Minggu, 01 Januari 2012

Faux Ciel Bab 3 - Mimpi Dan Harapan Baru

Adam terbangun di tengah malam sambil memegangi tangan kirinya. Ia melihat tangan kirinya berdarah. Ia meringis menahan rasa sakit yang menjalar di seluruh tangan kirinya itu. Di tangannya, sulur-sulur berduri berwarna hitam tampak bergerak-gerak mencambuki dirinya dengan liar. Darah segar mengalir dari bekas cambukan sulur-sulur itu. Demikianlah para pemilik budak mengendalikan budak-budaknya dan menghukum mereka yang berusaha lari dari mereka. Sulur-sulur itu akan memaksa para budak menyerah dan kembali, jika tidak mereka akan mati tercekik oleh sulur itu.

Penderitaan yang ditimbulkan oleh tatto kutukan yang ada di tangannya jauh lebih buruk dari mimpi buruk manapun. Mimpi buruk akan berakhir saat seseorang terbangun, namun rasa sakit di tangannya tidak akan berakhir bahkan saat ia membuka matanya. Sudah seminggu ia meninggalkan lokasi penambangan itu. Sejak itulah tatto sulur berduri di tangannya mulai menyiksanya, hingga akhirnya sulur-sulur itu melukainya pada malam ini. Darah segar masih belum berhenti mengalir dari tangannya. Selimut yang diberikan Sierra padanya telah ternoda dengan tetesan darahnya. Sudah tidak mungkin ia tidak membuat gadis itu khawatir.

Sinar bulan purnama yang menembus kaca menerangi kamar yang diberikan Sierra padanya. Sinar bulan itu juga menyinari tubuhnya dan menampakkan bekas luka yang ada di seluruh tubuhnya. Bekas pukulan, cambukan, bahkan tebasan tidak terhitung lagi di tubuhnya yang mengeras karena kerja paksa. Namun yang paling tampak mencolok dari tubuhnya tetap saja tatto hitam berbentuk sulur berduri yang kini telah sampai di lengannya.

Adam menghela napas panjang. Setelah serangan rasa sakit berkepanjangan itu akhirnya sulur di tangannya berhenti mencambuknya. Sebagai gantinya sulur-sulur itu telah memanjang hingga ke lengannya. Tinggal sedikit lagi hingga sulur-sulur itu mencapai lehernya dan membelitnya hingga mati.

Aku harus pergi dari tempat ini, pikir Adam. Jika tidak Sierra akan sedih. Aku tidak ingin melihat itu.

“Tanganmu terluka. Mengapa tidak kamu katakan kalau kutukan itu sudah separah ini?”

Suara seorang gadis menyadarkannya. Ia menoleh ke asal suara itu. Di ambang pintu Sierra sudah berdiri dengan memegang sebuah lilin. Cahaya temaram lilin itu menerangi wajahnya. Ia tampak sangat khawatir. Sepertinya suara yang ia keluarkan cukup keras untuk membuat gadis itu bangun.

“Maaf. Padahal aku sudah berusaha sekuat tenaga untuk tidak membuat suara berisik,” kata Adam.

“Kamu tidak membuat suara berisik. Tapi telingaku cukup peka untuk mendengarkan rintihan. Katakan saja pengalaman sebagai seorang pengungsi telah membuat kemampuan alamiku itu makin tajam,” kata Sierra. Ia melangkah masuk dan menyalakan lentera di kamar itu dengan lilinnya. Sinar lentera itu segera menerangi seisi kamar itu. Termasuk Adam yang bertelanjang dada dengan selimut yang telah basah oleh darah.

Sierra tidak tahu yang mana yang harus lebih diperhatikannya. Apakah luka di tangan kiri Adam, bekas luka di sekujur tubuhnya, atau tubuh itu sendiri. Ia mengelengkan kepalanya. Bukan saatnya memperhatikan sesuatu yang tidak penting seperti otot six pack di perut Adam atau dadanya yang bidang. Sudah lama ia tidak melihatnya, dan kini Adam telah menjelma menjadi sosok menawan. Tapi bukan itu yang harus kamu pikirkan sekarang, Sierra. “A—aku akan mengambilkan perban untuk lukamu. Sementara itu pakai baju yang telah kuberikan tadi,” kata Sierra sambil bergegas meninggalkan kamar itu dengan wajah yang memerah.

Adam melihat ke meja yang ada di dekat pintu masuk. Baju dan celana panjang yang disiapkan oleh Sierra masih berada di sana. Sehabis makan malam —dengan porsi lebih besar dari porsi makan normal—, gadis itu memberinya sepasang pakaian ganti. Agar tidak mencolok, katanya. Tetapi tubuhnya terlalu lelah dan ia segera tertidur begitu ia berada di dalam kamar itu.

Adam beranjak dari tempat tidurnya menuju ke meja itu. Ia mencoba menggerakkan tangan kirinya. Rasa nyeri masih menusuk sampai ke tulangnya, tetapi ia menahannya. Ia mengganti overall yang digunakannya, namun baru saja ia memakai celana panjangnya, Sierra telah kembali ke kamarnya dengan membawa sebuah kotak obat. Wajah gadis itu bersemu merah di dalam cahaya lentera yang menerangi kamar itu.

“Apa kau demam?” tanya Adam.

“Bu—bukan! Ini bukan apa-apa! Tidak usah kamu pedulikan,” kata Sierra gugup. Ia bergegas mengambil dua kursi yang terdapat di samping meja. “Duduklah. Akan kuobati tanganmu,” katanya berusaha mengalihkan perhatian.

Dengan sabar Sierra membersihkan darah yang mulai menghitam di punggung tangan kiri Adam. Tiap kali ia menyentuhkan kapas di tangan kirinya,  pria itu akan meringis menahan sakit. Ia berusaha mengendalikan tangannya, berusaha untuk tidak terlalu menekan luka itu terlalu keras. Namun bahkan sebuah sentuhan pelan tampaknya cukup menyakitkan bagi Adam.

“Apa sesakit itu?” tanya Sierra khawatir.

Adam mengangguk lemah.

“Aku harus membersihkan luka-luka ini dulu sebelum mengobatinya. Apa kamu bisa menahannya sedikit lagi. Cuma sebentar saja dan aku akan berusaha melakukannya selembut mungkin,” lanjut Sierra.

“Baiklah. Maaf merepotkanmu,” kata Adam.

Sierra kembali menyapukan kapas yang telah ia bubuhi alkohol sebelumnya ke luka-luka di tangan Adam. Sesekali pria itu meringis menahan sakit, namun ia berusaha untuk bertahan. Setelah membersihkan darah yang mulai menghitam di lukanya, Sierra mulai menaruh perban yang telah ia basahi obat di atas luka di tangan Adam. Sekali ini Adam mengerang, namun Sierra tidak berhenti. Ia segera membalut tangan yang terluka itu dengan perban dan membebatnya.

“Sudah. Dengan ini lukamu tidak akan terkena infeksi. Selain itu sulur-sulur itu juga tidak akan terlalu terlihat,” kata Sierra. Ia bergegas merapikan kotak obatnya. Lebih lama menatap pria itu tanpa balutan baju apapun bisa membuatnya pingsan di tempat.

“Bagaimana caranya aku bisa membalas kebaikanmu ini?” tanya Adam.

Sierra menghentikan tangannya. Ia menoleh ke arah Adam dan menatapnya dengan tegas. “Bertahan hiduplah. Akan kucoba mencari cara menghilangkan tatto kutukan itu sebelum ia berhasil sampai ke lehermu. Tapi sampai saat itu tiba, aku ingin kamu tetap di sini dan terus hidup,” jawabnya mantap.

“Aku khawatir mereka akan mengejarku hingga ke tempat ini. Mereka pedagang budak yang dilindungi oleh kerajaan Adventa. Seluruh dunia bukan tempat yang aman untukku. Dan aku tidak ingin mereka melukaimu dan pengungsi lain dari kota kita yang mencoba menjalani hidup baru di sini,” Adam menghela napas, “aku tidak ingin melihatmu menjadi budak. Aku tidak bisa menjanjikan itu padamu.”

Sierra menghela napas panjang. “Apakah mimpi itu benar-benar masih kamu ingat, Adam?”

“Tidak sedikitpun kulupakan, tapi—”

“Kalau demikian berhentilah berlari! Tinggallah di sini dan lawan mereka! Terbanglah ke langit dan bawa aku bersamamu!” seru Sierra tegas. 

Baru kali ini Adam mendengarkan Sierra berseru seperti itu. Dahulu ia adalah anak cengeng yang seringkali dilindunginya dari gangguan anak-anak nakal di kota asal mereka. Kini gadis di hadapannya itu telah berubah menjadi sosok mandiri dan tegas yang melindunginya. Ia tersenyum. Sepertinya takdir mereka telah terbalik saat ini.

“Maaf, aku terlalu cengeng. Kau benar. Sudah saatnya aku mengejar langit itu,” kata Adam. Ada semangat hidup yang mulai kembali menyala di matanya. Dan Sierra tersenyum melihat semangat itu hidup kembali.

“Ini Adam yang kukenal dahulu,” kata Sierra. “Dan juga sosok yang kusukai sejak dahulu,” lanjutnya. Segera ia kembali merapikan kotak obatnya dan bergegas keluar dari kamar itu sebelum Adam sempat bertanya atau menanggapi kata-katanya.

“Eh? Apa katamu?” tanya Adam. 

“Aku tidak mengatakan apapun! Tidur saja sana!” seru Sierra. Wajahnya kembali bersemu merah. Ia bergegas keluar dan menutup pintu kamar itu, meninggalkan Adam yang terduduk bingung mengingat-ingat apa yang baru saja didengarnya tadi.

***

Lambert tidak menyangka dirinya akan terkejar secepat itu. Baru saja ia terbang selama tiga puluh menit dengan pesawat kecilnya, di belakangnya kini telah ada dua jet pemburu yang siap menembaknya kapan saja.
“Lambert, serahkan benda itu pada kami. Kami berjanji akan mengampuni nyawamu,” seru pilot pesawat jet itu melalui gelombang radio.

Benda itu? pikir Lambert. Dia manusia, pengkhianat!! “Tidak akan kuserahkan gadis ini! Aku tidak akan menyerahkan kunci keselamatan umant manusia pada anjing Advano seperti kalian, manusia yang mengkhianati rasnya sendiri!” seru Lambert.

“Kau tidak memberi kami pilihan,” kata pilot pesawat jet lainnya.

Sebuah misil diluncurkan oleh salah satu pesawat jet. Misil itu mengejar pesawat yang dikendalikan oleh Lambert, namun Lambert melepaskan decoy yang mengalihkan misil itu dari pesawatnya. Pesawat jet lainnya menembakinya dengan gatling gun, namun dengan manuver yang lihat ia berhasil menghindari serangan itu. Melihat serangan mereka gagal, salah satu jet melakukan manuver. Pesawat itu terbang tinggi menembus awan sedangkan pesawat lain terus menembakinya seakan mengarahkannya.

“Formasi penyergapan, hah?! Apa kalian pikir aku akan kalah dengan formasi kacangan seperti ini?!” teriak Lambert.

Lambert mempercepat laju pesawatnya. Pesawat di belakangnya masih terus mengejar dan menembakinya, namun ia tidak terlalu mempedulikan serangan itu. Ia menyiapkan sebuah misil pemburu kecil. Sewaktu-waktu ia akan melepas misil itu apabila penyergapnya mulai terlihat. Misil yang dimilikinya berbeda dengan misil pengejar biasa yang bisa ditipu dengan decoy. Ia tidak bisa dihentikan hingga hancur bersama targetnya. Dan ketika Lambert melihat moncong pesawat jet yang menukik di depannya, dengan segera ia melepaskan misil itu dan mencondongkan kapalnya untuk keluar dari arah tembakan pengejarnya. Misil itu segera menghantam pesawat jet penyergap dan meledakkannya di udara. Pecahan pesawat itu membentur pesawat jet yang bertugas mengarahkan Lambert sehingga pesawat itupun meledak. Lambert berusaha menghindari dua ledakan beruntun itu dengan menukik hingga mendekati permukaan laut, namun tetap saja sebuah lempengan logam jatuh dan menimpa sayap kanan pesawatnya. 

Kokpit pesawat Lambert tiba-tiba dipenuhi suara peringatan. Ia segera melirik ke layar hologram yang seketika muncul di depan matanya. Gambar pesawatnya yang terdapat di layar hologram itu tampak berkedip-kedip merah di bagian sayap kanannya. Sebuah grafik batang di samping gambar sayap itu tampak semakin berkurang hingga nyaris menghilang.

“Sial! Saluran bahan bakar ke mesin pesawat bocor!” seru Lambert. Ia menoleh pada gadis remaja yang berbaring di kursi di belakangnya. Ia masih tertidur seperti saat ia membawanya. Aku tidak mungkin meninggalkan gadis ini di sini, katanya dalam hati. Terpaksa kami harus mendarat darurat.

Pesawat kecil itu mulai berguncang hebat dan tidak bisa dikendalikan. Lambert segera mencari di tanah untuk mendarat, dan pilihannya jatuh pada sebuah pulau yang cukup luas dengan hutan lebat di sekelilingnya. Ia ingat pulau itu karena ia dan Conrad pernah menyelamatkan sebuah kota dari wabah penyakit di pulau itu. Ia tahu penduduk di kota itu juga tidak menyukai kerajaan Adventa dan Advano, makhluk asing yang telah mengurung manusia di dalam Dunia Baru.

Pesawat itu menukik tajam, namun Lambert berusaha mengendalikannya agar tidak jatuh bebas. Ketinggiannya berkurang dengan drastis, hingga akhirnya perut pesawat itu menyentuh kanopi hutan. Pesawat itu terseret turun dengan cepat, menerobos batang-batang pohon, dan akhirnya berhenti tepat di cabang sebuah pohon berukuran raksasa. 

Setelah berusaha mengembalikan kestabilannya, Lambert segera bangkit dari kokpitnya dan mengangkat gadis yang tertidur di belakangnya. Ia harus secepatnya turun dari pesawat itu sebelum pesawat itu meledak. Tetapi jarak mereka dengan tanah terlalu jauh. Lambert mencari sebuah tambang dan mengikatkan tubuh gadis itu dengannya. “Maafkan aku. Cuma ini caranya agar kita selamat,” kata Lambert.

Setelah memastikan gadis itu tidak bergerak lagi di punggungnya, dengan cekatan Lambert menuruni cabang pohon raksasa itu menuju cabang-cabang yang lebih rendah. Perlahan tapi pasti, akhirnya ia berhasil menyentuh tanah. Tepat pada saat itu pesawatnya meledak. Serpihan kayu dan ranting berukuran besar dan tajam berjatuhan ke arahnya, membuat Lambert harus berlari sambil tetap  memegangi gadis di punggungnya. Beberapa serpihan kayu melukai pipinya namun ia tidak peduli. Ia menoleh ke gadis itu. Ia bersyukur, tampaknya tidak ada satupun serpihan kayu yang mengenainya.

Kota Ravena yang terletak di luar hutan itu mulai terlihat. “Bersabarlah, Eva. Sebentar lagi kita tiba di Ravena,” kata Lambert sambil mempercepat larinya.


[Jumlah kata: 1822]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar