Rabu, 11 Januari 2012

Faux Ciel Bab 8 - Eva

Seharusnya ia sudah mati tenggelam di dasar sungai. Atau setidaknya terseret arus dan membentur bebatuan yang tajam, yang pada akhirnya membuatnya mati. Tetapi maut seperti enggan menyapanya. Dinginnya air dan sakitnya hantaman arus sungai di kulitnya perlahan-lahan menariknya keluar dari dunia yang gelap. Adam membuka matanya yang sangat lelah. Bukan hal yang mudah baginya karena nyaris semua energi di tubuhnya lenyap tak berbekas. Matanya perih dan merah. Antara air yang mengalir dari matanya dan air yang menyapu wajahnya sudah tidak dapat dibedakan lagi.

Adam melihat apa yang telah urung mengizinkannya bersatu dengan dasar sungai itu. Sebuah batu yang sepertinya berukuran besar dan berwarna hitam tepat bersentuhan dengan pipinya. Tampaknya batu besar itu telah secara ajaib menahan tubuhnya dari hantaman arus sungai. Dan keberadaannya di atas batu itu pun mungkin sebuah mukjizat. Arus yang deras pasti telah menyeretnya hingga akhirnya tergeletak di atas batu itu.


Adam mencoba mengangkat tubuhnya sendiri untuk bangkit dari batu itu, namun energi di tangannya tidak kembali. Ia kembali terkapar menghantam batu itu. Rasa sakit dan nyeri segera menguasainya. Adam tersenyum. Ia pasrah jika seandainya itu adalah akhir dari semua yang dialaminya. Setidaknya di ujung dunia sana ia bisa bertemu dengan ibu dan ayahnya.

Atau setidaknya itulah yang ia bayangkan.

***

Yang berada di depan mata Adam saat membuka mata adalah pemandangan langit luas dengan puluhan camar yang beterbangan dengan bebasnya. Ia mengitarkan pandangannya. Di kanan matahari pagi mulai menampakkan kilau kemerahan. Angin pagi menyapa rambutnya bagaikan elusan tangan sang ibu. Ia menghirup angin itu. Rasanya sangat lega menghirup udara sejernih itu di pagi hari seperti ini. Tetapi Adam merasa heran. Ia merasa tubuhnya sangat ringan, seolah tidak ada gravitasi yang mengikatnya. Ia juga dapat merasakan sentuhan lembut angin yang menggelitik telapak kakinya. Ia mencoba melihat ke bawah. Saat itulah Adam baru menyadari kakinya tidak memijak apapun!

Adam melonjak di tempat. Ia mengira dirinya akan terjatuh. Namun ia tidak beranjak dari tempatnya. Ia tidak terseret jatuh oleh gravitasi. Ia benar-benar melayang di langit.

Butuh waktu lama bagi Adam kecil untuk menyadari bahwa ia berada di atas langit, melayang bagai camar meski tanpa sayap. Namun saat ia menyadarinya, ia menjadi sangat gembira. Ini adalah surga! Adam tak henti berteriak gembira dalam hatinya. Ayah dan ibu pasti ada di sekitar sini!

Adam membentangkan tangannya di samping badannya seperti sayap burung. Ia mencondongkan tubuhnya ke depan dan tubuhnya pun melayang ke depan. Tidak butuh waktu lama sampai ia akhirnya menjadi selincah camar di atas langit itu. Ia merasa tertentang terbang menuju matahari yang baru saja terbit. Pikirnya ia mungkin bisa menemukan pintu menuju tempat ayah dan ibunya berada di surga ini bila ia mendekati matahari itu. Namun tiba-tiba cahaya terang memancar dari matahari itu. Cahayanya bahkan mengalahkan cahaya matahari di siang terik. Cahaya itu memaksa Adam berhenti dan meutupi matanya dengan kedua telapak tangannya. Tetapi dari sela-sela jarinya ia dapat melihat sebuah sosok keluar dari arah matahari itu dan berjalan ke arahnya. Bersama dengan keluarnya sosok itu, cahaya dari matahari itu semakin terang. Adam merasa mual oleh cahaya itu. Kesadarannya mulai terkikis, hingga akhirnya ia kembali tidak sadarkan diri. 

***

Adam terbangun tiba-tiba dari tidurnya. Ia baru saja melihat sebuah mimpi yang sangat buruk. Dalam mimpinya ia melihat sekelompok benda asing membunuh kedua orang tuanya dengan kejam. Mereka mengejarnya dan ia terjatuh ke sebuah sungai yang deras. Seluruh tubuhnya basah dan sakit. Dan dalam mimpi itu ia bermimpi kembali. Ia bermimpi dapat terbang di langit, dan ia percaya ia berada di surga. Tetapi sebuah cahaya menyilaukan telah membawanya keluar dari mimpinya itu.

Tetapi kalau semua itu mimpi, mengapa rasa sakit itu terasa begitu nyata di tulangnya?

Adam mencoba menggerakkan tangan kirinya. Nyeri yang sangat tak tertahankan seketika merebak ke seluruh tubuhnya. Rasa sakit yang sama dengan yang dirasakannya dalam mimpi kini terasa sangat nyata. Apa ada mimpi senyata ini? tanyanya dalam hati. Apa ini juga adalah mimpi?

Dalam mimpinya ia berada di atas sebuah batu besar. Di sekelilingnya arus sungai bergelagak liar. Ia bahkan tidak kuat mengangkat tubuhnya. Tetapi saat ini ia berada di sebuah gua gelap. Di mulut gua ia bisa mendengarkan hujan deras dan angin ribut yang saling bersahut-sahutan. Udara dingin yang menyeruak masuk menusuk-nusuk kulitnya. Bajunya yang basah membuatnya semakin menggigil. Jika ini mimpi, mengapa aku mengigil seperti ini? Apa ini juga mimpi? Tidak! Mimpi tidak pernah terasa sakit. Itu berarti semuanya…

“Ini bukan mimpi, Adam.”

Seakan mendengarkan suara hati Adam, sebuah suara menggema dan menyadarkan dirinya. Ia menoleh ke arah sumber suara itu. Sesosok gadis yang lebih kecil darinya berdiri di sana, berpakaian serba putih yang memanjang hingga menyentuh mata kakinya. Rambut gadis itu berwarna keemasan dan berombak hingga ke pundak. Gadis itu menatap Adam dengan matanya yang merah. Ada kesayuan dan kesedihan yang terpanjang dari tatapan gadis berkulit putih itu.

“Siapa kamu?” tanya Adam. Suara gadis itu membuatnya yang nyaris menangis lagi tersentak. Sesaat ia terkejut sehingga ia tidak mengingat alasannya untuk menangis.

“Aku… aku tidak tahu,” jawab gadis itu.

“Siapa namamu?” tanya Adam lagi.

“Aku… aku juga tidak tahu,” jawab gadis itu.

Adam menelengkan kepalanya. Gadis itu masih menatapnya dengan kesedihan yang terpancar jelas di matanya. Gadis itu bahkan seperti berusaha keras menahan air mata mengalir dari matanya. “Mengapa kamu menangis?” tanya Adam lagi.

Gadis itu mulai terisak. “Aku… aku tidak menangis… aku hanya…,” dan kata-katanya tidak berlanjut. Tangisannya pecah dan menggema di dalam gua itu.

“Tenanglah. Jangan menangis,” kata Adam. Ia melangkah mendekati gadis itu meski seluruh tubuhnya terasa nyeri. Ia tidak lagi mempedulikan sakit yang menusuk seluruh tulangnya. “Cup cup cup. Jangan menangis, ya? Aku ada di sini,” kata Adam sambil mengelus kepala gadis itu.

Cara itu berhasil membuat gadis itu tenang. Gadis itu menatap Adam dengan tatapan bertanya. Adam tertawa kecil. “Aku ingat ibuku selalu mengelus kepalaku kalau menangis. Rasanya enak. Makanya kupikir jika aku mengelus kepalamu kamu akan berhenti menangis,” kata Adam.

“Mengapa… kamu ingin aku berhenti menangis?” tanya gadis itu.

Adam tampak berpikir sejenak untuk menjawab pertanyaan gadis itu. Tetapi ia sendiri tidak tahu alasannya. 
“Aku tidak tahu. Aku hanya tidak senang melihat seseorang menangis. Mungkin aku ini aneh, ya?” kata Adam sambil tertawa kecil.

Gadis itu akhirnya ikut tertawa kecil. “Kamu memang aneh, Adam.”

“Begitukah? Hahahaha,” kata Adam. Tawanya semakin besar.

Semenit kemudian mereka telah lupa bahwa sebelumnya gua itu dipenuhi dengan gema tangisan gadis itu.

“Hei, kamu bilang tadi kamu tidak punya nama?” tanya Adam. Ia dengan susah payah menyeret dirinya sendiri ke dinding gua. Dengan perlahan ia menekuk kakinya hingga akhirnya ia berhasil duduk di lantai gua itu. Ia bernapas lega saat ia meluruskan kakinya kembali.

Gadis itu mengangguk pelan. Ia ikut duduk di sisi kiri Adam. Wajahnya merengut. “Aku tidak tahu apa-apa selain dirimu dan namamu,” kata gadis itu. Ia menopangkan dagunya di atas kedua lututnya.

“Eh? Namaku?” tanya Adam heran. “Padahal aku tidak pernah bertemu denganmu."

Gadis itu menoleh ke Adam dan kembali mengangguk dengan polosnya. “Di kepalaku hanya ada mukamu dan namamu. Aku tidak tahu mengapa. Sejak sadar aku sudah melihatmu di kepalaku,” jawab gadis itu.
Adam merasakan wajahnya memerah. Ia tidak tahu apa alasannya, tetapi ia merasa malu begitu mendengar perkataan gadis itu. Ia bahkan tidak peduli pada kenyataan bahwa gadis itu mengatakan hal yang aneh dan tidak masuk akal. “Lalu… tadi mengapa kamu menangis?” tanyanya.

“Karena kamu sedih. Entah mengapa aku bisa merasakan kesedihanmu dan melihat semua yang kamu lihat tadi,” jawab gadis itu.

Adam mengernyitkan dahinya. “Bagaimana bisa? Jadi… semua yang…” Ia tidak melanjutkan kalimatnya. Sebuah kemungkinan yang sangat buruk melintas di kepalanya, kemungkinan bahwa semua yang dianggapnya mimpi adalah sama sekali nyata.

“Itu semua nyata. Senyata keberadaanku sekarang,” kata gadis itu. Ia menyentuh tangan kiri Adam. Seketika Adam merasakan kehangatan menjalari seluruh badannya dan menghilangkan semua sensasi nyeri yang dirasakannya.

Adam terkejut. “Apa yang kamu lakukan?” tanyanya kaget.

“Aku menyembuhkanmu. Aku tidak suka melihatmu menderita. Aku tidak tahu mengapa, tetapi aku tidak suka melihat orang lain menderita di depan mataku. Kalau aku bisa mengambil kesakitan dan kesedihanmu, itu akan kulakukan,” jawab gadis itu. Ia tersenyum. “Dan melihat senyummu membuatku senang,” lanjutnya.

“Be – benarkah?” tanya Adam gugup. Senyum gadis itu membuatnya damai. Ia yang seharusnya merasa sedih karena semua yang telah terjadi malah merasa gembira saat di samping gadis itu. Apa dia malaikat yang dikirim ayah dan ibu untuk menghiburku? pikir Adam.

Gadis itu mengangguk dengan penuh semangat. Matanya berbinar-binar menatap Adam. Dia memang kelihatan seperti malaikat. Pantas saja bisa melakukan keajaiban.

“Ka – kalau begitu apa boleh aku memberimu sesuatu sebagai gantinya?” tanya Adam. Ia ragu-ragu melakukan ini, tetapi ibunya selalu berpesan padanya, setiap kebaikan dari seseorang harus dibalas. Jika tidak bisa pada orang itu langsung, ia harus membalasnya pada orang lain, dengan demikian rantai kebaikan akan kembali pada orang yang memberinya kebaikan.

“Kamu mau memberikan apa?” tanya gadis itu dengan semangat.

“Aku akan memberimu nama,” jawab Adam.

“Nama?”

“Ya! Mulai sekarang kamu punya nama. Namamu Eva!” jawab Adam mantap. Senyum bangga tersungging di wajahnya. Matanya menatap gadis itu dengan semangat, seolah ingin membagikan semangat itu padanya.

Gadis itu tersenyum lebar. Ia menyukai nama itu. “Aku Eva!” sahut gadis itu. Ia berdiri dan menari-nari gembira di depan Adam. Perlahan-lahan tubuh gadis itu berpendar. Semakin lama pendaran itu semakin terang, hingga akhirnya pendaran tubuh gadis itu berubah menjadi cahaya terang yang menerangi gua di sekelilingnya.

Adam terpana. Ia teringat pernah melihat terang seperti itu. “Kamu – kamu adalah sosok yang kulihat di dalam mimpiku?”

Seperti sosok yang berbeda dari sebelumnya, gadis itu berhenti menari dan menatap Adam. Ia tersenyum dengan anggun dan mengangguk. “Ini adalah awal dari perjalananmu, Adam. Tabahkan hatimu. Aku akan selalu ada saat kamu membutuhkanku. Dan terima kasih telah memberiku sebuah nama,” kata gadis itu. Sosok kecil gadis itu perlahan berubah menjadi bola cahaya terang. Cahaya terang itu seakan memenuhi seluruh penglihatan Adam. Seperti di dalam mimpinya, Adam kehilangan kesadarannya saat cahaya itu memenuhi pandangannya.

***

“Kamu sudah ingat sekarang?” tanya Eva.

Adam menghela napasnya. Mereka berdua kini kembali ke kamar Adam. Sosok Eva masih berpendar di depan matanya. Gadis itu ternyata tidak banyak berubah dengan sosoknya sewaktu masih kecil dulu. “Jadi, sekarang kau akan memberitahukan siapa dirimu padaku?” tanya Adam datar.

Eva merengut. “Padahal waktu kamu menghiburku di gua itu kamu terlihat lebih manis, lho?” katanya.

“Maaf kalau aku tidak lagi seperti sosok dalam pikiranmu itu. Aku yang lemah itu sudah berubah sekarang. Lagipula kau yang berkata akan menolongku saat aku butuh, kan? Lalu kemana kau saat dua belas tahun lalu?” tanya Adam kembali.

Eva terdiam. Matanya kembali menatap sendu pada Adam, seolah ia merasa bersalah tidak menolong Adam keluar dari perbudakan yang dialaminya. “Maaf. Aku pun tidak bisa apa-apa. Ada waktu untuk semuanya. Dan waktuku baru tiba hari ini. Setidaknya ini yang dapat kuberikan padamu sebagai permintaan maaf,” kata Eva. Ia berjalan menuju Adam dan menyentuh tangan kiri pria itu. Adam merasa tangan kirinya gatal. Ia menaikkan lengan bajunya untuk menggaruk, namun apa yang dilihatnya membuatnya terkejut. Sulur-sulur yang sudah merambat ke sepanjang tangannya menyusut tanpa melukai tangannya. Dengan cepat sulur-sulur itu mengecil hingga akhirnya kembali ke bentuk aslinya, sebuah biji kecil berwarna hitam pekat yang keluar dari kulitnya. Adam menatap apa yang terjadi dengan tatapan tidak percaya. Sehari kemarin ia nyaris mati kehabisan darah karena luka yang ditimbulkan tato kutukan di tangan kirinya. Dan hari ini tato itu telah berubah kembai menjadi biji yang terjatuh ke lantai.

“Aku tahu simbol kutukan itu dari apa. Aku hanya perlu mengembalikannya ke bentuk asalnya dan mengeluarkannya dari tanganmu. Sekarang kamu bebas, Adam,” kata gadis itu.

Adam masih memandang biji yang telah jatuh di lantai itu dengan tidak percaya. Ia mengangkat kakinya untuk menginjak biji itu, tetapi bij itu tiba-tiba hancur sebelum ia sempat menginjaknya. Ia beralih menatap gadis yang menyebut dirinya Eva itu. Gadis itu menatapnya dengan tatapan memelas.

“Jangan memandangiku dengan tatapan seperti itu,” kata Adam ketus.

Gadis itu menjawab dengan kedua telapak tangannya yang ia satukan di depan mukanya. Tatapan matanya semakin memelas. Sekilas Adam mengingat Sierra saat mereka masih kecil dulu. Apa aku seumur hidup akan dikelilingi orang-orang seperti ini?

“Baiklah! Kau kumaafkan! Puas? Sekarang hentikan tatapan seperti anak anjing itu!” seru Adam sambil membuang pandangannya dari Eva.

Eva melompat-lompat kegirangan di tempatnya seperti layaknya gadis remaja normal lainnya. Ia sangat senang mendengarkan hal itu. Cahaya yang menyelimuti dirinya kembali bersinar terang. Adam memutar matanya. Ia mengenal pola ini. Sebenter lagi ia akan kehilangan kesadaran dan pingsan. Setelah itu entah a[a yang akan terjadi dengan tubuhnya.

“Tenang, kali ini kamu tidak akan  pingsan, kok. Aku juga tidak akan meninggalkanmu. Oh, ya! Untuk semua pertanyaanmu mengenai diriku bisa kamu tanyakan pada Lambert. Dia ada di kamar sebelah dan sebentar lagi akan kemari,” kata Eva. Sesaat setelah mengatakan itu cahaya terang tampak berkelebat keluar dari tubuh gadis itu. Cahaya itu hanya muncul secepat kilat, tetapi terangnya cukup membuat penglihatan Adam buta sesaat. Saat ia membuka kembali matanya, yang dilihatnya adalah tubuh Eva yang ambruk ke arahnya. Dengan cepat Adam menangkap tubuh gadis itu dan mengangkatnya ke tempat tidur.

“Apa yang kau lakukan pada Eva!?”

Sebuah seruan mengagetkan Adam dari arah pintu. Ia menoleh ke arah pintu yang berada di belakangnya.  Di ambang pintu itu sesosok pria berbadan tegap tampak berdiri dengan sebuah pistol mengarah pada Adam. Tatapan mata pria itu penuh dengan aura pembunuhan.

“Aku hanya menolong membaringkan dia karena tadi tiba-tiba pingsan. Kau siapa?” tanya Adam.

“Aku Lambert. Aku yang berkewajiban merawat Eva!”

Adam mengernyitkan dahi. “Jadi kau Lambert? Aku ingin menanyakan beberapa hal padamu. Tapi sebelumnya turunkan senjatamu. Aku tidak ingin mengganggu Sierra subuh-subuh seperti ini,” katanya.

[Jumlah kata: 2221]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar