tidak berguna sekarang. Kalau begitu aku ingin menjadi pembunuh naga!”
“Berpikir saja pedang yang kau pegang sekarang bisa mengalahkan naga itu,” kata sang Kunci. “Dan sebaiknya kau lakukan dengan cepat. Naga itu sudah melepaskan serangannya.”

Adam tahu waktunya tidak banyak. Ia memikirkan sebuah senjata yang dapat digunakan menebas serangan yang telah dilepaskan naga itu. Tetapi pedang di tangannya tidak berubah sama sekali. Bola cahaya yang dilontarkan naga itu semakin lama semakin mendekat. Adam akhirnya memutuskan tidak memikirkan apapun dan hanya melesat menuju bola cahaya itu. Ia mengayunkan pedangnya ke arah bola cahaya itu dengan sekuat tenaga. “Hancurlah!!” seru Adam.

Pedang dalam genggaman Adam saling bersentuhan dengan bola cahaya yang dilontarkan oleh sang naga. Tetapi bola itu tidak hancur sama sekali. Adam telah pasrah apabila hal seperti itu terjadi. Setidaknya ia bisa menjadi perisai bagi kota itu. Satu-satunya yang ia inginkan dalam kematiannya adalah kematian yang tenang. Karena itulah ia menutup matanya dan menerima bola itu.

Di saat ia berpikir sudah tidak ada harapan lagi, sebuah keanehan pun terjadi. Panas yang dirasakannya dari bola itu berangsur-angsur menghilang bersamaan dengan cahaya yang menyilaukan dari bola itu. Sebagai gantinya, tangan kanannya menjadi terasa hangat. Pedang cahaya yang digenggamnya memancarkan sinar yang jauh lebih terang dari sebelumnya. Cahaya dari pedang itu seperti cahaya yang memancar dari bola cahaya yang dilontarkan oleh sang naga.

“Sepertinya pedang itu mampu menyerap serangan lawanmu. Kekuatan seperti itu sangat cocok dengan sifatmu, Adam,” kata sang Kunci.
Adam tersenyum kecil. “Kau menyebut namaku sekarang?” tanyanya.
“Yah, untuk sekarang kau kuijinkan memakai kekuatanku. Eva terpaksa memberikan kekuatanku padamu hanya karena ancaman pada dirinya. Kalau tidak kau akan kuhancurkan meski kau sang Pembuka Pintu,” jawab sang Kunci.
“Jadi benar kau sang Kunci? Bukankan seorang Pembuka Pintu itu penting?” tanya Adam.
“Seorang Pembuka Pintu bisa didapat dimana pun selama mereka memiliki gen dari manusia awal yang membuka sang Pintu dari Dunia Lama menuju tempat ini. Bukan cuma dirimu,” jawab sang Kunci.
“Bukankah seseorang harus dipilih oleh sang Kunci bila ingin menjadi Sang Pembuka Pintu?”
“Eva adalah wadah untukku. Meski Eva menyukaimu dan memilihmu bahkan sebelum lahirnya, kalau aku menolakmu, maka semuanya sia-sia.”
“Jadi, maksudmu aku mendapat penerimaan darimu?”
“Jangan besar kepala, Anak Muda. Ini hanya sampai perang kecil ini berakhir. Setelah itu aku akan kembali ke tubuhnya,” jawab sang Kunci.

Quetzalcoatl meraung. Tampaknya naga itu merasa sangat kesal dengan kegagalannya yang tidak mapu menggores tubuh Adam sedikitpun. Serangan yang ia lancarkan sebelumnya adalah serangan terkuatnya. Tidak ada satu makhlukpun yang pernah merasakan serangan itu yang dapat hidup untuk menceritakannya kembali. Tetapi bocah di depannya bukan hanya mengalahkan serangan terkuatnya itu, ia bahkan mencuri energi dari serangan itu dan membuatnya menjadi miliknya sendiri.

“Sialan!!” teriak naga itu. Quetzalcoatl, sang naga, membentangkan kedua sayapnya dengan sangat marah. Ia kembali meraung dengan kepalanya menghadap langit. Kali ini petir yang tidak diketahui asal muasalnya seakan  menjawab raungan itu. Satu demi satu petir-petir itu menyerang ke segala tempat, namun dengan mudah Adam menghindari serangan sang Advano.

“Sepertinya dia sudah tertekan,” kata Adam yang masih sibuk menghindari petir yang seolah-olah tidak berhenti menghujaninya. Ia bahkan harus terbang rendah di atas permukaan air untuk mendekati sang naga.
“Advano adalah makhluk yang sangat tinggi harga dirinya. Sudah jelas mereka tidak mau dikalahkan oleh siapapun,” kata sanga Kunci.
“Siapa yang tertekan dalam pertempuran akan kalah, bukan?”
“Kalau begitu tidak ada masalah untuk menjatuhkan naga itu, bukan?”
“Tentu saja!” seru Adam. Ia mengepakkan sayapnya dan kembali melesat ke arah Quetzalcoatl. Naga itu masih meraung-raung memanggil petir. Adam tidak menemukan masalah berarti melewati semua petir itu.
“Kewaspadaannya juga turun, ya?” tanya Adam.
“Sepertinya begitu. Mau dikejutkan sedikit?” balas sang Kunci.
“Sebuah tebasan kecil rasanya tidak akan mengganggu,” jawab Adam sambil tersenyum usil.
“Tetap saja kau harus berhati-hati, kan? Siapa tahu ini cuma pancingan/”
“Masuk akal. Kalau begitu serangan penuh saja!” kata Adam yang segera mengayunkan pedangnya ke arah naga yang masih meraung-raung itu. Jarak antara sang daga dan Adam cukup jauh, tetapi tebasan yang dilakukan pria itu membuat sebuah gelombang udara yang mencabik-cabik kedua sayap sang naga.

Tubuh kokoh sang naga tampak seperti sebuah balok kayu yang terjatuh dari langit saat kedua sayapnya dihancurkan. Ia terlambat menyadari serangan Adam yang lebih cepat dari biasanya itu. Ia bahkan dipaksa merasakan kekuatannya sendiri yang telah dicuri pria itu. Ia telah kalah telak. Harga dirinya sebagai Advano yang agung seperti diinjak-injak. Ia tidak mau begitu saja dikalahkan. Jika ia kalah dan mati, setidaknya ia harus membawa serta musuhnya mati bersamanya.

Dengan kesempatan terakhir yang dimilikinya, sang naga membelitkan ekornya ke badan Adam. Dengan erat ia mengikat tubuh pria itu dan menjatuhkan dirinya ke laut. “Dengan begini aku bisa membawamu mati bersamaku!” serunya. Cahaya terang memancar dari kepala naga itu dan menjalar turun ke seluruh badannya. Dalam sekejap Adam seperti terjebak di dalam lilitan tali yang terbuat dari cahaya.

“Dia ingin meledakkan dirinya!” seru sang Kunci.
“Dan aku tidak bisa keluar dari sini!” balas Adam.
“Keluarkan semua energi yang diserap pedangmu tadi. Kalau kau meledakkannya sekarang, ledakan dari naga ini tidak akan membuatmu terluka parah!” seru sang Kunci.
“Bagaimana caranya?”
“Tarik kembali pedang itu ke dalam dirimu. Semua benda di tubuhmu sekarang adalah cahaya yang keluar dari dalam dirimu. Kalau kau menginginkan mereka kembali ke dalam dirimu, cukup kau perintahkan saja.”
Adam mencoba membayangkan pedang di tangan kanannya berubah kembali menjadi cahaya. Perlahan-lahan Adam merasakan genggaman tangannya terasa kosong. Sebagai gantinya aliran energi yang hangat menjalar dengan cepat ke seluruh tubuhnya.

“Sepertinya energi yang kau serap itu sudah ada di dalam tubuhmu. Sekarang lepaskan semuanya dalam satu ledakan. Bayangkan sebuah bola cahaya besar!” kata sang Kunci.

Adam mengikuti petunjuk sang Kunci. Ia membayangkan seluruh tubuhnya diliputi cahaya yang berubah bentuk menjadi sebentuk bola. Perlahan-lahan tubuhnya diliputi cahaya. Tetapi sebelum cahaya itu berubah bentuk menjadi bola, naga yang melilit tubuh Adam tiba-tiba mengeluarkan cahaya yang sepuluh kali lebih terang dari sebelumnya.

“Sial! Kalau begini tidak akan sempat!” umpat sang Kunci.

Quetzalcoatl mengeluarkan sinar terang yang membuat malam itu berubah menjadi siang untuk sesaat. Tepat sebelum naga itu mencapat permukaan laut, seluruh tubuhnya bersinar dan melepaskan energi yang menyapu habis seluruh armada kapal perang Adventa yang masih tersisa di dekat pelabuhan.

Cahaya yang menyilaukan itu bertahan untuk beberapa saat. Setelah cahaya itu padam malam pun tampak lebih gelap dari biasanya. Yang tersisa dari semua kekacauan itu hanyalah setitik cahaya yang bersinar lemah di atas permukaan laut.

“Kau masih hidup, Anak Muda?” kata sang Kunci.
“Sepertinya. Terima kasih atas bantuanmu tadi, Kunci,” jawab Adam. Berbeda dengan tubuhnya yang dipenuhi cahaya sebelumnya, tubuh Adam saat ini hanya terlihat seperti kunang-kunang yang berusaha mempertahankan pendarannya yang melemah.
“Aku hanya menyelamatkan diriku sendiri saja. Kau memang masih belum bisa diharapkan, ya?”
“Aku memang masih lemah. Untuk berjuang melawan seluruh dunia dan menyelamatkan manusia seperti yang dikatakan Eva rasanya sangat sulit untukku. Apalagi melawan makhluk seperti tadi,” kata Adam.
“Kau meragukan Eva?”
“Sejujurnya aku memang meragukan pilihannya. Dari semua orang yang hebat di dunia ini, apa harus aku yang dipilihnya?”
“Aku sebenarnya tidak terlalu suka mengatakan ini, tetapi sesuatu dalam dirimu berbeda dari semua orang kuat di dunia ini. Hanya kau orang aneh yang malah menghibur gadis yang tidak kau kenal di hari kau melihat kedua orang tuamu terbunuh. Hanya kau juga yang malah memutuskan menerjang bola cahaya sepanas matahari itu demi melindungi kota itu. Kupikir itu yang dilihat Eva darimu,” kata sang Kunci.
“Aku hanya tidak bisa melihat orang menangis di dekatku. Aku juga hanya ingin menepati janjiku saja,” kata Adam.
“Melindungi gadis itu? Gadis yang memberimu kekuatan ini atau gadis yang menitipkan bibirnya padamu?” tanya sang Kunci.
“Seandainya kau berwujud aku pasti menghajarmu sekarang, Kunci!” kata Adam.

Sang Kunci tertawa. “Sebaiknya kau segera menyadari perasaanmu pada Sierra, Anak Muda. Dia gadis yang baik. Dan juga sebaiknya kau berpikir bagaimana caranya mengembalikan apa yang ia berikan padamu itu,” kata sang Kunci. Ia terkekeh-kekeh setelah mengatakan itu.

Adam merasa seperti ditertawakan oleh dirinya sendiri. Ia mengatakan akan memikirkan Sierra dan apa yang telah dilakukannya setelah kota Ravena telah diselamatkan. Tetapi kini ia masih bingung.

“Yah, itu adalah masalahmu, Anak Muda. Tetapi sekarang masih ada masalah serius yang harus kita selesaikan. Kembalikan aku ke wadahku. Kalau tidak gadis itu akan mati,” kata sang Kunci. Nada bicaranya berubah menjadi serius.

Mendengarkan kata-kata sang Kunci Adam terkesiap kaget. “Apa? Jadi memang benar kau adalah inti kehidupan Eva?” tanya Adam.

“Gadis itu memiliki jiwanya sendiri. Dia hanya wadahku untuk sementara. Tetapi jika kontrak yang melekat antara diriku dan dirinya sejak aku lahir belum terpenuhi, dia akan mati,” jawab sang Kunci.
“Kontrak?”
“Aku akan berada bersamanya, melindungi dirinya, dan menjadi penjaganya. Sebagai gantinya Eva harus memberikan tubuhnya agar aku memiliki eksistensi di dalam Faux Ciel ini. Hanya dengan demikian aku bisa melakukan tugasku untu membuka Pintu Dunia ini dari dalam” jelas sang Kunci.
“Berapa lama waktunya?”
“Aku hanya bisa meninggalkan tubuh gadis itu selama satu jam. Lebih dari itu badan gadis itu akan melemah dan mati. Jika waktunya telah lewat, ia bahkan tidak akan bisa menjadi wadah untuk kekuatanku lagi,” kata sang Kunci.
“Berarti sisa sepuluh menit!” seru Adam. Dengan sisa-sisa cahaya terakhir yang dimilikinya ia kembali membentuk sayap cahaya di punggungnya. Dengan cepat ia melesat ke arah kota Ravena yang kini tampak sama karena bekas kebakaran yang terjadi sebelumnya. Ia tidak mempedulikan tatapan terkejut atau takut dari warga kota di bawahnya saat ia melintasi kota itu. Ia hanya memakai perasaannya untuk menuju sebuah bangunan yang kini tampak rusak.

“Mereka di bawah tanah. Tenanglah,” kata sang Kunci.
“Aku tahu,” balas Adam.

Ia dengan perlahan turun ke depan sebuah bangunan yang beberapa jam lalu masih dipadati orang yang makan di dalamnya. Ciel kini tampak seperti bangunan yang siap dihancurkan. Tepat sebelum ia menyentuh tanah, sayap di punggungnya menghilang. Ia tersungkur jatuh ke tanah tetapi dengan sigap ia kembali berdiri dan akhirnya berlari.

Sierra sempat memberitahunya beberapa hari lalu bahwa di dalam bangunan itu ada sebuah ruang bawah tanah di dalam gudangnya. Ia berlari menuju gudang itu. Pintu gudang itu sudah hancur karena ledakan-ledakan yang terjadi sebelumnya. Dengan hati-hati Adam memasuki ruangan itu dan menemukan pintu ruang bawah tanah di lantainya. Dengan segera ia membuka pintu itu dan menemukan Sierra yang berdiri dengan sabar menantinya.

“Selamat datang kembali, Adam,” kata gadis itu. Mata Sierra tampak berkaca-kaca saat dilihatnya sosok yang membuka pintu ruangan itu adalah Adam.
“Aku kembali,” kata Adam lega. Ia tersenyum melihat gadis itu tidak terluka sama sekali.
“Baguslah kau datang tepat waktu. Sekarang kembalikan itu pada Eva,” kata Lambert yang masuk ke dalam ruangan di mana Sierra berada saat ini. Wajahnya tampak sangat tidak senang.
“Aku tahu. Di mana Eva sekarang?” tanya Adam.
“Di dalam. Lewat sini,” kata Lambert sambil kembali ke ruangan darimana ia tadi keluar.

Adam melompat ke dalam ruang bawah tanah itu. Sebelum ia memasuki ruangan yang dimasuki oleh Lambert, ia menoleh pada Sierra dan dengan cepat menarik kepala gadis itu ke wajahnya. Dengan cepat Adam mencium bibir gadis itu dan berlalu pergi dengan hanya mengatakan, “Kukembalikan titipanmu”. Sierra yang masih terkejut hanya bisa mematung dan memegangi bibirnya. Wajahnya perlahan-lahan bersemu merah. Sedangkan Karl yang sejak awal berdiri tenang tanpa suara di samping sebuah rak di sudut yang tak terlihat oleh Adam hanya tercengang. Sepertinya tidak ada lagi harapan baginya mendapatkan gadis itu.

Di dalam ruangan di mana Lambert berada kini sosok Eva tampak terlelap dengan damai. Tetapi Adam tahu bila ia tidak menyerahkan kembali kekuatan sang Kunci kepadanya, gadis itu akan benar-benar pergi dalam damai. Adam memegang tangan gadis itu. “Kukembalikan yang kau berikan padaku. Jangan bersikap ceroboh lagi atau aku terpaksa mencubitmu,” kata Adam sambil tersenyum. Cahaya keemasan terpancar keluar dari genggamannya dan mengalir masuk ke dalam gadis itu melalui tangannya. Di saat bersamaan rambut Adam kembali menyusut seperti semula. Warna emas di rambutnya kembali berganti menjadi warna hitam. Begitu juga warna matanya yang merah kini perlahan pudar dan kembali seperti semula.

Saat Adam telah kembali seperti semula, tiba-tiba tubuh Eva memancarkan cahaya. Gadis itu melayang dari tempat tidurnya untuk beberapa saat. Meski cahaya itu cukup menyilaukan, Adam masih bisa melihat rambut hitam gadis itu berubah dengan cepat menjadi emas. Dan setelah itu cahaya yang terpancar dari tubuh Eva pun lenyap. Gadis itu perlahan kembali turun ke tempat tidurnya.

“Dia sudah kembali,” kata Lambert sambil menepuk pundak Adam. “Terima kasih telah melindungi kota ini.”
“Aku masih membiarkan kota ini hancur seperti sekarang. Aku gagal melindungi kota,” kata Adam.
“Setidaknya kau menyelamatkan kami yang masih hidup sekarang. Dan masalah kota ini kau tidak perlu khawatir. Mereka akan kembali bangkit seperti dulu,” kata Lambert.

Adam tersenyum. “Kau benar,” katanya. Ia baru saja akan pergi dari ruangan itu dan melepaskan tangannya dari tangan Eva, tetapi tampaknya gadis itu enggan melepaskan tangannya. Gadis itu memegang tangan Adam lebih erat. Wajah tidurnya tampak merengut. Tampaknya Adam masih harus duduk di samping gadis itu sedikit lebih lama.

“Sepertinya aku harus menunggu sampai dia terbangun,” kata Adam. “Aku tidak bisa mengambil tanganku sekarang.”
“Entah kapan hal itu terjadi,” kata Lambert. Ia menepuk pundak Adam dan pergi meninggalkannya sendirian dengan ‘masalah kecil’ itu.
“Kuharap segera,” balas Adam. Ia menghela napas, tetapi saat ia menatap wajah tidur Eva yang tampak manis dan damai ia tidak bisa menahan senyumnya. “Aku ingin mendengar suaranya lagi.”

[Jumlah kata:  3815]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar