Minggu, 29 Januari 2012

Faux Ciel Bab 19 - Tirai Terbuka

Raja Edward sudah menyadari suatu saat hari seperti ini akan kembali terulang. Jenderal besarnya telah pergi meninggalkan dirinya. Tetapi berbeda dari dahulu saat Conrad ―jenderal besarnya terdahulu, ayah angkat dari Lambert―  membelot darinya dan melarikan sang Kunci bersamanya, kepergian Klaus kali ini bukan sebuah kerugian besar untuknya. Meski bersama sang jenderal besar ikut keluar sepertiga dari jumlah tentaranya.

“Selama aku punya Glacies di tanganku, berapapun jumlah makhluk hina itu akan mudah kutaklukkan!” katanya sambil mengangkat tongkat kerajaannya.

Malam itu sang raja pergi seorang diri menuju ke pegunungan tempat di mana pasukannya yang membelot bersembunyi. Ia berdiri di atas puncak salah satu gunung dan melihat perkemahan para pembelot itu di lembah di antara pegunungan itu. Dari kejauhan api-api unggun yang mereka nyalakan tampak seperti lilin yang dengan sekali tiup dapat padam kapan saja. Sang raja tersenyum mengejek.
Pemandangan itu sepadan dengan keberadaan mereka di matanya.

Sang raja mengangkat tongkat kerajaannya. Di dalam batu permata di ujung tongkat itu terdapat sebuah benda berbentuk kristal bunga es bertangan enam. Benda itu berputar pada porosnya. Semakin lama putaran benda itu semakin cepat. Senyum raja Edward semakin mengembang.

“Glacies, kristal suci dari sang maha agung Advano, karuniakanlah kiranya aku angin puting beliung untuk memadamkan nyawa dari musuh-musuhku. Oh, Glacies, penuhilah permohonanku!” seru raja Edward.

Seketika itu pula kristal bunga es di dalam batu permata itu bersinar terang. Sinar itu sangat terang sampai-sampai para tentara pembelot di lembah itu menyadarinya. Mereka bergegas mengangkat senjata mereka dan mengarahkannya ke arah sinar itu, tempat di mana sang raja berdiri saat ini. Tetapi raja Edward tidak peduli. Ia tertawa gembira karena tahu sebentar lagi mereka tidak akan ada lagi.

“Jenderal, ada cahaya aneh di atas gunung!” seru seorang prajurit pada Klaus. Mendengar hal itu sang jenderal bergegas keluar dari tendanya dan melihat ke puncak gunung itu. Matanya membelalak. Meski puncak gunung itu sangat tinggi, sosok sang raja yang sangat dikenalnya terlihat dengan jelas.
“Mundur! Kita pergi dari sini!” serunya pada para tentara itu.

Para tentara yang sudah bersiap menyerang itu bingung mendengarkan perintah mundur dari pimpinan mereka. Tetapi perintah itu tetap mereka patuhi. Mereka menurunkan senjata mereka dan dengan segera menuju tenda mereka masing-masing. Di saat itulah tanpa diduga-duga sebuah angin puting beliung bertiup ke lembah itu dan menerbangkan semua yang ada dalam lintasannya. Semua tenda, para tentara, bebatuan di sekitar mereka, semuanya diterbangkan angin puting beliung itu tanpa sisa. Hanya dalam beberapa menit, Klaus dan seluruh tentara yang melarikan diri dari sang raja tewas tercabik di dalam angin liar itu.

Raja Edward tertawa terbahak-bahak. Sang jenderal yang ditakuti banyak orang di medan pertempuran tewas tak berdaya di tangannya. Sebuah sensasi kenikmatan mengalir di sekujur tubuhnya. Seorang matahari baru saja ia tenggelamkan dengan tangannya sendiri.

Setelah puas menatap kehancuran yang ia hasilkan, raja Edward berjalan meninggalkan puncak gunung itu kembali ke istananya. Satu masalahnya telah teratasi.

***

“Sierra, aku ingin mengatakan sesuatu,” kata Adam. Ia mencegat gadis itu sebelum masuk ke kamarnya. Mereka baru saja mendarat di pulau Klais. Saat ini mereka bermalam di sebuah penginapan yang diberikan oleh Damian, sang penguasa seluruh pulau itu. Lambert baru saja menemui mereka dan mengatakan mereka akan segera berangkat keesokan harinya. Eva sudah tertidur setelah ia sempat menarik perhatian dengan tiba-tiba berganti kepribadian dengan sang Kunci yang terdapat di dalam dirinya ―Lambert membuatnya tertidur dengan paksa agar tidak menarik perhatian lebih banyak dengan menekan syaraf gadis itu. Hanya saat inilah ia bisa menemui Sierra dan berbicara padanya.
Sierra tampaknya tidak begitu suka melihat pria itu. Ia menghela napas panjang. “Apa yang kamu mau bicarakan?” tanyanya ketus.
“Maaf,” kata Adam.

Sierra mengira Adam akan menjelaskan sesuatu atau setidaknya menenangkan hatinya yang marah saat ini. Tetapi yang dikatakan pria itu hanya satu kata maaf saja. “Hanya itu?” kata Sierra. Ia mendengus kesal. “Kamu mengambil waktu tidurku yang berharga hanya untuk mangatakan itu?”
“Ya,” jawab Adam. Ia menatap Eva langsung ke matanya. Ia berharap gadis itu mengetahui ia menyesal membuatnya merasa tidak nyaman.
“Aku tidak merasa kau melakukan sesuatu yang salah padaku,” kata Eva dengan dingin.
“Aku tahu kau merasa tidak nyaman setelah melihatku dan Eva bercanda siang tadi. Jika itu membuatmu marah, aku minta maaf,” kata Adam.
“Untuk apa minta maaf? Aku tidak punya alasan untuk marah hanya karena melihatmu nyaris memeluk Eva, kan?” kata Sierra dengan suara meninggi.
“Lalu mengapa kau diam dan tidak mau melihatku sejak siang tadi?” tanya Adam dengan suara yang juga meninggi.
“Kamu tidak mengerti! Kamu selalu tidak mengerti perasaanku selama ini! Untuk apa sekarang kamu peduli!?” teriak Sierra. Mukanya memerah. Matanya mulai berkaca-kaca.
Melihat mata Sierra yang mulai berkaca-kaca, hati kecil Adam merasa tertusuk. Ia sekali lagi melanggar janjinya untuk tidak membuat gadis itu menangis. Bahkan ia selalu membuatnya menangis setiap kali mereka bersama. Tetapi baru kali ini ia merasakan hatinya tertusuk seperti saat ini.
“Aku terus melanggar janjiku. Maaf. Aku memang tidak mengerti perasaanmu selama ini,” kata Adam. Ia menghela napas panjang. “Aku merasa sesuatu yang berbahaya akan terjadi besok. Kuharap kau tidak ikut kami ke Levitia. Aku tidak mau ada sesuatu yang terjadi padamu. Aku tahu aku yang membuatmu berada di sini. Dan aku menyesal menyeretmu ke dalam masalah ini,” lanjutnya.

Sierra membuka mulutnya. Ia menatap pria di depan pintu kamarnya itu dengan tatapan tidak percaya. “Apa kamu sadar yang kamu katakan? Setelah kita sejauh ini kini kau ingin mengusirku pergi, begitu?” tanyanya.
“Bukan maksudku mengusirmu. Aku cuma―”
“Aku mengerti! Silakan menikmati petualangan serumu bersama Eva. Aku memang tidak pernah ada di dalam hidupmu sejak dulu, kan?!” teriak Sierra. Air mata yang menggenang di matanya kini akhirnya tumpah. Semua emosi yang dirasakannya meluap bagaikan banjir besar yang tidak terbendung.
“Sierra!”
“Aku bukan siapa-siapa! Aku hanya gadis biasa yang berharap suatu hari nanti bisa memenangkan hati seorang pria yang tidak pernah melihatku! Aku hanya orang bodoh yang menikmati bermimpi bersamanya! Aku orang yang―”

Kata-kata penuh emosi yang keluar dari mulut gadis itu tiba-tiba terhenti. Bukan karena ia telah merasa lega, tetapi karena mulutnya ditutup paksa oleh sesuatu. Sierra tidak mengingat apa yang terjadi. Semuanya terasa begitu cepat, dan kini wajah Adam sudah tidak berjarak lagi dengan wajahnya. Matanya yang menatapnya dalam-dalam kini terpejam. Sesuatu yang hangat menempel di bibirnya. Tubuhnya terasa dibelit sesuatu, yang akhirnya ia tahu sebagai lengan pria itu.

Akhirnya Sierra menyadari apa yang terjadi. Adam, sekali lagi, telah mencuri bibirnya. Tetapi kali ini tidak sesaat. Pria itu memeluknya dengan erat, seakan tidak ingin melepasnya pergi. Ia merasakan panas tubuh pria itu. Juga detak jantungnya yang bergemuruh. Ia seakan merasakan seluruh tubuh pria itu saat ini. Ia merasa sensasi menyenangkan yang menjalar di seluruh tubuhnya. Berada di dalam pelukan pria itu sangat menyenangkan, sampai-sampai ia merasa nyaris melayang. Tetapi ia segera mengendalikan dirinya. Ia segera mendorong pria itu menjauhinya, membuat Adam tampak merasa bersalah.

“M―maaf, aku tidak bermaksud…” Adam tidak melanjutkan perkataannya. Ia merasakan mukanya panas saat ini. Ia mulai salah tingkah di depan Sierra.
“Kamu tidak bermaksud menciumku, begitu?” tanya Sierra.
“Ah! Bu―bukan itu maksudku! Aku, eh, aku…” Adam makin salah tingkah di depan gadis itu. Ia tidak berani menatap wajah gadis itu saat ini. Ia ingin menjelaskan maksud tindakannya yang tiba-tiba mencium gadis itu, tetapi ia tidak mampu mengatakan apa yang ingin dijelaskannya. Tetapi di saat bersamaan, ia juga tidak ingin diam saja.

“Uhmp!”

Adam terkejut. Ia mengangkat wajahnya dan melihat Sierra sedang menahan tawanya. Tertawa? Padahal sesaat lalu dia berteriak padaku, kata Adam dalam hatinya.
“Ma―maaf. Aku tidak tahu harus mengatakan apa padamu saat ini,” kata Adam setelah setengah mati mengendalikan perasaannya sendiri.

Sierra akhirnya tertawa lepas. Air matanya yang tadi mengalir karena kesal kini mengalir karena ia merasa bahagia. Melihat pria itu kikuk dan salah tingkah selalu membuatnya gembira. Ia tidak tahan untuk tidak tertawa melihat pria tegap dan selalu serius itu kini seperti tidak tahu harus melakukan apa di depannya.

“Harusnya aku sudah tahu kamu memang tidak peka untuk hal seperti ini. Maaf kalau aku membuatmu bingung,” kata Sierra. Ia melangkah ke arah Adam dan tersenyum seperti anak kecil. Ia meletakkan tangannya di belakang punggungnya. Dengan cepat ia menjinjit di depan pria itu, dan dengan cepat ia mencium bibir pria itu. “Itu hukumannya kalau membuatku menangis. Kamu ingat?” katanya sambil tersenyum.
“Ingat,” kata Adam. Ia menyapukan tangannya di kepala gadis itu. Gadis itu tidak melawan seperti biasanya. Ia membiarkan pria itu bermain dengan rambutnya. Bahkan ia menikmatinya.
“Sekarang kamu mau mengizinkan aku tidur? Besok kita akan ke Levitia, kan?” kata Sierra gembira.
“Apa kau yakin? Kita tidak tahu apa yang akan terjadi mulai dari sini,” kata Adam.
Sierra menggeleng. “Aku tidak peduli apa yang akan terjadi. Aku ingin bersama dirimu selama mungkin. Sehari tanpa gangguan darimu rasanya tidak lengkap. Lagipula harus ada yang mengawasimu agar tidak melakukan pelecehan pada gadis-gadis lain di Levitia,” kata Sierra. Gadis itu tersenyum lebar.
“Hei, jangan membuatku terdengar seperti penjahat seperti itu,” kata Adam.
Sierra kembali maju mendekati Adam dan memeluk pria itu. “Lalu yang kamu lakukan tadi bukan kejahatan?” tanya Sierra manja.
“Melakukan itu pada orang yang disayangi adalah kejahatan, ya? Lagipula sepertinya kau menikmatinya?” balas Adam.

Sierra membalasnya dengan pukulan pelan di dada pria itu. “Sudah, ah. Aku mengantuk,” katanya.
Adam mengangkat bahunya dan bergeser. Ia membuka pintu di belakangnya dan mempersilakan Sierra masuk. “Selamat tidur, Sierra. Semmoga mimpi indah,” katanya sambil tersenyum.
“Terima kasih,” kata Sierra.

Adam meninggalkan kamar Sierra dengan hati gembira. Masalah dengan gadis itu telah selesai.
***
Lambert duduk di sisi tempat tidur Eva. Beberapa jam lalu ia dibuat terkejut oleh apa yang tiba-tiba dikatakan gadis itu. Ia terpaksa membuat gadis itu tertidur agar tidak menimbulkan kecurigaan dari orang di sekitar mereka.

“Maaf, Eva. Aku janji, ini yang terakhir. Setelah ini hari yang baru akan kita sambut. Di masa depan pasti akan ada yang baik yang terjadi padamu. Tapi untuk sekarang kuharap kau mau bersabar,” kata Lambert.
Ia mengeluarkan sebuah botol kaca sebesar telapak tangan orang dewasa. Botol itu berisi cairan berwarna emas. “Ini adalah Panacea paling terakhir yang kumiliki. Kuharap ini bisa menolongmu untuk beberapa jam ke depan,” katanya Lambert sambil menuangkan seluruh isi botol itu ke atas kepala gadis itu.

Cairan emas yang dituangkan Lambert ke atas kepala Eva itu segera terserap ke dalam rambutnya. Rambut gadis itu bersinar sesaat sebelum kembali seperti semula.

“Dengan ini kau akan aman, meski sang Kunci keluar dari dirimu. Mimpi indah, Eva,” kata Lambert. Ia mencium lembut kening gadis itu sebelum meninggalkannya.
***
Damian Han berpikir keras di dalam kantornya yang gelap. Bulan purnama menyinari ruangan yang sengaja ia biarkan gelap itu melalui sebuah jendela besar di belakang tempat duduknya. Semenit lalu ia menerima laporan dari Tanah Utara, benua tempat Levitia berada. Gempa bumi yang terjadi di pegunungan kerajaan ini semakin lama semakin parah. Beberapa keanehan juga terjadi selama gempa itu. Beberapa saksi mata melihat gunung-gunung di pegunungan itu terbelah dan mengeluarkan cahaya terang ke angkasa. Pihak militer telah mengungsikan para penduduk di sekitar tempat itu dan telah bersiap untuk berbagai masalah yang mungkin akan terjadi.

Tugasnya sebagai seorang penjaga membuatnya harus bersiaga setiap saat. Saat semua mata tertidur, ia masih berjaga. Menjelang semua orang terbangun, ia baru akan tertidur. Untuk sementara. Saat ayam pertama berkokok, Damian telah siap kembali menjalankan tugasnya.

Damian tidak hanya mengurus kota Klais dan seluruh kota pednukung di sekitarnya. Ia juga adalah seorang kepala pasukan. Dan kini pasukannya dikirim untuk berjaga di Levitia, tempat di mana gempa bumi aneh itu terjadi saat ini. Ia memerintahkan pasukannya untuk melaporkan semua yang terjadi di tempat itu langsung padanya. Ia berharap untuk mendengarkan beberapa informasi dari mereka sebelum membawa tamunya ke kerajaannya.

“Kunci dan Pembuka Pintu telah ada di sini. Apa yang akan terjadi bila mereka sampai di Levitia?” tanya Damian pada dirinya sendiri. “Apa yang harus kulakukan?”

Tiba-tiba pesawat radio di atas mejanya berbunyi. Sebuah laporan baru saja masuk. Ia bergegas mengangkat pesawat radio itu. “Di sini Damian, ganti!” kata Damian.

“Keadaan gawat! Lima benda aneh tampak muncul di langit sekarang, ganti!” seru seorang prajurit dari seberang radio itu. Suara-suara yang berada di belakang suara prajurit itu adalah ledakan dan tembakan peluru. Prajurit yang melapor itu juga melaporkan dengan panik.

“Jelaskan bentuk mereka, Prajurit! Ganti!” seru Damian.

Suara ledakan dan tembakan masih terdengar dari ujung seberang radio. Setelah itu semuanya hening. Damian menunggu dengan tidak sabar. Beberapa detik yang berlalu seperti berjam-jam untuknya. “Jean, jawablah!” seru Damian saat kesabarannya sudah habis.

“Maaf, kapten Damian… tugas kami gagal,” jawab prajurit bernama Jean itu lemah. Ia terbatuk dan napasnya berbunyi. “Tiga monster menghancurkan semua pasukan kami… dan dua lainnya masih berada di tempatnya…,” terdengar suara tarikan napas berat dari seberang, dan kemudian suara napas yang dihembuskan hingga habis.

Damian mengerti apa yang terjadi. Tetapi seperti menegaskan apa yang terjadi, sebuah ledakan keras terdengar di seberang sana. Lalu kemudian yang terdengar dari pesawat radio itu hanyalah suara berisik. Seluruh pasukannya telah mati oleh sesuatu yang tidak ia ketahui.

“Membawa mereka bukan keputusan terbaik,” kata Damian. “Mereka tidak boleh menginjakkan kaki di Levitia!”
***
Seharusnya mereka sudah naik kapal yang akan membawa mereka menuju Levitia, tetapi ada, Sierra, Eva yang masih tertidur di punggung Lambert dan Lambert sendiri belum menaiki kapal itu. Lebih tepatnya tidak bisa menaiki kapal itu. Di depan mereka kini berdiri sepasukan tentara bersenjata lengkap, menghadang mereka agar tidak menaiki kapal itu. Di antara rombongan itu dan pasukan yang menghalangi mereka berdiri Damian dengan seragam militernya yang berwarna hitam. Dalam pakaian itu ia tidak terlihat seperti seseorang yang berusia lima puluh tahun. Tubuhnya masih tegap dengan otot-otot yang masih terjaga. Matanya menatap tajam pada Lambert.

“Apa maksudnya ini, Damian? Bukannya kita telah sepakat kemarin?” tanya Lambert.
“Ada perubahan rencana. Situasi Levitia tidak memungkinkan untuk dikunjungi saat ini,” jawab Damian datar.
“Kami yang akan tahu apa yang terjadi di sana berbahaya bagi kami atau tidak. Biarkan kami menaiki kapal itu sekarang,” kata Lambert lagi.
“Aku tidak akan mengizinkan kalian melangkahkan kaki kalian ke kerajaanku. Sebagai penjaga gerbang kerajaan Levitia, aku memerintahkan penangkapan atas diri kalian. Kalian akan tetap berada di tempat ini hingga bulan purnama lewat,” kata Damian. Ia memberi kode pada pasukan di belakangnya untuk maju dan mengepung rombongan itu. Dengan sigap pasukan itu maju dan mengelilingi mereka dengan senjata terarah pada mereka.

Rombongan itu tidak dapat melakukan apa-apa. Adam dan Sierra mengangkat tangan mereka ke udara. “Sepertinya kita tidak punya pilihan,” kata Adam.
“Pasti ada, Adam. Hari Penentuan akan terjadi segera. Kita akan tiba di pintu itu sekarang,” kata Lambert.
“Tidak akan kubiarkan. Kalian akan diberikan ruangan penjara yang nyaman, tetapi penjagaannya akan kami naikkan. Bahkan seekor semut pun tidak akan mampu masuk tanpa sepengetahuan kami,” kata Damian. Ia memberi kode pada pasukannya untuk membawa rombongan itu menuju mobil yang akan membawa mereka menuju penjara.

Namun sesuatu yang aneh terjadi. Tubuh Eva bersinar terang, membutakan semua orang di sekitarnya kecuali Adam, Sierra, dan Lambert. Tubh gadis itu melayang ke atas. Lambert yang berusaha meraihnya terkejut saat tangannya menembus tubuh gadis itu.  

Eva terbangun. Ia membuka matanya yang berwarna merah dan menatap ke arah selatan. “Aku memanggil para Hakim untuk memulai pengadilan. Saatnya Hari Penentuan. Aku adalah Kunci, memanggil mereka yang menjaga Pintu,” kata Eva. Adam terkejut. Suara yang keluar dari mulut Eva bukanlah suara kekanak-kanakan gadis itu, melainak suara sang Kunci yang didengarnya saat ia melawan Advano di atas kota Ravena dua hari sebelumnya.

“Apa yang akan terjadi, Lambert?” tanya Adam bingung.
“Aku tidak tahu,” jawab Lambert. “Apapun yang terjadi berikutnya tidak pernah tercatat dalam legenda. Aku tidak tahu apa lagi yang akan terjadi setelah ini.”

Dari arah selatan tampak lima titik cahaya yang terlihat seperti bintang. Meski saat itu matahari sudah bersinar, kelima titik cahaya itu masih terlihat dengan jelas. Kelimanya tampak bergerak ke arah mereka. Dan makin lama Adam merasa makin mengenal kelimanya.

“Itu Advano!” seru Adam sambil menunjuk ke arah kelima titik cahaya itu. Keputusasaan mulai melandanya. Dengan kemampuan sang Kunci dia mampu mengalahkan seorang Advano dengan susah payah. Menghadapi lima Advano lain seperti Jerez adalah tidak mungkin untuknya.
“Sang Pembuka Pintu, bangkitlah! Bukitkan dirimu!” seru Eva.

Seketika itu pula seluruh tubuh Adam bercahaya terang. Adam kembali merasakan sensasi kekuatan yang mengalir di tubuhnya. Cahaya itu semakin terang, seakan-akan menelan seluruh tubuh pria itu. Dan saat cahaya itu meredup. Sosok yang dilihat Sierra waktu itu  kembali muncul di depan matanya.

“Advano? Adam, kamu kembali berubah menjadi Advano?” tanya Sierra.

“Sepertinya begitu,” kata Adam. “Aku akan kembali. Tunggulah,” lanjutnya. Ia telah terbiasa dengan sosok itu. Dengan mudah ia memunculkan sepasang sayap di punggungnya, dan dengan sekali kepakan ia meninggalkan tanah dan terbang menuju ke arah kelima titik cahaya yang semakin mendekat itu.

 [Jumlah Kata: 2716]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar